Interaksi |19

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nyatanya meskipun Ayana sendiri yang meminta, dia pula yang merasa tidak nyaman dengan jarak yang ada di antara dirinya dengan Kenzie. Mereka sudah tidak bisa lagi seterbuka dulu ketika berada di sekolah. Cowok itu benar-benar memenuhi permintaannya. Namun, di saat yang sama pula Ayana merasa ada bagian dalam kesehariannya yang kosong. Meskipun sudah tau jawabannya apa, tetapi menyangkal adalah satu-satunya hal yang bisa dia lakukan.

"Emang kenapa, sih, kalau semua orang tau kalau kalian berdua jalan bareng?" tanya Bita dengan nada lelah.

"Entar mereka mikirnya kami pacaran."

"Ya, kenapa? Itu kan asumsi mereka. Tinggal bilang aja kalau hubungan kalian enggak seperti itu. Gampang, Ay. Dari pada kamu jadi lesu gini karena jauhan sama Kenzie."

"Enggak gampang, Ta. Dan aku lesu bukan karena dia."

Bita tersenyum dan menoyor kening sang sahabat. "Aku nggak bisa ditipu."

Sementara Ayana semakin cemberut. "Aku cuma nggak mau Kenzie ngerasa gak nyaman kalau sampai ada rumor semacam itu soal kami."

"Dari mana kamu tahu kalau Kenzie ngerasa gak nyaman? Dia sendiri yang bilang ke kamu?"

Yang ditanya hanya menggeleng dengan ragu. "Tapi aku yakin dia pasti ngerasa gitu."

Bita menepuk jidatnya sendiri. Merasa tidak habis pikir dengan jalan pikiran Ayana. "Itu cuma pemikiran kamu, Ay. Jangan gampang nyimpulin sesuatu yang bahkan enggak berdasarkan fakta. Kalau gini terus kapan kalian berdua bakalan maju? Duh, kalau diem semua kayak gini gak bakalan jadi, sih. Kamu juga jangan nyangkal mulu soal perasaanmu."

Mendapat nasihat panjang lebar semacam itu hanya semakin membuat Ayana semakin dilema. Akhir-akhir ini ada banyak hal yang mengganggu pikirannya. Tidak hanya soal Kenzie, tetapi juga ujian akhir semester dan juga soal kompetisi melukis yang sedang dalam tahap penilaian.

Malam ini akan ada jadwal belajar bersama Kenzie di rumah cowok itu setelah hampir tiga hari libur. Di sisi lain dia merasa senang akan menghabiskan waktu bersama Kenzie dan hanya berdua saja seperti sebelum-sebelumnya. Namun, ada hal yang juga membuat dia gelisah. Yaitu, tentang kehadiran Dara yang nyatanya tidak bisa dia terima dengan mudah. Apalagi soal keakraban mereka berdua.

"Ada pesan dari Kenzie, tuh."

Ayana melirik pada ponsel di depannya dan jantungnya langsung bereaksi. Dia membuka pesan itu sembari menyembunyikannya dari Bita yang mencoba untuk mengintip.

Kenzie.
Jangan lupa jadwal nanti malam. kalau sampai telat traktir gue dengan jalan bareng.

Ya, Ayana berdebar oleh kalimat terakhir itu, tetapi dia juga merasa kesal sekaligus sesak. Seperti apa sebenernya tujuan Kenzie menyelipkan kalimat semacam itu? Sengaja untuk menciptakan kesalahpahaman? Atau hanya ingin melihat Ayana bersikap bodoh karena berpikir cowok itu menaruh rasa kepadanya? Atau sebenernya itu memang hal yang wajar dan dia saja yang terlalu percaya diri?

Entahlah, Ayana ingin berhenti memikirkannya, tetapi sulit sekali.

"Gak dibales?"

"Males."

"Kenapa?"

"Males aja."

Bita menghela napas dan menepuk bahu Ayana membuat gadis itu menatapnya. "Gak apa-apa kalau gak mau cerita, tapi aku boleh ngasih saran?"

"Saran apa?"

"Dari pada ngerasa digantung atau dibuat bingung sama hubungan ataupun perasaan kalian, aku rasa kamu harus cepat-cepat ambil keputusan, Ay. Memastikannya atau melupakannya."

Senyum gadis berambut pendek yang selalu ada untuk Ayana sejak kecil itu mengembang tulus. "Aku yakin kamu pasti paham dan tau mana pilihan yang terbaik untuk kamu sendiri. Ingat, kamu dulu setelah itu fokus ke orang lain. Jatuh cinta emang serumit itu, kan?"

Kali ini senyum Ayana ikut mengembang, dia mengangguk. "Rumit banget."

Apa itu artinya dia memang menyukai-tidak, mencintai Kenzie? Padahal ketika menaruh perasaan kepada Reyhan pun dia tidak pernah merasa kesulitan semacam ini. Semuanya hanya terasa indah saja, meskipun terkadang fakta yang ada sering menamparnya. Namun, yang sekarang berbeda.

***

Kemarin, Mala memberikan tas sekolah baru untuk Ayana sebagai hadiah karena berhasil menyelesaikan ulangan harian tanpa remidi. Tas itulah yang kini gadis berkucir dua itu pakai untuk di bawa ke rumah Kenzie. Sekali lagi, di depan cermin kamarnya yang besar dia mengecek sekali lagi tampilannya malam ini dan tersenyum puas.

Dengan langkah ringan, Ayana ke luar kamar untuk makan malam terlebih dahulu bersama sang Ibu.

"Lain kali aja Kenzie makan malam di sini."

Ayana mendengkus. "Dia udah punya keluarga sendiri, Ma."

"Ya, enggak apa-apa. Sekalian aja ajak mereka malam di sini, pasti seru." Senyum Mala melebar dengan sempurna. "Kalau kamu mau tau tipe menantu Mama itu seperti apa, jawabannya ya Kenzie. Jadi jangan sampai lepas, ya, Ayana."

Perkataan itu sukses membuat Ayana tersedak sekaligus terbatuk-batuk. Dia segera meneguk air putihnya hingga habis gak tersisa. Tenggorokannya terasa perih.

"Mama kira dia Ayam. Lagian, kami enggak ada hubungan apa-apa, Ma. Cuma teman. Ingat ya, cuma temen, dan akan terus seperti itu."

Mala tersenyum. "Takdir enggak ada yang tahu, Ayana. Siapa tau memang kalian berjodoh. Mama gak akan putus doa-in dia biar jadi mantu Mama."

Sungguh, ucapan Mala benar-benar tidak bisa masuk dengan mudah di pikiran Ayana. Dari pada semakin mendengarkan ucapan tidak masuk itu itu lebih jauh, dia memilih mengakhiri malam malamnya dengan cepat dan pamit pergi ke rumah Kenzie.

Rumah itu tampak sepi dari luar seperti biasanya. Ayana mengetuk dan kali ini yang membuka pintunya adalah Dara. Gadis dengan baju polos dan celana panjang yang tampak kebesaran untuk kakinya itu menyambut kedatangan Ayana dengan gembira.

"Mau apel Kenzie, ya? Bentar, dia masih di kamarnya tuh biar gue panggilin dulu."

"Ini cuma mau belajar aja, kok."

"Eh? Belajar? Oh iya, gak liat gue lo bawa tas. Mau ngerjain tugas kelompok ceritanya?"

Ayana menggeleng. Sebenarnya ingin cepat-cepat masuk untuk bertemu Kenzie dari pada mengisi sesi basa-basi yang tidak menyenangkan ini.

"Kami emang sering belajar bareng."

Setelah beberapa detik mengatakan kalimat itu, Ayana mendadak merasa menyesal. Apakah ucapannya tadi berlebihan dan terdengar konyol?

"Wih, seru dong. Pantesan aja malam-malam begini dia mandi, wangi pula."

Spontan Ayana meremas rok yang tengah dikenakannya. Perkataan Dara kenapa terdengar menyebalkan di telinganya?

Akhirnya Ayana dipersilahkan untuk masuk sementara Dara menuju lantai dua memanggil Kenzie. Dia menunggu di ruang keluarga sambil mengeluarkan bukunya sesuai dengan jadwal les hari ini. Namun, setengah jam berlalu mereka berdua tidak kunjung turun dan hal itu membuat Ayana merasa tidak nyaman. Dia berkali-kali mendongak ke lantai atas dan penasaran kenapa mereka lama sekali.

Ayana menggeleng, mencoba mengenyahkan pikiran buruk yang tidak absen menghantuinya.

"Mereka saudara enggak mungkin saling suka, kan?"

Tapi bukan saudara kandung.

Tangan yang sedang memegang pena itu semakin mengencangkan eratan. Napas Ayana mendadak terasa berat dan sedikit kesulitan untuk mengambil udara di sekitar. Tenggorokannya yang perih karena tersedak tadi semakin terasa sakit. Ayana tidak bisa mengendalikan pikirannya sendiri.

Sampai kemudian Dara muncul dengan wajah sumringah lalu menghampiri Ayana.

"Sorry, ya, kalau nunggu lama. Gue mau ikutan belajar juga, dong. Sebentar gue ambil bukunya dulu."

Tepat kepergian Dara, Kenzie muncul dengan langkah yang cukup lesu dan itu membuat Ayana merasa ingin segera pergi dari sana. Kenzie seperti tidak berminat untuk menemuinya dan fakta jika saudara tirinya ingin ikut bergabung dalam sesi belajar ini semakin membuat keadaan tampak mengesalkan untuknya.

"Kenzie, makasih ya buat bantuan kamu selama ini, tapi kayaknya mulai besok aku mau belajar sendiri."

Kenzie langsung menatap padanya. Tampak terkejut. "Kenapa?"

Ayana tersenyum. "Aku cuma enggak mau terus ngerepotin kamu gini."

"Gue enggak ngerasa direpotin."

"Tapi aku ngerasa gitu."

Kali ini cowok itu tampak kesal. Dia mengambil bukunya sendiri. "Ya udah, terserah."

Itu bukan jawaban yang salah, kan? Namun, Ayana tidak menyukainya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro