🦋Cemburu🦋

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

✽Sedikit pun tidak memudar, tidak hilang, bahkan masih sama, hanya saja sedang diuji untuk tidak saling bersama✽

***
Insyaallah Jodoh by Galuch Fema

Happy reading jangan lupa vote

Peluh merintiki dahi Diaz yang sedang menunduk untuk mengunci engsel pintu bagian bawah, bukan karena terik matahari siang ini yang menyengat melainkan tatapan Baskoro yang tak berkedip ke arahnya. Pemuda  berkulit sawo matang itu hanya bisa tersenyum dengan sopan agar bisa meluluhkan hati pria tersebut.

“Cuma pesuruh  sekolah tetapi berani-beraninya mendekati putri konglomerat keluarga Baskoro,” ucapnya dengan angkuh. Kedua tangan dilipat di depan dada, kepala dinaikkan memberikan tatapan arogan kepada Diaz yang semakin terpojok. Belum tawa kedua laki-laki lain, satu jangkung dan satu lagi perut gempal dengan tato di lengannya membuat suasana semakin panas karena sindiran Baskoro.

“Untuk apa Bapak menemui saya? Apa ada  sesuatu hal penting untuk dibicarakan bersama saya?” tanya Diaz masih menjaga kesopanan walaupun nyali mendadak ciut karena orang yang ia hadapi suka main tangan kalau emosi sudah meledak.

“Bagus, setidaknya kamu manusia cerdas menanyakan seperti itu. Setidaknya otak kamu bisa  berpikir karena bisa menebak kedatangan saya kemari.”

Diaz menahan sabar mati-matian, ia kembali mengingat perjuangan orang tuanya membiayai kuliah sampai harus menjual ternak sapi untuk mendaftar kuliah di universitas ternama agar anaknya bisa menjadi guru. Di desa terpencil merupakan suatu kebanggaan tersendiri jika anak mereka menjadi tenaga pengajar di sekolahan.

“Langsung katakan saja keperluan Bapak tanpa harus merendahkan saya,” tukas Diaz sambil menaikkan intonasi suaranya. Kalau sudah menyangkut tentang pengorbanan orang tuanya ia tak akan tinggal diam.

“Jauhi putri saya, jangan dekati dia. Apalagi beraninya melamar. Hey, anak muda sebelum kamu mengenal atau mencintai Rindi, sebaiknya bercermin dulu saja. Sudah pantaskah orang seperti kamu dekat dengan anak saya? Jika tidak punya cermin di rumah, nanti saya belikan,” ucap Baskoro semakin angkuh tidak sadar dengan penyakit yang menggerogoti. Gelak tawa kembali terdengar dari arah belakang Baskoro.

Diaz semakin menunduk seharusnya dari pertama ia memikirkan hal sekecil ini sebelum melangkah dan membicarakan masalah yang menyangkut perasaan.

“Cinta tidak memandang kasta atau harta. Jika sudah ditakdirkan berjodoh siapa yang bisa mengelak kuasa Tuhan.”

Baskoro tampak mengenaskan dengan wajah memerah, ucapan barusan ibarat tamparan telak bagi dirinya. Ia tidak mengingat siapa dirinya dahulu, jika tak diambil dari pinggir jalan oleh mertuanya mungkin sudah menjadi gelandangan atau mati mengenaskan melawan kejamnya hidup di jalanan.

“Jaga ucapan kamu!” Baskoro mengerling sebelah matanya kepada dua bawahannya. Orang tersebut paham bahasa isyarat dari majikannya, apalagi suasana sepi di depan sekolah membuat orang itu nanti bebas menghajar Diaz.

Laki-laki yang bertubuh gempal maju terlebih dahulu, kelima jarinya yang gendut ia kepalkan siap bersarang pada tubuh musuh Baskoro. Kepalan itu kemudian terbuka, sorot mata mereka beradu sebagai isyarat siap berkelahi. Tangan sudah berkacak pinggang tetapi belum menjual perkelahian.

“Hajar saja supaya jera!” perintah Baskoro sambil pergi menuju mobil. Siapa tahu ada yang melihat perkelahian ini, ia adalah orang pertama yang akan kabur menggunakan mobil untuk meloloskan diri tak peduli dengan bawahannya yang bisa pulang sendiri naik kendaraan umum.

Dalam hitungan detik, satu bogem mentah sudah bersarang di tengkuk leher. Tubuh Diaz terpelanting jatuh ke atas tanah, sayangnya sebelum tubuh itu terjerembap, lengan Diaz sempat menyenggol ujung lancip gerbang besi membuat lengan baju terkoyak dan ujung besi itu mengenai kulit mengakibatkan darah segar bercucuran. Diaz menahan nyeri di tangan sambil berusaha berdiri tanpa rasa takut. Mencoba berpegangan pada benda yang di dekatnya untuk berusaha bangkit.

Baskoro hanya mengamati dari dalam mobil, paras wajah langsung panik. Ia hanya ingin memberikan pelajaran tetapi sepertinya luka di lengan laki-laki itu sudah seperti kena senjata tajam.

“CABUT!” pekik Baskoro kepada bodyguard membuat kedua orang tersebut lari pontang-panting menuju pintu mobil. Dengan sekali tarikan mobil itu melaju begitu saja tanpa ada rasa bersalah membiarkan orang terluka begitu saja.

Rasa perih di lengan tak sebanding dengan nyeri di hatinya. Apa pantas orang seperti Diaz melawan  orang arogan seperti Baskoro? Seperti ini menjadi kasta rendah selalu saja diremehkan jika sudah menyangkut perasan dan hati.

“Pak Guru!” pekik wanita paruh baya langsung memarkir motornya asal. Diaz menatap wanita itu kemudian menatap ke bawah, rupanya mereka belum pergi jauh karena di tangan si kecil terdapat es krim.

Tanpa menunggu waktu lagi mereka membiarkan kendaraan terparkir di depan gerbang sekolah, melaju menggunakan taksi menuju klinik terdekat untuk mengobati lengan Diaz.

🦋🦋🦋

“Apa tidak capek bolak-balik ke Klinik? Kapan sih kamu melawan mereka? Setidaknya menghindar jika mereka datang, jadi tidak terjadi pertumpahan darah lagi,” saran Rizal sambil menjahit luka di lengan Diaz dibantu perawat.

“Aku bukan pengecut.”

“Tidak seharusnya kamu mengorbankan diri terus menerus. Jauhi dia, daripada kamu mati,” tukas Rizal dengan sengit. Perawat yang sedang menutup luka sampai menatap ke arah dokter , baru kali ini dokter Rizal berkata seperti itu, dia terkenal paling ramah kepada siapa pun dan tak pernah berkata kasar.

“Aku sudah lelah setiap malam mendengarkan curhatan kamu. Kalau aku sarankan mending tidak usah berharap lagi pada gadis itu. Hidup kamu bakal sengsara karena tekanan dari Baskoro dan tekanan ekonomi karena penghasilan kamu pas-pasan tak cukup buat dia bahagia.”

Diaz bergeming sambil mengingat kembali Rindi, sudah beberapa hari tak bertemu tetapi perasaan aneh itu selalu menyelinap ke dalam hatinya. Melupakan gadis itu tak semudah mengucapkan karena cuma Rindi yang bisa menggetarkan hatinya.

Rizal kembali menggeleng melihat Diaz yang masih asyik dengan lamunannya. Cinta memang bisa mengubah segalanya, padahal menurut Rizal, Diaz bukan orang yang gampang jatuh cinta tetapi sejak pertemuan dengan pemilik klinik ini semua berubah.

“Tiga hari lagi balik  ke sini,  kalau sudah kering bisa lepas jahitan,” tukas Rizal senewen sambil menuliskan coretan tangan di atas resep.

Sementara itu, seorang perempuan langkahnya tiba-tiba berhenti di depan ruang periksa salah satu dokter umum di klinik ini. Kedua matanya terkunci melihat sosok yang sudah beberapa hari ini tak tampak di depan matanya. Langkah ia arahkan menuju ke ruangan itu tanpa sama sekali mengetuk pintu atau memberi salam, toh seluruh gedung ini adalah miliknya sehingga bisa bebas ke mana saja

“Mas Diaz?”

Suara dari arah belakang membuat Diaz memutar tubuhnya menatap sosok yang memanggilnya. Ada rasa bahagia sendiri ketika mendengar cara memanggilnya yang  biasanya hanya memanggil nama saja. Namun, ia kembali teringat saat ia memberikan uang  karena harga dirinya seperti diinjak-injak.

“Mas kenapa?” Netra Rindi menyusuri luka di lengan yang sudah tertutup kasa. Belum lengan baju dinasnya yang robek dan terdapat bercak darah di sana.

“Jatuh dari motor.”

Rizal mendengkus lirih,  sorot mata tajam langsung mengarah pada sahabatnya membuat Diaz gelagapan.  Diaz pura -pura mengelus lengan agar tidak salah tingkah. Rindi menatap selembar resep di atas meja dokter.

“Biar aku tebus dulu di apotek.”

Rindi berbalik menuju pintu, hampir saja menabrak wanita bersama anak kecil yang menyelinap masuk begitu saja ke ruangan praktik ini. Langkah sempat tertahan  memperhatikan dari balik pintu sambil  memendam  ribuan pertanyaan siapa sosok wanita itu. Apa mungkin yang menabrak Diaz karena terlihat dari rasa khawatir yang berlebihan? Namun mereka terlihat lumayan dekat seperti saling mengenal satu sama lain.

Rindi berjalan sambil melamun, entah mengapa ada perasaan tidak rela melihat kedekatan Diaz bersama wanita itu.

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro