🦋Pengakuan Diaz🦋

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

✽Jodoh tak pandang banyak harta atau tidak. Jodoh tak pandang berapa pertemuan yang sudah ditempuh. Jodoh tak pandang siapa dulu yang datang menjemput✽

***
Insyaallah Jodoh by Galuch Fema


Rindi mengangguk dengan ragu, walaupun hatinya sangat bertolak belakang. Rencana pertama adalah memanasi Arif bukan membicarakan masalah pernikahan Diaz dengan Rindi yang entah kapan itu terjadi.

“Yakin pilihan kamu jatuh pada laki-laki seperti dia?” ejek Arif merasa kurang menerima pasangan Rindi sekarang. Ia mengira Rindi akan memilih laki-laki yang lebih segalanya dibandingkan dirinya.

“Kita saling mencintai dan menerima kekurangan satu sama lain. Betul kan, honey?”

Rindi tersenyum manis kepada Diaz. Namun, laki-laki yang dipanggil honey merasa sangat terkejut. Bukan karena kata kunci panggilan Rindi yang salah karena sesuai perjanjian harus menyebut kata mas bukan honey, melainkan kata-kata Rindi yang terasa mengena dalam hati Diaz.

Diaz sempat syok dan bergeming. Ia menyesal karena ini hanyalah sandiwara semata. Mungkin detik ini, dirinya bisa terbang tinggi tetapi setelah acara ini selesai akan kembali ke kehidupan nyatanya. Seorang guru dengan usia matang siap menikah tetapi belum mempunyai calon. Angan yang  terlampau tinggi untuk bisa bersama  Rindi adalah  sesuatu yang sangat mustahil.

“Mas?” panggil Rindi sambil menggoyangkan tangan Diaz.

“Eh apa? Iya kita saling mencintai,” jawab Diaz gugup tetapi ucapan itu murni berasal dari lubuk hatinya.

“Kamu pasti akan menyesal?” ejek Arif meradang melihat kemesraan mereka apalagi sekarang di depan mata Arif  melihat  laki-laki itu tengah menyuapi es krim untuk Rindi.

“Aku tidak akan pernah menyesal memilih Mas Diaz. Justru aku menyesal karena telah terbuai rayuan laki-laki masa lalu yang memutuskan hubungan secara tiba-tiba karena memilih perempuan lain,” sindir Rindi menatap perempuan yang tengah berjalan mendekati mereka bertiga.

“Kamu tidak akan bahagia hidup bersama sampah seperti dia. Jika bosan pasti akan kamu tinggalkan karena aku tahu tipe kamu bukan seperti dia,” sumpah serapah Arif setengah mengancam membuat Rindi langsung ketakutan.
Diaz langsung berdiri dan meradang ketika mendapatkan  ucapan kasar dan tidak sopan seperti itu, ia masih mempunyai harga diri.

Walaupun ia sebagai tenaga pengajar tetapi masih mending dibandingkan laki-laki yang hanya menikmati harta orang tuanya.

“Tolong jaga ucapan! Tak seharusnya berkata demikian apalagi untuk seorang anak terpandang seperti Anda,” sindir Diaz terus mendekatkan tubuhnya siap melawan siapa saja yang menyakiti hati Rindi.

“Sudah, Mas. Kita pulang saja.”
Rindi ikut berdiri karena Diaz siap menantang Arif bahkan keduanya sudah saling berhadapan, mungkin jika tak ditahan akan terjadi baku hantam di sini. Tunangan Arif juga sudah memegang tubuh Arif agar kembali ke atas panggung. Setelah sampai detik ini akhirnya Icha paham siapa perempuan yang ditemui Arif.

“Lebih baik kalian pergi dibandingkan mengganggu acara saja,” bisik Arif di dekat Diaz. Rindi langsung merengkuh lengan Diaz untuk  mengajak keluar.

“Siapa dia?” tanya Icha hati-hati setelah kembali ke atas panggung. Arif menggeleng sambil mengucapkan jika bukan siapa-siapa. 

Hati Icha sangat sedih karena tadi sempat mendengar orang tua Arif berkata  jika gadis itu adalah masa lalu Arif. Icha sangat terpukul bahkan air mata sudah menari di pelupuk matanya. Pernikahan yang tinggal selangkah lagi tidak boleh gagal mengingat ada makhluk kecil di perutnya.

Rindi  terpekur sambil melihat layar di ponselnya membuat Diaz  bertanya-tanya. Bukankah barusan terlihat bahagia saat menceritakan kembali kejadian di dalam yang membuat Arif panas dingin.

“Kenapa? Apa yang kamu pikirkan?” tanya Diaz hati-hati sambil terus memperhatikan wajah murung Rindi, sayang hanya gelengan yang membuat Diaz semakin penasaran.

“Tidak perlu berbohong. Saya tak suka dibohongi.”

Rindi terdiam memilih menunduk sambil memperhatikan  layar  ponsel yang tiba-tiba menyala lagi mengundang kecurigaan Diaz. Apalagi sekarang laki-laki itu merebut ponsel dan langsung menjawab panggilan di sana.

“Jangan ganggu calon istri saya.”
Diaz mengucapkan kalimat yang tidak panjang tetapi maknanya sangat dalam, lebih baik ponsel dimatikan daripada mengganggu Rindi yang masih labil.

“Tidak perlu meladeni manusia seperti itu, jelas-jelas sekarang acaranya dia bersama tunangannya tetapi masih menghubungi perempuan lain.” Diaz ikut kesal melihat ulah Arif yang membuat Rindi berubah  menjadi murung kembali.

“Kita pulang saja,” tukas Rindi mengajak Diaz masuk ke mobil apalagi dua orang tubuh kekar masih berada tak jauh dari mereka.

“Kita salat dulu, sudah masuk zuhur. Di depan ada masjid,” ajak Diaz pada Rindi agar tak jadi memasuki mobil.

“Aku tunggu di mobil saja, di luar panas.” Lagi-lagi mengibaskan tangan karena memang sangat gerah. Sepertinya di dalam mobil dengan AC menyala ditambah musik bisa menetralisir pikiran yang runyam.

“Tidak ikut salat?”

“Malas,” ucap Rindi secara gamblang dan tak takut dosa.

“Kamu sudah berjanji jika saya memenuhi keinginan kamu sebaliknya juga kamu menurut sama saya.” Diaz mengingatkan kembali perjanjian mereka.

“Keinginan lain bukan ibadah, kan?” protes Rindi tak mau terima perintah Diaz begitu saja.

“Ibadah itu penting. Saya menginginkan kamu untuk menjadi pribadi lebih baik lagi. Cuma empat rakaat saja , setelah kita itu kita berdoa bersama atas dosa kita barusan.”

“Dosa apaan?” Rindi bergidik ngeri sambil mengusap lengannya, pikiran langsung negatif.
Diaz memaksa Rindi untuk masuk ke masjid karena jika tidak,  akan membeberkan semuanya pada Arif jika Rindi tetap menolak keinginannya.

Sebenarnya itu trik  Diaz agar mereka bisa salat bersama, kapan lagi ditakdirkan mempunyai kesempatan seperti ini. Membujuk Rindi amat susah karena selalu banyak alasan dari bibir itu.

Tidak membawa mukena, repot harus lepas kerudung  dan lain sebagainya membuat Diaz mengelus dada. Untuk sebagai makmum bukan perkara sulit karena tinggal mengikuti imam saja. Hati Diaz sedikit lega karena yang menjadi makmum tidak hanya Rindi tetapi Bram dan Roy juga ikut salat bersama.

“Kok tidak dipakai lagi?” Laki-laki itu sedikit terkejut melihat penampilan Rindi yang sudah melepas kerudung dan menyimpan di tas.

“Panas.”

“Lebih panas api neraka dibandingkan panas matahari di dunia,” nasihat Diaz sambil mengeluarkan kembali kerudung itu untuk diserahkan kepada gadis yang sudah mengerucutkan bibirnya tanda keberatan memakai itu kembali. Keduanya masih bertahan di serambi masjid, duduk masih berjauhan.

“Kamu tadi menyebutkan dosa bersama? Memang kita melakukan apa?” Rasa penasaran itu masih mengganggu konsentrasi Rindi. Bahkan salat pun tadi tak membaca apa-apa karena masih memikirkan dosa itu dan juga lupa  bacaan salat.

“Berbohong kepada Arif dan semuanya, berpura-pura seperti pasangan pada umumnya. Selama ini saya tidak pernah bermain sandiwara seperti tadi.”

“Masa? Aku tidak percaya? Sepertinya yang tadi bersamaku bukan Diaz yang aku kenal. Sepertinya kamu menguasai permainan  tadi seolah-olah aku seperti pasangan kamu beneran.”

“Dari semalam saya belajar bagaimana bersikap romantis sama perempuan melalui info dari google.”

Meledaklah tawa Rindi dengan kencang, bagi dia ini sangatlah lucu.  Di jaman seperti ini masih ada laki-laki lugu seperti Diaz.  Mau menggombal perempuan harus lihat google segala.

“Lucu, ya?”
Rindi mengangguk tetapi masih bisa menahan tawa sambil menutup mulutnya.

“Iya, lucu. Memang sebelumnya tidak pernah pacaran atau dekat dengan perempuan?” selidik Rindi tak percaya.

Diaz menggeleng. “Baru pernah dekat seperti ini ya bersama kamu.”

Rindi mengangguk karena tidak akan tahu kelanjutan kisah berikutnya.

“Saya menginginkan jika apa yang  telah terucap tadi menjadi kenyataan biar tidak ada dosa karena suatu kebohongan.”
Rindi bingung, ia tak paham maksud Diaz.

“Saya suka sama kamu dan berharap kamu menjadi calon istri saya sesungguhnya.”
Rindi terenyak kaget dan menatap Diaz tak percaya.

꧁ᬊ᭄𒆜 '''Insyaallah Jodoh''' 𒆜ᬊ᭄꧂










Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro