🦋Kejadian Tak Terduga🦋

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Jika ilmu mampu meluaskan duniaku,  maka dengan hadirnya kamu akan menjadi penyempurna separuh agamaku.

****

Insyaallah Jodoh by Galuch Fema


Happy reading, jangan lupa vote

Ada rasa iba yang tiba-tiba muncul, tubuh kecil meringkuk kedinginan  melawan dinginnya malam tanpa selembar selimut. Tidur tidak beralaskan apa pun hanya kursi kayu panjang karena pastinya jika nanti bangun akan merasakan sakit di tubuhnya.

Diaz merutuki egonya semalam, kenapa dirinya tak melarang kepergian perempuan itu malah membiarkan berjuang melawan malam sendirian padahal jelas-jelas jiwanya sedang terguncang hebat karena permasalahan dengan mantan kekasihnya.

Tangan Diaz  terjulur hendak membangunkan  tetapi  ia tahan karena konflik di batinnya.

“Tak boleh menyentuh perempuan itu!”

Hati tak pernah lelah memberikan nasihat fisik yang kadang khilaf karena bisikan  setan. Ia merendahkan tubuhnya agar dekat dengan telinga, berusaha memanggil  karena tidak mungkin membiarkan tidur di depan rumah, yang ada malah menjadi pertanyaan orang yang lewat depan kontrakan.

“Hei, bangun. Sudah siang,” ucap Diaz  berulang tanpa menyentuh atau menggoyangkan tubuh yang masih menyatu dengan alam mimpi. Tak hanya sekali tetapi berulang memanggil bahkan sudah menaikkan suaranya tetapi gadis itu masih bergeming tak bergerak. Diaz kembali panik karena takut . Jangan-jangan pingsan atau sudah meregang nyawa di sini.

“BANGUN!”

Satu detik, dua detik, tiga detik keadaan masih sama, Diaz langsung bersiap pergi menuju rumah Pak RT yang tak jauh dari rumah kontrakan. Namun, baru beberapa langkah, terdengar erangan kecil dari belakang. Dengan cekatan, Diaz langsung menatap belakang. Ada rasa lega ketika melihat sedang berusaha duduk sambil mengucek kedua mata.

“Untung masih hidup,” lirih Diaz sambil berusaha mendekat

“Maaf aku tidur di sini,” sahut Rindi sambil memeluk tas miliknya yang sedari malam dijadikan bantal untuk mengganjal kepala yang masih pusing.

“Kenapa tidak masuk dan tidur di dalam saja? Toh pintu depan sengaja tidak saya kunci.”

“Sengaja tidak dikunci karena berharap aku balik lagi ke rumah?” ledek Rindi berusaha membuka percakapan agar terasa tidak kaku.

“Eh, bu-bukan seperti itu,” tukas Diaz merutuki kebodohan karena keceplosan bicara masalah pintu.

“Tak apa-apa aku cuma bercanda. Aku memilih bertahan karena aku tidak tahu harus pergi ke mana karena jalanan gelap dan hujan belum berhenti.”

“Tidak seharusnya perempuan tidur di luar.”

“Tidak apa yang penting masih bisa berteduh.”
Diaz berusaha duduk di kursi tapi posisi mereka berjauhan karena masing-masing duduk di ujung kursi. Ia merasakan jika yang diajak bicara sekarang bukan seperti gadis yang ia temui kemarin. Sekarang lebih terlihat seperti gadis yang tangguh dan tidak gampang menyerah.

“Kamu sudah baikkan?” tanya Diaz penasaran.

Gelak tawa di samping membuat Diaz sedikit khilaf karena sering menatap wajah di ujung sana. Mungkin karena semalam mereka bertemu menjelang petang dan dihadapkan pada masalah  bertubi-tubi sehingga aura kecantikan gadis itu baru terlihat sekarang tetapi kriteria Diaz bukan seperti ini.

“Seharusnya aku yang  bertanya tentang kondisi tangan kamu?”

“Tidak apa-apa, nanti juga sembuh.”

Keduanya langsung bergeming, Diaz menatap arloji karena waktu sudah menunjukkan harus berangkat ke sekolah.

“Lantas apa yang akan kamu lakukan? Apakah orang tua kamu tidak mencari?”

Rindi langsung menampakkan kembali wajah sedihnya, apalagi ponsel sudah mati karena baterai habis.

“Pasti mereka langsung menghubungi Arif.”
Diaz bisa menebak jika gadis ini masih belum bisa melupakan Arif, terdengar dari nada bicaranya  yang sangat berat ketika menyebutkan nama itu.

“Saya mau berangkat karena kelas mau dimulai. Jika ingin masih beristirahat, kamu bisa istirahat di dalam.”

“Pulang dari sekolah jam berapa?”

Rindi merutuki pertanyaan yang tiba-tiba lolos dari mulutnya. Pertanyaan seperti seorang istri kepada suami saat berangkat kerja. Sepertinya ia memilih bertahan karena tubuhnya masih ingin diajak berbaring setelah sore kehujanan dan sekarang baru bisa merasakan pening di kepalanya.

“Jam dua belas. Jika sebelum jam itu kamu ingin pergi, tutup saja pintunya. Tidak perlu dikunci, di dalam tidak ada benda berharga.”

Rindi mengangguk, ia ikut berjalan mendekati Diaz yang hendak membuka pintu mobil butut.

“Siapa nama kamu?”

Ada rasa malu untuk menanyakan identitas tetapi sepertinya perlu karena siapa tahu rekan di sekolah ada yang mengenal gadis ini.

“Rindi.”

“Baiklah, saya berangkat dulu,” sahut Diaz sambil terus mengingat nama yang disebutkan.

Sementara itu Rindi memilih masuk ke dalam rumah kontrakan yang terbilang sangat kecil, jauh dengan rumah orang tuanya. Di sini  ruang tamu juga merangkap ruang santai yang  terdapat televisi di sana. Satu kamar tidur dan sudut ruang di depan kamar mandi yang digunakan untuk tempat memasak. Rindi tidak paham jika Diaz tinggal di sini dengan siapa karena tidak ada siapa pun selain laki-laki itu.

Bisa jadi Diaz sudah memiliki istri, bakal bisa perang kalau Rindi tinggal di sini. Namun, sepertinya di rumah ini tak ada foto pernikahan, saat melihat kartu identitas juga disebutkan  jika Diaz masih single.

Lebih baik Rindi kembali ke kamar itu, aroma parfum laki-laki itu terasa saat pintu kamar dibuka. Kamar yang rapi untuk seorang laki-laki karena tidak ada barang yang berceceran sembarangan.

Rindi memilih kembali memejamkan mata, melanjutkan kembali bertemu dengan Arif walaupun hanya dalam mimpi karena ini sudah membuatnya bahagia tanpa ada kehadiran perempuan lain sebagai pihak ketiga antara Arif dan Rindi yang sudah menjalin hubungan selama tiga tahun.

Suara azan zuhur menyeruak masuk ke dalam kamar Diaz membuat Rindi yang masih tertidur di sana membuka kelopak mata yang terasa berat. Cukup terkejut karena ia berada di dalam kamar yang bukan miliknya. Kembali lagi teringat peristiwa kemarin saat ingin mengakhiri hidupnya sampai akhirnya bertemu dengan Diaz.

Ia kemudian bergegas bangkit menuju kamar mandi karena dari kemarin hanya bermandikan air hujan saja.

“Sudah bangun?”

Rindi sudah hafal suara yang sering ia dengar, ia melihat Diaz sedang menatap layar laptop. Namun, laki-laki itu belum mengganti baju dinasnya dengan kaos santai.

“Iya, baru mau mandi karena setelah ini mau pulang.”

Diaz meletakkan kantung keresek di atas meja seraya  berucap, “Makanlah dulu.”

Dengan ragu Rindi mendekati makanan  yang sudah dibeli Diaz untuknya. Ingin rasanya mengelak karena sudah berulang kali merepotkan tetapi perut tak bisa menolak karena hanya bubur kemarin saja yang masuk. Suasana canggung mewarnai mereka berdua saat menikmati nasi rames.



“Mau pulang sekarang?” tanya Diaz memperhatikan Rindi yang sudah  menenteng tas, bersiap untuk pergi.

Rindi mengangguk sambil menatap laki-laki yang sudah menolongnya.

“Boleh sekali lagi minta tolong?” tanya Rindi dengan ragu-ragu.

“Katakanlah.”

“Boleh meminjam uang untuk ongkos pulang, aku lupa membawa dompet saat kemarin pergi.”

Diaz terdiam, Rindi tak mungkin berbohong karena saat tidak sadar ternyata diam-diam Diaz mengecek tas milik perempuan itu. Di sana hanya ada sebuah ponsel yang mati dan selembar foto yang diduga adalah mantan kekasihnya. Bukan ingin  berniat  jahat, Diaz hanya ingin mengetahui identitas Rindi, siapa tahu ada keluarga yang bisa dihubungi.

“Saya antar kamu sampai rumah.”

Sebuah tawaran yang menggiurkan karena Rindi tidak akan capek-capek naik angkutan umum walaupun nanti ia akan naik mobil Diaz yang sangat sederhana tidak seperti yang  biasa dipakai di rumah.

“Ini rumahnya?” tanya Diaz setengah ragu karena setelah perjalanan hampir satu jam akhirnya  mereka berhenti di sebuah rumah besar di kompleks perumahan elite di tengah kota.

Rindi mengangguk dengan wajah yang  cerah, ia mengajak Diaz untuk turun dan berkenalan dengan orang tuanya. Dengan sedikit ragu, Diaz menuruti permintaan Rindi bertandang sebentar setelah itu ia bisa pulang.

“RINDI?” pekik wanita paruh baya yang berada di depan rumah. Diaz memperhatikan kedekatan mereka berdua yang tengah berpelukan, tangan wanita itu juga membelai lembut rambut Rindi.

“Ayah!  Rindi sudah pulang!” pekik Mamah memanggil suaminya untuk segera keluar. Tak berlangsung lama, keluarlah pria tegak yang memakai kemeja panjang ikut memeluk Rindi.

Namun, itu tak berlangsung lama karena setelah melepaskan pelukan putrinya langsung berjalan mendekati laki-laki yang masih berdiri dekat gerbang.

Ayah langsung memukul Diaz tak kenal ampun, tidak hanya sekali tetapi bertubi-tubi membuat tubuh Diaz tersungkur jatuh ke atas rumput. Pekikan Mamah dan Rindi tak membuat Ayah berhenti memukul.

꧁ᬊ᭄𒆜 '''Insyaallah Jodoh''' 𒆜ᬊ᭄꧂







Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro