🦋SITUASI YANG SULIT 🦋

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


✽Hidup hanya sebentar, rencanakanlah masa depan, berhenti berpikir tentang masa lalu yang berlebihan, jangan sampai kalian habiskan masa yang sebentar ini dengan kerugian dan penyesalan, hari-hari tak akan kembali lagi✽

***
Insyaallah Jodoh by Galuch Fema



Happy reading jangan lupa vote

Laki-laki yang paling muda langsung  berlari dengan kencang menapaki anak tangga menuju lantai atas. Ia sudah tak peduli lagi dengan nyeri di tubuhnya, jeritan gadis di atas membuat dirinya melupakan semuanya. Dengan napas terengah, ia berada di ruangan atas. Sayang, ia tak tahu di mana kamar Rindi. Ada sekitar empat kamar besar dan semua pintu tertutup rapat. Dengan cekatan, Diaz berlari berusaha mengetuk pintu satu persatu sambil memanggil nama Rindi berulang kali.

“Rindi, buka pintunya!” pekik Diaz berlarian dari satu pintu ke pintu yang lain.

“Kamar paling ujung!” seru Baskoro  disusul istrinya yang baru saja tiba di lantai atas.
Diaz langsung  berlari menuju kamar yang ditunjukkan oleh ayah Rindi. Ia mencoba membuka tetapi sayang sekali masih terkunci rapat. Pelan-pelan  menempelkan telinga dan terdengar suara isak tangis di dalam.

“Rin, buka pintunya!” seru Diaz sekali lagi sambil mengetuk pintu di depan.

“Dobrak saja!” perintah Baskoro dengan lantang. Ia sangat mengkhawatirkan putrinya,  apalagi setelah mendengar penuturan pemuda itu jika Rindi hendak mengakhiri hidupnya dengan terjun ke sungai. Apa jadinya jika terjadi hal seperti itu, ia akan kehilangan putri satu-satunya dan kemungkinan nama baik keluarga akan hancur bersama semua bisnisnya. Baskoro sangat berhutang budi banyak pada pemuda yang menolong Rindi walaupun belum ada permintaan maaf terucap dari bibir Baskoro atas kejadian di depan rumahnya barusan.

Satu tendangan yang kuat belum bisa membuat pintu terbuka. Diaz melangkah mundur dan bersiap berlari kencang. Dengan tenaga yang kuat, akhirnya pintu terbuka. Aroma parfum apel menyeruak menusuk hidung Diaz.  Pemandangan yang sangat menyedihkan ketika melihat Rindi tengah menangis di atas kapet. Sebuah kertas yang sudah dirobek kecil berhamburan tak jauh dari tempat duduk gadis itu.

“Rindi?” panggil Diaz  berusaha mendekat. Mata Diaz jeli melihat benda di sekeliling, takutnya ada benda tajam yang akan diraih Rindi untuk melancarkan aksinya seperti kemarin.

“Jangan mendekat!” seru Rindi dengan mata memerah dan sembab. Wajahnya yang masih basah menatap Diaz yang sudah  berhenti beberapa langkah dekat dengan dirinya.
Diaz terpaksa menghentikan langkah, ia berhenti tak berani bergerak. Mamah masih bertahan di depan pintu sambil menangis terisak. Ayah yang hendak masuk pun akhirnya ikut  terpaksa berhenti.

“Ada apa? Kenapa kamu seperti ini? Apa ada yang menyakiti kamu lagi?” tanya Diaz dengan pelan setengah berbisik  takut Rindi akan kembali emosi.

“A-arif....”

Rindi kembali menangis terisak setelah menyebutkan satu nama itu. Apalagi untuk Baskoro yang dilanda penasaran tingkat tinggi, ia menduga putrinya sedang ada masalah dengan Arif.

“Arif kenapa?”
Diaz sendiri sedikit malas menyebutkan nama itu, gara-gara orang tersebut ia mendapatkan bogem mentah dari ayah Rindi.

“Arif mau tunangan sama perempuan lain,” ucap Rindi di sela isak tangisnya sambil melempar sobekan kertas undangan ke arah Diaz.

Baskoro langsung  kembali meradang, wajahnya memerah dengan tangan yang sudah terkenal kuat. Ia mengurungkan masuk ke dalam kamar Rindi melainkan pergi ke tempat orang yang sudah membuat putrinya seperti ini. Mamah ikut berjalan di belakang berusaha melarang suaminya pergi tetapi sepertinya tak ada yang bisa menghentikan jika Baskoro sudah kepalang emosi.

Diaz hanya bisa memandangi wajah yang terus menangis, jujur berhadapan dengan situasi seperti ini membuat kepalanya pusing.  Diaz tak pandai menenangkan seorang perempuan yang menangis karena sampai saat ini belum pernah berdekatan dengan kaum hawa apalagi sampai melibatkan perasaan di dalamnya. Yang ia bisa lakukan hanya memandangi sampai tangis itu berhenti sendiri.

“Kok diam saja,” cicit Rindi cemberut sambil mengusap mata yang sudah membengkak.

“Saya tidak tahu harus bagaimana,” jawab Diaz jujur dan raut wajah yang kebingungan.

“Tolong ambilkan air minum!” perintah Rindi pada Diaz. Laki-laki itu langsung memenuhi perintah Rindi, kebetulan  dekat pintu terdapat dispenser beserta gelas.  Diaz sambil menyerahkan gelas yang berisi air putih.  Rindi langsung meneguk sampai habis, terlalu lama menangis membuat tenggorokan  terasa kering.

“Sudah mendingan atau mau menangis lagi?”
Rindi dongkol mendapat pertanyaan seperti itu, mana ada orang menyuruh untuk menangis lagi. Ia berjalan dan berbaring di atas ranjang kemudian menutupi tubuhnya dengan selimut tebal. Diaz lama memperhatikan gerak-gerak Rindi, setelah dirasa semuanya sudah tenang, dengan hati-hati beranjak dari kamar ini,  menapaki anak tangga untuk berpamitan dan segera pergi.

“Lebih penting mengurus wajahku yang hancur dibandingkan hidup orang. Sejak berkenalan dengan dia, selalu saja aku yang jadi korban,” gerutu Diaz kesal sambil melajukan mobil menuju sebuah klinik.

✽✽✽

“Zal, periksa aku dulu!” perintah Diaz yang langsung menyeruak masuk ketika satu pasien sudah keluar dari ruangan tempat periksa.  Satu suster yang hendak memanggil nama pasien lain hanya bisa melongo melihat sosok dengan wajah lebam dan berjalan sedikit pincang.

“Astaghfirullahal’adzim, kamu kenapa?” seru dokter Rizal yang diketahui adalah sahabat Diaz. Mereka sama-sama mengenyam pendidikan saat masa-masa putih abu-abu.

“Obati saja dulu, tidak usah banyak  tanya!” perintah Diaz yang sudah berbaring di brankar.

Begitulah Diaz yang terkenal kaku dan jarang  bicara tetapi ketika sama sahabatnya, sifat asli akan keluar semua.
Suster langsung menyiapkan peralatan untuk membersihkan luka di wajah karena di sana masih banyak darah yang sudah mengering.

“Kamu kenapa bisa bonyok seperti ini?”
Rizal kadang suka turun tangan langsung kepada pasien yang ia kenal termasuk Diaz.

“Nolongin orang bunuh diri.”
Gelak tawa yang lumayan kencang menggema di ruangan praktik ini, siapa lagi kalau bukan suara Rizal. Perawat yang sedang membersihkan luka terpaksa menghentikan pekerjaannya karena menahan senyum yang sebentar lagi berubah menjadi tawa yang meledak seperti dokter Rizal.

“Kenapa ketawa?” sungut Diaz sangat kesal. Ia lalu mengubah posisi menjadi duduk karena sekarang dua orang di samping malah tengah pada tersenyum.

“Terus kenapa kamu yang luka parah? Jangan-jangan cewek yang kamu tolong sudah meninggal?” Rizal memasang tampang horor membuat Diaz mendengkus kesal.

“Hus, masih hidup. Ayahnya mengira aku yang menculik itu cewek, makanya aku yang kena imbasnya.”

Mata Rizal terbelalak kaget melihat kaki Diaz yang terdapat luka lebam di sana.

“Tidak lapor saja sama polisi, luka kamu lumayan serius?”

Diaz menggeleng pelan sambil menurunkan lagi celana panjangnya. “ Dia orang kaya, aku tidak mau berurusan seperti itu.”

Rizal mengernyit keningnya seraya berucap, “Siapa orang itu?”

“Pemilik bisnis Baskoro Grup.”
Rizal terenyak kaget, saling menatap dengan perawat yang selalu membantunya.

“Baskoro Grup juga pemilik klinik ini.”
Diaz hanya bisa menahan napas, dan segera ingin menyudahi pemeriksaan ini karena  bayang-bayang tugas sekolah sudah menumpuk dan harus segera dikerjakan mengingat hari Senin ada  audit dari dinas pendidikan setempat.

“Beri obat yang bagus agar Senin terlihat lebih baik bukan tampang preman kena amuk masa.”
Rizal terkekeh geli, ia tetap menulis resep untuk segera ditebus di apotek.

“Tidak ada yang serba instan, semua butuh proses. Untuk lebam bisa pakai salep, insya Allah Senin bisa membaik. Pakai masker saja untuk menutup luka di wajah,” saran Rizal sambil menyerahkan beberapa lembar masker.

Diaz berpamitan pulang tetapi ketika di pintu kembali meradang mendapat sindiran dari Rizal.

“Masih tetap ganteng kok, enggak kaya preman diamuk masa.”

✽✽✽

Hari Senin ujian yang paling berat untuk Diaz, hampir semua rekan kerja di sekolah menanyakan perihal wajahnya yang  terluka padahal sudah mengikuti saran Rizal untuk memakai masker. Terpaksa berbohong dengan alasan jungkir dari motor milik tetangga. Belum anak didiknya yang penasaran habis dengan kondisi wajah yang tersembunyi di balik masker.

“Pak Diaz, ada orang yang ingin bertemu dengan Bapak,” ucap Pak Sholeh—penjaga sekolah yang tengah berdiri di depan meja Diaz.

“Siapa?”

“Perempuan.”

Diaz langsung bangkit sambil menerka siapa yang ingin menemuinya. Sejauh ini tak ada yang menemuinya, terutama di lingkungan sekolah seperti sekarang. Apalagi seorang perempuan. Diaz terus mempercepat langkah menuju halaman sekolah, ia melihat seorang gadis tengah berdiri dekat gerbang. Hatinya sedikit terhibur karena bisa bertatap muka lagi dengan dia.

“Ada yang bisa dibantu?” tanya Diaz seformal mungkin dan mengabaikan desir rasa aneh di dalam hatinya.

“Temani aku ke acara pertunangan Arif.”
Diaz hanya bisa diam sambil menatap dua laki-laki tegap yang mengawal putri anak konglomerat.

“Lagi-lagi aku selalu terseret dalam masalah dia,” berontak Diaz dalam hati.

꧁ᬊ᭄𒆜 '''Insyaallah Jodoh''' 𒆜ᬊ᭄꧂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro