🦋Bunuh Diri🦋

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Melapangkan hati untuk melupakan masa lalu. Membuka mata untuk masa depan. Perdekat kepada pembuat takdir. Bukan memperdekat dengan yang ditakdirkan.

***

Insyaallah Jodoh by Galuch Fema

🦋Happy reading, jangan lupa vote🦋

Seorang gadis termenung di atas jembatan yang sangat sepi. Sang bayu menerbangkan rambut  sehingga sebagian wajahnya yang sudah basah oleh air mata sedikit tertutup rambut. Orang tak akan mengetahui apa yang ia alami tetapi semesta seakan tunduk dan memahami apa yang ia rasakan. Angin yang tak terlalu kencang menyatu dengan gerimis kecil, ditambah senja yang akan berganti dengan gelapnya malam.

Menjelang magrib tak banyak yang berlalu-lalang melewati jembatan. Tentu sebagian orang lebih memilih bertahan dan berkumpul bersama dengan  anggota keluarga di rumah. Tidak dengan gadis yang bernama Rindi Annisa yang masih berdiri tak gentar sambil memegang sisi jembatan. Pandangannya tertuju pada aliran sungai di bawah yang mengalir sangat deras mengingat sudah memasuki musim hujan.

Potongan memori terus berputar di otaknya. Pertemuan dengan masa lalunya sampai mengikat hubungan selama tiga tahun bukanlah waktu yang sebentar. Apalagi laki-laki itu pernah melafalkan janji akan sehidup semati. Namun, janji tinggallah ucapan belaka, seperti asap yang
hilang terbang begitu saja tertiup angin.

Menyisakan angan yang tak berubah menjadi nyata. Apalagi putusnya hubungan mereka karena adanya pihak ketiga. Arif—mantan tunangannya lebih memilih kabur bersama perempuan lain padahal hubungan mereka tinggal selangkah lagi menuju tanggal pernikahan. Belum bisik-bisik orang membuat Rindi semakin terpuruk.

Rindi terus mengamati aliran sungai, membiarkan air mata jatuh menyatu di sana karena air mata sama saja derasnya dengan aliran di bawah jembatan. Netra menatap jari manis di tangan kiri, melepaskan benda melingkar di sana, sakit karena cincin itu sudah menyatu di jari. Namun, ia harus melepaskannya karena melihat benda itu semakin sakit di dalam hatinya.

Menatap kembali sebelum ia buang ke bawah. Dulu Arif sendiri yang memakaikan di depan orang tuanya. Dengan isak tangis yang semakin menjadi, Rindi melempar cincin itu sejauh mungkin agar hilang tenggelam atau terbawa arus sungai. Bukan perasaan lega yang ia terima tetapi perasaan sesak yang semakin menjadi di dalam dadanya.

“Apakah aku harus seperti cincin itu? Jatuh ke dalam sungai agar binasa selamanya. Untuk apa hidup, jika cinta sepenuhnya untuk Arif seorang.”

Hujan semakin deras membuat pakaian yang dikenakan Rindi basah kuyup. Ia sudah tak peduli lagi dengan tubuh kecilnya. Angin semakin bertiup kencang, diiringi suara guntur yang menggelegar. Dengan langkah gemetar berusaha berjalan menuju ujung jembatan yang tak terdapat celah karena tak ada sisi di sana. Sempit tapi cukup muat tubuhnya menyelinap di sana.

Rindi sudah tak peduli lagi dengan masa depannya, orang tuanya dan orang-orang dekat yang menyayanginya. Keputusan sudah bulat, mengakhiri hidupnya. Putus cinta dari Arif sudah membuatnya gila setengah mati. Rindi tak peduli jika nantinya Allah akan marah dan murka karena sudah mendahului apa yang sudah ditentukan, ia tak peduli dosa berat yang akan ia tanggung.

Satu langkah lagi, selesai sudah hidupnya. Ia tak berani menatap bawah, suara air mengalir terdengar sangat mencekam ketika harus berbenturan dengan batu-batu besar di sana. Mungkin saja dengan sekali lompatan, tubuhnya bisa terluka dan mati kena batu dan air akan membawanya hanyut sehingga tubuh tidak tak dapat diketemukan.

“ARIF, AKU SANGAT MENCINTAI KAMU!” teriak Rindi dengan keras, berharap desiran angin menyampaikan pesan terakhir kepada yang disebut. Siapa tahu ada keajaiban  jika Arif akan datang untuk kembali dan meninggalkan perempuan itu.

Detik terus berjalan dan Arif tak datang. Rindi menarik napas panjang dan mengumpulkan tenaga untuk satu lompatan yang akan ia kenang selama hidupnya. Tubuh ia condongkan ke depan dan satu kaki sudah melayang di udara sedangkan satu kaki lain masih bertumpu di tepi jembatan dengan gemetar karena tubuh sudah tidak imbang. Kelopak mata yang basah mulai ia pejamkan.

Tiba-tiba ada yang menarik tubuhnya dengan kuat. Rindi merasakan ia berada dalam dekapan yang hangat sehingga keduanya jatuh terjerembap di atas aspal yang sudah basah.

“Bodoh!” pekik suara seseorang di persis di belakang telinga Rindi.

Rindi pelan-pelan membuka matanya dan baru sadar jika ia masih di dalam dekapan seseorang. Ia lalu memutar kepalanya melihat siapa sosok itu. Mata memicing karena sembab oleh air mata dan air hujan, berusaha mengenali yang menggagalkan aksinya. Seseorang yang tak dikenalnya dan baru pertama kali bertemu. Ia membeliak sangat marah tetapi tenaga yang tersisa tak dapat melepaskan dari laki-laki itu.

“Lepaskan!” pekik Rindi merasa terus mendapat tatapan tajam dari laki-laki itu. Ia menggerakkan tubuhnya agar terlepas dari laki-laki itu. Sayangnya tak berhasil karena dekapan itu semakin erat.

“Saya tidak akan melepaskan kamu,” seringai laki-laki itu dengan mata yang sudah merah. Entah emosi atau perih air hujan yang memaksa masuk ke dalam  kedua mata.

“Apa peduli kamu?” tanya Rindi yang mulai merasa risi. Apalagi tubuhnya menggigil basah kuyup karena hujan semakin lebat. Ia juga berbicara dengan keras agar laki-laki itu mendengar ucapannya karena deras air hujan sudah memekikkan telinga mereka.

“Allah akan marah melihat makhluk-Nya seperti kamu. Mengakhiri hidup karena kecewa atau putus asa terhadap masalah dunia,” sahut laki-laki itu sambil mengendurkan dekapan tetapi belum sepenuhnya melepaskan karena yang ditakutkan gadis itu berlari atau melanjutkan aksi yang tertunda.

“Allah tidak sayang sama aku. Kalau Allah sayang, pasti akan senang melihat aku bahagia bersama Mas Arif, bukan membiarkan dia pergi  bersama perempuan lain,” racau Rindi tak jelas. Ia kembali menangis semakin jadi.

Diaz—laki-laki yang sudah menolong Rindi akhirnya melepaskan dekapan. Tubuh perempuan yang ia tolong sepertinya sudah lemas dan tak bertenaga, semoga saja tidak terjadi hal-hal buruk. Diaz sendiri bingung kalau dihadapkan dengan situasi seperti ini.

Di bawah langit yang sama tetapi masalah yang berbeda. Ia melangkah menuju mobil butut, meraih jaket di jok kulit yang sudah retak dan sedikit rusak. Berjalan pelan menuju gadis yang masih duduk memegang kedua lutut dan membenamkan wajah di sana.

Dengan ragu dan canggung memakaikan jaket miliknya pada tubuh yang sudah menggigil sama seperti dirinya. Gadis itu mendongak ke atas, tepatnya melihat ke arahnya. Sungguh wajah yang menyedihkan di balik kulit putihnya. Mata bengkak merah, hidung pun sama berwarna merah tetapi bibir itu terlihat pucat. Entah sudah  berapa lama ia menangis.

Diaz memilih duduk di samping sambil sesekali melihat samping.

“Kenapa kamu melakukan  hal segila itu?”

Bibir Rindi kaku terus menggigil sambil mengucapkan sebuah nama, ia kemudian menangis kembali.

Diaz hanya bisa menarik napas panjang. Dari nama yang telah diucapkan, ia sudah bisa menangkap jika gadis itu ingin mengakhiri hidupnya karena permasalahan dengan seorang laki-laki.

“Bodoh,” tukas Diaz lirih. Namun, gadis itu diam saja tak membalas ucapan atau amarah karena sindiran barusan.

Diaz langsung berdiri, kelamaan  ditimpa hujan seperti ini yang ada tubuhnya gemetar dan bisa membuat demam padahal besok pagi ia sudah mulai berangkat dinas.

“Ayok kita pulang. Saya akan antarkan kamu pulang ke rumah orang tua kamu!” perintah Diaz yang sudah berdiri dan melangkah menuju mobil.

Rindi hanya menatap punggung laki-laki itu, entah ada magnet apa dia ikutan berdiri. Namun, belum satu langkah, pandangan matanya langsung terasa gelap dan pelan-pelan kabur.
Diaz yang hendak membuka pintu seketika langsung menoleh ke belakang. Dengan sedikit berlari menghampiri gadis yang sudah jatuh tak sadarkan diri.

“Menyusahkan saja,” keluhnya sambil menatap kanan dan kiri berharap ada orang lain yang akan membantunya. 

꧁ᬊ᭄𒆜 InsyaallahJodoh𒆜ᬊ᭄꧂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro