Interaksi | 6

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kemarin memang hari yang cukup menyebalkan, tetapi hari ini Ayana seperti mendapat ganti rugi yang setimpal setelah membaca pesan dari Reyhan sepulang dari pasar kemarin. Cowok itu meminta bertemu di kantin untuk mengobrol lebih lanjut soal dia yang ingin dilukis oleh Ayana. Tentu, rencana yang jika dibayangkan begitu menyenangkan tersebut terus terbayang di benak gadis itu hampir setiap menit. Dia bahkan sengaja membiarkan rambutnya tergerai untuk pertama kalinya ke sekolah, sebenarnya ini saran dari Bita yang tidak kalah antusias setelah mendengar curhatan dari Ayana. Sahabatnya itu bahkan rela datang pagi-pagi ke rumahnya untuk sedikit menata rambut Ayana agar terlihat sedikit ikal.

"Ini enggak berlebihan, kan?" tanya Ayana sedikit khawatir saat itu.

"Enggak, cantik banget malahan!"

Melihat jawaban antusias Bita sedikit membuat Ayana tenang dan merasa percaya diri. Awalnya begitu, tetapi ketika melihat seorang cowok yang tengah duduk sendirian di meja kantin sambil memainkan ponsel nyalinya seketika menciut. Dia perlu mengatur napas di tengah detakan jantungnya yang menggila sebelum akhirnya berani mendekati Reyhan.

"Hai, udah dari tadi ya?" sapa Ayana sambil sedikit melambaikan tangan dan tersenyum kikuk. Dia lalu duduk di depan Reyhan.

"Enggak, kok santai aja. By the way, udah sarapan?"

Ayana mengangguk.

"Good. Takutnya lo gak sempet sarapan gara-gara gue ajak ketemuan pagi-pagi begini."

Kali ini gadis itu tersenyum. "Aku selalu nyempetin waktu buat sarapan karena kalau sekali aja kelewatan suka sakit perut," balasnya kemudian.

"Loh, kebalikannya dong sama gue. Kalau sarapan malah perut langsung mules," ucap Reyhan di akhiri dengan tawa renyah. "Oke, sebelum ramai sama anak-anak langsung ke intinya aja."

Ayana mengangguk setuju. "Aku udah bawa alat lukisnya. Sebenarnya ada di ruang klub lukis, kalau kamu mau mulai hari ini misal kita bisa langsung ke sana pulang sekolah nanti. Oh, atau kamu mau ngirim foto kamu sendiri biar lebih mudah?"

Reyhan menggeleng. "Sebenarnya yang bakalan lo lukis bukan gue."

Perkataan itu tentu membuat Ayana mengernyit heran. Jika bukan Reyhan lalu siapa? Tunggu. Ayana menghela napas ketika pemikiran buruk untuk kesekian kali mampir ke dalam kepalanya. Reyhan tidak akan menyuruh dia melukis seorang perempuan, kan?

"Jadi ... siapa?"

"Kenzie. Dia orang yang bakalan lo lukis."

Kedua mata Ayana mengerjap. Tidak menyangka nama itu yang keluar dari mulut Reyhan. Kenzie? Kenapa dia?

"Bulan depan itu tanggal lahirnya dia dan gue pengen ngado dia lukisan. Gimana menurut lo? Bagus nggak? Menurut lo dia bakalan suka? Harusnya iya sih karena lukisan lo cakep banget. Eh? Kok diam? Keberatan, ya?"

"Eng-enggak, kok. Kalau aku jadi Kenzie pasti bakalan suka banget. Emm kamu kirim aja fotonya dia ke aku."

Reyhan menggaruk rambutnya yang tak gatal. "Nah ini masalahnya. Hape gue rusak dan sekarang fotonya dia enggak ada. Padahal baru kemarin itu hape selesai diperbaiki tapi gak bener lagi. Kayaknya emang butuh hape baru."

"Terus aku ngelukisnya gimana?"

Kali ini tatapan Reyhan bisa Ayana tangkap memiliki maksud tersembunyi yang akan membawa dia ke dalam marabahaya.

"Ayana untuk solusinya, gue boleh minta bantuan lo lagi?"

Kan, sudah aku duga.

***

Mengambil foto Kenzie? Ini baru yang namanya masalah!

Ayana tidak mengerti kenapa dia mengiyakan permintaan Reyhan disaat yakin tidak bisa melakukannya. Seharusnya dia menolak agar tidak berakhir menyusahkan diri sendiri semacam ini. Lihat, sekarang bukannya bahagia setelah pertemuannya dengan pujaan hati, pertemuan itu malah menambah beban hidupnya.

"Ada hal buruk yang terjadi kah tadi?"

Pada akhirnya Ayana hanya mampu menggeleng untuk menjawab pertanyaan dari Bita.

"Bohong. Pasti ada apa-apanya. Kamu nyatain perasaan terus dia nolak?"

"Enggaklah. Ya kali, mana berani aku." Ayana mengecek jam tangannya. "Aku ada kegiatan di klub. Duluan, ya."

Kemarin, Ayana mendapat informasi soal kompetisi melukis umum yang akan di adakan tiga bulan lagi. Sebelumnya dia belum pernah mengikuti lomba umum semacam ini dan sudah dari lama ingin sekali melangkah ke titik itu. Semalam salah satu senior yang berada di satu klub bersamanya mengirim beberapa syarat dan ketentuan perlombaan. Ayana sudah membaca semuanya dan merasa sanggup memenuhinya. Namun, masih ada satu hal yang membuatnya gelisah.

"Gimana, Ay? Udah ambil keputusan mau ikut kompetisinya atau enggak?" tanya Marisa--senior sekaligus ketua klub lukis.

"Masih mau aku pikirkan dulu, Kak."

"It's okay. Enggak perlu buru-buru banget, masih ada banyak waktu. Tapi, saran dari gue lo ambil kesempatan ini dengan sebaik mungkin. Kalau menang, ini mungkin bisa ngebantu lo buat masuk ke fakultas seni yang lo mau itu. Sebenernya sering-sering ikut lomba ginian aja sih saran dari gue. Lo harus tau, Ay. Lukisan lo seindah itu. Gue yakin kalau lo ikut lomba ini besar kemungkinan buat jadi juara."

Ayana tertawa dan mengangguk. "Thanks, kak saran dan pujiannya."

Marisa tersenyum. "Betewe tadi ada yang nyariin lo."

"Siapa?"

"Itu loh yang anak futsal itu. Siapa namanya, ya? Duh, lupa gue. Oh iya Kenzie. Enggak tau sih mau ada urusan apa, dia gak mau bilang dan katanya mau ketemu lo langsung. Ketemu di jalan nggak tadi?"

Ayana menggeleng. Kira-kira ada urusan apa Kenzie dengannya? Huh, mendengar nama itu membuat dia teringat akan perkataan Reyhan. Sepertinya dia harus cepat-cepat mencari cara agar semua bebannya ini cepat berlalu.

Mengambil foto Kenzie lalu melukisnya. Ya, jika dipikir-pikir itu tidak terlalu sulit, kan? Semoga saja.

***

Gawat, nilai ulangan harian matematika milik Ayana kali ini benar-benar tidak bisa diselamatkan. Dia sendiri bahkan tidak menyangka jika hasilnya sangat buruk. Yah, meskipun memang tidak bisa dia bohongi jika kemarin tidak ada satu soalpun yang bisa dia kerjakan. Ayana mengisinya dengan asal-asalan karena dia sungguh tidak tahu cara mengerjakannya dengan benar. Pikirnya, setidaknya dia bisa mendapat nilai dari usahanya mencoba mencari jawaban meskipun berakhir salah. Namun, tebakannya melesat. Tidak ada satu nilai pun yang dia dapatkan. Parahnya lagi, kali ini dia tidak mendapatkan kesempatan untuk remidi. Melainkan langsung mendapatkan surat panggilan orang tua.

Awalnya Ayana berpikir untuk membuang surat itu karena terlalu takut untuk memberikannya kepada Mala, tetapi dia sadar itu tindakan yang hanya akan memperkeruh situasi. Pada akhirnya surat itu sampai juga di tangan sang ibu dan berakhir dengan situasi tegang.

Mala menghela napas. "Kalau kamu pengen punya guru les pribadi, Mama bisa kasih itu ke kamu, Ay. Gak perlu sungkan-sungkan buat bilang," ucapnya kemudian.

Tidak, dia sungguh tidak membutuhkannya karena akan menghambat kegiatan klubnya. Bagi Ayana, mengikuti kegiatan klub lebih penting dari pada belajar mati-matian untuk mendapat nilai yang sempurna. Mungkin bagi sebagian orang itu adalah pemikiran yang keliru apalagi untuk anak sekolah sepertinya. Namun, Ayana benar-benar mencintai dunianya. Dia lebih memilih untuk menerima nilai ulangan anjlok dari pada harus dikeluarkan dari klub jika terlalu sering absen.

"Mama ada kenalan guru les. Dia pasti mau buat ngajar kamu. Palingan sore baru selesai jadi enggak terlalu menyita waktu. Kamu masih bisa istirahat di rumah."

Ayana tidak tahu harus menjawab apa karena dia benar-benar ingin menolak, tetapi tidak berani mengutarakannya.

"Ayana pikir-pikir dulu, ya, Ma."

Mala mengernyit. "Pikir dulu gimana? Kamu sadar gak ada di situasi macam apa Ayana? Ini itu tahun terakhir kamu sekolah, kalau enggak lulus karena nilaimu yang sering anjlok gini memangnya kamu mau? Ini kan juga buat kebaikan kamu. Kamu sendiri yang bilang pengen lanjut kuliah, tapi kenapa males-malesan begini?"

"Bukan gitu, Ma—"

"Terus maksudnya gimana?"

Wajah Ayana mulai memerah. "Mama enggak akan paham."

"Bagian mana yang gak Mama pahami?"

"Ayana capek, mau istirahat. Kita lanjut besok aja."

Mala tidak menghalangi Ayana yang langsung menaiki tangga menuju kamar. Wanita itu mengusap wajah lalu kembali memperhatikan secarik kertas undangan di tangannya.

Sementara Ayana langsung mengunci pintu dan merebahkan diri di kasur. Matanya kosong menerawang langit-langit kamar, tetapi beberapa detik kemudian mata itu mulai berkaca-kaca. Andai saja, andai saja dia punya keberanian untuk mengatakannya kepada Mala soal keinginannya untuk masuk ke fakultas seni, bukannya kedokteran seperti permintaan sang ibu. Nyatanya, Ayana tidak memiliki keberanian itu.

Perhatian gadis itu teralihkan ketika ponselnya bergetar. Dia segera menggapai benda pipih itu dan mengernyit ketika sebuah DM masuk dari akun yang sepertinya dia kenali. Ayana segera membuka pesan itu.

Bisa keluar sebentar? Gue ada di luar.

Pesan itu, dari Kenzie.

•••

Terima kasih banyak ya untuk kalian yang udah meluangkan waktu membaca cerita ini (◕‿◕)♡

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro