🦋Ide Gila🦋

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

✽ Melapangkan hati untuk melupakan masa lalu. Membuka mata untuk masa depan. Perdekat kepada pembuat takdir. Bukan memperdekat dengan yang ditakdirkan✽

***
Insyaallah Jodoh by Galuch Fema

Happy reading jangan lupa vote

Seorang laki-laki paruh baya tengah berdiri tegak sambil berkacak pinggang di depan gerbang yang menjulang tinggi. Suara klakson yang  bertubi-tubi tak membuat pemilik rumah keluar, hanya satpam yang bertubuh gempal tengah berlari menuju ke arahnya. Pintu gerbang  sedikit terbuka tetapi hanya untuk tubuh satpam itu saja, karena sengaja melarang tamu untuk masuk.

“Di mana Arif?” tanya Baskoro dengan kasar. Ia mencoba masuk tetapi selalu dihalangi penjaga rumah ini.

“Tuan Arif sedang pergi ke luar kota.”

“Bohong. Itu mobil milik Arif masih ada di halaman!” pekik Baskoro sambil menunjukkan mobil mewah yang terparkir di depan pintu masuk.

Satpam itu wajahnya gelagapan karena panik, ia memang tak pandai berbohong sehingga Baskoro terus mendesak untuk masuk.

“Tuan Arif pergi menggunakan mobil tuan besar.”

Baskoro kembali naik pitam, ia merasa dibohongi mentah-mentah oleh keluarga ini. Lebih baik ia memilih pergi menuju ke kantor untuk memutuskan hubungan kerja sama dengan Ibrahim—sahabatnya yang tak lain adalah ayah dari Arif.

Satpam itu mengelus dada melihat tamu itu pergi dan segera langsung menatap ke atas sambil mengacungkan jempol pada pemuda bersama kekasihnya yang baru dari balkon lantai dua.


Suasana sekolah yang sudah sepi karena semua murid sudah pulang, menyisakan penjaga sekolah dan Diaz yang sedang menerima kehadiran tamu yang tak diundang. Penampilan  hari ini terlihat berbeda, sweater abu-abu dengan rok di bawah lutut sehingga menampakkan alas kaki boneka berwarna cokelat muda. Mereka duduk di tepi kolam dengan air yang berwarna keruh. Kolam yang terletak di bawah pohon rindang membuat suasana nyaman karena suasana cukup teduh.

“Aku tak bisa menemani kamu. Carilah orang lain saja,” tolak Diaz membetulkan letak masker agar dapat menutupi wajahnya yang masih luka.

“Kenapa?”

Rindi mengerutkan keningnya, selama ini ia tak pernah  menerima penolakan. Apa yang menjadi kemauan harus ia turuti. Makanya dengan kejadian pertunangan Arif membuat dirinya sangat terpukul.

“Untuk apa aku harus datang ke sana?”

“Jelas untuk menemani aku.”

“Hanya untuk melampiaskan dendam sengaja bawa-bawa aku?” tebak Diaz merasa tidak suka. Di luar dugaan, Rindi mengangguk bersemangat sehingga Diaz semakin sakit hati. Ia bukan boneka yang bisa diatur seenaknya oleh orang yang baru ia kenal.

“Lagian ngapain juga mau balas dendam? Mau membuktikan kalau kamu sudah mempunyai pasangan lagi? Mau  pura-pura pamer kemesraan di depan dia? Tidak perlu semua itu, lebih baik tidak perlu datang saja dan tidak perlu repot-repot ke sana.”

“Kenapa seperti itu?” tukas Rindi semakin kesal.

“Arif akan semakin merasa paling menang karena satu langkah lebih maju dibandingkan kita. Status dia sudah tunangan dan kamu datang cuma memamerkan laki-laki sebagai pacar baru. Itu juga cuma sewaan atau sandiwara.”

Diaz menekankan  kalimat terakhir agar hati Rindi terbuka lebar. Sekarang gadis itu hanya bisa termenung meratapi nasibnya.  Ada benarnya juga ucapan Diaz, ia masih tetap kalah dibandingkan dengan Arif.

“Apa yang harus aku lakukan?” saran Rindi dengan nada yang sangat lirih. Jujur, Diaz merasa iba melihat penderitaan Rindi. Ia sangat terpukul tetapi salah dia sendiri karena mencintai orang secara berlebihan.

“Pilihan ada dua. Tidak perlu datang atau .....”

Rindi penasaran dengan kelanjutan untuk pilihan kedua, mata terus memicing dan memaksa agar Diaz melanjutkan ucapannya.

“Kamu datang bersama suami kamu.”

Rindi terbelalak kaget. Pernyataan apa itu barusan? Datang sama suami, semudah itu apa mencari pendamping hidup. Pacaran bertahun-tahun saja yang sudah saling mengenal masih saja ditinggal tunangan. Apa kabar mencari suami dalam waktu dua hari? Tidak hanya Rindi yang terkejut,  dua bodyguard di sana juga saling bertatapan. Mereka sudah  bersiap jika anak majikan disakiti oleh pemuda itu.

“Bercanda kamu,” tegur Rindi sambil menepuk lengan Diaz sehingga laki-laki yang masih memakai baju dinasnya langsung menggeser duduknya.

“Please datang sama aku?” Rindi memohon sambil menyatukan kedua tangan di depan dada berharap Diaz menyetujui permintaannya.

“Maaf, tidak bisa. Cari laki-laki lain yang mau menemani kamu. Aku tidak mau ikut terlibat sandiwara aneh seperti itu. Aku tidak mau  berbohong.”

“Aku tidak punya kenalan laki-laki lain selain kamu sama Arif,” rengek Rindi sambil mengentakkan  kaki ke atas tanah seperti anak kecil yang merengek minta dibelikan mainan.

Diaz yang hendak  menuju kantor langsung  berbalik menatap Rindi yang tampangnya sudah sangat kesal.

“Bodyguard kamu boleh juga dijadikan pacar sewaan buat menemani acara besok,” sindir Diaz sambil menahan senyum. Rindi semakin meradang karena ulah Diaz yang sangat keterlaluan. Hampir saja dua bodyguard hendak memukul Diaz jika tidak dihalangi oleh Rindi.



Diaz memarkir mobil butut di depan kontrakan, tak lupa membawa beberapa tugas murid untuk segera dikerjakan di rumah karena seharian tadi di sekolah sibuk menerima kedatangan tamu audit dari dinas pendidikan.

Begitu pintu dibuka, ia sangat terkejut karena mendapati seseorang yang sudah duduk di kursi tamu. Untung saja tugas itu masih di tangan karena hampir terjatuh. Salah dia sendiri karena pernah  berkata pada perempuan itu jika rumah kontrakan tak pernah dikunci.

“Ada apa lagi?” sungut Diaz yang sudah lelah ditambah kehadiran seseorang yang selalu mengusik hatinya.

Rindi tersenyum dengan gembira , berjingkat dan menghampiri Diaz. Mengambil tas kantor dan beberapa kertas yang ada di tangan Diaz untuk diletakkan di atas meja. Sudah seperti seorang istri yang menunggu suaminya pulang. Diajaknya Diaz duduk di kursi dan disodori sebuah minuman putih.

“Mau makan sekarang? Nanti aku siapkan,” tukas Rindi berlari ke belakang sambil membawa dua buah piring beserta sendok. Dengan telaten Rindi menaruh bungkusan makanan untuk dibuka dan diserahkan pada Diaz. Laki-laki itu hanya tertegun dan tak bersuara.

“Makanlah!” perintah Rindi yang masih melihat Diaz hanya diam sambil melihat makanan.

“Tenang saja, tidak ada racun kok,” ucap Rindi sambil menyendok makanan di depan Diaz untuk segera dimasukkan ke dalam mulutnya.  Bukannya makan makanan yang sudah disiapkan, Diaz malah meletakkan piring itu di atas meja.

“Masih berharap atas permintaan tadi?” tuduh Diaz membuat Rindi mengangguk dengan semangat. Retina yang melebar ditambah senyum bulan sabit menambah pesona anak konglomerat. Dalam hati Diaz langsung beristigfar dalam hati.

“Jawaban aku tetap sama.”

Wajah yang tadinya cerah langsung berubah menjadi murung dan kecewa, ia ikut meletakkan  piring makanan berdampingan di atas meja.

“Tidakkah mau menolong aku sekali ini saja?” pintanya memelas membuat Diaz semakin tak enak hati.

“Aku tak pantas  mendampingi kamu menghadiri acara  besok. Jika kamu memaksa tetap membawa aku sama saja kamu menjatuhkan nama kamu sendiri. Harusnya kamu datang dengan pria gagah, kaya, tampan bukan seperti aku, cuma guru honorer, tampang hancur pula seperti ini. Aku tidak mau kamu jadi omongan orang apalagi Arif malah semakin puas meremehkan kamu.”

Rindi menunduk sambil memainkan jarinya. Mungkin ini adalah kalimat panjang yang keluar dari mulut Diaz.

“Aku tetap memilih kamu untuk menghadiri acara  besok. Harus dan tidak ada penolakan,” tukas Rindi dengan tegas membuat Diaz geleng-geleng kepala.

“jika aku tetap menolak?” tantang Diaz tak mau kalah. Ia lupa jika di depannya adalah gadis yang cerdik.

“Aku akan berteriak kencang, pasti semua orang akan mendekat dan berspekulasi jika kamu akan berbuat buruk sama aku.”

Diaz terbelalak kaget, ia tak menyangka jika Rindi akan mempunyai ide gila seperti ini. Apalagi dia sekarang sudah berdiri sambil berusaha membuka resleting sweater yang dikenakan tetapi tatapan mata itu terus mengarahnya.

“Gila kamu!” pekik Diaz tak tenang.  Ia gugup setengah mati karena posisinya berada di ujung tanduk, berlari pun percuma karena pasti dua pengawal Rindi sedang menunggu di depan.

“Aku hitung sampai tiga. Satu. Dua. Ti....”

꧁ᬊ᭄𒆜 '''Insyaallah Jodoh''' 𒆜ᬊ᭄꧂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro