🦋Kesalahpahaman🦋

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


✽Allah mendengar kata yang tak terucap, melihat luka yang tersembunyi dan menyembuhkan sakit yang tak tertahan✽

***
Insyaallah Jodoh by Galuch Fema




Rindi menatap kedua mata Diaz yang menaruh harapan besar kepadanya. Mata itu terasa hangat tetapi belum bisa mencairkan hatinya yang masih beku. Apalagi Rindi sama sekali belum berpikir untuk membuka hati pada orang lain termasuk Diaz.

“Ak-aku....”

“Kenapa? Saya cuma menagih janji kamu saja, tadi sempat bilang  jika setelah acara lamaran Arif, kita membicarakan masalah ini sesuai kesepakatan.”

Rindi langsung panik habis, posisi semakin terpojok. Ia kehabisan kata-kata untuk menjawab pertanyaan Diaz. Ia mengira jika laki-laki ini tak akan membahas masalah ini tetapi nyatanya sekarang secara tidak langsung Diaz melamarnya di saat dirinya sama sekali belum siap menerima laki-laki mana pun.

“Maaf, aku tidak bisa karena —“

“Masih mencintai Arif dan berharap dia akan balik lagi sama kamu,” sambung Diaz pura-pura tersenyum di atas luka dalam hatinya.

“Sudah saya duga.”

Diaz tertawa dan berbicara sendirian karena Rindi sama sekali tak menimpali ucapannya. Gadis itu masih menunduk sambil sesekali menatap kedua bodyguard.

“Baiklah tidak apa-apa, saya bisa menerima apa pun keputusan kamu. Sebelumnya minta maaf karena telah lancang berbicara seperti ini, seharusnya paham jika saya siapa dan kamu siapa. Perbedaan kita terlampau jauh.”

“Bukan seperti itu, cuma aku sedang tidak mau berhubungan dulu dengan laki-laki.” Rindi merasa tidak enak, di satu sisi nyaman ketika bersama Diaz tetapi di dalam hati belum bisa menerima Diaz sepenuhnya.

“Jika Arif mengajak balikkan, apa kamu masih mau tetap menerima laki-laki seperti dia?”
Entah mengapa tiba-tiba  Rindi  refleks mengangguk menyebabkan Diaz semakin memantapkan hatinya untuk tidak menaruh harapan besar pada gadis itu.

“Baiklah, saya pergi dulu. Kebetulan ada acara tak jauh dari tempat ini.” Diaz sengaja melepaskan kancing paling atas karena lama kelamaan seperti mencekik lehernya sehingga sulit untuk  bernapas. Menggulung lengan panjang sampai siku agar terasa lebih santai.

Sebenarnya tak ada acara lagi yang ia hadiri tetapi perjalanan pulang bersama Rindi yang ada malah membuat perasaannya semakin  dalam, cukup kesendirian yang bisa mengobati luka hati ini.

Rindi buru-buru membuka tas dan mengeluarkan beberapa lembar uang untuk segera diacungkan pada Diaz.

“Imbalan  untuk hari ini.”

“Imbalan apa?”

Diaz terkejut  karena tak paham maksud dari pemberian uang dari Rindi. Ia mengernyit keningnya sambil melihat geliat Rindi yang terlihat panik dan bingung.

“Anggap saja sebagai  hadiah karena telah ikut membantu menemani dan membalas dendam pada Arif.”

Perkataan Rindi seperti tamparan untuk Diaz, ia tidak menyangka jika ia dianggap seperti orang suruhan yang bisa dibayar setelah pekerjaan  selesai. Luka di hati tambah terasa nyeri membuat wajah ikut panas karena meradang.

“Tidak perlu. Saya bukan orang suruhan sepeti mereka. Saya melakukan dengan ikhlas tanpa mengharap imbalan apa pun.”

Rindi semakin tak enak hati. Suasana menjadi kaku dan tidak seakrab seperti tadi di dalam ruangan saat mereka memanggil sayang satu sama lain.

“Mungkin lusa  baru mengembalikan baju ini karena   besok baru saya cuci,” tukas Diaz sambil memperlihatkan kemeja batik yang masih ia kenakan.

“Tidak perlu, ambil saja.”

Lagi-lagi Diaz merasa direndahkan seperti barusan. “Kenapa? Apa orang kaya seperti kamu tak mau lagi menerima baju yang pernah dipakai orang lain? Masih mampu untuk membeli yang baru dibandingkan menerima baju bekas,” sindir Diaz dengan nada ketus. Ia memilih menatap samping.

Hari ini ia melakukan kesalahan sangat besar, berbohong untuk memuluskan rencana orang lain dan menyesal karena telah menitipkan hatinya pada orang angkuh dan sombong .

Rindi terkejut, sebenarnya ia hanya ingin memberikan kemeja itu sebagai kenang-kenangan karena Diaz memilih tidak menerima pemberian uang darinya tetapi Diaz malah menganggapnya lain dan terjadi  kesalahpahaman.

“Bukan seperti itu, aku cuma—“

“Saya permisi dulu. Assalamualaikum,” sahut Diaz pergi begitu saja karena ingin menyudahi pertemuan yang menyakitkan seperti ini. Percuma saja tadi selepas salat zuhur melangitkan nama seseorang yang menjadi makmumnya.

Sambil berjalan lunglai menapaki trotoar, hatinya terus beristigfar memohon ampunan  atas dosa hari ini. Ternyata menaruh harapan besar kepada pasangan yang belum halal akan terasa menyakitkan seperti ini. Baru kali ini jatuh cinta dan baru kali ini pula rasa itu dipatahkan berkali-kali.



✽✽✽



Suasana tegang antara Baskoro dengan istrinya terjadi di ruang tamu, wanita itu   menolak dan tak mau sepaham dengannya. Keduanya saling mempertahankan keinginan masing-masing tanpa ada yang mau mengalah.

“Sudahlah, jangan turut campur dengan urusan mereka.”

“Bagaimana tak mau turut campur, saya tidak mau melihat Rindi dekat orang tak jelas seperti laki-laki itu.” Baskoro kembali teringat laporan Bram jika laki-laki itu melamar putrinya. Untung saja Rindi belum memberikan keputusan.

“Tidak jelas bagaimana? Dia guru, pekerjaan yang sangat mulia.”

“Dia bukan pejabat atau anak pengusaha. Tidak pantas Rindi mendapatkan suami seperti itu, bakal bisa hancur keturunan Baskoro.”

“Istigfar, tidak semua diukur dengan harta. Kadang kesederhanaan  bisa membuat hidup orang bahagia tanpa harus  bergelimang harta,” nasihat istri Baskoro.

Baskoro tambah meradang, entah dari mana istrinya bisa membela guru itu padahal mereka baru pertama kali bertemu. Sepertinya ia harus minum obat turun tensi, baru kali ini istrinya tak menuruti perintahnya. Baskoro sepertinya harus berjuang sendiri tanpa dukungan siapa pun.

“Aku sepertinya harus mengembalikan Arif kepada Rindi agar bisa bersatu lagi,” umpat pria itu sambil meletakkan kedua tangan di pinggangnya.

“APA!” pekik istri Baskoro histeris. Untung saja Rindi sedang pergi keluar sehingga tidak mengetahui keributan di rumah.

“Arif sebentar lagi akan menikah, bisnis merger dengan keluarga Arif juga sudah putus. Kenapa masih bisa-bisanya menyatukan hubungan mereka?”

“Ayah cuma menggertak saja  agar mereka jera karena sudah bermain dengan keluarga Baskoro,” ucapnya dengan sangat geram. Namun, sepertinya Baskoro harus melenyapkan Diaz terlebih dahulu karena nanti ditakutkan menghambat rencananya.

“Mamah paling tidak setuju jika mereka balikan.”

Wajah Baskoro kembali  meradang  karena emosinya sudah meledak.

“Sepertinya ayah harus memberi pelajaran dulu sama guru itu karena Mamah bisa-bisanya terus membela dia.”

Istri Baskoro membeliak marah, entah apa yang merasuki otak suaminya. Padahal Diaz sudah berjasa besar menyelamatkan Rindi. Perihal lamaran seperti itu sudah membuatnya kalang kabut, padahal bawahannya jelas-jelas jika putrinya menolak lamaran itu.

“AYAH!”

Senyum licik Baskoro mengembang di bibirnya. “ Cuma mengancam saja, tidak akan membunuhnya.”

✽✽✽


Kebersamaan dengan murid membuat Diaz sedikit melupakan sosok Rindi, namun masih saja belum bisa mengobati luka hatinya.

“Pak, saya tinggal dulu. Istri saya sedang tidak enak badan,” sahut Pak Sholeh merasa tidak enak hati karena biasanya ia pulang terakhir bukan guru itu.

“Tidak apa-apa, saya yang nanti mengunci gerbang sekolah,” sahut Diaz sambil mengusap kepala muridnya yang masih bertahan di sekolah karena belum dijemput.

“Terima kasih. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam,” sahut Diaz dan Reno berbarengan. Sekarang tinggallah mereka berdua di sekolah yang sudah sepi. Menjadi rutinitas jika gadis kecil ini dijemput paling terakhir mengingat orang tua Reno baru bisa jemput sepulang kerja.

“Itu Mamah!” pekik Reno dengan riang ketika melihat sepeda motor matic warna merah memasuki halaman sekolah. Seorang wanita itu turun dari motor dan langsung memeluk putrinya.

“Terima kasih, Pak Guru sudah menemani Reno,” sahutnya sambil tersenyum manis. Wanita single parent  yang digadang-gadang menaruh simpati kepada Diaz. Dukungan mengalir juga dari beberapa guru di sini agar Diaz menerima wanita itu untuk menjadi bapak angkat Reno tetapi Diaz memilih memikirkan dulu karena memang ia dekat dengan anak didiknya bukan ibunya.

Setelah mengeluarkan mobil miliknya, Diaz lalu mengunci pagar depan sekolah. Sebuah tepukan ringan di bahu Diaz membuat pemuda itu langsung menoleh ke belakang. Hatinya berdesir hebat mensinyalir akan terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan ketika melihat wajah Baskoro yang menyeringai tepat di depan muka Diaz.

꧁ᬊ᭄𒆜 '''Insyaallah Jodoh''' 𒆜ᬊ᭄꧂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro