🦋Bogem Mentah🦋

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

✽Hidup itu memang tidak mudah, penuh rintangan. Akan tetapi, tetap jalani, syukuri.
Apa pun rintangannya jangan pernah mengeluh, karena keluhan tidak akan mengubah apapun✽

****
Insyaallah Jodoh by  Galuch Fema

Happy reading jangan lupa vote

Tubuh Diaz meringkuk di atas rumput halaman rumah megah ini, ia tidak menyangka jika mendapatkan serangan dan pukulan secara tiba-tiba dari ayah Rindi. Perutnya terasa sangat nyeri karena pukulan itu sempat mengenai ulu hati, makanan yang sudah  berada di perut seperti dipaksa untuk dikeluarkan karena tendangan yang sangat kuat.

Belum mata yang sudah lebam sehingga tidak dapat melihat secara jelas, bibir juga sudah basah karena cairan hangat masih saja keluar dari ujung bibirnya.

“Ayah hentikan!” pekik Rindi yang sudah bercucuran air mata. Ia memeluk kaki ayahnya agar berhenti menendang Diaz. Rindi juga tak paham kenapa ayah bisa berbuat seperti itu, bukankah ini pertemuan pertama antara ayah dengan Diaz, atau jangan-jangan mereka pernah terlibat masalah? Setahu Rindi, Diaz orang yang sangat baik, laki-laki itu pun terkenal pendiam.

“Masuk ke dalam!” pekik Baskoro dengan sangat keras. Sementara mamah masih syok dan ketakutan melihat suaminya berbuat seperti itu.

“Kenapa Ayah memukul Diaz?” tanya Rindi dengan berani padahal Ayah sudah mendorong tubuh kecilnya untuk segera masuk rumah bersama Mamah.

“Dia sudah menculik dan membawa kabur kamu!” tuding Baskoro sambil mengarahkan telunjuk tepat di wajah Diaz yang sudah terdapat luka lebam.

“Diaz menculik ak-aku?” sahut Rindi terbata-bata karena terkejut setengah mati.

“Ya, Ayah akan melaporkan ke kantor polisi. Kasus ini harus diusut sampai tuntas!” seru Ayah yang sudah mengambil gawai untuk segera menghubungi sahabatnya yang kebetulan kerja di kantor polisi.

Rindi langsung merebut gawai dari tangan ayah membuat pria paruh baya itu meradang karena Rindi menghalangi rencananya.

“Diaz tidak bersalah. Tidak ada penculikan, justru Diaz yang sudah menolong Rindi,” tukas Rindi sambil menghampiri Diaz yang masih terbaring lunglai di atas rumput.

Baskoro sangat terkejut mendengar pengakuan Rindi, antara percaya dan tidak percaya dengan  kenyataan sesungguhnya. Jika bukan dari kabar seseorang, ia tak mungkin bertindak kasar seperti ini.

Rindi berusaha membantu Diaz untuk duduk, ia sangat iba melihat kondisi Diaz sekarang. Laki-laki yang sangat malang yang pernah ia temui. Luka di tangan saja  masih basah ditambah sekarang wajahnya babak belur.

“Kamu tidak apa-apa?” tanya Rindi yang sudah sangat khawatir, apalagi luka lebam di wajah Diaz terlihat sangat menakutkan.

“Tak apa,” sahutnya sangat lirih sambil berusaha bangkit. Untuk kondisi saat ini terpaksa menerima uluran tangan Rindi karena untuk mengangkat tubuhnya sangat sulit seperti tak ada tenaga.

“Rindi?” panggil Ayah dengan suara sedikit melunak.

“Rindi mau mengobati luka Diaz dulu, setelah itu kita bicarakan baik-baik karena Rindi bukan orang gegabah seperti Ayah,” sindir Rindi sambil terus memapah Diaz untuk masuk ke ruang utama di rumahnya.

Saat melewati Baskoro, Diaz sempat saling bertatapan tetapi ia lebih memilih menunduk karena tak mau menambah masalah lagi.

“Tunggu sebentar, aku mau mengambil kotak obat dulu.”

Diaz mengangguk karena masih syok dengan apa yang dialami sekarang. Ia menyandarkan tubuh di sofa yang empuk, sangat berbeda sekali dengan kursi kayu panjang depan kontrakan.

Wajah menatap lampu kristal yang tergantung di atas. Rindi bukan anak orang biasa melainkan anak konglomerat.

Diaz mengubah posisi duduknya agar lebih tegak karena suara langkah yang ke mendekat ke arahnya. Netra Diaz menatap Rindi yang sudah  berganti baju tetapi masih bagus yang ia belikan kemarin karena menurut Diaz,  apa yang dikenakan Rindi terlihat sangat melekat di tubuh gadis itu. Ditambah rambut yang diikat asal membuat leher jenjang putih Rindi menarik perhatian siapa yang melihat. Apalagi Rindi duduk sangat dekat dengan dirinya membuat kedua paha mereka bersentuhan. Diaz terpaksa menggeser duduknya.

Tubuh Diaz terus menegang, kiranya sudah berjauhan yang ada Rindi sekarang menggeser kursi yang agak kecil untuk ditaruh persis di depan Diaz .

“Mau a-apa?” tanya Diaz dengan gugup, ia paling risi jika harus berduaan dengan posisi dekat seperti ini.

“Mau membersihkan luka kamu,” sahut Rindi menunjukkan sebuah baskom kecil berisi handuk kecil. Ia langsung membersihkan dan mengompres luka lebam di wajah Diaz. Rindi sendiri hati-hati saat menempelkan handuk karena wajah Diaz terlihat meringis menahan sakit.

“Tahan dulu sebentar,” saran Rindi ikut merasakan perih di sana.

“Untung besok hari minggu.”

“Memang kenapa hari minggu?”

“Sekolah libur, saya tidak mungkin berangkat  dengan wajah hancur seperti ini.”

Rindi hanya menahan senyum, dengan pelan mengoleskan antiseptik membuat Diaz sedikit merintih karena lukanya semakin terasa perih. Tanpa sengaja  menahan tangan Rindi membuat mereka saling bertatap sebentar.

“Maaf, biar saya saja,” tolak Diaz sambil merebut kapas yang sudah ditetes antiseptik. Ia menolak untuk diobati karena wajah mereka sangat dekat membuat Diaz semakin canggung.

“Maafkan sikap Ayah  barusan. Kita ke rumah sakit saja, bibir kamu sedikit robek, lengan juga masih berdarah begitu,” tunjuk Rindi sambil mengarahkan jarinya.

“Tidak perlu, nanti juga baik-baik saja.”
Suara sepatu yang  beradu dengan lantai marmer membuat mereka berjingkat kaget dan mereka langsung menjaga jarak duduknya. Rindi langsung memasang wajah tidak suka pada Ayah yang sudah bergabung dengan mereka. Mamah juga ikut bergabung sambil membawa minuman, dengan cekatan Rindi mengambil gelas yang berisi minuman untuk segera di serahkan pada Diaz.

“Minumlah!”

Diaz menerima teh hangat, ia menyeruput teh untuk mengurangi kaku karena sepertinya akan ada perbincangan yang sangat serius.

“Rin, masuk ke dalam  dulu sama Mamah. Ayah ada perlu sama laki-laki ini!” perintah Ayah pada putrinya.

Diaz dan Rindi sama-sama kaget, apalagi untuk Diaz yang sebenarnya adalah orang lain yang sengaja dilibatkan dalam masalah yang tak ada sangkut pautnya dengan dirinya.

“Tidak! Pasti Ayah akan memukulnya lagi,” elak Rindi tak mau beranjak dari tempat duduknya.

“Ayah tidak akan melakukan itu lagi, oleh karena itu Ayah  harus berbicara dengan teman kamu.”
Rindi menatap dengan tatapan tak percaya, secepat itu Ayahnya bisa berubah tetapi melihat anggukan dan senyum dari Mamah membuat Rindi menaruh kepercayaan pada mereka agar tidak menyakiti Diaz kembali.

Setelah dua perempuan itu pergi, menyisakan dua laki-laki yang sama-sama dewasa yang saling menunduk, ruangan ini langsung sepi senyap membuat Diaz semakin terpojok karena harus berhadapan dengan ayah Rindi.

“Siapa kamu sebenarnya? Ada hubungan apa dengan putri saya?” tanya Baskoro  yang masih mempertahankan sifat angkuh karena belum bisa meminta maaf atas kesalahannya.

“Saya Diaz. Kami tidak memiliki hubungan apa-apa karena baru kenal kemarin saat Rindi ingin mengakhiri hidupnya di jembatan saat saya sedang lewat tempat itu.”

Baskoro sangat kaget mendengar penuturan pemuda itu. Ia menatap seakan tak percaya tetapi melihat kondisi putrinya down seperti kemarin, bisa saja Rindi berbuat seperti itu.

“Saya tidak tahu kenapa dia seperti itu, sekarang dia agak tertutup. Mulai saat ini dia harus ada pengawalan ekstra ketat.”
Diaz hanya bisa menelan ludah, untuk orang kaya seperti ini tak sulit membayar seorang bodyguard.

“Rindi putri satu-satunya, dia pewaris tunggal semua kekayaan dan bisnis Baskoro Grup. Saya tidak menginginkan terjadi sesuatu dengan putri saya.”

Diaz hanya mengangguk pura-pura paham, dalam hatinya ingin secepatnya keluar dari rumah ini.

“Boleh tahu alasan bapak memukul saya?” tanya Diaz  berterus terang karena ia ingin mengetahui alasan serangan mendadak dari pria ini.
Baskoro menarik napas panjang sambil berucap,

“Arif pacar Rindi yang memberitahu jika Rindi diculik oleh seorang laki-laki dan saya menduga kamu adalah orangnya.”

Diaz sontak sangat kaget, begitu teganya Arif berkata seperti itu. Ayah Rindi belum tahu semua masalah yang sudah terjadi, andai saja mereka tahu jika Arif adalah biang kerok dari masalah ini. Sepertinya Diaz harus  mencari  Arif yang secara tidak langsung sudah mencemarkan nama baiknya


Rindi masih menunggu di kamar dengan hati waswas. Ia tak mau jika Diaz harus terluka lagi oleh Ayah. Pandangan Rindi tertuju pada sesuatu di atas nakas dekat tempat tidurnya. Ia mendekat dan mendapati seperti selembar kertas, setelah diperiksa baik-baik ternyata isinya adalah sebuah undangan berwarna ungu muda. Ia membaca tiap kata di sana membuat air mata sudah tak terelakkan lagi jatuh di pipi.

“ARIF!!!” pekik Rindi histeris membuat semua yang ada di lantai bawah langsung berlarian ke lantai atas.

꧁ᬊ᭄𒆜 '''Insyaallah Jodoh''' 𒆜ᬊ᭄꧂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro