Interaksi | 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bohong jika Kenzie tidak cemburu pada sahabatnya sendiri. Satu-satunya hal yang bisa membuatnya merasa sedikit tenang adalah fakta bahwa Reyhan tidak memiliki perasaan yang sama kepada Ayana. Meskipun bisa dibilang mereka memiliki kemajuan dalam hal kedekatan. Reyhan cerita kepadanya soal pertemuan mereka di bus kemarin dan juga tentang 'hutang budi' di antara keduanya. Seharusnya itu hal yang biasa, apalagi untuk ukuran manusia macam Reyhan yang memang selalu terbuka dengannya dalam banyak hal. Entah itu kisah cintanya, keluarganya juga hal-hal sepele lainnya.

Namun, jika boleh meminta, bisakah Ayana dikecualikan?

Kenzie baru sadar dia tidak bisa sesabar itu untuk mendengarnya dengan perasaan biasa-biasa saja.

"Nadha sakit, ya?"

Kenzie mengangguk. "Demam biasa. Kayaknya gara-gara kemarin hujan-hujanan sama pulang terlalu malam. Gak tau sama siapa. Ditanyain malah ngalihin pembicaraan."

Reyhan menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Dia seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi segera mengurungkan niat ketika Kenzie berbalik menatapnya.

Saat ini mereka tengah berada di rumah Kenzie untuk mengerjakan tugas kelompok. Sebenarnya ada empat anak dan salah satunya adalah Mario dan satu teman sekelas mereka. Keduanya memutuskan untuk membeli cemilan sebagai teman belajar. Namun, sudah satu jam terlewati mereka belum juga kembali.

"Lo inget Ayana yang kemarin gue ceritain itu?"

Kenzie sebisa mungkin mengangguk dengan wajah kalem. Berusaha fokus pada tugas yang tengah dikerjakan.

"Dia ngirim pesan lagi nggak?"

"Gak ada." Kenzie berhenti mengetik. "Kalian udah ketemu?"

"Belum. Kan, belum gue tentuin kapannya. Pinjem lagi dong mau gue kabarin kapan tepatnya."

"Sendiri aja. Hapenya masih di cas."

"Dih, kan hape gue masih dibenerin. Belum kelar. Bentaran doang."

Kenzie menghela napas. "Ambil aja sendiri di kamar. Tapi ini yang terakhir. Kalau memang ada perlu langsung temuin orangnya, jangan ngerepotin gue mulu."

Reyhan tertawa lalu berlari memasuki kamar yang memang sering sekali dia tinggali ketimbang di rumahnya sendiri. Sementara itu, Kenzie sudah tidak berselera untuk melanjutkan mengerjakan tugas. Dia memilih membuka Instagram lewat laptop dan membuka sebuah akun yang sering sekali dia kunjungi.

Ada postingan baru di feed-nya. Berupa gambar dalam dua slide. Namun, slide kedua sukses membuat Kenzie menghela napas lalu dengan cepat menutup aplikasi tersebut. Matanya kini menoleh ke arah jendela di mana sebuah rumah bercat putih kini menjadi satu-satunya yang dia lihat.

Kira-kira, apa yang sedang Ayana lakukan sekarang?

"Kenzie, Bunda bisa minta tolong nggak? Oh! Lagi belajar, ya?"

Kenzie menoleh, menatap seorang wanita paruh baya yang datang dengan piring berisi kue.

"Minta tolong apa, Bun? Belajarnya bisa ditinggal sebentar, kok," ucap Kenzie sambil berdiri.

Wanita yang baru satu bulan ini resmi menjadi ibunya itu tersenyum lalu menyerahkan piring di tangannya kepada sang putra.

"Tolong anterin ke rumahnya Ayana, ya."

Kenzie mengangguk meskipun heran kenapa tiba-tiba Bunda memberikan sepiring kue kepada tetangga depan rumah. Tumben sekali, tetapi baginya itu hal yang bagus. Keluarganya memang tidak pernah dekat dengan para tetangga karena dulu orang tuanya terlalu sibuk bekerja dari pagi hingga malam. Mereka seakan tidak punya waktu bahkan untuk menyapa para tetangga ketika bertemu.

"Oh iya ini piring mereka ya jadi enggak perlu disalin."

"Oke, Bun."

Tanpa mau berlama-lama, Kenzie segera pergi ke rumah seberang. Beruntung gerbangnya yang sedikit terbuka memudahkan dia untuk masuk ke halamannya dan berakhir mengetuk pintu utama. Berharap yang membukakan pintu adalah seorang gadis yang saat ini tengah mengisi hatinya.

Jawaban dari dalam sana membuat jantung Kenzie menjadi kalang kabut, tetapi dia berusaha menampilkan wajah kalem apalagi ketika pintu yang cukup lebar itu terbuka. Menampakkan seorang perempuan berpakaian rapi dan lucu.

Kedua mata Ayana mendadak melebar. Dia tersenyum canggung.

"Ini ada titipan dari Bunda. Piringnya enggak perlu di salin karena punya lo."

"Oh! Makasih, ya." Ayana menerimanya dengan penuh terima kasih meskipun tampak agak kebingungan. Mungkin karena setelah hampir depan belas tahun mereka bertetangga ini pertama kalinya Kenzie mendatangi rumahnya.

"Siapa Ayana?" Dari dalam terdengar suara yang masih asing di telinga Kenzie, tetapi dia sudah bisa menebak siapa orang tersebut.

Tante Mala. Kenzie hanya tau nama dan wajahnya saja.

"Kenzie, ya?"

Benar saja, seorang wanita yang masih memakai apron dan rambut sedikit berantakan, tetapi tetap terlihat cantik tersenyum begitu ramah kepada Kenzie. Cowok itu membalas senyumannya dengan tulus. Senang bisa bertemu dan berhadapan seperti ini dengan wanita yang sudah melahirkan Ayana. Rasanya dia ingin mengucapkan terima kasih, tetapi tentu tidak benar-benar dia ucapkan.

"Sampaikan terima kasih ke Bunda kamu, ya."

"Siap, Tante Mala nanti saya sampaikan ke Bunda."

Mala tersenyum lalu beralih pada putrinya yang tampak seperti patung menjadi saksi dua manusia itu mengobrol singkat.

"Jangan lupa habis ini ke pasar. Mama masih riweh banget ini nyiapin banyak hal buat acara besok."

Ayana berubah cemberut membuat Kenzie diam-diam tersenyum, merasa sangat gemas.

"Gak ada yang nganterin, Ma. Nanti aja nungguin Papa pulang. Kan, dua jam lagi."

"Dua jam lagi keburu kehabisan dong. Apalagi kalau sampai nutup. Udah sore gini." Mala tidak mau kalah. Dia dengan segera merogoh saku celananya dan menyerahkan langsung dompet miliknya ke Ayana.

"Naik taksi gak apa-apa."

"Kalau enggak keberatan biar saya aja yang nganterin Ayana, Tan."

Dua wanita yang berdiri di hadapannya sontak menatap padanya. Kenzie meneguk ludah diam-diam di tengah senyuman ramahnya. Ayana sendiri sudah melotot dan bersiap-siap untuk menolak.

"Nah, bagus. Makasih ya, Kenzie udah mau direpotkan."

"Enggak masalah, Tante. Kebetulan juga lagi longgar aja. Mendung, kasian juga nanti kalau hujan Ayana cuma sendirian. Biar saya temenin."

Niat Ayana untuk kembali bersuara, terhalang ketika Mala mengambil kembali dompetnya dan beralih memberi beberapa lembar uang.

"Kayaknya uang segini cukup. Sekalian buat jajan kalian berdua, ya."

"Ta-tapi, Ma—"

"Ayo."

Tanpa permisi Kenzie menarik tangan Ayana. Hanya sampai mereka keluar dari halaman rumah tersebut, setelah tersadar dia langsung melepaskannya dan meminta maaf. Untung gadis itu tidak terlihat begitu marah.

"Kenzie, sikap kami keliatan serem."

Kenzie mengernyit. "Serem di bagian mananya?"

"Kenapa tiba-tiba mau nemenin aku ke pasar? Apa ini ada hubungannya sama yang kemarin? Kamu mau balas dendam, ya?"

Kenzie tersenyum dan memilih untuk mengabaikannya.

"Tunggu di sini."

Sesampainya di dalam rumah, Kenzie sempat kelabakan mencari kunci motornya yang entah ada di mana. Beruntungnya bisa ditemukan dengan cepat. Dia segera keluar dan mendapati Ayana yang berjongkok sambil memainkan uang di tangan.

"Ayo, mumpung belum hujan."

Ayana mendongak lalu berdiri. "Ish, kamu belum jawab pertanyaanku yang tadi."

"Karena pertanyaan lo aneh."

"Kamu udah cerita ya sama Reyhan?"

"Dia ada di sini."

Ayana spontan menutup mulut dan menoleh ke dalam rumah. Wajahnya terlihat sangat horor, dia beberapa kali memukul mulutnya dengan pelan.

"Suaraku keras banget, ya?"

"Enggak, sih. Udah berangkat cepet. Males banget kalau nanti sampai hujan."

Bibir Ayana mengerucut."Lagian gak ada yang minta kamu buat nemenin aku."

"Apa salahnya nyenengin diri-sendiri?"

"Hah? Maksudnya?"

Bukannya menjawab, Kenzie menyerahkan helm yang sudah dia beli sejak lima bulan lalu kepada Ayana. "Ngomong sekali lagi, gue panggil Reyhan ke sini."

Tentu saja hal itu membuat Ayana langsung menutup mulutnya. Dia mau tidak mau menurut karena akan sangat merepotkan jika Reyhan tau dia ada di sini.

Baiklah, sepertinya misi Ayana selanjutnya adalah benar-benar memastikan bahwa Kenzie mau menutup mulutnya soal rahasia yang sudah dia jaga hampir dua tahun lamanya.

•••

Terima kasih banyak ya untuk kalian yang udah meluangkan waktu membaca cerita ini (◕‿◕)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro