Interaksi | 18

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tentu saja situasi canggung di antara dua manusia di dalam satu ruangan yang sama ini tidak dapat terhindarkan. Ayana di kursi kayu pendek dengan agak tegang, tetapi dia merasa sudah berusaha sebisa mungkin untuk mencoba bersikap biasa saja. Gadis itu hanya diam sambil sesekali memperhatikan Kenzie yang tengah sibuk menyantap bubur ayam buatan perempuan tak dikenalinya itu. Dia juga tidak melewatkan memperhatikan ruangan yang bias dibilang cukup minimalis itu.

Kamar yang didominasi warna putih dan cukup berantakan itu nyatanya jauh lebih nyaman untuk dilihat ketimbang kamarnya sendiri. Namun, kamar itu entah kenapa terasa kosong. Apa mungkin karena Ayana sudah terbiasa dengan kamarnya yang ramai oleh berbagai poster idolanya dan juga dilengkapi dengan berbagai macam hiasan dinding. Berbeda dengan kamar Kenzie yang hanya penuh oleh berbagai buku bahkan novel. Namun, dia bisa melihat lemari kaca kecil yang dia tebak terisi penuh oleh album musisi.

"Kamu suka dengerin musik, ya?" Tanya Ayana memecah keheningan yang cukup lama menguasai situasi di antara keduanya.

"Enggak juga. Cuma dengerin kalau lagi pengen aja."

Ayana mengangguk. "Itu semua album lagu, kan?" Dia menunjuk kea rah almari yang tadi menarik perhatiannya.

"Iya, tapi punya Almarhumah Ibu."

Ayana tentu tahu jika Ibu kandung Kenzie sudah tidak ada sejak dia duduk di bangku SMP. Dia kemudian memilih untuk kembali diam, merasa sungkan untuk melanjutkan percakapan ketika Kenzie berbicara soal ibunya.

"Sorry, ya, ngerepotin lo gini. Lo bisa pulang sekarang kalau mau. Gak usah ngerasa sungkan gitu buat pamitnya. Gue enggak masalah."

Perkataan sukses membuat Ayana untuk kesekian kalinya merasa tidak nyaman. Dia merasa diusir dan hal itu sukses membuatnya begitu kesal. Namun, sebisa mungkin dia menahan diri untuk tidak menunjukkannya. Lagi pula, dia tidak punya hak untuk marah, kan. Bisa saja kehadirannya memang mengganggu Kenzie yang ingin beristirahat. Seharusnya Ayana tidak lupa jika cowok itu tengah sakit.

"Aku bakalan pulang setelah kamu minum obat."

Kenzie tersenyum. Dia meletakkan mangkok yang kini kosong itu ke atas nakas lalu kembali berbaring. "Terserah lo mau pulang apa enggak, gue mau tidur."

Apa-apaan itu?

Ayana mau tidak mau berdiri dengan wajah kesal. "Aku pulang dulu kalau gitu. Seenggaknya diminum obatnya biar agak mendingan. Kamu keliatan pucat banget, hawa panasnya aja sampai sini."

"Lebay."

"Ish, serius!"

Kenzie tertawa kecil dan menatap Ayana dengan lembut. "Makasih udah cerewetin gue."

Ayana mengerjap dua kali dan mengangguk. "Cepat sembuh, ya, Kenzie. Dadah." Dengan cepat dia berlalu menuju pintu, tetapi jantungnya kembali berdegup dengan cepat ketika pintu itu tidak bisa dibuka.

"Kenapa? Ada yang mau lo cerewetin lagi? Tenang, nanti gue minum obatnya."

"Bukan itu. Pintunya enggak bisa dibuka."

Kenzie menghela napas dan menunjuk tasnya. "Tolong ambilin hape gue di tas sekolah."

Meskipun bingung Ayana tetap menurut dan menyerahkan benda pipih itu kepada Kenzie. Cowok itu sepertinya tengah menghubungi seseorang dilihat dari dia yang langsung mendekatkan ponselnya ke telinga.

"Buka pintunya."

"Enggak akan sebelum lo minum obat. Ayana, tolong bujuk dia ya kalau gak mau nginep di sana hari ini."

Suara itu tersampaikan dengan baik ke telinga Ayana. Gadis itu kini berubah panik dan melotot kepada Kenzie seakan menegaskan bahwa kejadian ini adalah salah cowok itu.

"Ngerepotin banget, sih," ucapnya yang kemudian memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Kenzie kembali duduk dan mengambil obat-obatan yang ada di atas nakas. Melihat itu, Ayana inisiatif mendekat. Merebut obat itu dan membukanya stau persatu untuk diserahkan kembali kepada sang pemilik.

"Digerus dulu."

"Hah? Apanya?"

"Obatnya. Gue gak bisa minum langsung gitu. Harus yang udah jadi bubuk."

Ayana mengerjap. Dia salah dengar, kan? Namun, melihat keseriusan di nada dan raut Kenzie membuat dia mau tidak mau meracik beberapa pil itu agar menjadi halus, meskipun cukup susah. Dia lalu membantu cowok itu meminum obat dan sempat memaksanya ketika Kenzie tampak ragu untuk meminumnya. Setelah proses minum obat yang cukup menguras energi itu selesai, akhirnya Ayana bisa menghela napas lega. Dia merapikan kembali nakas itu dan menyimpan obatnya kembali ke laci.

"Kamu kalau lagi sakit kayak anak kecil, ya."

"Gemesin gitu?"

"Gak, ngeselin." Namun, setelah mengucapkan kalimat itu, dia tiba-tiba tersenyum, "tapi lucu juga," sambungnya kalem. Tanpa sadar perkataan itu memiliki efek yang begitu besar terhadap cowok yang masih terduduk lemas di kamar itu.

Kenzie segera mengalihkan pandangan dan kembali sibuk dengan ponselnya.

"Oh iya, perempuan yang tadi itu siapa? Aku enggak pernah lihat sebelumnya. Teman kamu?" Akhirnya Ayana berani menanyakan hal itu.

"Bukan. Saudara baru gue. Namanya Dara. Dia anak Bunda dan baru mulai tinggal di sini kemarin."

"Baru kenal kemarin juga?" Ayana tampak keheranan.

"Enggak juga, kita sempat ketemu dua kali sebelum Papa sama Bunda nikah. Ini ketiga kalinya kita ketemu."

Ayana tahu pasti alasan kenapa tiba-tiba dia kembali merasa tidak nyaman. Alasannya tentu karena fakta yang baru saja dia ketahui ini. Mereka bisa dibilang hanya baru kenal, tetapi sudah bisa seakrab itu. Dan sialnya, Ayana cemburu akan hal itu.

Pintu yang tiba-tiba dibuka mengalihkan perhatian mereka berdua.

"Nah, gitu dong diminum obatnya," ucap Dara dengan senyum lebar dan puas.

"Lain kali enggak usah kelewatan, becandaan lo enggak lucu," balas Kenzie tajam.

Bukannya menciut, senyum Dara justru semakin lebar saja. "Kenapa? Kan, menguntungkan lo juga. Ayana jadi lebih lama bisa ada di sini. Tahu nggak, Ay-"

Ayana terkejut ketika Kenzie melempar bantal ke arah Dara hingga mengenai wajagnya. Namun, bukannya marah gadis itu justru tertawa.

"Dah ah, bisa-bisa diamuk beneran gue. Bye!"

Ayana yang masih bingung dengan situasi itu hanya bisa diam, meskipun diam-diam hatinya terasa panas. Cepat-cepat dia pamit pergi dari sana tanpa menoleh sedikitpun kepada Kenzie.

Lama-lama berada di sana justru membuat dia merasa semakin sesak.

"Ayana."

Sungguh, kenapa harus ada yang menahan langkahnya? Ayana segera berbalik, mendapati Dara yang berjalan ke arahnya dengan sebuah kotak kecil yang dia tebak pasti berisi makanan.

"Ini sebagai ucapan terima kasih dari gue. Kalau bukan karena lo, dia pasti enggak bakalan minum obatnya."

"Gak usah repot-repot, lagi pula justru kamu alasan dia mau minum obatnya."

Dara tertawa kecil. "Benar juga, tapi karena ada lo rencana gue jadi berhasil. Habis dia tuh susah banget dikasih tau. Hobi banget bikin orang khawatir. Kalau sampai Bunda tau dia belum minum obat sama sekali, bisa diamuk gue sama beliau."

Ayana mencoba memaksakan senyumnya.

"Nih, jangan ditolak, ya. Buatan gue sendiri loh. Gue jamin rasanya enak."

Meskipun rasanya enggan, Ayana akhirnya menerima bungkusan dan mengucapkan terima kasih. Setelahnya dia benar-benar pamit sebelum hal lain menambah beban di hatinya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro