Interaksi | 20

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Momen yang paling Kenzie tunggu-tunggu di setiap pagi kini sudah tidak ada. Dia yang dengan senantiasa menunggu kedatangan Ayana untuk berangkat bersama kini harus rela untuk pergi terlebih dahulu. Rasanya ada sesuatu yang hilang dan ketika ingat jika kemarin adalah kedekatan terakhir mereka benar-benar membuatnya frustasi. Ayana sungguh menciptakan jarak sehingga dia tidak berani untuk menggapainya.

Apakah selama ini kebersamaan mereka sungguh tidak merubah apa pun? Ternyata selama dia yang terlalu percaya diri.

"Ken, Ayana ganti nomor, ya?"

Kenzie hanya menjawab pertanyaan tersebut dengan mengangkat bahu. Namun, saat tersadar sesuatu dia menoleh ke arah Reyhan yang fokus pada ponsel di tangan.

"Kenapa? Dia gak bisa dihubungi? Ada keperluan apa ngehubungi dia?"

Reyhan tertawa kecil dan menepuk bahu sahabatnya itu. "Rahasia."

Sebisa mungkin Kenzie menahan keinginan untuk menonjok mulut sahabatnya itu, tetapi tentu dia harus sadar diri. Dia bukan siapa-siapa Ayana dan membatasi interaksi antara mereka berdua tentu terasa tidak pantas.

"Lo beneran suka sama Nadha, kan?"

"Iyalah," balas Reyhan sedikit ngegas. Cowok itu tampak tidak terima dengan pertanyaan tersebut. "Emang muka gue keliatan meragukan, ya?"

"Enggak juga. Sejak kapan?"

"Sejak SMP."

Kenzie tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Sudah selama itu dia menyimpan perasaan itu seorang diri? Reyhan bahkan tidak pernah menceritakannya kepada Kenzie. Sialnya, saat ini dia benar-benar merasa iri karena kisah cinta temannya berjalan mulus tidak seperti dirinya.

"Sebenernya dulu gue udah pernah confess ke dia, tapi ditolak. Awalnya gue pikir karena dia naksir lo, ternyata salah. Ada alasan manis dibalik penolakannya."

Baiklah, sepertinya Kenzie harus segera mengakhiri pembicaraan itu, apalagi ketika Reyhan sudah senyum-senyum sendiri. Dia yakin cowok itu tengah membayangkan akan sosok Nadha. Meskipun penasaran, Kenzie tidak ingin berakhir dengan memperparah perasaan irinya. Situasi saat ini sudah cukup sulit. Membuat dirinya terlihat lebih menyedihkan bukanlah langkah yang tepat, bukan?

"Mau nyamperin Ayana dulu deh. Dia susah dihubungi."

"Ngapain?"

"Ada perlu."

"Udah bilang ke Nadha?"

Reyhan mengernyit. "Bilang apa?"

"Soal lo yang mau ketemu Ayana."

"Enggaklah, ngapain? Lagian ketemuan doang kali, urusan penting juga. Bukannya selingkuh. Dia gak bakalan cemburu. Yah, kecuali kalau ada orang lain yang justru cemburunya ke gue."

Apa-apaan dengan tatapan itu?

Kenzie memilih diam dan membiarkan Reyhan pergi. Dia tidak ingin cowok itu curiga kepadanya. Yah, sepertinya bersikap terlalu cerewet seperti tadi bukan pilihan yang tepat. Namun, tetap saja dia tidak bisa tenang membayangkan mereka berdua bertemu dan mengobrol soal 'rahasia' yang Reyhan maksud.

Kenapa harus rahasia? Kenapa tidak langsung jujur saja kepadanya?

Menyebalkan.

***

Ayana sengaja mengabaikan berbagai pesan dari Reyhan yang menanyakan soal lukisan Kenzie. Namun, kedatangan cowok itu ke kelasnya benar-benar berada di luar prediksi. Beruntung, dia dengan sigap memberikan alasan yang tepat kenapa tidak bisa membalas pesan Reyhan. Dan cowok itu dengan mudah mempercayainya.

"Ini, udah aku selesaikan semalam."

"Wih, thanks, ya. Ini enggak bayar, kan?"

Ayana tertawa kecil dan menggeleng. "Enggaklah, ini kan sebagai balas budi sekaligus ucapan terima kasih dari aku ke kamu."

Ayana reflek menjauh ketika bisa melihat gerakan Reyhan yang hendak merangkul pundaknya.

"Eh, sorry sorry kebiasaan. By the way, lo sama Kenzie lagi ada masalah, ya?"

Mendengar namanya saja sukses membuat jantung Ayana berdebar. Kali ini dengan cara yang tidak menyenangkan.

"Enggak, kok. Emm, aku mau langsung pamit ke kantin, ya."

Tanpa menunggu balasan dari Reyhan, Ayana segera pergi dari sana. Tidak menuju kantin, melainkan pergi ke perpustakaan untuk sekadar membaca beberapa buku pelajaran sebagai bahan belajarnya. Dia sudah berjanji kepada Mala dan dirinya sendiri untuk menyelamatkan nilai ujian akhir semesternya. Karena mulai hari ini dia tidak bisa lagi belajar dengan Kenzie, jadi Ayana pikir dia harus lebih rajin lagi belajar sendirian dan mencoba memahaminya semaksimal mungkin.

Setelah dirasa cukup sesi belajarnya, yah hanya singkat dan memang sengaja mengingat jam istirahat juga singkat. Ayana menutup bukunya dan beralih dengan membuka ponsel.

Jantungnya berdebar kencang ketika melihat jam di ponselnya.

'Tujuh menit lagi,' batinnya.

Hari ini merupakan hari pengumuman untuk tahap pertama di kompetisi melukis yang dia ikuti. Ayana benar-benar menaruh harapan besar dia bisa lolos dan pergi ke Bandung untuk mengikuti kompetisinya secara langsung.

"Ih, Ayana aku cariin dari tadi tahu?"

Bita berjalan ke arahnya dengan kesal dan langsung duduk di sampingnya.

"Ada apa?"

"Jelas mau lihat hasil pengumumannya lah. Aku mau lihat bareng kamu bisa senengnya bisa barengan juga."

Ayana tersenyum dan kembali fokus pada ponselnya. Menunggu email masuk yang dia harapkan akan membawa kamar baik. Namun, sudah lima menit terlewati dari jadwal pengumuman yang seharusnya masih belum ada notifikasi email masuk. Ayana mulai cemas, dadanya semakin tidak bisa dikondisikan. Dia meneguk ludah beberapa kali seolah mencoba menetralkan perasaannya yang semakin tidak karuan. Namun, usapan lembut Bita di tangannya cukup mampu buat Ayana merasa sedikit tenang.

"Lihat, ada email masuk."

Ayana menahan napas, tetapi tangannya tidak bergerak untuk membuka notifikasi itu. Dia tidak berani, sungguh, tangannya seolah berubah kaku. Apa pun isinya benar-benar akan berefek besar untuknya. Jika dia lolos, tentu saja Ayana merasa sangat bahagia dan ini adalah kesempatan dia untuk membuktikan kepada Mala jika cita-citanya bukan sesuatu hal yang bisa diremehkan. Jika hal yang dia suka bisa menjadi sesuatu yang bisa dibanggakan. Namun, jika kenyataannya dia tidak lolos, Ayana tidak yakin dia sanggup menghadapi rasa kecewanya sendiri.

"Ta, bukain please."

Kondisi Bita ternyata tidak kalah mengenaskannya seperti Ayana. Namun, gadis itu memilih untuk mengangguk dan mengambil alih ponsel berwarna hitam tersebut.

"Gimana?"

Bita memegangi dadanya dan bernapas lega. Dia langsung menunjukkan layar ponsel itu ke arah Ayana.

"Kamu lolos, Ay!"

Ayana melotot lebar dan menutup mulutnya. Mereka berdua reflek berteriak dan saling berpelukan. Namun, langsung diam ketika mendapat teguran keras dari sang pustakawan.

"Aku bilang juga apa, kan, kamu pasti lolos. Aku percaya banget soal itu."

Ayana mengangguk. Matanya masih berkaca-kaca. Dia ingin sekali memberitahu berita ini kepada Mala dan Kenzie, tetapi tentu dia tidak berani untuk mengatakannya. Jika Mala mengetahuinya sekarang, dia tidak yakin wanita itu akan senang. Bisa-bisa dia akan di larang pergi ke Bandung untuk mengikuti kompetisi itu.

Ayana tidak ingin hal itu sampai terjadi. Ketika dia benar-benar memenangkan kompetisi itu nanti, barulah dia akan datang ke hadapan Mala dengan rasa percaya dirinya.

Ayana harap, hal itu benar-benar terjadi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro