🦋Siuman🦋

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sejatinya tidak ada istilah kehilangan. Sebab, kita memang tidak pernah benar-benar memiliki. Allah hanya menitipkan yang layak kauterima dan layaknya yang menerimamu

****
Insyaallah Jodoh by Galuch Fema



Happy reading jangan lupa vote

Diaz merutuki kesialannya karena tak ada orang lewat yang membantunya, mau tak mau ia sendiri ia yang akan mengangkat tubuh lemah tak berdaya tersebut. Ada keraguan sendiri ketika hendak mengangkat, antara canggung dan rasa kasihan. Dalam hatinya terus  bergejolak karena Diaz pernah bersumpah tidak akan memegang perempuan selain pendampingnya kelak.

Namun, karena situasi yang serba darurat seperti ini, dengan terpaksa harus membopong menuju ke dalam mobil. Mengendarai mobil dengan pelan karena jarak pandang yang  hanya beberapa meter saja. Hujan turun semakin deras menggenangi sebagian jalan perkampungan yang sudah terdapat kubangan di mana-mana.

Sekarang ada keraguan sendiri di hari Diaz ketika sudah sampai di rumah kontrakan kecilnya, tubuh basah itu dibiarkan tergelak di atas kasur yang sudah ia alasi terlebih dahulu dengan sebuah perlak agar kasur di bawahnya tak basah.

Ia mengambil selimut tebal untuk menyelimuti tubuh lemah itu, sekiranya selimut itu sudah basah akan digantikan dengan selimut atau handuk tebal, yang penting air terserap dalam kain itu. Setidaknya baju yang dikenakan perempuan itu sedikit mengering walaupun itu perkiraan sangat kecil. Tak lupa membubuhi minyak angin di bagian hidung agar secepatnya bisa siuman.


Netra yang sangat berat karena entah berapa lama terpejam akhirnya perlahan terbuka. Kepala yang sangat pening,  dibuat bergerak sedikit saja terasa sangat sakit. Tidak hanya kenangan yang membuatnya sakit tetapi air hujan juga membuat tubuhnya merasa lemah tak berdaya.

“Aku di mana?” bisik Rindi berusaha bangkit.
Berpegangan di sisi pinggir ranjang yang sangat sederhana. Ia menghidu seperti aroma minyak angin di sekitar hidung dan tangannya. Sayangnya minyak angin itu tak seperti yang ia gunakan di rumah, kalau minyak angin ini lebih mirip minyak urut tukang pijat yang membuat Rindi mual.

“Rumah siapa?”

Hati Rindi masih  bertanya-tanya, mata mengitari sekitar ruangan sempit ini, siapa tahu ada petunjuk yang membuat dirinya bisa mengetahui siapa yang menolongnya. Saat sebelum tak sadar,

Rindi masih ingat jika dirinya  bersama laki-laki tak dikenal itu, apakah dia juga yang menolongnya?

Lagi-lagi Rindi menggigil kedinginan ketika sang bayu mulai masuk melalui jendela kayu di ruangan ini, ia baru sadar jika di luar suasana sudah gelap gulita. Dengan langkah  yang masih lemas, ia berusaha menutup jendela itu agar tubuh kecilnya tak kembali kedinginan, mengingat baju yang dikenakan masih lembab.

Mata tertuju pada meja  di ruangan ini,  meja kayu yang di atasnya terdapat  beberapa pernak-pernik seorang laki-laki. Ada minyak rambut, parfum, pencukur kumis dan botol minyak angin. Satu benda terakhir itu oleh Rindi diambil, dibuka tutupnya dan pelan dicium kembali. Lagi-lagi ingin muntah karena baunya yang sangat menyengat.

Di atas meja juga sudah terdapat  satu setel  baju tidur lengan panjang yang masih terlipat rapi dengan label kertas harga yang masih ada, menandakan baju itu masih baru. Di atasnya terdapat secarik kertas dan terdapat coretan tangan.

“Kalau sudah sadar, segera pakai baju ini.”

Setelah membaca, Rindi meletakkan kertas tersebut dekat pigura foto. Penasaran siapa gambar di sana. Seorang laki-laki memakai baju wisuda warna hitam, ia tersenyum bangga didampingi wanita paruh baya yang diperkirakan adalah ibu dari laki-laki itu.

Senyum tipis tersungging di bibir Rindi, laki-laki di foto adalah laki-laki yang menolongnya. Ia kembali lagi mengingat kuliahnya, sudah berapa hari ia tidak berangkat padahal tugas dari dosen sangat banyak.

Mata kembali lagi melihat sebuah mangkuk dan segelas air putih, di sana juga terdapat satu strip parasetamol yang diduga sengaja disiapkan untuk dirinya. Tanpa pikir panjang, Rindi langsung melahap bubur itu sampai habis. Sudah seharian ia tidak makan nasi mengingat kesedihan yang berlarut-larut. Menelan satu butir obat untuk meredakan sakit di kepalanya.

Segera ia berganti baju agar tidak terlanjur masuk angin dengan baju yang disiapkan  tadi. Ukurannya bisa pas dengan tubuh kecilnya. Baju yang berwarna kuning cerah tak seperti dengan suasana hatinya.

Tiba-tiba tirai kamar terbuka begitu saja, Rindi lupa mengunci pintu. Untung ia tinggal mengancing beberapa bagian bawah saja tetapi suara istigfar laki-laki itu membuat keduanya tersentak sangat kaget.

Sementara itu Diaz masih terus beristigfar mengingat kesalahannya yang ingin menyeruak   masuk begitu saja ke dalam kamar miliknya. Sebelumnya mengira jika perempuan itu  belum siuman karena sebelum berangkat ke masjid, perempuan itu masih terpejam.

Suara tirai kamar dibuka lebar, Diaz masih menatap bawah. Ia sangat bersalah mengingat kejadian barusan, sebenarnya tidak ada yang aneh karena perempuan itu sudah memakai baju tapi bagi Diaz berdua dengan bukan mahram di kamar itu adalah dosa terbesarnya. Diaz menyadari sekarang mereka tengah duduk berhadapan tetapi suara jangkrik di luar masih mendominasi suasana kaku di ruangan temaram ini.

Rindi menaikkan pandangannya menatap laki-laki yang masih lengkap memakai baju takwa warna putih, bawahan sarung dengan motif kotak-kotak gelap dan peci hitam masih melekat di kepalanya. Mata mereka sempat bertemu tetapi Diaz buru-buru mengalihkan tatapannya.

“Kamu....”

Entah kenapa kedua orang di sana bisa berbarengan mengucapkan  kata yang sama, keduanya langsung canggung dan tidak jadi meneruskan ucapannya. Rindi menunduk memainkan jarinya untuk mengusir rasa kaku, sedangkan Diaz melepaskan peci dan menggaruk rambut di kepalanya.

“Kamu dulu, apa yang ingin kamu tanyakan,” tukas Diaz memulai ucapannya.

Rindi menggeleng lemah dengan kepala yang masih tertunduk.

“Buruan salat, mumpung masih ada waktu!” perintah Diaz.

Lagi-lagi Rindi menggeleng membuat Diaz berpikir keras.

“Maaf, apa sedang halangan?”

Wajah Diaz sudah merah menahan malu, ia baru sadar jika yang dihadapi adalah seorang perempuan. Sudah terlalu lama tidak berdekatan dengan perempuan membuat ia kaku seperti ini. Padahal rekan kerjanya banyak yang perempuan tetapi tidak secanggung dengan perempuan yang baru dikenalnya.

“Bukan.”

“Lantas kenapa tidak salat? Atau kamu non muslim?” sahut Diaz semakin tak enak hati menetralkan denyut jantung yang sudah berpacu sangat cepat.

“Agama aku Islam tetapi aku sudah lupa kapan aku terakhir melakukan salat, bacaan dan doa saja aku sudah lupa.”

“Astaghfirullah!” pekik Diaz sambil mengelus dadanya. Ia baru kali ini bertemu dengan gadis yang secara gamblang  mengungkap jati diri tanpa ada rasa takut apalagi menyangkut urusan ibadah.

“Pantas saja kamu ingin bunuh diri, iman kamu lemah dan  setan  gampang  merasukinya,” sindir
Diaz sambil menatap di depannya dengan tidak suka.

“Tidak usah menggurui, aku sudah besar dan tidak perlu nasihat. Coba kamu tidak datang pasti aku tidak berada di rumah kecil ini,” sahut Rindi terpancing emosi.

Entah sudah berapa kali Diaz beristigfar, tetapi suasana masih tegang dan panas. Sepertinya gadis di depan sangat sulit untuk diajak berbicara untuk hal-hal positif.

“Segera bertobat minta maaf sama Allah, dosa kamu sudah terlalu banyak. Saya cuma mengingatkan saja daripada nantinya kamu menyesal.”

“Aku menyesal telah mengenal Arif bahkan mencintai secara berlebihan karena sekarang aku sendiri yang merasakan sakit,” lirih Rindi sambil kembali menangis terisak.

Diaz menarik napas panjang, sulit sekali menyadarkan orang yang sudah dimabuk asmara seperti ini. Ujung-ujungnya kecewa, sedih dan meratapi nasib.

Rindi menghapus air matanya lagi. Ia lalu berdiri. Sedangkan Diaz terus mengamati pergerakan gadis  itu.

“Aku ingin mengambil minum,” ucapnya lirih. Kelamaan menangis membuat tenggorokan kering.

“Ambil saja di belakang. Dapur kecil ada di belakang ruangan ini.”

Sudah seperempat jam tetapi gadis itu belum kembali dari dapur, padahal hanya mengambil air minum saja. Diaz jadi curiga, apa yang dilakukan di sana. Sambil berjalan mengendap menuju dapur. Benar saja gadis itu tengah berdiri tetapi ia terlihat sedang memegang sesuatu. Diaz memperjelas tatapannya untuk melihat apa yang sedang dipegang. Sebuah pisau miliknya yang biasa untuk mengiris sayur tengah berada di genggaman tangan gadis itu.

꧁ᬊ᭄𒆜 '''𝕀nsyaallah 𝕁odoh''' 𒆜ᬊ᭄꧂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro