Interaksi | 17

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Semalam Kenzie membatalkan jadwal les secara dadakan tanpa menyertakan alasan apa pun. Dia juga tidak melihat cowok itu keluar dari gerbang rumahnya padahal Ayana sudah memantau sejak subuh tadi dari dalam jendela kamarnya. Padahal motor dan mobilnya terpantau masih berada di rumah.

"Jangan-jangan dia sakit lagi, Ay."

Perkataan Bita itu membuat Ayana gelisah memikirkan kondisi Kenzie sepanjang pelajaran berlangsung. Dia ingin pergi ke kelas cowok itu tetapi tidak berani melakukannya. Aneh, bukan? Padahal dulu ketika masih menyukai Reyhan dia bisa setiap hari bolak-balik di depan kelas cowok itu. Sekarang hanya untuk melihat Kenzie saja butuh keberanian seluas samudra. Tapi sungguh, memang seperti itu yang Ayana rasakan. Perasaannya saat ini jauh lebih sulit untuk pikul. Dia merasa tidak bisa sebebas ketika menyukai Reyhan. Entahlah, kenapa bisa seperti ini.

"Ayok aku temenin kalau mau ke kelasnya Kenzie. Alasannya minjem sapu."

Ayana menepuk jidat. "Mana ada jam istirahat gini bukannya ke kantin malah bersih-bersih kelas."

Kali ini Bita yang cemberut. "Ya apa dong?"

"Udahlah, nanti biar aku tanyain aja kabarnya lewat WA."

"Kenapa enggak sekarang aja."

"Nanti, males dilihat kamu."

Bita melotot dan menepuk bahu sang sahabat dengan kesal. Mereka lalu memilih untuk makan siang bersama di kantin. Namun, hal yang Ayana harapkan terjadi sama sekali tidak ada. Dia bahkan tidak melihat Reyhan dan Mario. Dua orang yang selalu bersama Kenzie.

Ketika pulang sekolah, pun, Ayana masih sempat-sempatnya mengecek ke lapangan futsal barangkali Kenzie berada di sana, tetapi hasilnya pun nihil. Perlahan, kegelisahan Ayana semakin menjadi. Sembari menunggu bus di halte dia menimbang-nimbang untuk menghubungi Kenzie atau tidak.

Namun, jika dia menghubunginya hanya untuk menanyakan kabar cowok itu, apakah itu terasa wajar?

"Wajarlah, Ay. Kalian kalian teman," ucap Ayana menjawab pertanyaan bodohnya sendiri.

Ayana mengigit bibir bawahnya, benar-benar merasa bimbang. Menghubungi Kenzie saja bisa sangat semerepotkan ini. Harus bergulat dengan batin sendiri.

"Tumben banget jam segini belum pulang. Gak pulang bareng Kenzie?"

Perkataan itu hampir saja membuat ponsel di tangannya terlempar jatuh ke lantai halte jika saja Ayana tidak bisa mengendalikan diri. Dia menoleh ke samping dan melotot lebar mendapati seseorang yang sejak kemarin sangat dia hindari.

Kenapa seorang Shania yang bahkan tidak pernah mengobrol dengannya tiba-tiba berada di sini dan duduk di sampingnya? Dia bahkan mengetahui namanya. Apakah nama Ayana sudah tercatat dengan rapi di buku yang kini tengah berada di genggaman gadis itu? Buku yang selalu Shania bawa ke manapun dia pergi. Buku yang berisi semua berita yang selalu berhasil menghebohkan murid di sekolah. Buku yang bagi Ayana bagaikan neraka mengerikan.

"Oh iya, Kenzie hari ini, kan, enggak berangkat. Kenapa? Sakit, ya?"

Ayana menggeleng kaku. "Enggak tahu."

Shania mengernyit. "Masa? Kalian kan tetanggaan, kok bisa enggak tahu? Apalagi gue perhatiin akhir-akhir ini selalu berangkat dan pulang bareng."

Sungguh, Ayana sekarang sedang susah payah menahan rasa terkejut akibat perkataan itu. Shania itu ... benar-benar iblis. Bagaimana dia bisa tahu?

Suara tawa yang tiba-tiba terdengar membuat Ayana mengernyit heran menatap gadis di sampingnya. Apanya yang lucu?

"Seru juga ya kalau misal gue ngikutin perkembangan hubungan kalian berdua. Jangan jauhan gitu dong. Kalau lagi marahan, saran gue salah satu dari kalian harus mengalah dan ngasih pengertian ke orang yang salah. Kalau gitu kan enak, enggak perlu jauh-jauhan sampai gak bisa tahu kabar masing-masing. Gue mantaunya juga enak."

Entah bagaimana bisa wajah Shania seakan berubah menjadi lebih menyeramkan. Ayana segera berdiri sambil menahan rasa paniknya. Beruntung bus yang sejak tadi dia tunggu akhirnya datang.

"Aku duluan, ya," ucapnya agak kaku dan langsung masuk ke bus tanpa sedikitpun menoleh ke belakang meskipun Shania mengucapkan kalimat selamat tinggal dengan suara yang begitu riang.

Sementara itu Ayana yang lemas langsung terduduk di kursi. Perkataan Shania sukses menjadi pemenang dalam menguasai pikirannya.

Sekarang, keadaannya benar-benar sudah gawat.

***

Ketika selesai menghabiskan makan malamnya, Ayana tidak tahu tengah diberi keberuntungan atau justru kesialan ketika Mala menyuruh dia memberikan keranjang berisi buah-buahan ke rumah Kenzie. Meskipun berkat itu juga dia jadi tahu jika cowok itu ternyata benar-benar sakit dan memang sejak semalam.

Namun, siapa sangka ketika mengetuk pintu dan pintu kemudian dibuka seorang remaja asing yang justru membukakan pintu. Perempuan yang wajahnya tampak mirip sekali dengan ibu Kenzie itu mengernyit, tetapi sedetik kemudian tersenyum. Mungkin tersadar tengah berhadapan dengan tamu.

"Tamunya Kenzie, ya?"

"Hah, enggak. Ini aku—"

"Sebentar, gue panggilin dia dulu."

"Eh, jangan! Dia biar istirahat aja. Ini ada buah-buahan dari Mama buat dia. Cepat sembuh katanya."

Perempuan itu tersenyum dan menerima buah itu lalu mengucapkan terima kasih.

"Gue boleh minta bantuan nggak?"

Ayana mengerjap, bingung harus menjawab apa tetapi sungkan jika menolaknya begitu saja. Pada akhirnya dia mengangguk saja dan tangannya langsung di tarik untuk memasuki rumah itu.

"Nyokap sama bokap lagi pergi jadi gue yang harus repot-repot ngurusin dia. Mana rewel banget kalau sakit. Banyak mintanya pula. Gue lagi buat bubur ayam sesuai permintaan dia. Tolong bantuin bawain obatnya ke kamar, ya?"

Ayana melotot mendengar perkataan itu, mendadak ingin kabur saja. Bagaimana bisa gadis ini mengatakan hal itu dengan mudahnya? Masuk ke kamar Kenzie. Tidak, Ayana tidak bisa mengatakannya.

"Anu, tapi—"

"Dia susah banget di suruh minum obat. Siapa tahu kalau sama lo dia jadi mau. Please, ya, bantuin gue. Nyokap bisa ngamuk kalau tahu tuh anak enggak minum obat sejak pagi tadi. Susah sih dibilangin. Gak mau sembuh kali dia tuh."

Namun, ucapan itu sukses membuat Ayana khawatir. Bagaimana bisa Kenzie belum minum obat sama sekali.

"Tapi aku enggak yakin bisa bujuk dia."

"Dicoba dulu. Kalau gue sih, yakin. Nah, ini buburnya, tolong, ya?"

Akhirnya Ayana mengangguk, tetapi dia langsung teringat sesuatu. "Kamar Kenzie di mana, ya?"

"Oh? Enggak tahu, ya? Gue kira udah tahu. Sini gue anter."

Ayana mengikuti langkah gadis yang masih tidak dia ketahui namanya itu dengan perasaan campur aduk. Mereka menaiki tangga hingga sampai di depan pintu berwarna hitam legam dan berstiker kartun yang mungkin karakter kesukaan Kenzie. Diam-diam Ayana tersenyum, tetapi saat tersadar dalam situasi yang cukup genting wajahnya langsung berubah datar.

Ayana mengetik pintunya terlebih dahulu.

"Masuk aja, enggak udah sok-sokan ketuk segala."

Mendengar suaranya saja sudah membuat dia panik. Ayana lalu membuka pintu dan harum yang berasal dari kamar itu hampir membuat dia oleng.

Dari sini dia bisa melihat bagaimana Kenzie juga terkejut melihat kehadirannya. Pintu kemudian tertutup tiba-tiba.

"Have fun, ya!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro