🦋The Beginning of Love🦋

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



✽Cinta ada karena perkenalan. Hati bersemi karena adanya perhatian. Adanya kesetiaan membuat kita bertahan✽

***
Insyaallah Jodoh by Galuch Fema


“Kenapa tak kembali ke rumah saja dan tidak perlu mampir-mampir?” telisik Diaz yang sudah merasa tak nyaman berada di tempat yang baru pernah dikunjungi. Restoran mewah untuk kalangan orang atas yang bisa berada di tempat ini. Untung suasana lumayan ramai membuat mereka tidak hanya berdua. Jarak beberapa meter juga terdapat meja dan orang-orang di sana.

“Temani sebentar, aku mau ketemu sama seseorang di sini,” jawab Rindi sambil mendekatkan piring berisi makanan di depan Diaz.

“Bisa makan sendiri atau ....” Tatapan Rindi langsung tertuju pada Diaz yang dilanjutkan dengan anggukan lemah. Tak mungkin di tempat eksklusif seperti ini makan pun harus disuapi.

Laki-laki itu hanya bisa memandang makanan yang sudah tersedia, perut sepertinya enggan menerima makanan baru yang pernah ia lihat.

“Selamat malam Saudari Rindi,” tukas laki-laki lengkap dengan jas eksekutif sambil membawa tas tenteng berwarna hitam sudah duduk di meja mereka.

“Malam.” Rindi langsung memasang tampang formal karena ia paham dengan siapa harus berhadapan. Diaz hanya bisa memperhatikan laki-laki yang mungkin usianya di  bawahnya  tengah menatap balik ke arahnya.

“Kekasih atau ....”

Rindi hanya mengulas senyum tipis tanpa menjawab pertanyaan  yang tidak penting dan tidak ada hubungannya dengan pekerjaan.

“Langsung ke inti masalah saja!”

Diaz merasa terabaikan karena kedua orang tersebut sudah membicarakan tentang urusan bisnis. Sayup-sayup yang terdengar di telinga Diaz hanya nominal angka  dengan jumlah fantastis. Laki-laki itu pun tahu diri, di situasi seperti ini tak mungkin dirinya menikmati hidangan makanan di tengah orang yang sedang membicarakan masalah  bisnis.

Ia berjalan meninggalkan meja itu menuju dinding kaca di belakangnya. Sesekali menatap belakang tetapi Rindi masih bersama berkas di tangannya.

Lampu-lampu yang  berkilauan dari atap gedung tinggi seperti sedang  bersaing memamerkan pesona dengan bulan purnama dan kemilau bintang di angkasa. Sayang keindahan tersebut belum mendamaikan perasan Diaz. Keadaan dirinya sekarang tak mampu menjembatani jurang perbedaan antara dirinya dengan Rindi.

“Kok tidak di makan?”

Diaz menoleh dan mendapati Rindi sudah duduk sendiri, Diaz terpaksa kembali kepada kursi yang ia tinggalkan setengah jam yang lalu.

“Apa mau ganti menu saja? Padahal ini menu andalan di sini.”

“Tidak perlu, ini lebih dari cukup.” Diaz hanya mengaduk, sesekali makanan yang hanya di ujung sendok saja yang masuk. Bukan karena tak lapar tetapi dengan siapa ia duduk sudah membuatnya terkucil. Pantas saja ayah Rindi tak menginginkan jika dirinya bisa masuk ke dalam keluarga Baskoro.

“Besok tidak perlu antar jemput klinik biar dokter Rizal saja yang ke kontrakan, tinggal lepas jahitan ini.”

Ada rasa ganjil terbesit di hati Rindi karena secara tidak langsung Diaz menginginkan agar mereka berjauhan atau menghindari pertemuan.

“Aku akan datang sesering mungkin ke kontrakan .”

Diaz terbelalak sampai sendok jatuh ke atas piring menimbulkan suara nyaring. “JANGAN!”

“Aku peduli sama Mas dan tidak mungkin bisa berjauhan karena aku mulai suka sama Mas.”

Diaz sangat terkejut, seharusnya ia bahagia mendengar barusan tetapi ia harus berkaca seperti yang disarankan Baskoro. Sementara Rindi juga merutuki ucapannya karena keceplosan berbicara dan tak mungkin menariknya lagi.

Ia tak menyangka jika bibir itu terlalu jujur mengemukakan perihal isi hatinya sekarang. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya, semoga saja Diaz tak menganggapnya perempuan murahan yang dengan gampangnya berbicara masalah cinta.

“Sepertinya terlalu sulit untuk bersatu, banyak hal yang saling  bertentangan.”
Rindi menunduk dengan kecewa, rasa kagum kepada sosok di depan tiba-tiba luruh sudah. Jika Diaz benar-benar mencintainya mungkin tak akan membiarkan semuanya seperti ini, setidaknya ia masih mempunyai sebuah hati untuk diserahkan padanya.

“Ayah,” bisik Rindi sambil memikirkan  sosok tangguh yang selalu menjadi panutannya. Dibalik sifat keras ayah sesungguhnya sangat menyayangi Rindi. Apa yang belum pernah diberikan kepada Rindi, hidup enak, kemewahan yang berlimpah dan masa depan yang cerah.

“Ada alasan lain, saya menginginkan pendamping yang Sholehah dan menutup aurat serta rajin ibadah.”

Rindi bergeming, mengenal laki-laki itu membuat dengan mudahnya menyingkirkan nama Arif dari hatinya. Cintanya pada Diaz semakin besar untuk berhenti diperjuangkan.  Sayangnya Rindi tak sempat memantaskan keimanan agar bisa seimbang dengan laki-laki Sholeh seperti Diaz.

“Lantas apa yang harus saya lakukan?” lirih Rindi sambil menatap penuh harap. Diaz sendiri tak kuasa melihat  wajah Rindi dengan tatapan sedih.

Keduanya sama-sama meratapi takdir karena terlalu cepat menyimpulkan perasaan satu sama lain karena cinta tidak butuh penjelasan tetapi pertarungan yang bisa dimenangkan tanpa harus memulai. Malam itu menjadi malam penuh siksaan bagi mereka berdua yang dirundung perasaan yang sama tetapi belum bisa bersatu.

“Saya takut kamu menyesal  karena pilihan jatuh pada orang yang salah.”

“Aku tidak mungkin kembali jatuh pada kesalahan yang sama.”

“Pikirkan dulu takut menyesal. Saya bukan orang kaya seperti idaman ayah kamu.”

“Harta bukan yang saya cari. Setidaknya Mas mau menerima semua kekurangan aku itu sudah membuatku bahagia.”

Mereka sempat saling bertatap muka sejenak sebelum memilih menunduk sambil berpikir masa depan mereka masing-masing. Cinta yang dirasakan sekarang terasa sangat berbeda dari sebelumnya jika saat bersama Arif, Rindi akan bebas berdekatan tanpa rasa malu sedangkan bersama Diaz terasa berbeda karena laki-laki itu tak mau menyentuh sesuatu yang belum halal untuknya.

“Tunggu waktu yang tepat, saya akan datang bersama orang tua untuk melamar kamu.”

Suara Diaz yang serak tetapi cukup terdengar di telinga Rindi membuat gadis itu terlonjak dari tempat duduknya hampir berlari memeluk kekasihnya. Untung saja di detik selanjutnya Rindi sadar dengan siapa ia berhadapan, kembali mundur dan duduk manis menahan malu.

Malam ini menjadi romantis setelah pengukuhan cinta mereka, sekarang mereka  melanjutkan makanan yang sudah dingin tak seperti kehangatan cinta dua sejoli.

“Setelah ini kurangi intensitas pertemuan kita.”

“Kok begitu,” protes Rindi merasa tak terima padahal di dalam otaknya sudah berseliweran rencana kencan mereka nanti.

“Tak baik. Kamu harus sabar menunggu saya datang melamar dan meminang kamu.”

Rindi mengangguk pasrah tetapi setidaknya hatinya bahagia karena selama bersama Arif tak pernah berbicara serius seperti ini apalagi menyangkut masa depan. Setidaknya masih bisa melihat Diaz dalam layar ponsel jika rindu sudah tak terbendung.



✽✽✽



Rindi berjalan menuju parkir mobil setelah seharian kuliah. Walaupun tanpa menyabet gelar sarjana, Rindi dengan mudahnya mendapatkan pekerjaan salah satu bisnis ayahnya. Apalagi kecintaan gadis itu terhadap dunia medis membuat sebagian waktunya dihabiskan di klinik milik pribadinya. Hari ini masih sama seperti kemarin, tanpa dikawal karena hubungan dengan ayahnya belum membaik.

Seorang laki-laki berkaca mata hitam berjalan dari arah belakang agar bisa berjalan sejajar bersama gadis itu. Rindi terkejut dan langsung menatap sosok yang sekarang sudah berjalan di sampingnya.

“Ada apa kemari?”

“Hanya ingin bertemu. Mana kekasih kamu?” sindir laki-laki itu membuat Rindi meradang tetapi untuk menyingkirkan sepenuhnya  bayang-bayang masa lalu terasa amat sulit.

Masih ada sedikit rasa tetapi Rindi sekuat tenaga untuk menghilangkan agar rasa itu benar-benar tidak ada di hatinya.

“Aku datang untuk meminta maaf.”
Dengan terpaksa Rindi mengawasi wajah Arif, entah rencana licik apa yang sedang disusun dalam otaknya.

“Maaf untuk apa?” Rindi menyilangkan kedua tangan untuk menguatkan tubuhnya.

“Semua kesalahan termasuk meninggalkanmu begitu saja. Apa kamu mau kembali bersama aku?” pinta Arif bersungguh-sungguh. Rindi kembali bimbang, walaupun hatinya sedang belajar mencintai Diaz tetapi tak menampik jika rasa itu masih ada untuk Arif.

“Aku....”

Mata Arif berbinar melihat respons dari tatapan hangat kedua mata Rindi. Bayang-bayang kebahagiaan sebentar lagi akan bersama mereka. Papah akan tidak sakit-sakitan lagi dan perusahaan akan kembali berdiri dan tidak akan gulung tikar.

¤To be continue di versi cetak¤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro