Interaksi | 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rasanya Ayana tidak bisa tenang. Bayangan jika Kenzie benar-benar melihat dia meletakkan surat itu di loker Reyhan tidak bisa lepas dari pikirannya. Tidak, bagaimana jika cowok itu bahkan sudah memberitahu Reyhan soal surat itu dan mereka membacanya bersama. Baiklah, Ayana benar-benar tidak bisa berpikir positif dan dia merasa bisa semakin gila jika tidak cepat-cepat memastikannya. Mungkin, bagi sebagian orang itu hanyalah hal sepele yang tidak perlu dikhawatirkan, tetapi tidak bagi Ayana yang kesehariannya dipenuhi dengan ke-overthinking-an.

"Kedip, Ay. Gak sakit mata kamu?"

Suara itu membuat Ayana spontan berkedip. Dia menatap Bita yang sibuk menyantap sepiring batagor lalu menghela napas gusar untuk kesekian kalinya di hari ini.

"Ada masalah apa, sih? Soal nilai ulangan harian kemarin?"

Tidak, ini bahkan lebih buruk dari nilai ulangannya yang tidak terselamatkan.

"Eh, coba lihat ke belakang."

Ayana menoleh ke belakang, mengikuti perkataan Bita hingga matanya menangkap sosok cowok yang sejak tadi memenuhi kepalanya. Dia segera memalingkan wajah saat tatapan mereka bertemu. Jantungnya kembali berdetak cepat dengan cara yang sangat tidak dia suka. Apalagi ketika kemungkinan buruk di kepala semakin tidak tertolong.

Bagaimana ini? Apakah Reyhan sudah membaca suratnya? Seharusnya Ayana tetap di kelas saja sampai jam pulang sekolah.

"Kenapa, sih, kok panik gitu? Itu mas crush kamu datang."

"Stt, diem. Perutku lagi sakit," ucapnya asal.

"Dia lewat, dia lewat." Bita sama sekali tidak memedulikan perkataan Ayana. Dia bahkan secara terang-terangan menatap tiga orang cowok yang baru saja memasuki kantin dan hendak melewati meja keduanya.

"Ta, bisa nggak jangan dilihatin?" bisiknya dengan mata melotot.

Bita tertawa kecil, tidak lagi menatap mereka dan memilih menyeruput es tehnya dengan tatapan jahil yang ditujukan kepada sang sahabat.

"Ay, kamu nggak ada niatan gitu buat minta bantuan Kenzie biar bisa deket sama Reyhan? Kalian, kan, tetanggaan."

Mendengar nama itu membuat jantungnya kembali berdetak tidak normal. "Aku enggak sedekat itu sama dia. Lagian, ini kan rahasia. Gak boleh ada yang tau kecuali kamu. Jadi, awas aja ya kalau ember ke yang lain."

Bita menggeleng pelan. "Iya, aku tau kok kalau itu, tapi masa mau diem-diem terus kayak gini. Enggak capek?"

Pertanyaan itu lagi.

Ayana sebenarnya tidak ingin membahas masalah ini, apalagi ketika orang yang tengah mereka bicarakan ada di tempat yang sama. Namun, saat dia melirik ke meja milik Kenzie, gadis itu tidak bisa lagi menahan rasa khawatirnya saat cowok itu berbisik pelan pada Reyhan dan lagi-lagi—entah kebetulan atau tidak—tatapan keduanya kembali bertemu.

Haruskah dia cerita soal surat itu kepada Bita? Tidak, tidak, dia tidak ingin menambah beban pikiran jika nantinya Bita menanyakan soal kabar surat itu secara terus menerus. Dia sendiri tidak tahu bagaimana nasib surat itu. Entah masih berada di dalam loker, laci atau mungkin sudah berada di tempat sampah. Ayana menghela napas gusar mengingat opsi ketiga.

Namun, dilihat dari tingkah Reyhan saat ini yang bersikap seolah tidak terjadi apa-apa semakin membuat Ayana merasa gusar. Dia juga tidak mendapat pesan dari cowok itu. Apakah Reyhan sengaja bersikap seperti itu?

Ayana memegang kepalanya sendiri yang begitu ramai oleh berbagai pertanyaan dan kemungkinan buruk. Dia rasa kepalanya sebentar lagi akan pecah jika satu pertanyaan baru muncul.

"Eh? Mau ke mana?" tanya Bita ketika Ayana beranjak dari duduknya.

"Mau ke toilet sebentar."

"Ih, tungguin dong, ikut. Bentar lagi habis."

"Gak bisa udah kebelet," balas Ayana cepat lalu benar-benar pergi dari sana. Meninggalkan Bita yang masih merasa ada yang janggal dengan sikap sang sahabat. Namun, dia memilih untuk diam sampai Ayana mau menceritakannya sendiri.

***

Beruntung, di jam ke delapan, kelas Reyhan kosong karena jam pelajaran olahraga di lakukan di luar kelas. Ayana dengan berhati-hati-agar tidak ada yang melihat tingkah mencurigakannya- memasuki kelas tersebut dan sedikit berlari menuju sebuah loker yang tidak terkunci seperti biasa. Perlahan dia membuka loker itu yang berisi berbagai buku paket dan catatan. Surat itu tidak ada, yang itu artinya sudah diambil oleh Reyhan. Tanpa mau berlama-lama, Ayana meletakkan sticky note di atas kotak kecil yang entah isinya apa. Setelah misinya selesai, dengan cepat dia pergi dari sana.

"Huh, aman."

Iya, sekarang memang aman, tapi entah dengan nantinya ketika Reyhan sudah membaca sticky note itu.

Ayana mengajak Reyhan bertemu di taman belakang sekolah di jam pulang nanti sekaligus meminta cowok itu untuk membawa suratnya. Yah, tentu dia tidak serta merta langsung mengajaknya begitu saja. Reyhan memiliki dua opsi pilihan. Jika dia tidak tertarik 'berteman' dengannya sesuai dengan isi surat setelah sekaligus menyatakan perasaan, dia tidak perlu datang. Namun, jika cowok itu ingin membicarakan lebih lanjut dan bersedia memberikan jawaban yang jelas, Ayana dengan senang hati mendengarnya.

Namun, kenapa mendadak dia berharap Reyhan tidak datang?

"Ck, hidup tanpa penyesalan kayaknya mustahil banget, ya," gumamnya tiba-tiba sambil berjalan memasuki kelasnya yang ramai.

Hari ini Bu Wahyu selaku wali kelas dan guru yang mengajar tidak datang. Beliau hanya meninggalkan setumpuk tugas yang harus dikumpulkan paling lambat dua hari ke depan. Ayana tidak memiliki semangat untuk mengerjakannya dan menoleh menatap bangku di sebelahnya yang kosong. Hari ini lagi-lagi Bita rapat OSIS. Katanya mau mambahas lagi soal class meeting yang sebenarnya masih agak lumayan lama. Entahlah, dia malas memikirkan hal yang bukan urusannya. Namun, akan lebih baik jika Bita berada di sini untuk sedikit menghiburnya.

Hari ini berjalan terasa sedikit cepat bagi Ayana. Dia melirik jam tangan berwarna biru pastel di tangan sambil sesekali menggigit bibir bawah karena gugup. Jantungnya lagi-lagi berdetak terlalu berlebihan sejak guru pelajaran terakhir mengakhiri jam kelas.

Sesaat, Ayana ragu untuk pergi ke taman belakang sekolah sesuai rencananya. Ya, dia takut menghadapi hal buruk apa yang menantinya di depan sana jika pergi ke tempat itu. Ketidakdatangan Reyhan nyatanya jauh lebih terasa membuatnya aman, ketimbang melihat cowok itu benar-benar datang ke sana sambil membawa suratnya.

Demi apa Ayana tidak mampu membayangkannya. Seketika dia juga lupa apa saja yang akan dikatakan ketika mereka benar-benar bertemu nanti.

Setelah memantapkan hati, Ayana benar-benar membawa kakinya pergi ke tempat itu. Sesampainya di sana, dia tidak melihat siapa-siapa. Gadis itu memegangi dadanya dan memejamkan mata, diam-diam merasa sedikit lega. Namun, kelegaan itu tidak berlangsung lama ketika sebuah suara mampu membuat jantungnya seakan siap untuk berhenti berdetak.

"Kebetulan lagi, ya ini? Atau memang lagi nunggu seseorang?"

Seorang cowok bertubuh tinggi dan wajah kalem membuat tubuh Ayana menegang seketika. Apalagi ketika cowok itu memegang surat miliknya—bukan, seharusnya surat itu berada di tangan Reyhan, kenapa justru Kenzie yang membawanya? Apa Reyhan yang menyuruhnya untuk datang, tapi kenapa?

Kenzie mengangkat amplop yang ada di tangannya.

"Lo yang nulis surat ini?"

Ayana merasa lidahnya kelu. Dia masih tidak bisa mencerna apa yang terjadi saat ini.

"Jadi yang pagi tadi itu bohong? Soal lo yang mau ngembaliin bukunya Citra. Pantesan tadi dia kelihatan bingung."

Ayana melotot. "Kamu bilang ke dia?"

Kenzie mengangguk, Ayana meringis. Lengkap sudah kesialan dia di hari ini.

"Mau lo yang ngasih atau gue? Suratnya."

Jadi, Kenzie sudah membaca surat itu? Ayana menghela napas dan berjalan untuk mengambil surat itu. Kenzie langsung menyerahkannya begitu saja.

"Kenapa suratnya bisa ada di kamu?" tanyanya memberanikan diri.

"Lo salah loker."

Eh? Salah loker? Tapi bukankah itu memang loker milik Reyhan? Dia sering melihat cowok itu memasukkan barangnya di sana. Kenapa bisa loker itu jadi milik Kenzie?

"Kenapa suratnya enggak langsung kamu kasih aja ke Reyhan?"

Kenzie diam sejenak, membuat Ayana salah tingkah karena menjadi objek tatapan cowok itu.

"Gue ngerasa gak berhak aja dan bukan urusan gue. Lagi pula, bukannya jauh lebih baik kalau lo yang ngasih ke dia secara langsung. Biar jelas dan gak ada kesalahpahaman."

Secara langsung? Tidak, Ayana tidak akan pernah berani melakukannya.

"Lain kali, jangan lupa nama lo di tulis juga. Kalau gue jadi Reyhan, mungkin udah buang surat itu karena enggak jelas siapa pengirimnya."

'Jahat banget, tapi bener juga, sih.' batin Ayana. Namun, masalahnya adalah dia belum berani menulis namanya sendiri di surat itu.

"Udah selesai, kan?"

Ayana mengangguk, tetapi sedetik kemudian menggeleng saat tersadar sesuatu.

"Kamu enggak akan ngasih tau Reyhan, kan?"

Samar-samar Ayana bisa melihat senyuman tipis Kenzie. Dia berubah panik ketika bukannya jawaban yang jelas, cowok itu justru hanya mengangkat bahu lalu pergi begitu saja.

Tunggu, apa-apaan yang barusan itu?

•••

Terima kasih banyak ya untuk kalian yang udah meluangkan waktu membaca cerita ini (◕‿◕)♡

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro