Interaksi | 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ayana tidak berharap banyak pada nilai remidi yang akan keluar besok. Nyatanya, meskipun sudah belajar semalaman sampai subuh, hal tersebut sama sekali tidak membantu. Dia selalu kesulitan di tengah-tengah mengerjakan soal, bahkan meskipun itu mengulang soal yang sama. Payah sekali bukan? Yah, untuk yang satu ini dia tidak bisa menyangkalnya. Dia memang payah dalam urusan pelajaran.

Namun, hal itu sama sekali tidak akan Ayana ambil pusing. Dia bahkan terkesan bodo amat dan lebih memilih memikirkan hal lain yang menurutnya jauh lebih penting dari pada nilai ujian. Gadis berkucir satu yang baru saja keluar dari kelas itu tetap mengukir senyum di saat beberapa teman sekelas yang senasib dengannya merutuki soal remidi yang tetap sulit dikerjakan. Dia melangkah riang mendekati temannya yang duduk di bangku kayu berada tepat di depan perpustakaan sambil membaca sebuah novel.

"Gimana remidinya? Lancar?" tanya Bita—teman sebangku sekaligus perempuan yang menjalin persahabatan dengan Ayana sejak mereka menginjak bangku TK.

Ayana menyeringai. "Situasinya sama kayak ulangan harian kemarin."

Bita menggeleng pelan mendengar ucapan itu. Dia menutup novel miliknya lalu mereka mulai berjalan menyusuri lorong yang ramai menuju kantin untuk mengisi perut yang sudah keroncongan.

"Sepulang sekolah nanti jadi nonton Reyhan latihan futsal?"

Ayana mengangguk dengan antusias. Tentu saja, dia tidak akan melewatkan momen yang sudah sangat dinantikan sejak pagi tadi setelah mengetahui Reyhan ada jadwal latihan futsal dadakan. Karena biasanya, cowok itu latihan di akhir pekan. Yah, mempunyai jadwal kegiatan orang yang kita suka bukan hal yang aneh, kan?

"Oh iya, gimana untuk hari ini? Ada sesuatu yang kamu kasih ke dia?"

Senyum lebar Ayana mengembang. "Aku kasih gantungan kunci."

"Yang kemarin kamu buat sendiri itu?" Nada bicara Bita sedikit berubah. "Couple-an dong sama kayak punyamu? Emang enggak masalah? Kalau dia lihat gimana?"

"Enggak akan, karena kusimpan di rumah," ucap Ayana penuh keyakinan.

Bita menghela napas. Diam-diam ingin perasaan temannya itu tidak lagi menjadi sebuah rahasia yang hanya diketahui oleh mereka berdua. Di tengah keheningannya, dia mencoba berpikir keras lalu beberapa saat kemudian senyumnya muncul.

"Udah denger berita soal Jihan kelas sebelah belum?"

Ayana mengernyit. "Berita apa?"

"Dia nyatain perasaannya ke Bian pake surat gitu. Siapa sangka mereka akhirnya pacaran."

"Iya?" Ayana tampak terkejut juga terpukau. "Enak ya suka sama cowok yang suka balik ke kita. Semuanya jadi lancar." Senyum gadis itu seketika menghilang.

Bita menggaruk kepalanya yang tak gatal. Tidak menyangka respon itu yang akan dia dapatkan. Dia kira Ayana akan merasa termotivasi, nyatanya semangat gadis itu justru menurun.

"Kamu gak mau nyoba cara dia gitu? Siapa tau hasilnya positif juga buatmu."

"Kamu gila? Enggak mungkinlah, masa tiba-tiba aku ngasih surat cinta dan dia nerima dengan mudahnya? Bahkan aku rasa dia gak tau aku ada di dunia ini," ucap Ayana semakin lesu di akhir kata. "Dia pasti enggak sadar sama kehadiranku padahal hampir setiap hari lewat depan kelas cuma mau liat dia aja."

Bita tidak ingin menyerah, dia harus membangun lagi semangat Ayana yang entah menghilang ke mana.

"Ya, kan enggak langsung ngajak dia pacaran Ayana. Dimulai dari sebuah pertemanan, kan bisa. Kalau sampai kamu berhasil sampai di titik itu, aku rasa itu kemajuan yang sangat besar. Pelan-pelan, satu persatu."

Ayana diam. Meskipun tidak lagi menanggapi perkataan itu, otaknya memikirkan ucapan Bita dengan cukup keras.

Haruskah dia mengambil langkah itu?

***

Hanya dalam waktu lima menit setelah bel istirahat berbunyi, kelas yang didominasi warna kuning pastel itu langsung ramai seperti pasar rakyat. Beberapa murid dari kelas sebelah bahkan mampir ke kelas tersebut hanya untuk sekadar bergosip sambil membawa cemilan yang mereka bawa di tangan masing-masing. Di tengah keriuhan itu, hanya ada satu orang cowok berkacamata yang masih betah berkutat dengan buku paket di depannya.

"Gue masih oke-oke aja kalau lo bacanya komik. Lah ini, isinya rumus semua enggak sakit mata lo?" ucap Mario tidak habis pikir. Dia duduk tepat di depan cowok berkacamata itu.

Kenzie hanya tersenyum tipis. Tidak berniat menggapi perkataan itu.

"Siapa yang naruh gantungan kunci di laci gue?"

Hanya suara itu yang berhasil mengalihkan perhatian Kenzie. Dia menoleh pada Reyhan—teman sebangkunya—yang tampak keheranan. Di tangannya terdapat gantungan kunci berbentuk awan yang sangat mungil sekaligus menggemaskan.

"Dari pengagum rahasia jangan-jangan? Coba lihat."

Reyhan menepis tangan Mario yang hendak mengambil benda kecil itu. "Lucu juga. Gue simpen deh."

"Ken, entar sore jadi, kan, latihan futsal? Gue pulangnya sekalian ikut lo, ya. Si Juki mogok kemarin, masih di bengkel." Juki adalah motor satu-satunya sekaligus kesayangan milik Reyhan.

Kenzie hanya mengangguk sebagai jawaban. Dia menutup buku paket untuk kemudian dimasukkan ke dalam tas, tetapi gerakannya terhenti ketika tidak sengaja melihat ke arah jendela di mana dua orang gadis tengah berjalan melewati kelasnya.

Jantungnya, selalu saja bereaksi berlebihan.

***

Sore hari ini latihan futsal berjalan dengan lancar. Satu bulan lagi, di sekolah akan diadakan class meeting yang itu artinya ujian akhir semester pun akan segera dilaksanakan. Tahun lalu mereka kalah ketika melawan tim dari angkatan yang kini sudah lulus. Maka dari itu, tahun ini semua murid kelas XI IPA 3 sangat antusias untuk meraih piala juara satu.

"Ken, dicariin cewek lo tuh!"

Teriakan itu memenuhi lapangan futsal membuat semua orang menatap Kenzie yang tengah meneguk minuman. Wajahnya yang biasanya tenang kini berubah menatap kesal pada Reyhan.

"Kami cuma teman," ucapnya menegaskan.

"Iya, iya, percaya gue. Udah sana temuin. Dia udah nungguin dari tadi sampe digodain sama si Mario. Awas, dipepet temen sendiri."

Tanpa membalas perkataan Reyhan, dia berjalan mendekati seorang perempuan yang masih memakai seragam sekolah tengah melambai penuh semangat menatapnya. Benar saja, di sana ada Mario yang segera menyingkir setelah mengedipkan mata ke arahnya lalu terbahak tidak jelas.

"Udah sore kenapa belum pulang?"

Perempuan bernama Nadha itu mendadak berubah lesu. "Papa enggak bisa jemput karena harus lembur di kantor. Tadi mau naik taksi, tapi uangnya gak nyukup."

Kenzie menghela napas. "Harusnya tadi langsung hubungi aku biar langsung kuantar pulang."

Gadis itu tersenyum dan menggeleng. "Sengaja. Kasian kalau kamu harus bolak balik nganterin aku terus ke sini lagi."

"Enggak masalah buatku. Lain kali langsung bilang aja. Udah makan?"

"Belum. Mau menemin makan?"

"Boleh. Sebentar, aku ganti baju dulu."

Baru saja berbalik, Kenzie harus berhenti melangkah saat melihat dua orang perempuan yang mengintip di balik pintu masuk lapangan. Orang yang sangat dia kenali, tentu dia juga tahu alasan mereka bisa berada di sini padahal jam pulang sekolah sudah lewat beberapa jam lalu.

Kenzie harus menahan napas saat salah satu dari mereka menatap padanya. Beruntung hanya sesaat karena gadis itu langsung menghilang di balik pintu dengan wajah panik. Tanpa sadar, bibirnya tersenyum tipis. Dia menunduk pelan lalu benar-benar pergi ke ruang ganti sebelum bertindak gila dengan memperhatikannya lebih lama.

Setelah makan di warung dan mengantar Nadha pulang, Kenzie kembali ke sekolah untuk menemui kedua temannya. Mereka tengah asik mengobrol tidak jelas di dalam lapangan yang sudah sepi. Tempat itu mendadak seperti dihuni oleh banyak orang karena suara mereka yang sangat keras. Meskipun obrolannya tidak penting dan terkadang konyol, Kenzie suka mendengarnya.

"Jadi, kapan nih jadiannya?"

Kenzie melirik Mario yang baru saja bertanya.

"Eh, iya cuma temen. Maap bang, lupa. Awas aja kalau endingnya tiba-tiba nyebar undangan."

Reyhan tertawa mendengarnya. "Biasanya, sih, begitu. Lagian cewek secantik Nadha enggak mungkin cuma dianggurin doang. Apalagi kalian sering bareng. Jujur sama gue, lo pasti naksir dia kan?"

"Gak capek bahas itu mulu? Sekali-kali bahas pelajaran. Bentar lagi udah mau ujian."

Mario melempar kulit kacang ke arah Kenzie. "Pelajaran mulu di otak lo."

"Maklumlah namanya juga otak waras. Gak kayak lo isinya cewek semua."

"Ngaca, bego!"

Kenzie memilih mengabaikan perdebatan mereka berdua. Dia menatap pada jam di ponsel dalam diam, tetapi di dalam hati tengah menghitung angka.

"Satu jam lagi," batinnya. Dia lalu berdiri.

"Ayo pulang, udah sore. Bentar lagi Pak Kasman pasti datang buat ngunci pintu."

Mereka lalu bergegas pergi dari sana. Sebelum pulang ke rumah, Kenzie mengantar Reyhan terlebih dahulu menuju bengkel untuk mengambil motor yang ternyata sudah selesai diperbaiki.

Langit sudah gelap saat cowok itu sampai di depan sebuah warung yang dekat dengan kompleks perumahannya. Dia duduk sebentar di sana setelah memesan satu gelas teh hangat. Matanya sesekali melirik pada jam di tangan. Saat jarum menunjukkan pukul tujuh malam tepat, bibirnya tertarik dengan sempurna membentuk senyuman.

Kenzie keluar dari warung tanpa membawa motor dan berjalan menyusuri jalanan kompleks yang sangat sepi. Saat itulah dia melihat seorang perempuan ber-sweater tengah berjalan sendirian sambil memainkan ponsel. Dia berada dalam jarak sekitar sepuluh meter dari tempat perempuan itu berjalan. Kenzie tidak punya maksud lain. Berita soal pria aneh yang suka mengganggu pejalan kaki di area kompleks ini cukup membuatnya khawatir untuk membiarkannya berjalan sendirian. Dia hanya ingin memastikan gadis itu sampai rumah dengan aman.

Setelah sekitar lima belas menit berjalan, dia menghentikan langkah dan berusaha menahan rasa kecewa saat gadis itu menghilang di balik gerbang yang menjulang cukup tinggi. Namun, sedetik kemudian senyumnya kembali mengembang.

Dia masih bisa melihatnya besok, di sekolah.

"Selamat malam, Ayana," gumamnya pelan masih dengan jantung yang berdebar kencang.

•••





Halowww  ̋(๑˃́ꇴ˂̀๑) aku kembali lagi dengan genre Teenfiction.
Terima kasih banyak ya untuk kalian yang udah meluangkan waktu membaca cerita ini🤍

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro