Kesadaran 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku tidak sabar ingin meminta tolong pada Will dan mengetahui jawaban kenapa dia bisa ada di mimpiku semalam. Dengan cepat aku berdiri dari bangku ketika cowok itu masuk kelas dengan terburu-buru menuju kursinya kemudian terpaksa duduk kembali karena bel berbunyi tak lama setelahnya.

Sepanjang pelajaran, aku tidak bisa menyimak dengan benar. Video animasi trimatra yang menceritakan Perang Dunia Ras antara Alafathe—salah satu ras di Erdeae—dan Manusia seperti angin lalu. Beberapa kali aku mencuri pandang ke arah Will kemudian kembali memperhatikan ke depan ketika video itu berdenyar menggantikan sejarah yang lain.

Aku tidak fokus sampai akhirnya bel istirahat pertama berbunyi. Langsung saja aku ke bangku Will sesaat setelah guru yang mengajar keluar kelas.

"Will," panggilku. Will yang hendak membuka kotak makannya terhenti sesaat. Ia lantas mendongak melihatku yang agak gugup. "Bisa kita bicara sebentar?"

"Bicara apa?" Will memakan salah satu sosisnya yang berbentuk menyerupai gurita. Dia kemudian menunjuk kotak bekalnya dengan garpu sambil menatapku dengan mata yang berkilat. "Kau mau?"

Aku menggeleng cepat. "Kak Mindy sudah mengontakmu?" Sosis di depan mulutnya berhenti. Kumainkan jari-jari dengan gugup menunggu jawaban Will.

"Sudah kuduga," katanya sambil memakan brokoli. Ditelannya sayuran itu sebelum melanjutkan. "Kita bicarakan ini sepulang sekolah. Kau tidak ingin mengobrol sambil melihatku makan sementara kau sendiri keroncongan, 'kan?"

"Ah, oke." Aku lantas berbalik ke kantin menyusul teman-teman yang sudah pergi dahulu. Ada sesuatu yang menyesakkan di dada ketika Will mengatakan itu. Pantas saja dia sulit punya teman. Aku diusir!

...

Aku tidak langsung beranjak ketika bel berdentang. Kutunggu Will menghampiri, tetapi dia malah lewat begitu saja keluar kelas. Aku sempat ternganga sekejap dengan tingkahnya sebelum kususul.

"Will!" panggilku. Orang yang dipanggil hanya terdiam sebentar seraya melihatku lantas berjalan kembali. "Katanya kita bisa bicara." Aku merengut sambil menggembungkan pipi dengan kesal.

Will hanya melihatku dari sudut mata. "Ikut aku," katanya. Kami lantas pergi ke sebuah taman di area sekolah dekat salah satu gedung olah raga.

Aku duduk di salah satu bangku panjang yang terbuat dari semen berwarna kelabu dengan dudukan tegel hitam. Sementara itu, Will berdiri sambil bersandar ke pohon tak jauh di depanku.

"Bicaralah," kata Will dengan tangan terlipat di depan dada. Aku sebisa mungkin memendam kekesalan karena nadanya yang terdengar angkuh dan perilakunya yang mengabaikanku sebelumnya. Bagaimanapun, di sini aku yang membutuhkan bantuannya.

"Oke, jadi—" Ah, tunggu. Aku jadi terpikir sesuatu. "Apa maksudmu, 'Sudah kuduga'?"

"Sudah kuduga kalau 'Asa' yang dimaksud Kak Mindy adalah kau." Will menjawab tanpa melihatku seolah kuku-kuku tangannya lebih menarik.

"Bagaimana kau tahu?" Keningku mengerut seolah nama "Asa" hanya aku yang punya.

"Satu-satunya 'Asa'—seorang Lucid Dreamer—yang kakaknya koma, ya, hanya kau."

"Kau ta—"

"Kau ingin mengobrol denganku soal ini sampai malam?" Will akhirnya melihatku setelah puas dengan jari-jari tangannya.

"Oke, oke. Itu tidak penting." Aku mencoba menangkan Will yang sepertinya mulai kesal. "Kuasumsikan kau sudah tahu keadaanku. Jadi ...." Cowok itu mengangkat satu alisnya menungguku yang mulai takut akan ditolak. "Aku ingin meminta bantuanmu."

"Katakan."

"Oke ...." Kuatur napas perlahan. Kupikirkan setiap kata yang tepat dan efektif. "Kakakku katanya bukan hanya koma biasa. Kesadarannya tertahan di entah-apa-namanya. Dia hanya bisa diselamatkan oleh seorang Lucid Dreamer. Seperti yang kau tahu, aku seorang Lucid Dreamer, tetapi aku tidak tahu caranya. Kau bisa membantuku?"

Will membuang muka, melihat ke arah yang lain seperti menerawang. "Ada beberapa hal yang harus kautahu," jawabnya sambil kembali menengok kepadaku. Dia menunjuk satu jari di depan muka. "Pertama, nama yang tepat untuk tempat kakakmu berada saat ini adalah The Void atau Kehampaan."

"Okey ...."

"Kedua,"—jari tengahnya terangkat—"Lucid Dreamer biasa tidak bisa pergi ke tempat itu—"

"Kenapa?!"

Will berdecak karena aku memotong ucapannya. Jari manisnya bangun. "Ketiga, hanya seorang Oneironaut yang bisa masuk ke sana dan keluar hidup-hidup."

"One—apa?"

"O-ne-i-ro-naut," eja Will seperti aku ini orang dungu (bukan salahku kalau kata itu sulit dieja). "Orang-orang yang bisa melompat antar mimpi serta memiliki tugas khusus."

"Dan kau salah satunya?" Will mengangguk seraya menurunkan ketiga jarinya. "Berarti kau bisa membantuku, 'kan?" tanyaku penuh harap.

Cowok itu menggeleng sembari menunduk menutup mata. "Tidak," jawabnya sambil melihat ke depan.

"Ke ... kenapa?"

"Aku tidak punya cukup koneksi untuk menolong kakakmu."

"Hah?" Kali ini aku pasti benar-benar terlihat seperti orang dungu. "Bisa kau jelaskan satu-satu? Semua istilah ini membuatku pusing!" Aku memijat kepala yang akan meledak karena tidak paham dengan semua kata-kata Will.

Lawan bicaraku menghela napas berat, mungkin mulai jengah denganku yang tidak paham-paham; membuat semua ini sia-sia. "Dengar baik-baik, Asa. Beberapa orang yang koma, terkadang kesadaran mereka tertahan di suatu tempat yang namanya Kehampaan. Berada di kedalaman Unrealm—"

"Tunggu dulu, apalagi itu?"

Will menepak wajahnya kesal. Aku hanya bisa memberikan senyuman terbaik yang kupunya. Dari sela-sela jarinya, cowok itu menatapku pasrah. "Unrealm adalah tempat biasa kau bermain selama di mimpi, Asa," kata Will dengan suara tertahan.

"Oh, maksudmu Alam Mimpi? Aku biasanya menyebutnya begitu."

"Ya. Unrealm, Alam Mimpi, Alam Imaji, Alam Bawah Sadar. Semua sama saja. Tempat di mana semua mimpi terjadi. Tempat semua kesadaran bermula dan beristirahat." Will menjelaskan pelan-pelan. "Kau mengerti?"

Aku mengangguk. "Lumayan."

"Seorang Lucid Dreamer biasa, contohnya kau, hanya bisa jalan-jalan di wilayahmu sendiri—disebut teritori mimpi. Sementara Oneironaut, contohnya aku, bisa melompat antar teritori mimpi. Kehampaan berada di luar teritori. Sampai sini mengerti?"

"Mengerti."

"Oke, kulanjutkan." Will berdeham. "Untuk menyelamatkan seseorang di Kehampaan, kau harus punya koneksi dengan orang tersebut. Artinya, kau harus sangat dekat dengannya."

"Kenapa pula?"

Will berdecak lagi, sepertinya aku terlalu banyak bertanya. "Bayangkan kau mencari seseorang di tengah gurun tanpa petunjuk. Koneksi di sini berfungsi sebagai pemberi sinyal agar kau tahu ke mana arah yang harus ditempuh. Dan sayangnya aku tidak punya koneksi dengan kakakmu."

"Tapi aku punya ...."

"Tapi, kau bukan Oneironaut—"

Aku menepuk dada. "Maka jadikan aku salah satunya!" teriakku. Will terkejut karena suaraku naik tiba-tiba.

"Bukan hakku." Will menggeleng. Tangannya mengibas seperti mengusir lalat.

"Lalu siapa?"

"Somnium."

"Mimpi?"

"Ya, kau bisa minta padanya untuk dijadikan Oneironaut." Will mendekatkan wajahnya padaku. "Tapi, ada harga yang harus dibayar."

"Apa ... apa itu?"

"Kau harus bersedia melawan Nitemare."

"Nitemare?"

Will menjauh. "Makhluk yang menyerang mimpi seseorang. Kau harus mau melawan mereka sebagai kompensasi kekuatan yang kau miliki."

"Apa itu alasan kenapa kau ada di mimpiku semalam?"

Cowok itu memalingkan muka. "Benar." Sekarang semuanya jelas.

"Aku hanya tinggal memintanya saja, 'kan?" Will mengangguk. "Ini akan mudah." Kukepalkan tangan sebagai tanda tekadku yang sudah bulat.

Tak disangka, Will akhirnya tertawa. Tawa mengejek lebih tepatnya. "Kau pikir ini semua bakal mudah? Kalau begitu semoga beruntung." Cowok itu melambai sambil pergi.

Di tengah kekesalanku karena telah diejek, aku tetap mengucapkan terima kasih. Dia hanya memberikan jempolnya sebagai respons. Terlepas dari sikapnya yang dingin dan ternyata agak menyebalkan, Will orang yang baik. Terbukti dari niatnya yang bersedia menolongku walaupun akhirnya tidak bisa.

Aku beranjak dari taman. Saat keluar dari wilayah sekolah, aku tidak melihat Will di mana pun. Sepertinya dia sudah naik bus. Aku pun menunggu bus berikutnya dengan tidak sabar. Ingin segera tidur dan menyelamatkan Kak Danny secepat mungkin.

...

Rumahku punya dua kamar tidur. Dulu saat orang tuaku masih ada, Kak Danny dan aku sekamar. Memakai tempat tidur tingkat, aku di atas dan Kakak di bawah. Sekarang, Kak Danny pindah ke kamar sebelah. Aku jadi bisa pindah ke bawah dan tidak perlu takut terjatuh lagi seperti saat aku pertama kali tidur.

Aku memilih pulang terlebih dahulu agar bisa cepat tertidur dan dapat menyelamatkan Kak Danny lebih cepat. Tidur di rumah sakit dengan pencahayaan yang terang malah membuatku sulit melakukannya dan yang terjadi kemudian aku mendapat mimpi buruk. Jadi, kuharap dengan bertemu Mimpi dalam keadaan nyaman di rumah sendiri dapat membuatnya jadi lebih mudah.

Setelah berbenah diri dan menyelesaikan pekerjaan rumah, aku bersiap untuk tidur. Kasur sudah dirapikan agar nyaman. Posisi sudah yang terbaik, tinggal memejamkan mata dan pergi menemui Mimpi. Namun, kesadaranku tetap terjaga. Sekeras apa pun aku mencoba tidur, aku tidak bisa.

"Aaakhh!!!" Aku berteriak frustrasi. Baru kali ini aku sulit hanya untuk memejam. Biasanya sangat mudah bagiku masuk ke Alam Mimpi.

Kulihat jam di dinding dekat pintu. Pukul 18:30. Pantas saja. Aku terbiasa tidur pukul sepuluh malam. Tubuhku jadi menolak beristirahat karena belum waktunya.

Akhirnya, aku memutuskan main game sampai mataku lelah. Tadinya aku ingin mengajak Gema main beberapa ronde. Tapi, anak itu off dari kemarin. Aneh. Bukan tipe Gema yang menelantarkan akunnya sampai seharian penuh. Setidaknya kalau aku baru aktif, aktivitas terakhirnya paling tidak dua jam yang lalu.

"Bukan urusanku ...." Tapi, aku jadi tidak punya teman main.

Aku main solo. Setelah beberapa jam mata terpapar sinar biru gawai, mereka mula lelah. Aku mulai menguap beberapa kali. Kutanggalkan kacamata dan menyimpannya di nakas bersama ponsel.

Kubaringkan tubuh, mengambil posisi menyamping. Dalam hitungan kelima setelah aku menghitung domba yang melompat melewati pagar, aku akhirnya tertidur. Aku datang Mimpi.

Gelap. Bentuk geometris menari. Jaring-jaring lanskap membentuk. Dunia yang lain muncul. Sebuah transisi yang sudah biasa.

Unrealm. Tempat semua kesadaran bermula dan beristirahat. Kukira tempat ini hanya sesederhana "Alam Mimpi". Tapi, ternyata tidak. Masih banyak hal yang tidak aku tahu dari tempat ini. Teritori, Kehampaan, Oneironaut, dan mungkin masih ada lagi. Aku yakin itu.

Di sini, aku selalu mengawali petualangan di sebuah padang rumput terbuka dengan berbagai macam bunga. Langit biru yang gelap bertaburan bintang dan hamparan galaksi bagai sungai yang membelah angkasa. Namun, aku dapat melihat semua dengan jelas layaknya saat siang hari. Daun-daun hijau, pohon-pohon berwarna-warni, tanah cokelat berkarpet rumput. Mereka bergoyang saat angin berembus pelan.

Oke, sekarang aku harus mulai dari mana? Memanggil Somnium seperti ingin mengajak main?

Aku berteriak sekencang mungkin. "SOMNIUM!!!" Tidak terjadi apa-apa. "Hei, Entitas Mimpi!" teriakku sekali lagi. "Aku butuh bantuanmu!!!"

Hanya ada angin yang berembus pelan yang menjawab.

Kubentuk kedua tangan di depan mulut seperti pengeras suara. "Somnium! Somnium! Somnium!"

Aku berdecak. "Somni—" Sebuah cahaya muncul tiba-tiba di depanku. "Akhirnya."

Cahaya itu turun perlahan dari langit. Sedikit demi sedikit membentuk sebuah figur. Jubah putih panjang menutup seluruh tubuhnya, hanya menyisakan tangan dengan jari-jari yang panjang terbalut lengan pakaian yang menjuntai ke bawah. Kaki Somnium bahkan tidak terlihat. Dia melayang dengan jubah yang berkibar-kibar. Ada aksen keemasan yang membingkai sisi-sisi jubahnya. Lambang kubus Metatron menghias di ujung jubah bagian depan. Tudung kepala membungkus sampai aku tidak tahu bagaimana wajahnya. Dia selalu terlihat seperti memakai topeng porselen putih polos yang hanya menyisakan lubang mata yang berwarna hitam.

Somnium mendekat. Jari-jarinya menyentuh keningku. Dengan jarak waktu sepersekian detik, dia menyentilku sampai aku terjengkang. "Dasar tidak sopan."

"Aw ...." Kurasakan panas di jidat. Sepertinya ada asap yang keluar dari sana.

Aku bangkit sambil masih mengusap kening. "Bukannya aku sudah mengajarimu cara memanggilku dengan benar?" kata Entitas Mimpi dengan nada seperti seorang guru memarahi anak muridnya yang masih tidak paham padahal sudah diajari seratus kali.

Aku tersenyum canggung. "Lupa."

Pertama kali aku bertemu dengan Somnium alias Entitas Mimpi adalah ketika aku berumur lima tahun. Usia ketika seorang anak pada umumnya dapat mengingat dengan benar. Saat itu aku sadar sepenuhnya sedang bermimpi. Somnium datang dan mengatakan kemampuanku sebagai "Pemimpi Sadar" atau "Lucid Dreamer". Aku belum mengetahui apa maksudnya itu sampai beberapa tahun kemudian ketika aku mencari tahu tentang itu di internet.

Dia mengajariku bermacam hal sampai aku lupa apa saja yang sudah diajarkannya padaku waktu itu. Lagi pula, itu sudah lama. Sudah dua belas tahun yang lalu dari Somnium mengajariku cara memanggilnya dengan benar kalau aku butuh bantuannya. Wajar kalau aku tidak ingat ... 'kan?

"Ada apa, Asa?"

"Somnium," panggilku. "Aku ingin menjadi seorang Oneironaut."

"Kenapa?"

"Aku ingin menyelamatkan kakakku. Dia berada di Kehampaan. Katanya hanya seorang Oneironaut yang punya koneksi dengannya yang bisa menyelamatkannya."

"Tidak." Mimpi menjawab singkat. Telak, tepat sasaran. Untuk sesaat, ada yang hancur. Sebuah harapan terakhirku. Namun, aku tidak menyerah begitu saja.

"Kenapa?" tanyaku meminta alasan yang masuk akal.

"Kau belum layak."

"Kumohon, Mimpi. Hanya itu satu-satunya cara agar aku bisa menyelamatkan Kak Danny."

"Menjadi seorang Oneironaut perlu tanggung jawab yang besar," ucap Somnium sambil melayang memutariku. "Biasanya aku yang meminta seseorang untuk menjadi salah satunya, karena kemampuan orang-orang tersebut. Tapi, kau ...." Dia berhenti di tempatnya semula lantas melihatku dari atas sampai bawah. "... tidak memilikinya."

Aku mematung, tidak percaya dengan apa yang kudengar. Kuyakinkan dia kalau aku bisa. "Belum," timpalku. "Bagaimana caranya agar aku bisa membuktikan padamu kalau aku pantas?"

"Bawa seseorang untuk meyakinkanku. Buktikan padaku kalau kau memang layak untuk sebuah kekuatan yang dapat membengkokkan realitas."

Aku menenggak ludah. "Baik. Akan kupastikan itu."

"Lain kali, panggil aku dengan benar," pungkas Somnium sebelum menghilang menjadi butir-butir cahaya yang kemudian terbang ke langit.

Aku jatuh berlutut. Sekarang, tinggal bagaimana caranya aku meyakinkan Will untuk membantuku lagi. Satu-satunya harapan yang kumiliki.

~~oOo~~

A/N

Inikah tanda akan adanya sebuah hubungan yang baru?

Pertanyaan untuk bagian ini: Kalau kalian punya kemampuan lucid dream, apa yang akan kalian lakukan?

***

Diterbitkan: 05/05/2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro