🦋Sepotong Hati🦋

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


✽Kata sayang mudah kau ucap, kata cinta mudah kau kecap. Namun perjuangan menuju akad kenapa masih berat✽
***
Insyaallah Jodoh by Galuch Fema

Happy reading jangan lupa vote

Perusahaan keluarga Arif sudah di benar-benar di ambang kehancuran. Saran  dari papah kemarin sama sekali belum Arif laksanakan. Ia terlalu sayang dengan Icha karena tak mungkin melepaskan begitu saja, jangan sampai calon istrinya tahu tentang masalah ini.

Namun, melihat papah yang tiap hari uring-uringan tidak jelas ditambah beberapa hari ini terpaksa kontrol ke rumah sakit karena vertigo kambuh, laki-laki itu kembali bimbang.

Sekarang semua beban tertuju pada Arif, ia sendiri tak tahu jalan mana yang ditempuh. Bayang-bayang PHK karyawan dan memangkas gaji mereka sudah di depan mata. Belum memikirkan hutang kepada bank dengan menjual aset tersisa.

Arif bangkit dan berjalan menuju dinding kaca di lantai dua. Di ujung sana terlihat gedung milik Baskoro Grup yang berdiri kokoh dengan tegak. Sebuah perusahaan yang sudah puluhan tahun bergerak didunia pasar modal skala besar, bahkan sebagian saham juga ada di Bursa Efek Jakarta. Jika bukan karena sahabat, mungkin keluarga Baskoro tak mungkin menanamkan saham di perusahaan ini  yang kembang kempis jika tak mendapatkan suntikan dana cukup besar.

Lamunan Arif terhenti ketika dering pesan menyadarkan dari halusinasi. Pesan singkat dari Icha yang meminta dibelikan nasi padang oleh dirinya bukan orang lain. Di kehamilan yang menginjak lima bulan sifat manja semakin menjadi. Arif mengambil tas melangkah pergi, memikirkan masalah ini semakin membuat kepalanya mau pecah.


✽✽✽

Kondisi Rindi semakin down tetapi ia tak lagi mengambil jalan yang salah. Nyawa Diaz yang menjadi incaran ayahnya, belum gunjingan teman-teman kampus karena kabar pertunangan mantannya menyeruak menjadi berita panas di sana. Ditambah hubungan dengan ayahnya yang sekian memburuk karena perang dingin terjadi  di dalam rumah.

Sepulang kuliah Rindi berinisiatif mengunjungi Diaz karena ia ingin  bertanggung jawab atas apa yang dilakukan ayahnya. Kali ini ia sendiri, sejak kejadian pemukulan itu ia menolak untuk dikawal oleh Bram dan Roy, padahal Mamah sudah melarang pergi sendiri. Sebenarnya Rindi menyanggupi mau kembali dikawal dengan syarat ayahnya mau meminta maaf kepada Diaz.

Namun, bukan seorang Baskoro jika mau mengakui kesalahannya dan bertekuk lutut pada orang lain.

Suasana halaman sepi ditambah mobil tidak ada membuat Rindi berpikiran buruk, semoga Diaz dan wanita itu tidak sedang pergi bersama.

“Mas?” panggilnya lirih ketika menemukan ruang tamu yang sepi. Dugaan Rindi semakin yakin jika mereka bisa saja kencan atau nonton film bioskop. Rindi merutuki dirinya sendiri kenapa bisa-bisanya datang ke sini karena selalu kecewa yang ia dapat. Baru mau melangkah keluar tiba-tiba terdengar suara mengaduh di dalam kamar. Buru-buru gadis itu berlari menuju ke kamar Diaz.

“Astaghfirullah!” pekik Diaz kaget. Terlalu fokus dengan apa yang dilakukan membuat tidak sadar kehadiran seseorang di rumahnya.

“Mas kenapa?” tanya Rindi yang sudah mendekat dengan wajah ketakutan. Ia melihat Diaz tengah memakai kemeja tetapi sepertinya kesulitan karena untuk memasukkan  lengan yang sakit. Ia tampak susah payah padahal keringat sudah bercucuran di dahi dan membasahi kaos yang dikenakan. Rindi mendekat kemudian membantu memakaikan baju dengan hati-hati karena luka di sana masih basah. Menutup kancing kemeja satu persatu membuat Diaz salah tingkah karena harus berdekatan seperti ini.

Diaz buru-buru menghindar dengan melangkah menuju ruang tamu dan duduk di sana

“Belum sembuh? Kenapa masih basah seperti itu?” tanya Rindi sambil melihat luka itu.

“Lupa ganti perban, kemarin tak sengaja kena air wudu.”

Rindi meraih keresek putih dengan logo klinik miliknya kemudian duduk berhadapan dengan Diaz sambil meraih lengan itu dengan pelan. Tubuh Diaz belum siap menerima sentuhan dari gadis itu.

“Kamu mau apa?”

Namun pertanyaan itu telat karena Rindi sudah membuka kasa. Cairan merah sudah merembes membasahi kasa yang tadi berwarna putih sekarang berwarna merah. Rindi enggan menjawab, ia menatap sekilas kemudian melanjutkan kembali membersihkan luka.

“Biar nanti perawat saja, kebetulan saya mau ke Klinik,” tolak Diaz karena berdekatan dengan Rindi membuat hatinya berdesir hebat, beda saat diobati perawat di sana.

“Diam. Aku juga kuliah perawat!” umpat Rindi senewen membuat Diaz tak berkutik.

“Kenapa tidak bilang kalau ayah yang melakukan ini,” sambung Rindi sambil memasang wajah sangat kesal. Namun, laki-laki itu belajar untuk terbiasa. Teringat kembali kata-kata ayahnya Rindi yang akan ia ingat sampai kapan pun karena secara tidak langsung merendahkan orang tuanya.

“Untuk apa? Cuma menambah jarak dan permasalahan saja antara kamu sama ayah kamu.”

“Setidaknya aku bisa membela kamu.” Plester sudah menutup perban dan Rindi simpan kembali ke tempatnya. Ia lalu mengubah duduknya berdampingan dengan Diaz.

“Untuk apa kamu membela saya? Sebagai orang tua pasti wajar menginginkan anaknya mendapatkan pasangan yang lebih baik bukan seperti saya. Apalagi kamu anak tunggal, pewaris utama  semua bisnis dan kekayaan ayah kamu.”

“Aku tak selalu sejalan dengan pikiran Ayah. Jika aku menemukan orang yang cocok dan tulus menyayangi aku kenapa aku tolak,” pancing Rindi agar laki-laki itu agar mengerti perasaannya.

“Bagus kalau kamu sudah mencoba membuka hati dan melupakan Arif. Saya doakan agar kamu bisa menyusul dia.”

Wajah Rindi langsung  cemberut, belum paham juga laki-laki ini. Apakah harus dirinya dulu yang mengatakan I love you agar Diaz mengerti.

“Apa sudah lupa janji yang diucapkan setelah acara Arif?”

“Apa ya? Maaf saya tidak ingat.”

Pupus sudah harapan Rindi, ia kecewa berat. Padahal sebelum berangkat ke sini sudah bisa membayangkan bisa kencan berdua dengan pak guru ini tetapi ternyata salah.

Tiba-tiba ada suara menyeruak masuk membuat Diaz dan Rindi langsung menatap ke arah pintu.

“Apa mau berangkat se....“

Wanita itu tak lagi melanjutkan ucapannya karena syok dengan apa yang ia lihat. Ia seperti merasa orang lain yang tiba-tiba masuk ke dalam dunia orang tersebut.

“Saya yang akan mengantar Mas Diaz ke klinik,” seloroh Rindi tak mau kalah. Ia tidak ingin memberikan kesempatan dua orang itu dekat dengan alasan apa pun. Biarkan sekarang menjadi orang yang egois.

“Baiklah, saya permisi dulu.”

Diaz sempat memperhatikan jika wajah yang pergi terlihat kecewa dan sedih.

“Tidak perlu repot-repot antar saya. Bagaimana kalau ayah kamu nanti tahu?”

“Tidak apa-apa. Kita  berangkat sekarang. Lagian aku bukan orang yang lepas tanggung jawab atas apa yang diperbuat oleh ayah.”



✽✽✽


Sesampai di klinik Rindi pamit menuju ruang administrasi karena harus mengecek urusan di sana. Sengaja membiarkan dua orang laki-laki dewasa itu bercerita karena diketahui mereka sangat dekat.

“Masih berhubungan dengan gadis itu?” tanya Rizal dengan memasang wajah tak suka.

“Sudah beberapa hari kita tidak ketemu. Tiba-tiba datang lagi ke kontrakan,” keluh Diaz merasa keberatan karena harus dipertemukan lagi.

“Tapi kamu suka, kan?” selidik Rizal mengecek luka yang belum sempurna kering. Terpaksa harus menunda dulu untuk lepas jahitan. Diaz bergeming sambil menatap ruangan di sini. Sempat terkejut juga melihat ponsel Rizal yang masih menyala menampilkan sesuatu tetapi Diaz memilih pura-pura diam.

“Sudah selesai?” Suara cempreng mendominasi ruangan ini kemudian dilanjutkan anggukan Diaz yang sudah berdiri dari kursinya. Rindi berjalan mendampingi Diaz untuk keluar membuat sepasang mata itu terus mengawasi mereka berdua yang sudah hilang dari tatapannya.

Rizal duduk dengan lemas di kursi kebanggaannya sambil menatap lagi layar wallpaper menantikan pasien selanjutnya yang sedang dipanggil perawat. Satu sosok perempuan masuk mendekat ke arah Rizal tetapi memilih berdiri sambil menatap kedua matanya.

“Jika dokter masih mau kerja di sini, tolong jangan pengaruhi sahabat Anda untuk menjauhi saya.”

¤To be continue ¤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro