Interaksi | 7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ayana kira 'luar' yang dimaksud oleh Kenzie adalah di luar rumahnya, tetapi ternyata cowok itu sudah duduk manis di sofa ruang tamu dengan ditemani oleh Mala. Entah apa yang mereka obrolkan, tetapi Mala tampak begitu nyaman bahkan sesekali tertawa. Mereka baru menghentikan obrolan ketika Ayana ikut bergabung.

"Udah siap? Jangan kemalaman, ya, pulangnya."

Ayana mengernyit, apalagi ketika sang Ibu mengusap rambutnya sambil mengedipkan mata lalu pergi begitu saja ke dalam kamar.

Apa-apaan itu?

"Ayo."

"Ke mana?" tanyanya keheranan.

"Beli es krim. Katanya makan yang manis-manis bisa ngembaliin mood yang lagi buruk. Atau lo mau beli coklat?"

Kedua mata Ayana mengerjap dua kali mendengar penurutan Kenzie. Entah dari mana cowok itu tahu soal mood-nya yang memang memburuk sejak menerima surat panggilan orang tua dari sekolah. Meskipun masih sedikit bingung, gadis itu memilih mengangguk lalu berpamitan sebentar untuk mengambil jaket.

Sore tadi, hujan turun cukup lama dan pasti menyisakan hawa dingin. Untuk itu, setelah dipikir-pikir, dia ingin membeli sesuatu yang hangat. Dan pilihannya jatuh pada warung bakso yang letaknya tak jauh dari kompleks perumahannya. Ayana dengan cepat menghabiskan dua porsi dan segelas teh hangat.

"Laper banget, ya? atau karena galau banget?" tanya Kenzie setelah berhasil menghabiskan semangkok baksonya.

"Dua-duanya."

"Habis ini mau ke mana lagi?"

Ayana berpikir sejenak. "Beli coklat. Masih berlaku, kan?"

Kenzie tersenyum. "Masih."

Sesuai rencana, mereka mengunjungi salah satu toko yang menjual coklat sekaligus roti. Ayana berakhir memesan chocolate cake dan memakannya di depan toko yang memang sudah tersedia beberapa tempat untuk menyantap makanan. Sementara Kenzie sendiri hanya membeli kopi hangat di salah satu pedagang keliling. Mereka menyantap makanan masing-masing dalam diam sambil menikmati hawa sejuk di malam hari. Bersamaan itu gerimis mulai turun, tetapi kedua insan itu sama sekali tidak memedulikannya.

"Kenzie, sikap kamu makin aneh, ya," ucap Ayana setelah menahan kalimat itu sejak Kenzie mengajaknya ke luar malam hari ini.

"Emang sikap yang normal itu kayak gimana?"

Maksud Ayana bukan aneh yang seperti itu. Gadis itu menghela napas, dia tahu Kenzie pasti mengerti maksud perkataannya. Untuk sesaat dia memilih diam dan menghabiskan makanannya. Matanya sesekali memperhatikan jalanan basah yang lumayan ramai oleh kendaraan. Dia tidak mengerti kenapa rasanya menyenangkan sekali, entah untuk alasan yang mana. Mood-nya sudah berhasil membaik sesuai dengan rencana adanya jalan-jalan dadakan ini.

Oh, dia melupakan satu hal.

"Kok bisa Mama ngizinin kamu ajak aku jalan? Pakai jurus bujukan apa kamu?" Pasalnya ini agak aneh mengingat situasi tegang antara dirinya dan Mala gara-gara surat dari sekolah. Ibunya tidak akan semudah itu membiarkannya pergi begitu saja setelah membuatnya kecewa.

"Cuma dengan sedikit kebohongan. Gak bisa dibilang kebohongan juga sih, kalau lo mau di ajak kerjasama."

Ayana menghela napas. "Bisa langsung ke intinya aja, nggak? Kebohongan apa yang kamu maksud."

"Kalau lo bakalan jadi murid gue."

Wait, what? Murid apa maksudnya?

"Gue bilang kita mau atur jadwal les belajar lo. Jadi, jam berapa kira-kira waktu luang yang lo punya?"

Tunggu, Ayana perlu mencerna dulu perkataan Kenzie yang entah mengapa selalu membingungkan untuknya. Beberapa detik kemudian dia tersadar sesuatu lalu menatap cowok di hadapannya dengan tatapan tidak percaya. Bagaimana Kenzie bisa tahu soal masalahnya? Dia bahkan baru menceritakannya kepada Bita. Bisa-bisanya sampai ke telinga Kenzie yang langsung bertindak tidak masuk akal seperti ini. Dia yakin cowok itu pasti punya tujuan khusus. Apalagi firasat buruknya selalu terbukti benar sesuai dengan pengalaman sebelumnya.

"Aku menolak," ucap Ayana tegas dan tiba-tiba. Matanya sedikit melotot seolah sebagai bentuk waspada dan perlindungan diri.

Salah satu alis Kenzie terangkat. "Yakin nolak kesempatan bagus ini?"

"Yakin dan aku juga ngerasa ini bukan kesempatan bagus, tapi jebakan."

Kali cowok tampan itu menggeleng pelan. "Tampang gue emang keliatan kayak penjahat banget ya sampai dicurigai segitunya? Tapi ya terserah lo, gue cuma ngasih solusi yang terbaik. Padahal dengan lo belajar bareng gue, gak perlu repot-repot mikirin rencana bolos buat ikut kegiatan klub. Gue akan mengizinkannya dengan senang hati dan Tante Mala gak akan tahu soal itu."

Oke, sekarang Ayana berpikir jika Kenzie bukan manusia biasa. Bagaimana dia bisa tahu soal rahasia Ayana yang satu itu? Tunggu, jangan-jangan dia juga tahu soal rahasia yang lainnya?

"Kalau soal itu gue kebetulan tahu aja," ucap Kenzie lagi seolah tahu isi pikiran Ayana. "Dan enggak sengaja tahu."

Hmm, sulit dipercaya.

Namun, mau tidak mau perkataan Kenzie berhasil membuat otaknya berpikir keras. Dia merasa perkataan itu ada benarnya. Jika dia mendaftar les kemungkinan kegiatan klub-nya akan terganggu. Belum lagi dia berniat mendaftar lomba melukis dan merasa harus lebih giat lagi mengasah kemampuannya. Namun, di sisi lain mengabaikan nilai akademiknya juga bukan hal yang tepat. Ayana sudah sadar akan hal itu. Dia kembali menatap Kenzie yang duduk dengan ekspresi kalem menunggu tanggapannya.

Ayana berdeham. "Kayaknya bener, ide kamu yang keliatannya paling aman. Tapi aku ada satu syarat."

Kenzie sedikit memiringkan kepalanya. "Itu bukan hal yang harusnya lo katakan, tapi oke akan gue dengar apa syaratnya."

Kali ini gadis itu tampak gugup, berusaha memilih kata yang tepat untuk menyampaikan keinginannya ini. Astaga, sulit sekali. Rasanya jauh lebih sulit untuk mengatakan yang sejujurnya kepada Mala soal dia yang diam-diam ikut klub lukis. Karena ini soal harga dirinya.

"Aku minta foto kamu."

Seketika hening menguasai situasi di antara keduanya. Pipi Ayana dengan cepat memerah, tetapi dia tidak berani mengatakan apa pun lagi. Hanya berharap jika respon Kenzie tidak seburuk yang dia pikirkan.

"Oke. Tapi masalahnya gue cuma punya foto masa kecil aja. Kalau mau foto gue yang sekarang, foto aja pake hape."

"Hah? Se-sekarang?"

"Lo butuhnya sekarang, kan?"

Ayana mengangguk kaku.

"Ya udah cepet."

"Emm, hape kamu mana?"

"Pake hape lo aja."

Ayana tidak menolak karena ingin hal ini cepat-cepat berlalu. Dia mengambil ponsel, membuka aplikasi kamera dan mengarahkannya kepada Kenzie yang hanya duduk dengan tenang. Gadis itu tanpa sadar meneguk ludah ketika tatapan mereka bertemu di lensa kamera ponsel. Mata Kenzie, kenapa cantik sekali?

Ayana merutuki pikirannya barusan dan dengan cepat mengambil gambar. Dia mengumpat pelan ketika tanpa permisi jantungnya berdetak dengan sangat cepat. Yah, mungkin ini efek dari rasa malunya karena meminta foto pada Kenzie secara terang-terangan.

Setidaknya, sekarang salah satu misi dari Reyhan sudah dia selesaikan.

•••

Terima kasih banyak ya untuk kalian yang udah meluangkan waktu membaca cerita ini (◕‿◕)♡

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro