Kesadaran 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku menginap di rumah sakit. Setelah aku tiba pukul tujuh malam, Kak Airin dan Kak Adira langsung pamit karena ternyata masih ada tugas yang harus diselesaikan. Saat itu, mereka sedang mengadakan panggilan hologram dengan seseorang menggunakan portable holographic computer (PHC). Katanya tugas tersebut diberikan secara mendadak sehingga mereka harus segera pergi saat itu juga ketika aku datang. Aku jadi tidak enak hati karena menunda-nunda waktu kedatanganku.

Hampir semalaman aku tidak bisa tidur, memikirkan apa yang terjadi kalau Kak Danny tidak kunjung sadar. Aku bahkan memimpikan Kakak di sela-sela malam yang membuatku terlonjak bangun kembali karena di dalam sana, Kak Danny seperti meminta pertolongan. Aku membayangkan skenario terburuk, lantas menggeleng cepat mengenyahkan semua itu dari pikiran. Kak Danny akan bangun. Pasti.

Aku berangkat sekolah pukul enam pagi. Jalan sedang lengang-lengangnya saat aku keluar. Langit masih agak biru gelap meskipun matahari sudah perlahan muncul. Udara juga masih terasa sangat dingin sampai aku harus mengetatkan jaket. Uap bahkan mengepul ketika aku mengembuskan napas. Aku jadi harus menggosok-gosok tangan atau memasukkannya ke saku jaket agar tetap hangat.

Sekolah masih sepi. Saat di kelas pun bahkan baru ada satu orang. Duduk di barisan kedua dari belakang dekat jendela, sedang tertidur dengan kedua tangan sebagai bantal, Will. Dia mendongak sekilas ketika aku menggeser kursi kemudian tertunduk kembali. Rasanya aku ingin sekali mengajaknya mengobrol, tetapi melihat Will yang seperti itu membuatku enggan. Cowok itu seperti tipe orang yang sulit didekati dan tidak senang bicara panjang lebar. Pantas saja Luca bilang kalau dia tidak suka padanya.

Aku memutuskan untuk bermain game sambil menunggu waktu masuk kelas. Dua ronde kulewati sampai kelas mulai ramai. Waktu mainku terhenti ketika kulihat Gema masuk dengan lemas. Dia berjalan seperti zombi yang belum makan seminggu. Kantung matanya semakin hitam dan bergelayut sangat jelas. Aku hendak menanyakan apa yang terjadi, tetapi dia keburu duduk dengan kasar lalu membenamkan diri di antara kedua lengan yang dijadikan bantalan.

"Hai, Sa!" sapa seseorang dari balik punggungku membuatku terkaget. Luca adalah orang pertama yang mengajak bicara pagi ini. Dia—dengan raut wajah khawatir—memberondongku dengan ribuan pertanyaan seperti, "Kau kenapa kemarin? Kudengar Shadows meneleponmu? Apa yang terjadi? Kau baik-baik saja, 'kan?"

"Aku baik," jawabku hanya menanggapi pertanyaan terakhir. Aku agak kurang senang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang lain. Jadi, kuabaikan.

Luca sepertinya kecewa karena tanggapanku. Dia menyimpan tas selempangnya di kursi di baris kedua lantas mengambil kursi lain agar bisa duduk menghadapku. "Aku kemarin melihat berita di televisi," lapornya masih dengan alis yang tertaut. "Katanya ada anggota Shadows yang terluka. Apa itu ... kakakmu?"

Dengan berat aku mengangguk. "Bagaimana keadaannya?" tanya Luca lagi.

"Koma."

"Oh. Maaf. Aku turut berduka."

"Dia belum mati!" Aku mendengkus. Kenapa akhir-akhir ini orang yang tahu keadaan Kak Danny terdengar kalau dia tidak punya harapan? Meskipun yang bilang baru dua orang tetap saja itu membuatku sakit.

"Bu ... bukan begitu maksudku ...."

"Sudahlah." Aku merengut, kembali ke gawai dengan game. Luca sepertinya merasa bersalah. Dia menghela napas lantas menarik kursi yang tadi dibawanya kembali.

Bel berbunyi tidak lama kemudian. Pelajaran berjalan seperti biasa. Sisa hari itu kujalani tanpa ada masalah berarti selain pertanyaan, "Kemarin ada apa? Apa yang kau bicarakan dengan Bu Anggun? Kau kelihatan lelah, Sa. Kau baik-baik saja, 'kan?"

Aku menjawab itu semua dengan satu kalimat—atau mungkin dua. "Ya, aku baik-baik saja. Tidak ada yang penting. Sekarang permisi, aku mau ke suatu tempat." Aku salah. Ternyata tiga kalimat.

Kutinggalkan pertanyaan-pertanyaan itu mengambang tanpa jawaban pasti. Membuat mereka terbengong-bengong bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi padaku. Aku tidak peduli. Aku harus segera ke rumah sakit. Di sisi Kak Danny saat dia sadar nanti. Aku tidak ingin melewatkan satu detik pun saat dia membuka mata, walaupun aku lebih berharap kalau dia sudah duduk dan mengobrol dengan suster yang menjaganya sekarang.

...

Keadaan rumah sakit tidak seramai kemarin seperti saat aku datang. Aku langsung memelesat ke kamar inap lantas membereskan barang bawaanku. Kurang lebih pukul empat saat aku bersih-bersih, pintu kamar terbuka. Seorang perempuan tinggi semampai dengan potongan rambut bob lurus masuk sambil membawa karangan bunga dan tote bag hijau. Kami berdua terpaku sambil saling berpandangan sampai akhirnya ia menyapa duluan.

"Hai," sapanya sambil menutup pintu. Senyum ramahnya mengembang memancarkan aura keibuan (tapi dia masih terlihat muda untuk dikatakan ibu-ibu). Tidak seperti Kak Airin yang terlihat tegas secara sekilas. Meskipun aku tahu mereka berasal dari instansi yang sama, terlihat dari seragam hitam lapangan yang dikenakan.

"Ha ... halo," sahutku malu-malu.

"Aku Mindy," katanya sembari meletakkan tas dan karangan bunga di atas meja. Ia lantas duduk dan mengeluarkan vas bunga biru pucat dari dalam tas hijaunya.

"Aku Asa ...." Aku membereskan barang terakhir ke dalam tasku kemudian mengambil tempat duduk di sisi Kak Danny.

"Iya, aku tahu." Kakak itu tersenyum geli.

Sepertinya aku sudah dikenal oleh banyak teman Kak Danny. Aku jadi penasaran apa saja yang selalu dia ceritakan tentangku. Semoga saja yang baik-baik.

"Bagaimana keadaan kakakmu?" tanya Kak Mindy seraya menata bunga yang dibawa ke dalam vas.

Aku menunjuk Kak Danny dengan dagu. "Masih belum sadar."

"Hm, aneh," gumam lawan bicaraku sambil mendekat membawa vas bunga. Ia lantas menyimpan bunga itu bersebelahan dengan vas bunga dari Kak Airin.

"Aneh?" Aku mengernyit, bingung. "Kenapa memangnya?"

"Kau tahu, 'kan? Danny tipe orang yang mudah memperbaiki diri—fisik maksudku. Dia tidak akan terus-terusan seperti ini." Kak Mindy kemudian mengambil salah satu kursi lantas duduk di seberangku. Ia mengamati Kak Danny lamat-lamat.

"Seperti ini ...," ulangku lirih.

Kak Mindy mengusap kening Kak Danny perlahan. Ia memainkan anak rambut kakakku sebentar lalu menelusuri pelipisnya yang agak berkeringat. Dengan lembut ia menyingkirkan bulir itu, mengusap jarinya ke pakaian, lantas kembali ke tempat semula. Jemarinya berpetualang lagi ke pipi Kak Danny yang agak menonjol, berputar sebentar, lalu berakhir di kelopak mata yang tertutup. Aku tidak tahu sejauh mana hubungannya dengan kakakku sampai ia bisa melakukan itu semua di depanku.

"Kak—" pekikku tertahan. Kak Mindy membuka paksa mata Kak Danny memperlihatkan iris hijau gelapnya yang menatap kosong.

"Sudah kuduga," katanya setelah menatap dalam mata Kak Danny cukup lama.

"Apa? Apa? Kenapa?" Aku sangat penasaran dengan maksud kata-katanya. Walaupun ia sudah bertindak tidak sopan kepada orang yang sedang sakit.

"Kakakmu akan terus-terusan koma kalau tidak segera ditolong."

"Hah? Maksudnya?"

"Dengar, Asa. Ada alasan kenapa orang seperti Danny—manipulator tubuh yang dapat meregenerasi sel-selnya dengan sangat cepat—tidak kunjung sadar setelah seluruh tubuhnya membaik."

"Aku benar-benar tidak mengerti, Kak. Tolong sederhanakan." Aku bersedekap.

"Dia tidak akan sadar karena kesadarannya tertahan."

"Kakak tahu dari mana?" Aku memegang kepala karena mulai pusing dengan semua kalimat-kalimat yang sulit dicerna ini.

"Aku melihat ke dalam kepalanya."

"Caranya—" Belum selesai aku bertanya, Kak Mindy sudah memotong.

"Aku manipulator psikis, Asa. Bidangku menjelajahi pikiran orang-orang."

"Kalau begitu tolong selamatkan kakakku!" Aku memohon.

"Maaf, Asa. Kesadaran kakakmu tertahan di Kehampaan. Hanya seorang lucid dreamer yang bisa memasukinya."

"Aku ... aku seorang lucid dreamer! Beritahu aku caranya!" Kutepuk dada dengan keras seolah itu bisa meyakinkan Kak Mindy.

"Masalahnya, Asa. Aku tidak tahu caranya." Kak Mindy tertunduk seolah itu semua adalah salahnya. Raut kesedihan terpancar di wajahnya yang tertutup bayangan.

"Tapi kakak tahu tentang hal itu."

"Saudaraku yang tahu."

"Tidak ... kupikir aku punya harapan."

"Tentu saja ... saudaraku mungkin bisa membantu."

"Saudara?"

"Adik sepupu, lebih tepatnya. Aku akan memberimu nomornya kalau kau mau—"

"Tentu saja aku mau!"

"Bagus. Aku akan memberitahunya kalau kau akan menelepon."

Kak Mindy kemudian mencari kertas dan bolpoin. Merasa usahanya sia-sia aku memberikan geniusphone-ku agar ia bisa langsung mengetikkan nomor sepupunya. Dengan menepuk jidatnya terlebih dahulu sambil berkata, "Bodohnya aku!" Ia mengetikkan serangkaian nomor.

"Dia seumuran denganmu. Jadi, mungkin harusnya kalian bisa dekat dengan cepat. Sepupuku itu suka menolong. Jangan khawatir. Kalian bisa jadi teman akrab."

"Kuharap begitu."

"Namanya William," ujar Kak Mindy sambil menyerahkan kembali ponselku. Aku melihat nomor itu yang sudah dinamai oleh Kak Mindy.

"Aku punya teman yang namanya Will. Katanya dia juga lucid dreamer."

"Oh, ya? Mungkin mereka orang yang sama, jangan-jangan?"

Aku mengangkat bahu. "Entahlah."

Kak Mindy membereskan barang bawaannya. Ia mengeluarkan beberapa camilan dari tote bag hijau yang dibawa. "Untukmu," ucapnya dengan senyum sambil memperlihatkan roti dan susu kotak berwarna merah muda.

Aku tersipu. "Terima kasih," kataku pelan.

Kak Mindy kemudian pamit pulang karena jam kunjungan sudah mau habis. Sebelum menghilang dari balik pintu ia berkata, "Cepatlah bertindak, Sa!"

Pintu tertutup meninggalkanku dalam hening.

Aku melihat nomor yang baru saja Kak Mindy berikan. Setelah aku cek ulang, ada nomor ganda yang tertera dengan nama yang berbeda: Will dan William. Aku punya semua nomor ponsel semua teman-teman di kelas. Jadi, tidak heran kalau aku sudah punya nomornya. Namun, aku belum pernah menghubungi Will sebelumnya. Apa tepat kalau tiba-tiba aku menghubunginya sekarang?

Kugulirkan layar beberapa kali sebelum menguncinya. Mungkin lebih bijak kalau aku tidak meneleponnya malam-malam begini dan membuatnya terkejut.

"Hah ...." Mungkin sebaiknya aku tidur dulu.

Aku mengambil tempat di sofa, menyingkirkan barang-barang yang menghalangi lantas membuka sepatu. Kucari posisi yang sekiranya nyaman untuk tidur. Mulai dari menyamping, tengkurap, sampai telentang menghadap lampu ruang rawat yang berwarna putih menyilaukan. Kuhalau sinar yang datang dengan lengan sebab tidak mungkin aku mematikan lampu yang ada. Sebisa mungkin aku mencoba relaks di tengah cahaya yang menggempur karena aku terbiasa tidur di tengah kegelapan. Kuhirup napas dalam-dalam pelan.

Saat kututup mata, kegelapan menyerang. Perlahan, ledak-ledak warna muncul seperti tetesan air yang jatuh ke atas kolam, membuat riak air yang bergelombang. Riak-riak air itu berubah menjadi bentuk-bentuk geometris dengan pinggiran warna-warni di tengah hamparan langit gelap. Persegi hijau, bujur sangkar biru, lingkaran merah, segi tiga kuning, segi lima ungu, segi enam nila. Mereka berputar, bergerak ke kiri dan ke kanan, ke atas dan ke bawah, sampai akhirnya bentuk-bentuk itu berhenti di satu titik membentuk sebuah pinggiran lanskap seperti bentuk purwarupa hologram trimatra. Jaring-jaring dataran di bawahku sedikit demi sedikit memiliki warnanya sendiri; tanah kecokelatan, langit biru dengan awan putih, bebatuan kelabu, siluet biru gelap pegunungan di kejauhan.

Seperti orang yang bangun tidur, rumput-rumput hijau tumbuh. Bunga-bunga bermekaran. Tangkai-tangkai tulip bergoyang tertiup angin. Kelopak merahnya beterbangan. Harum mawar menguar, semerbak melati mengudara. Lebah-lebah berdatangan menghinggapi bunga. Suara dengung dan kepak sayapnya bersahutan dikalahkan cericip burung yang sedang terbang berkelompok di langit membentuk huruf V.

Aku diam terpaku melihat itu semua. Suara gesekan rumput dan sepatu membuatku refleks menengok ke arah sumber suara. Kak Danny berdiri di sampingku sambil tersenyum hangat. "Hai, Sa," sapanya sambil mengusap puncak kepalaku. Aku memeluknya refleks. Walaupun ini hanya mimpi, dapat kurasakan kehangatan tubuhnya yang terpancar; sebuah keuntungan menjadi seorang lucid dreamer.

Kak Danny meremas bahuku lantas menjauhkan tubuhnya. Lebih seperti entakkan sampai aku hampir kehilangan keseimbangan. Kehangatan yang terpancar dari wajahnya memudar. Dari tubuh Kak Danny keluar serupa asap hitam yang membubung ke langit. Lingkungan di sekitarku meluruh seiring Kakakku yang berteriak seperti orang kesurupan. Tanah-tanah bergetar. Langit luntur menjadi gelap bagai cat tembok basah yang disiram air. Tanaman-tanaman layu seketika. Bau busuk dan amis darah berputar di sekelilingku.

Mata Kak Danny yang beriris hijau berubah merah pekat. Kornea putihnya menjadi hitam. Dia berteriak semakin gila. Saking kerasnya gelombang suara Kak Danny, aku seperti didorong mundur oleh angin yang sangat kencang. Suaranya seperti bisa saja menulikanku. Kututup kuping sekuat tenaga, tetapi sepertinya percuma. Telingaku berdenging hebat. Dapat kurasakan darah mengalir keluar.

"Kak Danny ...." Aku berusaha menggapainya. Namun, tubuhku terlalu lemas karena suara yang kian keras. Rasanya seperti ada ribuan jarum yang menusuk-nusuk kepala, mencoba memecahkannya dari dalam.

"Asa ...."

Kudengar samar-samar suara Kak Danny. Ada keputusasaan dalam nadanya. Namun, di depan sana, yang kulihat hanyalah tubuh Kakakku yang mulai berubah. Asap hitam menyelimutinya lebih banyak. Tangannya berganti menjadi sekumpulan cakar setajam pedang. Tungkai-tungkainya seperti tungkai serigala. Dalam satu kedipan mata, Kak Danny bertukar menjadi monster menakutkan dengan mulut di perut dan lima mata di kepala, tanpa hidung dan bibir.

Aku mundur perlahan, selangkah demi selangkah sampai akhirnya aku jatuh terduduk. Kakiku menolak bergerak. Tubuhku bergetar hebat. Jantungku berdegup sangat kencang sampai aku yakin ia bisa keluar dan berlari kabur. Namun, tidak dengan diriku. Dia terpaku ke tanah, melihat ke depan dengan ketakutan.

Monster itu mendekat perlahan. Dari mulutnya keluar asap saat dia memanggil namaku. "Asa ...."

Itu bukan suara Kak Danny. Monster itu bukan kakakku. Ini hanyalah mimpi buruk. Walaupun aku tahu aku bisa mengenyahkannya dengan pikiranku seperti aku mengusir lalat, nyatanya aku tidak bisa. Ketakutan menguasai diriku. Akal sehatku tidak mau diajak kerja sama. Saking tidak bisanya aku menggerakkan anggota tubuh, satu-satunya yang bisa kulakukan selain bernapas hanyalah menutup mata ketika lima buah cakar terhunus ke arahku.

Namun, tidak terjadi apa-apa. Setidaknya itu yang kupikirkan sebelum membuka mata dan mendapati tangan makhluk itu telah terpotong. Dari bekas potongannya keluar asap hitam. Di antara aku dan makhluk itu, berdiri seseorang dengan jaket hijau tua dengan bulu di tudungnya sedang memegang tombak berujung dua. Salah satu ujungnya yang berbilah lebih besar dia hunuskan ke depan. Dia lantas lari menerjang monster itu dengan cepat. Tombak mengayun lincah, menebas dari samping, mengoyak dari atas. Orang itu berputar seperti pisau pemotong rumput. Dengan satu kali tebasan di kepala, makhluk itu pun menghilang menjadi asap.

Seiring dengan gerak tangannya yang seperti menyapu udara, keadaan kembali seperti semula. Waktu seperti disetel mundur. Tumbuhan hijau kembali hidup. Langit gulita kembali terang. Aroma bunga kembali semerbak. Orang itu berbalik. Laki-laki. Seumuran denganku. Ketika dia berjongkok di hadapanku, barulah aku tahu siapa dia.

"Bangun," perintahnya.

Aku pun bangun dengan napas terengah dan sejuta pertanyaan.

~~oOo~~

A/N

Siapa orang yang ditemui Asa? Apa arti dari mimpinya itu?

Pertanyaan untuk bagian ini: Pernahkah kalian memimpikan orang yang disayang?

***

Diterbitkan: 04/05/2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro