Interaksi | 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Padahal hari ini Ayana berencana pergi menonton film bersama Bita. Dia bahkan sudah mempersiapkan diri dan hanya menunggu waktu untuk berangkat, tetapi sang sahabat mendadak membatalkan rencana. Beruntung, alasannya masih bisa dia terima jadi tidak masalah jika harus ditunda. Mereka bisa menonton besok.

Namun, yang menjadi masalahnya adalah dia kini terjebak bersama seorang cowok di pasar dengan belanjaan yang cukup banyak. Sudah sekitar lebih satu jam mereka menyusuri pasar memburu barang yang memang perlu dibeli. Ayana menoleh pada Kenzie yang tampak biasa-biasa saja dan tidak mengeluh sejak tadi meskipun membawa banyak barang. Sejujurnya dia masih heran kenapa cowok itu mendadak bersikap seperti ini.

Apakah dugaannya benar jika ada maksud berbahaya dari sikap Kenzie?

Ayana meneguk ludah. Semoga saja tidak.

"Apalagi yang kurang?"

Pertanyaan itu membuat Ayana cepat-cepat tersadar dan melihat catatan di atas kertas yang sudah lusuh.

"Bubuk coklat yang belum. Emm di mana ya tokonya?"

"Gue tau di mana. Ayo."

Ayana segera mengekor di belakang Kenzie hingga mereka sampai di sebuah toko yang cukup ramai. Beruntung tidak butuh waktu lama karena dia sudah ingin cepat-cepat pulang.

"Kenzie, ini kamu enggak ada udang di balik batu, kan?" tanya Ayana dengan was-was.

"Laper nggak?" bukannya menjawab pertanyaan itu, Kenzie justru balik menanyakan hal lain.

"Enggak."

"Tapi gue laper."

"Ya udah sama makan, aku bisa pulang sendiri."

Kenzie menggeleng. "Kita berangkat bareng, jadi pulang juga harus bareng. Temenin gue makan dulu kalau enggak laper."

Ayana menghela napas lelah, tetapi mengangguk juga. Pasrah dengan permintaan Kenzie agar cepat berakhir dan bisa segera pulang. Mereka kemudian berhenti di depan sebuah warung di pinggir jalan yang dekat dengan kompleks perumahan mereka. Pada akhirnya meskipun sebenarnya lapar, Ayana hanya memesan segelas teh hangat dan memakan satu gorengan. Sementara Kenzie memilih nasi goreng sebagai menu makan sorenya.

Ayana menutup mulut ketika rasa aneh mengenai lidahnya. Dia menoleh, menatap Kenzie yang lahap sekali memakan nasi gorengnya. Ketika cowok itu menoleh, dia segera mengalihkan pandangan meskipun tidak bisa menyembunyikan kegugupannya.

"Salah ambil, ya?"

"Hah? Apanya?"

Ayana mengamati Kenzie yang diam sejenak memperhatikan nampan berisi berbagai gorengan.

"Lebih suka tahu, tempe atau bakwan?"

Meskipun merasa aneh dengan pertanyaan random itu, Ayana tetap menjawab. "Bakwan."

Kenzie mengambil satu bakwan. "Yang ini kayaknya aman." Dia lalu menyerahkan bakwan itu kepada Ayana.

Gadis itu menerimanya dengan bingung dan segera memakannya. Sedetik kemudian matanya sedikit melotot ketika lidahnya bertemu dengan rasa yang berbeda dari sebelumnya.

"Kok kamu bisa tahu mana yang asin dan mana yang enggak?"

"Firasat aja," jawab Kenzie singkat.

Ayana mengernyit. "Semua masakan di sini kayak gitu semua?"

"Kayak gitu gimana?"

Gadis itu menoleh sebentar ke arah penjual yang merupakan seorang wanita tua. "Asin."

"Enggak semua, seperti yang lo liat tadi."

"Kamu sering ke sini, ya? Kayak udah hapal banget. Padahal dilihat-lihat kalau aku pulang sekolah, warung ini selalu sepi."

Kenzie mengangguk. "Setiap hari. Kalau ada waktu boleh kok makan di sini bareng gue. Biar ada temen."

Perkataan itu membuat Ayana melotot. "Kenapa gak ajak temen kamu aja. Reyhan dan ... siapa ya? Aku lupa namanya."

"Mario."

"Nah, iya Mario."

"Udah pernah sekali, tapi habis itu mereka enggak mau lagi?"

Ayana mengernyit. "Kenapa?"

Kenzie menoleh, menatap gadis yang tampak keheranan itu. "Lo udah tau jawabannya."

Ayana spontan menutup mulutnya, lupa akan soal itu. Namun, masih ada hal yang membuat dia penasaran. "Terus, kenapa kamu masih mau aja makan di sini?"

"Aneh, ya?"

"Hah? Eng-enggak, kok. Cuma penasaran aja."

Kenzie tersenyum. "Kalau mau tau jawabannya, menyelam dulu."

Astaga, perkataan tidak jelas lagi. "Menyelam ke mana?"

"Ke hidup gue. Gue enggak masalah, kok. Seneng malahan."

Kedua mata Ayana mengerjap. Katakan dia salah dengar atau setidaknya sedang tidak peka jika Kenzie tengah bercanda. Sayang, bukannya mencairkan suasana seakan itu memang sebuah candaan, cowok itu justru melanjutkan makannya dengan tenang seolah tidak mengatakan hal yang kuat sekali kadar kesalahpahamannya.

"Enggak jelas," gumam Ayana lalu menghabiskan teh hangatnya yang terasa tawar itu sampai habis. Mendadak, dia ingin memesan minuman lagi karena hawa panas yang entah datang dari mana.

Suara gerimis yang terdengar membuat Ayana mengeluh dalam hati.

"Buru-buru banget?"

"Enggak sebenernya, tapi takut hujannya lama. Mama butuh banget bahan-bahan ini buat bikin kue pesanan pelanggan."

Kenzie mengangguk. "Gue minta Reyhan aja buat jemput pakai mobil. Tenang, dia udah ada SIM dan jago nyetirnya."

What? Mobil? SIM? Hmm, cukup mencurigakan.

Tidak, tidak bukan itu masalahnya. Kenzie baru saja menyebut nama Reyhan.

"Enggak perlu, nunggu hujan reda aja."

" Kenapa? Bukannya ini kesempatan yang bagus? Kalian jadi bisa ngobrol. Soal surat yang kemarin itu, belum lo kasih ke dia, kan? Akan lebih baik kalau diungkapin langsung."

Ayana menggeleng. "Kayaknya setelah dipikir-pikir lagi aku belum siap buat di tolak."

"Yakin banget bakalan ditolak?"

Kali ini gadis itu mengangguk. Entahlah, kenapa dia selalu merasa ragu dan keberaniannya bisa menghilang dengan mudah hanya karena kemungkinan buruk yang belum tentu terjadi. Namun, membayangkan jika perkataannya benar-benar terjadi, dia rasa tidak akan bisa menerimanya dengan cukup lapang dada. Sepertinya mengagumi secara diam-diam jauh lebih baik.

"Dia enggak punya cewek kalau lo penasaran."

Ayana tersenyum. "Makasih informasinya."

"Lo masih punya kesempatan."

"Aku harap juga gitu."

"Tapi percuma kalau lo enggak memanfaatkan kesempatan itu."

Kali ini senyum di bibir Ayana seketika menghilang. Nyatanya, dia masih belum bisa melupakan kejadian kemarin malam di mana dia melihat Reyhan jalan berdua bersama seorang perempuan.

"Kenzie," panggil Ayana tiba-tiba.

Sebelah alis cowok itu terangkat. "Kenapa?"

"Kamu pernah suka sama seseorang? Atau mungkin sekarang lagi suka sama orang lain?"

Tidak butuh waktu lama untuk Kenzie mengangguk kepala dengan tenang.

"Aku boleh tau orangnya siapa?"

"Kenapa penasaran?"

Ayana menggeleng. "Ya, biar impas aja. Kamu tau aku suka Reyhan, jadi aku juga pengen tau kamu suka sama siapa."

Kenzie mengangguk. "Cukup masuk akal."

"Jadi, siapa orangnya. Aku kenal enggak?"

"Kenal."

Seketika mata Ayana melotot. "Serius?" serunya spontan. "Siapa? Siapa? Sekelas sama kamu? Atau justru sekelas sama aku?"

Samar-samar Ayana bisa melihat senyum tipis Kenzie. "Rahasia."

"Ish, gak seru banget."

"Justru nggak seru kalau gue terang-terangan."

Ayana mendengkus, tanpa sadar menyomot bakwan untuk ketiga kalinya dan memakannya. "Iya deh iya. Tapi awas aja, aku bakalan cari tau siapa orangnya. Seenggaknya, kita punya senjata yang sama kalau aku berhasil tau siapa dia."

Kali ini senyum cowok itu tidak lagi sekadar senyuman tipis. Dia bahkan meletakkan tangannya di atas kepala Ayana.

"Gue menantikannya dengan senang hati."

•••

Terima kasih banyak ya untuk kalian yang udah meluangkan waktu membaca cerita ini (◕‿◕)♡

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro