Interaksi | 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Siapa pun tolong selamatkan Ayana sekarang juga. Dia tidak pernah menyangka jika bangun kesiangan justru menghantarkannya pada situasi yang menguntungkan, mendebarkan tetapi membahayakan sekaligus. Ya, sangat membahayakan kesehatan jantungnya. Di mana dia terjebak di salah satu kursi penumpang bersama seorang cowok yang setiap hari memenuhi pikirannya. Ayana memeluk tasnya semakin erat bersamaan dengan debaran jantungnya yang juga semakin menggila. Entah sudah berapa kali dia mencoba mengatur napasnya yang tidak teratur, kepalanya bahkan kini terasa pegal karena terus menoleh ke arah jendela.

Tadi Ayana terpaksa menaiki bus karena Ayah sudah berangkat bekerja terlebih dahulu, meninggalkan dirinya yang kalang kabut berlari menuju halte yang untungnya pula tidak jauh dari kompleks perumahan. Hal yang awalnya menjengkelkan kini berubah menjadi hal yang sangat dia syukuri.

"Sepuluh menit lagi bel masuk," ucap cowok di sampingnya sambil melihat pada jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan.

Ayana meneguk ludah dan sedikit bergerak membenarkan duduknya menjadi lebih tegak. Dia merasa Reyhan tengah menoleh ke arahnya, tetapi tidak berani memastikannya.

"Lo Ayana, kan? anak kelas sebelah."

Pelukan Ayana pada tas-nya semakin mengerat. Dia mengangguk pelan. Berusaha mati-matian menahan salah tingkah dan mencoba untuk tidak bersikap bodoh hanya karena obrolan pertama mereka dan fakta bahwa cowok itu mengetahui namanya.

"By the way lukisan lo yang dipasang di mading itu keren, gue suka. Anak klub lukis ya?"

Sekali lagi Ayana hanya mampu mengangguk. Rasa-rasanya dia takut mengeluarkan suara yang mungkin akan terdengar aneh setelah diserang habis-habisan oleh situasi mendebarkan saat ini.

"Gimana rasanya bisa ngelukis?"

Ayana yang merasa pertanyaan itu agak sedikit aneh reflek menoleh hingga tatapan keduanya bertemu, tetapi dia langsung mengalihkan pandangan saat mendapati Reyhan tengah tersenyum.

Rasanya?

Dia tidak mengerti maksud pertanyaan itu.

Belum sempat Ayana memikirkan lebih jauh soal jawaban apa yang harus dia berikan, cowok disampingnya kembali bersuara.

"Nah, akhirnya sampai."

Ayana sontak menatap ke depan di mana halte sekolah sudah tampak di depan mata. Buru-buru gadis itu merogoh tas untuk mengambil dompet, tetapi sedetik kemudian jantungnya seperti berhenti berdetak ketika benda mungil yang dicarinya itu tidak ada dimana-mana. Gawat, dompetnya pasti ketinggalan di rumah.

"Sekalian gue aja yang bayar," ucap Reyhan yang dengan cepat memahami masalah Ayana.

Gadis yang tampak panik itu semakin tidak bisa mengatur debaran jantungnya dan mengangguk bersamaan dengan bus berhenti di depan halte sekolah. Mereka lalu turun setelah Reyhan membayar ongkos bus.

"Makasih, ya, besok aku ganti uangnya," ucap Ayana penuh terima kasih.

"Santai aja. Oh! Gimana kalau sebagai gantinya beliin gue minuman?"

Ayana mengernyit.

"Jam istirahat nanti gue ada latihan futsal. Kalau lo gak keberatan anterin minumannya ke sana, gimana?"

Dengan cepat perasaan menyenangkan itu menyembuhkan kekecewaan Ayana pada kejadian tidak mengenakkan hari ini. Dia tersenyum dan mengangguk.

"Oke, nanti aku anterin minumannya ke sana."

Ayana tidak masalah meskipun setelahnya mereka berpisah dengan cepat karena Reyhan justru mengarah ke kantin kelas sepuluh padahal dua menit lagi bel masuk akan berbunyi. Langkahnya terasa sangat ringan di sepanjang koridor, dia bahkan tidak sungkan untuk memamerkan senyuman. Tidak peduli jika terlihat aneh di mata orang-orang.

Namun, kesenangan Ayana harus pudar di jam istirahat pertama dimulai. Dia tidak melihat siapa-siapa di lapangan futsal. Benar-benar sepi menandakan latihan futsal itu tidak ada atau mungkin belum dimulai. Gadis itu mencoba berpikir positif dengan kembali ke sana di istirahat kedua, tetapi hasilnya tetap sama. Hal itu tidak hanya membuat Ayana merasa kecewa, tetapi juga khawatir. Dia bahkan repot-repot membantu salah satu teman kelas Reyhan untuk membawa buku tugas ke kelas XI IPA 3 tetapi cowok itu tidak ada di sana.

"Pasti gampang kalau aku punya nomornya," ucap Ayana lesu, tetapi sedetik kemudian meringis saat fakta itu tidak akan pernah terjadi.

"Loh, Ayana belum pulang?" Bita yang datang dengan sebuah buku catatan hasil rapat OSIS tampak keheranan melihat sang sahabat masih berada di dalam kelas seorang diri. Yang ditanya hanya menggeleng lemah.

"Lemes banget. Belum makan apa karena belum ketemu mas crush?" goda gadis berkepang dua itu yang kini merapikan bukunya untuk dimasukkan ke dalam tas.

"Dua-duanya."

Bita tertawa. "Padahal Reyhan latihan futsal loh, kenapa enggak ke sana kalau pengen ketemu?"

Ayana yang sedari tadi menyembunyikan wajahnya dibalik lipatan tangan seketika berdiri tegak menatap Bita. "Serius?"

"Iya, tadi aku liat dia sama temen-temennya ke lapangan futsal. Udah lumayan lama, sih, pas aku mau rapat OSIS tadi."

Mendadak Ayana beranjak dari duduknya dan menatap Bita. "Ta, aku boleh pinjem uang kamu lagi nggak?"

Kedua mata Bita mengerjap. "Tentu." Dia lalu merogoh saku dan menyerahkan uang sepuluh ribuan yang sangat Ayana butuhkan.

Setelah mengucapkan terima kasih, cepat-cepat Ayana berlari keluar kelas meninggalkan Bita yang tampak kebingungan. Dia pergi ke kantin terlebih dahulu untuk membeli minuman lalu kembali ke lapangan futsal untuk ketiga kalinya di hari ini. Sebelum masuk, Ayana merapikan rambutnya yang dikucir satu seperti biasa. Setelah merasa 'persiapan dirinya' selesai, gadis itu memasuki lapangan futsal dengan senyum lebar. Namun, baru saja tiga langkah melewati pintu masuk senyumnya mendadak memudar. Tidak ada Reyhan di sana. Yang ada hanya seorang cowok berpakaian olahraga tengah bermain futsal sendirian. Menendang bola ke arah gawang berkali-kali dan melakukan berbagai gerakan yang tidak Ayana pahami.

Apakah Reyhan sudah pulang? Tapi kenapa cowok satu itu masih ada di sini? Bukankah mereka selalu pulang bersama?

Berbagai pertanyaan mengenai Reyhan terus bermunculan. Membuat dia berpikiran haruskah menanyakan keberadaan cowok itu kepada Kenzie—satu-satunya cowok yang berada di lapangan itu sekaligus teman dekat Reyhan. Besar kemungkinan dia mengetahuinya, kan?

Setelah merasa keputusannya tepat, Ayana berjalan mendekat menuju lapangan. Namun, langkahnya terhenti ketika Kenzie sudah menyadari kehadirannya. Seketika nyali Ayana menciut, entah pergi ke mana keberaniannya itu. Gadis itu meneguk ludah, mendadak ingin kabur saat ini juga.

"Nyari seseorang? Atau ... ada perlu sama gue?"

Ayana mencoba memutar otak, mencari alasan yang tepat.

"Rumah kita satu arah, kan?"

Kenzie diam sejenak, tetapi Ayana bisa melihat cowok itu sedikit heran. "Rumah kita hadap-hadapan kalau lo gak tau."

Ayana semakin salah tingkah, merutuki pertanyaannya barusan. "Emm anu, boleh sekalian ikut kamu pulang nggak? Dompetku ketinggalan di rumah," ujarnya yang kemudian kembali menyesal untuk kesekian kalinya. Seharusnya tadi dia langsung kabur saja bukannya menciptakan obrolan tidak jelas dan membingungkan seperti ini.

Kenzie pasti menganggapnya cewek aneh. Meskipun bertetangga mereka sama sekali tidak pernah berinteraksi sampai mengobrol seperti ini.

"Boleh, tapi harus ada imbalannya."

Ayana mengerjap, tidak menyangka kalimat itu yang akan dia dengar. Apalagi ketika Kenzie menunjuk minuman yang ada di tangannya.

"Gue mau itu."

"Oh! ini—"

Ayana dengan cepat menahan kalimat penolakannya dan memilih menyerahkan botol minuman itu kepada Kenzie.

"Thanks."

Gadis itu menggeleng dengan cepat. "Aku yang harusnya bilang makasih."

Kenzie tidak menanggapi apa pun dan pergi untuk berganti pakaian. Sepanjang menunggu, yang Ayana lakukan hanyalah mengumpati tindakannya yang benar-benar diluar rencana. Dia tidak habis pikir dengan jalan pikirannya sendiri. Baiklah, sebaiknya ini terakhir kalinya dia bertindak bodoh seperti saat ini.

"Ayo." Kenzie datang dengan pakaian seragam biru putih, menatap Ayana yang masih berdiri dengan kikuk. Gadis itu mengangguk. Mereka lalu ke luar dari lapangan menuju parkiran. Bersiap-siap untuk pulang bersama.

***

Reyhan.
Sorry, ya istirahat tadi gue batal latihan. Ini kalau sebagai gantinya gue minta dilukisin, namanya ngelunjak gak sih?

Ini sudah jam sebelas malam dan Ayana masih betah membaca pesan itu berulang kali. Tadi, sepulang sekolah dia mendapatkan pesan dari nomor yang tidak dikenal dan ternyata itu nomor milik Reyhan. Cowok itu bilang dia mendapatkannya dari salah satu teman sekelasnya. Hal yang sukses membuat gadis itu senyum senyum sendiri menatap ponselnya dalam waktu yang cukup lama.

Tentu, dia langsung meng-iyakan pesan itu tanpa pikir panjang. Melukis Reyhan? Dia benar-benar tidak pernah membayangkan akan melakukannya.

"Ayana, aku rasa ini pertanda lampu hijau. Buat apa Reyhan repot-repot minta nomor kamu ke teman sekelas, kan bisa bilang besok kalau ketemu. Apalagi yang soal dia minta dilukisin kamu. Kamu ngerasa gak ada yang aneh gitu?"

Ucapan Bita memang berbahaya efeknya. Padahal bisa saja dipandangan manusia lainnya itu adalah hal yang biasa dan lumrah. Itu salah Ayana sendiri jika menganggap perkataan temannya itu sebagai harapan baru.

"Kataku mending kamu berhenti sembunyi, Ay. Dia tahu nama kamu, lukisan di mading pun tau kalau itu karyamu. Siapa tau selama ini—"

"Bita, stop!" seru Ayana spontan. Dia bisa merasakan hawa panas yang tiba-tiba merasuki tubuhnya.

Di ujung telepon Bita tertawa. "Keputusan ada di kamu, sih. Mau 'kayak gini' aja atau maju. Tapi emang kalau diam terus kayak gini kamu enggak capek, Ay?"

Ayana diam sejenak. "Nggak tahu. Tapi menurut kamu gimana, Ta?"

"Ya, kalau aku jadi kamu, sih, capek lah sembunyi terus kayak gini. Kamu gak pernah kepikiran pengen jadian sama Reyhan gitu?"

Ayana terkejut sendiri mendengar pertanyaan itu. Jika tengah makan, sudah pasti dia akan tersedak. Namun, pertanyaan sahabatnya itu tidak luput dari pikirannya sendiri. Sejujurnya, Ayana tidak pernah memikirkan hal itu. Sungguh, tidak sampai sejauh itu. Menyukai Reyhan, bahkan meskipun secara diam-diam seperti ini sudah merupakan kebahagiaan untuk dirinya sendiri.

Untuk saat ini, dia rasa sudah lebih dari cukup.

"Tapi, Ay, kalau kamu sembunyi terus kayak gini, kamu juga yang nantinya bakalan ngerasa sakit. Dia nggak mungkin bakalan jomlo terus, kan?"

Kalimat terakhir itu mampu membuat Ayana menahan napas. Dadanya berdenyut sesak hanya dengan membayangkan Reyhan bersama perempuan lain.

"Seenggaknya dia harus tahu perasaan kamu gimana ke dia."

"Kalau setelah tahu dia jadi benci aku gimana?"

Terdengar helaan napas Bita. "Kenapa mikir gitu? Gak masuk akal banget kalau kita benci orang yang punya rasa suka ke kita, kan? Yah, seenggaknya kalau emang gak bisa balas perasaan kamu, dia bisa nolak baik-baik."

Setelah pembicaraan itu selesai, Ayana kesulitan untuk tidur. Kejadian pagi tadi di bus, pesan dari Reyhan dan juga perkataan Bita bergiliran memenuhi kepalanya. Gadis yang memakai gaun tidur putih itu menggigit bibir sambil memegangi dadanya yang seharian ini sulit sekali untuk berdetak dengan normal. Mata coklatnya yang sedari tadi menatap pada langit-langit kamar kini menoleh ke arah meja belajar, lebih tepatnya ke arah pena dan buku yang tergeletak di sana.

Entah datang dari mana ide gila itu, tetapi Ayana langsung bangkit dari kasur dan duduk di kursi meja belajar. Tangannya dengan cekatan mengambil satu lembar buku polos yang disimpan di salah satu laci hias lalu mulai menulis huruf demi huruf di atas kertas kosong tersebut.

Butuh waktu lama rupanya menulis surat yang sebenarnya tidak terlalu panjang. Kini tempat sampah di kamarnya sudah penuh oleh remasan kertas. Namun, Ayana tidak bisa mengendalikan rasa senang dan gugupnya saat menutup amplop coklat yang ada di tangannya. Dengan perlahan dia meletakkan amplop berisi rahasia miliknya itu ke dalam tas lalu pergi tidur.

***

Sesuai rencana, pagi-pagi buta sekali Ayana sudah berdiri di depan sebuah loker yang masih terkunci dengan rapat. Gadis berkepang dua itu menghela napas kesekian kalinya di hari ini sebelum memiliki keberanian untuk memasukkan amplop coklat di tangannya lewat celah pintu loker hingga lenyap dari pandangan. Jantungnya kembali berdetak cepat dan dia lagi-lagi mempertanyakan soal keputusannya ini.

Apakah ini langkah yang tepat? Meskipun tidak yakin, Ayana berharap dia tidak salah mengambil tindakan.

"Lupa jalan ke kelas sendiri? Atau memang ada tujuan khusus?"

Suara itu hampir membuat Ayana menjerit. Dia segera menutup mulut dan berbalik untuk melihat penampakan yang jauh mengerikan dari pada hantu.

'Astaga, kenapa harus dia lagi, sih?' batin Ayana menjerit. Kepalanya dengan cepat berpikir keras. Kali ini dia tidak boleh salah memilih alasan.

"Aku cuma mau ngembaliin bukunya Citra yang kupinjem, tapi ternyata dia belum berangkat."

Sepertinya setelah ini Ayana harus berterima kasih sekaligus meminta maaf kepada Citra—perempuan yang memang sekelas dengan Kenzie dan merupakan anggota OSIS sama seperti Bita. Mereka berteman, tetapi tidak terlalu dekat.

"Dia biasanya berangkat agak siangan. Kalau mau biar gue bantuin buat kasih bukunya ke dia."

"Eng-enggak perlu. Nanti aja aku hubungi dia."

Tanpa mau berbasa-basi lagi, dengan cepat Ayana pergi dari sana. Dia harus menyelamatkan wajahnya yang terasa panas dan pasti sudah merah merona karena gugup sekaligus malu.

Kenzie tidak melihat saat dia menaruh suratnya ke dalam loker, kan?

Sesaat, Ayana merasa sedikit menyesal dan juga merasa tindakannya terlalu terburu-buru. Sesampainya di kelas, gadis itu terus merenungi soal suratnya yang entah dalam keadaan aman atau tidak. Sampai kemudian kehadiran Bita semakin membuat perasaannya tidak tenang dan dipenuhi kebimbangan. Namun, pada akhirnya dia memilih untuk diam dan tidak memberitahu soal surat itu.

Ayana memeriksa jam di tangannya. Gadis itu meneguk ludah, wajahnya pucat pasi.

Seharusnya sekarang Reyhan sudah berangkat dan jika tidak beruntung, cowok itu tengah membaca suratnya.

•••

Terima kasih banyak ya untuk kalian yang udah meluangkan waktu membaca cerita ini (◕‿◕)♡

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro