🦋Salah Paham🦋

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



Manusia  hebat terlahir dari kisah-kisah yang menyakitkan, lahir dari kekecewaan, lahir dari badai. Karena kamu manusia hebat, maka bangkitlah

***
Insyaallah Jodoh by Galuch Fema

Happy reading, jangan lupa vote



Diaz perlahan mendekati perempuan yang masih mengamati ujung pisau. Laki-laki itu berjalan mengendap agar tidak menyadari kehadirannya. Dengan gerakan cepat, Diaz memeluk dari belakang dan salah satu tangannya menarik pisau itu.

“Lepaskan!” pekik Rindi dengan suara keras. Ia panik mendapatkan serangan secara mendadak, berusaha memberontak agar terlepas tetapi yang ada ujung pisau melukai tangan kanan milik laki-laki itu. Suasana tambah mencekam ditambah  suara guntur bersahutan di luar.

Belum suara rintihan laki-laki itu yang terus memegang tangan yang sudah bersimbah darah sehingga menetes mewarnai lantai dapur.

Rindi memekik ketakutan tetapi pisau di tangannya masih belum bisa ia lepaskan karena efek takut yang berlebihan, sedangkan tubuh laki-laki itu sudah mundur sambil terus mengibaskan tangan kanan. Darah sudah menetes ke mana-mana.

“Lepaskan pisau itu, saya mohon dengan sangat,” pinta Diaz yang masih meringis menahan rasa nyeri di tangan kanannya.

Dengan gerakan refleks, Rindi melemparkan pisau itu ke atas wastafel begitu saja. Suara pisau beradu dengan piring kotor  sehingga menimbulkan  suara nyaring. Menutup mulutnya karena syok dengan apa yang telah ia lakukan. Ia mendekat dan mengamati wajah yang sudah pucat merosot ke bawah dan memilih bersandar pada dinding dapur.

“Usahakan  julurkan tangan ke atas, lebih tinggi dari letak jantung!” perintah Rindi.
Mata yang hampir terpejam kembali menatap gadis yang tengah menyamakan posisi tubuh dengan dirinya.

“Ki-kita ke rumah sakit sekarang!”

“Tidak perlu, saya tidak apa-apa,” tolaknya dengan suara lirih. Melihat wajah yang tengah mengkhawatirkan keadaan dirinya. Dengan mata menyipit terlihat jelas jika dia tengah menitikkan air mata.

“Ada kotak P3K? Biar aku obati, setidaknya pendarahan itu berhenti.”  Rindi bangkit dan kebingungan mencari sesuatu, barangkali ada di sekitarnya. Namun, ia tak sengaja melihat sebuah sapu tangan dan segera meraih benda itu untuk menahan aliran darah pada luka.

“Tahan pakai ini sebentar.”

“Laci meja kamar,” ucap Diaz mengarahkan di mana ia menyimpan kotak P3K.

Rindi bergegas berlari menuju ke kamar di mana ia tadi tidur, dengan gerakan cepat membuka laci meja. Betul yang dikatakan laki-laki itu, di dalam laci terdapat kotak berwarna putih. Namun, mata tiba-tiba menangkap ada sebuah kartu identitas di sana. Entah keberanian dari mana, Rindi membaca data di sana.

“Diaz Putra Airlangga.”

Rindi terus membaca semua yang tertulis di sana dan baru sadar jika laki-laki itu adalah seorang tenaga pengajar di Sekolah Dasar.

“Ya Tuhan, lupa.”

Rindi kemudian berlari sambil memeluk kotak putih itu menuju dapur untuk segera mengobati Diaz. Sayangnya laki-laki itu tak ada di sana. Hanya tetes darah yang tertinggal di lantai. Rasa khawatir yang berlebihan membuatmu ia  berlarian menuju ke kamar mandi tetapi Diaz juga tidak ada di sana.

“Diaz?” panggil Rindi sudah ketakutan setengah mati. Membuka pintu belakang dekat dapur, gelap tak ada siapa pun di sana. Rindi menutup kembali karena jujur melihat kebun belakang yang  gelap gulita membuat bulu kuduk merinding.

“Saya di sini,” gumam seseorang yang berada di ruangan depan. Dengan langkah kaki yang sudah lemas, Rindi langsung menuju suara berasal. Ia melihat Diaz sedang duduk di kursi tamu, masih memegang tangannya.

“Sini aku obati,” tukas Rindi berusaha meraih tangan Diaz tetapi laki-laki itu masih enggan mengulurkan tangannya. Mereka sempat bertatap muka sebentar, dengan ragu akhirnya Diaz mengulurkan untuk segera diobati.

Mata Diaz terpejam sekejap ketika cairan alkohol menyatu pada lukanya. Rasa perih membuat bibir sedikit terangkat ke atas.  Tangan hendak ia tarik tetapi perempuan itu menahan dengan erat. 

Diaz mengamati wajah di depan yang masih telaten menutup luka dengan sebuah kasa.

“Kenapa kamu melakukan itu lagi? Apa sudah tidak sayang lagi sama nyawa kamu?” tanya Diaz sambil mengamati tangan yang sudah tertutup kasa.  Ia berpikir keras bagaimana besok bisa menyelesaikan pekerjaan dengan tangan tertutup seperti ini.

“Maksud kamu?” tanya Rindi bingung karena tak paham apa yang ditanyakan Diaz.

“Mau bunuh diri lagi pakai pisau dapur?” tuduh Diaz sengit.

Mata Rindi terbelalak kaget, tubuhnya sedikit berjingkat karena ucapan barusan.

“Ak-aku —“

“Jangan menyusahkan saya terus, kalau mau mati di luar saja. Jangan di sini, ini tempat saya satu-satunya,”  sindir Diaz telak.

Rindi sekarang paham maksud arah pembicaraan Diaz. Ia bersiap menjelaskan  tetapi sepertinya Diaz memandangnya sebelah mata.

“Aku tak seburuk apa yang kamu pikirkan,” ucap Rindi membela diri.

Diaz menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Pertemuan dengan gadis ini membuat dirinya ikut celaka. Ada rasa sedikit menyesal telah menolong dan membawa ke rumah kontrakan ini, harusnya ia membawa ke kantor polisi agar pihak berwajib menghubungi keluarganya.

“Lantas apa yang kamu lakukan di belakang sambil memegang pisau seperti tadi?”

“Ak-aku cuma mau membuka bungkus gula yang masih tertutup rapat. Aku tidak menemukan gunting di sana. Tadinya aku mau membuatkan  teh hangat untuk kamu,” ungkap Rindi dengan sedikit kecewa.

Sekarang gantian Diaz yang terbelalak kaget. Ia memang melihat gadis  itu tengah memandang  pisau bukan menusukkan pisau ke tubuh atau mengiris pergelangan tangan

“Saya tadi mengira jika kamu akan—“

“Bunuh diri?” potong Rindi dengan cepat.

Diaz tersenyum malu sambil menggaruk rambut di kepala, merutuki kebodohannya  karena bertindak tanpa pikir panjang dan akhirnya ia yang terluka sendiri seperti ini.

“Maaf,” sahutnya sambil cengengesan tetapi sayangnya gadis itu sudah berdiri menuju ke kamar. Diaz semakin  bingung, apa ia harus mengejarnya? Tidak, ia tidak mungkin menyusul karena tidak mau berduaan lagi di sana. Di rumah ini pun sama, semoga tidak ada Pak RT yang muncul ke rumah ini. Bisa-bisa ia dinikahkan dadakan dengan gadis itu, bisa gawat nanti karier dan masa depannya.

Apa yang dipikirkan ternyata sudah muncul di depan mata, ia tengah berdiri sambil menenteng tas. Ada sedikit kelegaan ketika gadis itu memilih pergi tetapi kondisi masih hujan seperti ini. Apa  ia tega membiarkan pulang sendiri tengah malam?

“Mau ke mana?” Diaz sedikit takut untuk bertanya.

“Pergi,” sahut Rindi menatap kaca jendela yang menampakkan  pemandangan malam, apalagi hujan masih turun tetapi tak lebat seperti tadi.

“Pergi ke mana?”

“Entah, yang penting pergi jauh dan bisa melupakan Arif.”

Diaz mendengkus kesal, ia merutuki pertanyaan  barusan. Seharusnya ia tak bertanya dan membiarkan perempuan itu pergi dan semua masalah selesai. Bisa tidur nyenyak tanpa dibebani masalah yang tidak ada hubungan dengan dirinya.

“Jembatan tadi?” tuduh Diaz enggan menatap sosok yang sudah  berdiri di depan pintu.

“Entah, yang penting aku pergi sejauh mungkin.”

“Terserah itu keinginan kamu. Saya tidak ada hak untuk melarang kamu,” jawab Diaz sambil mengalihkan tatapannya. Walaupun sejujurnya hati kecil berkata lain.

“Terima kasih sudah menolong, maaf aku tak  bermaksud mencelakakan kamu,” sahut Rindi sambil melihat balutan luka di sana.

Keduanya terdiam, angin malam disertai hujan membuat suasana di ruangan ini semakin terasa dingin tatkala pintu itu terbuka. Pintu itu ditutup lagi bersama gadis   itu yang sudah memilih pergi. Diaz hanya termenung, bingung akan situasi seperti ini. Apakah harus mengejar atau membiarkan pergi begitu saja. Toh, mereka tidak saling mengenal. Ia menatap dua bungkus makanan yang masih hangat, rencananya akan ia makan bersama orang yang sudah pergi.

“Sudahlah, “ lirih Diaz sambil meluruskan tubuhnya di atas kursi berusaha memejamkan  kedua mata yang sudah terasa berat. Berusaha melupakan apa yang sudah terjadi hari ini.


Pagi ini terasa hangat ketika mentari sudah  muncul di ufuk timur.  Diaz yang sudah berpakaian dinas menatap perban putih yang masih menempel di tangan, ingatannya kembali pada sosok itu. Di manakah dia sekarang? Kembali ke rumah atau namanya sudah tercantum di berita koran kriminal.

“Sudahlah. Untuk apa aku mengkhawatirkan dia.”

Diaz membuka pintu,  bersiap  untuk berangkat. Namun, kedua matanya menangkap sosok yang sedang meringkuk di kursi panjang depan rumah membuat dirinya terkejut setengah mati. Ia mengira sudah pergi jauh, bukan bertahan di tempat ini.

꧁ᬊ᭄𒆜 '''Insyaallah Jodoh''' 𒆜ᬊ᭄꧂


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro