🦋Acara Mantan🦋

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


✽Jodoh adalah dia yang dikirim Tuhan untuk mengajak kita memperbaiki segalanya demi masa depan. Bukan dia yang terus mengintimidasi tentang masa lalu yang seharusnya dibuat pelajaran✽

***
Insyaallah Jodoh by Galuch Fema



Langkah Rindi terhenti tetapi tidak dengan denyut nadinya, ia menatap tak percaya Diaz yang lancang berkata seperti itu. Mengamati wajah laki-laki itu  berusaha mencari kebohongan di kedua matanya tetapi keseriusan yang ada wajah itu mengisyaratkan jika ini adalah nyata bukan halusinasi semata.

“Kamu lagi bercanda, kan?”
Lengan Diaz digoyangkan  berusaha membangunkan agar terbangun dari mimpinya.

“Apa wajah saya terlihat seperti berbohong?”
Posisi Rindi semakin terpojok, ia pelan-pelan melepaskan tangan pada lengan itu. Sementara Bram dan Roy ikut mendengar apa yang mereka bicarakan. Sepertinya mereka juga geram mendengar pemuda itu lancang berbicara pada anak majikannya.

“Tujuan awal kita hanya sandiwara semata, tidak lebih. Apalagi menikah dengan kamu karena hatiku masih mencintai Arif.”

Diaz tersenyum nanar, hatinya merasa nyeri akibat goresan luka di dalam sana. Beberapa pertemuan singkat ternyata bisa menghadirkan rasa yang entah dari mana datangnya. Namun, hari ini impian untuk memiliki kandas sudah. Padahal nama gadis ini yang  sekarang menjadi perbincangan setiap salat di sepertiga malam

“Sudah saya duga. Berarti saya salah besar, seharusnya kamu mengingat pilihan yang saya ajukan kemarin agar kamu terlihat menang di mata Arif. Tidak perlu datang sama sekali atau ....”

“Aku datang bersama suami. Ya ampun, kenapa malah kita membicarakan hal yang tidak  penting,” tukas Rindi sambil mengibaskan jemarinya. Baju dan kerudung yang ia kenakan terasa sangat panas ditambah situasi seperti ini.

“Sepertinya lebih baik saya pulang saja.”
Rindi langsung panik, tak mungkin jika persiapan yang sudah maksimal seperti ini akhirnya harus gagal total gara-gara permintaan tak masuk akal.

“Oke, oke nanti kita bicarakan lagi karena sekarang yang penting adalah datang ke acara Arif.”

“Saya pegang kata-katamu. Masuklah!” perintah Diaz kepada Rindi untuk masuk ke dalam mobil.

Mereka duduk berdampingan dan dua bodyguard sudah duduk di depan. Diaz harus terbiasa jika nantinya bakal ikut dikawal karena orang di sampingnya sudah seperti anak sultan.
Hampir sepuluh menit masih bertahan di mobil padahal mereka sudah sampai dari tadi. Wajah Rindi yang tampak panik dengan butiran keringat yang sudah keluar dari kening membuat Diaz menyerahkan sehelai tisu kepada Rindi.

“Apa lebih bagus tidak masuk sekalian daripada kamu belum siap menerima kenyataan yang ada?” saran Diaz sedikit melonggarkan kancing kemeja di lehernya. Sebenarnya ia juga sedikit gugup harus bertemu dengan Arif —sosok yang membuat Rindi hampir gila,  sampai berniat bunuh diri.

“Tidak apa-apa, kita masuk saja,” jawab Rindi sambil mengumpulkan keberanian untuk bertemu dengan mereka,  karena nantinya di dalam pasti akan bertemu dengan Arif, teman-teman serta orang tua Arif yang sangat dikenalnya. Pasti akan menjadi sorotan utama jika ia ikut bergabung ke acara mereka.

“Kamu harus percaya diri jika kamu bisa melewati ini semua, buktikan kamu itu kuat dan tangguh bukan gadis yang lemah. Tidak perlu takut karena saya tidak akan meninggalkanmu sendirian.”

Rindi pura-pura mengangguk sambil terus menguatkan dirinya. Yang ditakutkan adalah ia  lemah atau barangkali pingsan melihat kemesraan Arif dengan pasangannya.

“Ayo turun, buktikan pada mereka jika kita  yang menjadi peran utama di acara ini.”

Tak henti-hentinya Diaz memberikan semangat pada gadis lemah seperti Rindi.

“Tak perlu diantar. Tunggu saja di sini, saya bisa menjaga dengan baik anak majikan kalian!” perintah Diaz pada Bram dan Roy karena risi juga ke mana pun dikawal seperti itu.

Dua orang dengan tubuh kekar itu saling berpandangan, jika terjadi sesuatu bakal kena amuk Baskoro—majikan mereka yang terkenal dengan tangan dingin.

Diaz menoleh ke wajah di samping yang masih
membisu. Pelan-pelan Rindi merengkuh lengan Diaz sambil memupuk rasa percaya diri yang hampir luntur. Rindi menatap lagi ke arah Diaz yang sedang tersenyum ke arahnya. Laki-laki ini juga tak keberatan jika  sekarang sedekat ini karena biasanya selalu menjauh jika mereka berdekatan.

“Sebentar ada yang lupa. Apa panggilan kamu ke saya? Tak mungkin memanggil nama karena nantinya Arif curiga jika kita sandiwara semata.”

Rindi mengernyitkan keningnya. Mengamati wajah Diaz sambil memikirkan kata yang pas untuk dia.

“Kakak?”

Diaz menggeleng sambil cemberut.

“Bapak?”

Lagi-lagi menggeleng tetapi yang sekarang agak kesal karena panggilan itu. Setua itukah sampai Rindi memanggil dengan sapaan bapak.

Sementara Rindi juga bingung, wajah yang sudah matang membuat Diaz terlihat wibawa apalagi ketika memakai baju dinas saat mengajar di sekolah.

“Terus aku panggil apa? Sayang? Honey? Cinta?” tukas Rindi bingung karena sepertinya tak ada kata yang cocok untuk Diaz.

Diaz mendengkus kesal sambil berucap, “Mas.”
Rindi mengangguk sambil menirukan yang barusan diucapkan. “Mas Diaz.”

Diaz tersenyum puas apalagi Rindi terus mengulang dua kata itu, sebelum wajah berubah kembali kesal karena tambahan kata Rindi yang menjengkelkan.

“Semoga tidak lupa.”




Dekorasi, alunan musik dan tamu undangan menjadikan acara ini sudah seperti acara resepsi pernikahan. Ketika mereka mulai masuk,  semua  pasang mata mengarah kepada sepasang sejoli yang baru datang. Jika Rindi memilih menunduk, lain dengan Diaz yang memasang wajah tenang seolah tak terjadi apa-apa. Diaz sendiri bisa merasakan jika pegangan tangan di lengannya sangat erat seakan meminta perlindungan darinya.

Bagi Rindi jarak antara pintu menuju panggung kecil terasa sangat memakan waktu, itu semua karena bisik-bisik tamu undangan. Entah apa yang mereka bicarakan tetapi bersama Diaz hatinya sedikit tenang.

“Rindi? Kamu Rindi?” tanya seorang yang suaranya sangat Rindi kenal. Bagaimana bisa melupakan jika setiap malam selalu memutar voice note di aplikasi Whatsapp. Rindi menahan mati-matian agar ia tak menangis di hari bahagia mantannya.

“Selamat, ya?” sahut Rindi memandang ke depan, bukan ke arah Arif melainkan perempuan di samping Arif yang terlihat sangat cantik ibarat artis, masih sangat jauh dibandingkan dengan dirinya. Pasangan yang sempurna apalagi Arif terkenal primadona saat masih kuliah. Diaz juga terus mengamati Arif, pantas saja Rindi keberatan untuk ditinggalkan karena mantan Rindi mempunyai tampang di atas rata-rata.

“Siapa dia?” tanya Arif tak percaya dengan laki-laki yang digandeng Rindi. Ucapan Arif yang tak disengaja membuat perempuan cantik itu mencubit lengan tunangannya.

“Ayo kita turun,” tukas Rindi sambil berjalan dan bersalaman  dengan kedua orang tua Arif. Laki- laki paruh baya dengan rambut yang sudah putih alias uban tengah menatap anak sahabatnya,  ada rasa menyesal telah memberikan izin putranya menikah dengan perempuan lain, imbasnya sekarang bisnis menjadi taruhan.

“Kita pulang sekarang,” ajak Rindi sambil mempererat genggaman tangan pada lengan Diaz tetapi laki-laki itu menolak.

“Kita makan dulu.”

“Aku tak tahan melihat mereka di sana.”

Ada rasa iba melihat Rindi seperti itu tetapi Diaz sendiri ingin membalas apa yang pernah dilakukan Arif pada Rindi. Diaz memaksa Rindi untuk mengambil makanan, yang membuat Rindi heran adalah laki-laki itu tak ikut mengambil hanya menemaninya saja. Rindi tak bisa berbicara banyak, seolah lidah kelu melihat pasangan bahagia di sana. Ketika impiannya bisa berada di samping Arif tetapi kenyataan tak berpihak pada Rindi.

“Kita duduk di sini,” tukas Diaz yang sudah menarik kursi untuk tempat duduk Rindi.

“Aku mohon jangan di sini,” tolak Rindi yang sudah hampir menangis, entah mengapa Diaz malah sengaja memilih kursi paling depan, berhadapan langsung dengan mereka.

“Kamu percaya sama calon suami kamu, kan?”
Rindi langsung terbelalak kaget, niat hati mau menitikkan air mata malah tidak jadi karena rayuan maut Diaz. Buru-buru dia duduk tetapi memilih menyamping karena enggan melihat mereka. Di luar dugaan Diaz melakukan hal yang sama sehingga sekarang mereka duduk berhadapan. Laki-laki itu lalu mengambil piring di tangan Rindi dan meraih sendok yang sudah berisi makanan untuk disuapkan pada Rindi, sama  seperti mereka saat di kontrakan.

“Makanlah.”

Dengan ragu Rindi menerima suapan itu walaupun sebenarnya selera makan sudah hilang sama sekali. Jika tak dibujuk Diaz mungkin ia memilih mengakhiri makan.

“Kenapa tidak mengambil makan?” tanya Rindi di sela-sela mengunyah nasi. Diaz sangat perhatian kepada Rindi yang setia menyodorkan minuman atau tisu untuk diusapkan pada bibir Rindi. Pada awalnya Rindi terkejut tetapi kerlingan mata Diaz membuat Rindi paham permainan yang sedang direncanakan oleh laki-laki itu. Perlahan Rindi sedikit rileks karena Diaz terus memberikan perhatian kepada dirinya.

“Sepiring berdua saja biar romantis.”

Keduanya langsung tertawa seperti tak ada beban sehingga  membuat satu orang laki-laki di sana  sudah panas melihat kemesraan mereka. Sambil menyalami tamu yang hadir, ekor mata terus menatap Rindi yang terlihat anggun dan cantik dengan penampilan barunya sekarang.

Bahkan secara tak sadar, Arif perlahan turun dan meninggalkan tamu untuk segera mendekati mereka.

“Rin, bisa ikut aku sebentar? Ada  hal yang harus kita bicarakan,” tukas Arif yang sudah ikut bergabung dengan mereka.

Gadis itu terkejut ia tak berani menatap samping. Ia lebih memilih menatap Diaz sambil menggoyangkan tangan Diaz mengajak untuk pergi.

“Maaf apa tidak bisa disampaikan di sini saja. Saya sebagai calon suami juga berhak tahu apa yang kalian bicarakan.”

Arif syok setengah mati dengan kejutan ini.

“Calon suami? Apa kalian sudah bertunangan?”

“Kami tidak akan tunangan karena  langsung memilih akad saja. Betul kan, sayang?”

Rindi menaikkan pandangannya sambil mendelik pada Diaz yang terlihat tenang-tenang saja.  Panggilan seperti  itu seketika langsung membuat perutnya  mulas.

꧁ᬊ᭄𒆜 '''Insyaallah Jodoh''' 𒆜ᬊ᭄꧂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro