16 Januari 2014

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Warning:

Cerita ini diikutsertakan event MWM oleh NPC2301
Dengan target tamat dalam sebulan

Akan ada banyak typo, plot hole, dan segala macam anu
karena dikerjakan tanpa proses semedi lebih dulu

Mohon maap jika hasilnya kurang memuaskan ;-;
Jika ingin bantu razia typo dan anu-anu, silakan komentar
I'd really appreciate it

Rasa bersalah mencekikku seperti tangan-tangan bercakar. Kemurungan Olive di kamarnya sudah serupa kuku-kuku panjang mengorek bekas cekikan itu. Komentar-komentar Kinantan di balkon seperti garam yang tumpah dengan sengaja ke lukaku.

"Aku dengar tadi pagi," kata gadis itu dengan suara mengalun semerdu nyanyian burung di pagi hari, "mereka bertengkar, suaranya keras sekali, seperti kontes menjerit pakai sumpah serapah. Ada tangisan juga, dan baru berhenti saat ibunya berteriak mengancam mereka untuk memotong sesuatu—entah itu uang jajan atau tangan mereka? Yah, keduanya sama parahnya."

"Berhentilah!" Aku berteriak. "Aku tahu aku salah!"

"Yang menarik," lanjut Kinantan seolah tidak mendengarku. "Pertengkaran mereka sempat terbawa jauh sekali. Si kakak sampai berkata bahwa adiknya tidak seharusnya lahir, dan si adik merusak gitar kakaknya."

Aku mengerang dan melengos pergi ke lantai bawah. Rumah itu sepi. Wilis dan Olive saling mendiamkan dan mengurung diri di kamar masing-masing, ayah dan ibu mereka di resto sejak pagi setelah sarapan yang begitu tegang.

"Hening, ya? Sedih sekali." Kinantan mengekoriku. Wajahnya begitu gembira, kontras dengan ucapannya. "Sungguh disayangkan, suasana rumah ini yang biasanya ramai sekarang terasa seperti kuburan. Dan itu semua salahmu."

Aku menghindarinya mati-matian, lalu masuk ke kamar Wilis—Kinantan kurang menyukai kamar Wilis, kecuali saat dia berusaha menakut-nakuti pemuda itu.

Wilis sedang duduk di atas ranjangnya, membetulkan senar gitarnya yang sempat peretel karena diputar-putar oleh Olive yang jengkel dibentak. Wajahnya merengut dan masih merah setelah pertengkarannya dengan Olive.

Sejenak, tangannya berhenti pada senar gitar. Matanya berserobok dengan tasnya yang bertumpukan dengan tasku di pojok kamar.

Sambil bersungut-sungut, Wilis mengambil semua tas-tas itu, berderap ke kamar Olive, menerjang masuk seperti angin badai.

Olive, yang tengah mengusap Denim di atas perutnya, ikut menandak-nandak. "Seenaknya menerobos masuk—"

"Kembalikan sama Grey," kata Wilis. Dia melemparkan tasku ke kaki ranjang, lalu menaruh tasnya sendiri di depan pintu kamar Olive. "Ini barang-barang yang kuambil dari lotengnya. Kembalikan saja."

Olive terpaku pada tas-tas itu. "Gimana caranya aku ke sana kalau tidak kau antar?"

Wilis berdecak-decak. "Terbanglah, apalah—tunggangi punggung hantunya Grey. Suruh dia berubah jadi spirit naga kayak di sinetron-sinetron itu. Bodo amat."

Olive melemparkan bantal sampai mengenai paha Wilis. "Kau menyebalkan—sudah kubilang, kau salah kalau marah padaku! Aku cuma kepingin membantu!"

"Oh, memang bukan kau yang salah." Wilis mengangguk-angguk. Tangannya memungut bantal Olive. "Aku yang salah—mau saja kalian bodohi seperti itu. Kita masuk ke lotengnya, mencari petunjuk dia di mana; aku bercerita ini-itu tentang Grey, padahal kau sudah tahu dari mulutnya langsung, malah lebih banyak dari yang kutahu. Dan kau dengan begitu alami berbohong, pura-pura tidak tahu apa-apa; sementara aku tidak sadar sama sekali orangnya selama ini di sampingmu; sementara aku bersemangat sekali mencari Grey kayak orang bodoh."

Ekspresi murka berkelebat di wajahnya. Dengan tenaga yang agak terlalu besar, Wilis melemparkan bantal kembali, yang memelesat dan berdebum keras ke dinding di sebelah Olive. Gadis itu menjerit sebelum kemudian membeku dengan paras ketakutan.

"Aku kayak ORANG BODOH!"

Wilis kembali ke kamarnya. Olive terisak-isak di bantal. Denim memanjati kepala Olive. Kinantan terhibur di balkon. Dan aku ... aku cuma bisa terdiam kaku di pojok kamar Olive tanpa berani mengangkat satu jari pun.

"Rumah gaibnya sudah hilang, lho."

"Aku tahu."

"Padahal dua malam lalu masih muncul, tapi semalam tidak ada lagi. Kau menyia-nyiakan kesempatan mencari badanmu beberapa malam belakangan."

"Sudah kubilang, aku tahu."

"Yah, sebetulnya aku bisa saja kasih tahu sesuatu yang belum kau ketahui." Kinantan mengetuk-ngetuk dagu dengan jarinya yang ramping dan panjang. Sebelah matanya mengedip padaku. "Tapi, nanti tidak seru, 'kan."

Aku mengamati Olive dari jendelanya. Dia masih telungkup di atas tempat tidur, menangis dengan suara pelan dan keras silih berganti—ini sudah sejam. Denim di atas kepalanya, tidur melingkar di antara rambut gelap Olive.

Aku mengusap wajah dengan frustrasi. "Aku merasa kayak cowok berengsek."

"Oh, aku yakin tidak demikian." Kinantan menepuk bahuku. "Bukannya kayak cowok berengsek, tapi kurasa kau memang cowok berengsek tulen."

Separuh diriku merasa pantas mendapat hinaan itu darinya.

Aku melenguh. "Ini semua salahku."

"Nah, begitu dong."

"Wilis tidak seharusnya marah ke Olive. Aku yang menyuruh Olive untuk tidak bilang-bilang ke kakaknya."

"Yah ... dia pasti merasa tersingkir, 'kan? Belum lagi fakta bahwa dia kepingin menolongmu, tapi kau malah datang ke adiknya untuk pertolongan. Dari semua orang—kau malah ke adiknya."

Aku menatap Kinantan lekat-lekat. "Kau teman curhat paling buruk yang pernah ada."

Kinantan terkikik sambil mengibas-ibaskan jari tangannya yang lentik. "Kau juga anak manusia paling buruk yang pernah kuajak bicara."

Sambil masih mengerang-ngerang nelangsa, aku bertanya, "Kau tahu di mana rumah gaib Jerau sekarang?"

"Tentu saja."

"Di mana?"

"Tentu saja aku tidak akan memberitahumu."

Aku tidak tahu ternyata hantu juga bisa sakit kepala—karena itulah yang kurasakan sekarang. Sambil mengurut-urut jidat, aku berembus masuk ke dalam kamar Olive. Aku berdiri di samping ranjangnya, membuat gadis itu bergidik dan mengangkat kepala dari bantal. Wajahnya bengkak karena terlalu banyak menangis. Hidungnya merah. Bantalnya basah. Aku hampir tidak sanggup menatap matanya.

"Aku minta maaf, Olive," lirihku. "Semua ini salahku."

Gadis itu menjumput tisu dari atas nakas dan membuang ingus. Di kamar sebelah, terdengar suara gitar dipetik, menandakan senarnya sudah benar. Wilis bernyanyi keras-keras seperti orang buta nada—tampaknya dia mengenakan headset dan mencoba membuat adiknya kesal.

"Wilis memang jahat," kata gadis itu seraya beranjak duduk. Denim merosot ke bahunya. "Jangan dipikirkan."

Olive beranjak untuk menutup pintu kamarnya, meredam suara kakaknya. Dia mengambil tas Wilis, lalu tasnya sendiri.

"Aku bakal kembalikan barang-barangmu nanti," kata gadis itu. "Tapi, kau mesti membiarkanku membersihkannya. Tasku bau sekali sejak menyimpan ini."

Dia menghamburkan isinya ke atas karpet—barang-barangku yang mereka ambil dari loteng. Jaket ayahku, dua album foto, dompet merah muda, bekas buku tulis yang sudah menguning dan penuh coretan, dan ....

"Apa ini?" Setelah menyeka hidung dengan tisu, Olive meraih sebuah kotak kayu seukuran dua telapak tangan. Tutupnya patah, lubang kunci rusak dan berkarat, sisi-sisinya diselimuti debu kelabu. "Aku tidak ingat mengambil ... oh, aku ingat! Ada kupu-kupu hinggap di atasnya, masuk entah lewat mana; Wilis mengambil kotaknya. Setelah itu, kami langsung turun, soalnya Wilis masih percaya sekali sama mitos 'kalau ada kupu-kupu masuk, berarti bakal ada tamu yang datang' .... Yah, memang betul ada Kak Zamrud yang datang, sih."

Olive membuka tutupnya. Engselnya langsung hancur dan berceceran ke atas karpet, kayunya yang lapuk menyerpih.

Gadis itu membelalak ke arahku. "Maaf, jadi rusak ...."

"Tidak, ini memang rusak."

Olive mengernyit. "Yah ... kayak habis dibanting."

Aku memandangi isinya. Setumpuk kertas—sudah menguning, tepiannya terkikis oleh rayap dan bekas air bocor. Bagian atasnya sudah melebur, agak mirip bubur kertas yang memenuhi seisi kotak. Saat Olive mengeluarkannya, beberapa lembarannya menempel dan robek. Namun, bagian tengah ke bawah masih selamat.

Dengan hati-hati, Olive memilah-milahnya.

Olive mengamati kertas-kertas itu selama semenit penuh sebelum akhirnya mengangkat kepala dan menatapku. "Punya kakakmu?"

Aku mengangguk. Entah bagaimana ekspresi wajahku—aku tidak tahu.

"Sebagian besarnya kayak puisi ... ya, ini puisi. Sebagian yang lain cerita yang belum selesai." Olive melirikku. "Grey?"

"Hmm?"

"Kau tidak apa-apa?"

Aku tidak menjawab selama beberapa lama. Ketika pada akhirnya aku mendapatkan kembali kemampuan untuk bicara, aku justru balik bertanya kepada Olive, "Kau tahu ke mana kakakku menghilang?"

Gadis itu menatapku lekat-lekat. Perlahan, dia menggeleng.

"Kau tahu tentang dunia paralel?" tanyaku lagi.

"Sedikit," jawabnya. "Intinya adalah dunia yang lain, 'kan? Biasanya digunakan penulis fiksi sebagai justifikasi untuk cerita mereka? Dan ..."—dia mengamati kertas-kertas, "kulihat, kakakmu melakukan itu juga di sini."

"Ya ...." Aku berusaha tersenyum. "Kakakku barangkali adalah salah satu penulis itu. Dia sering sekali mengoceh tentang dunia paralel. Dia bilang, dia membuat dunianya sendiri dan pergi ke sana tiap malam—karena itu dia sering bangun kesiangan dan telat ke sekolah."

Olive membalas senyumku. "Kakakmu kedengarannya lucu dan menarik." Matanya menelusuri tulisan Kak Nila. "Dan ... eksentrik."

"Sangat." Aku sepakat. "Tapi, karena itulah tidak semua orang bisa cocok dengannya. Kak Safir semalam salah satu contoh orang yang tidak cocok dengan kakakku, tapi mereka tetap berteman karena Kak Safir bisa menoleransi Kak Nila."

"Kau tidak ambil hati mengenai perkataannya kemarin?" tanya Olive. "Dia lumayan kasar untuk ukuran pria ramah."

"Tidak—tidak sama sekali. Pada dasarnya Kak Safir orang yang baik—seperti yang kubilang, dia tidak cocok dengan kakakku, tapi mereka justru sempat berteman baik. Tidak semua orang bisa melakukan itu." Aku mengangkat bahu. "Lagi pula, aku salah telah mendesaknya. Kak Safir punya terlalu banyak pengalaman buruk dengan proyeksi astral."

Olive mengerutkan sebelah pipinya. "Dia memang tampak panik sekali semalam. Ayah bilang, pemuda itu sampai sempat salah masuk ke dapur, mengira itu pintu keluar."

Denim melompat turun dari atas tempat tidur, lantas berputar-putar di sekitar gumpalan jaket mendiang ayahku di karpet. Beberapa kali mengendus-endus, si anak kucing akhirnya memutuskan untuk berbaring melingkar di atasnya. Olive tampak tidak menyadarinya. Dia masih melihat-lihat tulisan kakakku.

Kujumput salah satu kertas di dalam kotak, tetapi kembali menarik tangan saat menyadari tanganku menembusnya. "Kadang aku kepikiran kalau akulah yang jadi penyebab dia hilang. Mungkin akulah alasan yang membuatnya merasa terkucil."

Olive berhenti membalikkan halaman dan melirikku. "Kenapa?"

"Yah ... aku anak bungsu." Aku menghela napas (padahal aku sudah tidak bernapas sebagai ruh). "Aku merepotkan waktu masih kecil—karena aku bisa melihat macam-macam. Aku anak yang rewel, Olive. Hari pertama masuk SD, mamaku tidak bisa meninggalkanku sama sekali karena aku tidak bisa mengalihkan pandang dari wali kelasku dan bocah botak yang betengger di bahunya. Jadi ... aku sering memonopoli Mama, membuat kakakku dalam masalah .... Kadang, aku mengira dia membenciku."

Olive berdecak-decak. "Oh, aku tahu sekali rasanya. Aku jagonya memonopoli orang tua. Tapi, kurasa, wajar saja kalau adik dan kakak banyak yang tidak akur—bukan berarti mereka jadi membenci satu sama lain. Bersikap benci dan benci sungguhan ada bedanya, Grey. Maksudku, lihat aku dan Wilis. Kami tidak bisa berada di satu ruangan yang sama selama sejam saja tanpa menghina bentuk hidung satu sama lain atau saling bantai demi remote televisi."

Aku mendengus tertawa. "Iya ... kau dan Wilis memang contoh ekstrem."

Gadis itu meletakkan kertas-kertas milik kakakku dengan hati-hati ke dalam kotak, lalu menutupnya. Dia mengelap sisi-sisi kotak, membersihkannya sebisanya, lalu menyimpannya kembali ke dalam tas.

"Aku yakin kakakmu tidak membencimu," kata gadis itu lagi. Tangannya sibuk memisahkan cakar kecil Denim dari jaket ayahku. "Aku sempat mengintip album foto ini—sori—dan aku melihat foto-foto kalian berdua. Percayalah, Wilis tidak akan mau tersenyum seperti itu kalau aku duduk di pangkuannya. Kakakmu pasti betul-betul sayang padamu."

Aku meringis. "Sebenarnya, kakakku kepingin adik perempuan. Dia sempat berada dalam masa penyangkalan dan menyodoriku boneka barbie."

Setelah berhasil mengangkat Denim dan mengembalikannya ke bantal, Olive melipat jaket ayahku. Dia menjejalkannya ke dalam ransel, lalu buru-buru memindahkan posisi tas ke sisinya karena Denim menggoyangkan pantat dan ekornya, seperti bersiap hendak melompat masuk ke dalam tas.

"Kebetulan," kata gadis itu seraya duduk di sampingku, menyandar ke tepi ranjangnya, menutupi tas dari pandangan Denim, "aku malah kepingin punya kakak cewek—kayaknya kita tertukar."

"Apa Wilis juga sebetulnya kepingin adik laki-laki?"

Olive mengalihkan tatapannya ke lantai. "Tidak ... Wilis sebetulnya tidak kepingin adik sama sekali."

Aku mengangkat alis. "Waktu dia bilang kau tidak seharusnya lahir, Olive, bisa saja dia bermaksud hal lain ... bukan berarti dia sungguhan tidak menginginkanmu."

"Tidak, dia sungguhan tidak menginginkanku. Dia bilang aku ini kesalahan." Gadis itu menelan susah payah setelah mengatakannya. "Kau tahu, 'kan, kami cuma beda 11 bulan? Kebanyakan orang tua baru akan punya anak lagi kalau anak pertama mereka sudah berumur dua atau tiga tahun—kau bahkan tidak lahir sebelum kakakmu berumur 7, 'kan?"

Aku mengangguk.

"Yah, dulu ada lelucon kecil kalau kelahiranku betul-betul di luar rencana." Olive melanjutkan. "Dalam artian, pada saat itu kehadiranku sebetulnya tidak dibutuhkan atau diinginkan, tapi ayah dan ibuku berlaku selayaknya orang tua, jadi mereka menyambutku saja dengan senang hati. Wilis tidak—kata nenek kami, Wilis marah sekali. Umurnya bahkan belum setahun, tapi Wilis sudah piawai marah-marah dan melempar barang-barang karena perhatian orang tua kami terbagi ke aku. Lelucon tentang 'kelahiranku adalah kesalahan' sempat digembar-gemborkan dalam acara keluarga untuk beberapa tahun, sampai kemudian aku sudah cukup besar dan menganggapnya tidak lucu lagi, jadi semua orang berhenti mengucapkan lelucon itu. Tapi ...."

"Tapi Wilis tidak berhenti?" Aku menerka.

"Dia selalu mengucapkannya saat aku ulang tahun dan tiap kali kami bertengkar hebat." Olive menyusut hidung diam-diam dengan kerah bajunya. "Yah, dia mengucapkannya tadi pagi. Sebelumnya, dia mengucapkannya karena aku memakan jatah kuenya yang terakhir."

Keheningan mendekap selama beberapa detik. Dari sebelah, terdengar samar-samar suara Wilis dan petikan gitarnya.

"Itu ..." kataku ragu-ragu. "Agak keterlaluan."

"Yah, seperti yang kubilang, walau kami bersikap seperti membenci satu sama lain, bukan berarti kami saling benci sungguhan." Olive melanjutkan. "Lagi pula, untuk adilnya, aku juga sering berbuat salah padanya. Misal ... aku pernah membunuh hamsternya."

Aku mengerutkan kening. "Kau membunuh ... apa?"

"Dia punya hamster waktu umur 6, dan aku kebanyakan nonton film tentang anjing-anjing sahabat manusia yang diajak jalan-jalan pakai tali kekang. Jadi, aku mengikat leher hamsternya pakai benang wol. Aku kepingin mengajak hamster itu jalan-jalan, tapi hamster itu malah lari-lari. Kami mencarinya seharian dan Wilis sampai bersumpah akan menggantungku di leher pakai benang wol juga kalau hamsternya tidak ketemu. Yah ... dia tidak menggantungku pakai benang karena hamsternya ketemu ...."

"Tapi ...?"

"Tapi, kami menemukan hamsternya sudah mati di pekarangan, diterkam kucing liar yang langsung meloncat keluar saat Wilis melemparinya batu."

"Sejak itu kau takut kucing?"

"Iya." Gadis itu menggelitik bagian bawah leher Denim. "Bodohnya aku waktu itu, aku menangis paling kencang dan lagi-lagi memonopoli penghiburan dari orang tua kami. Aku tidak memikirkan perasaan Wilis. Dia bahkan tidak bisa bersuara lagi melihat hamsternya mati, sementara ayah dan ibu segera menenangkanku, menjanjikan untuk beli ini-itu agar aku berhenti menangis, tapi Wilis hanya dapat tepukan di bahu."

Keheningan lagi. Alunan gitar dan nyanyian Wilis masih terdengar samar-samar. Tak lama berselang, cowok itu meneriakkan sepenggal lirik lagu yang berada di luar jangkauan suaranya, lalu terbatuk hebat.

Olive dan aku berpandangan, dan kami berdua tertawa.

Ke mana aku mesti mencari rumah gaib? Lokasi di jalan tusuk sate di perumahan Wilis sudah kosong melompong dan auranya terasa kurang berat daripada berhari-hari sebelumnya. Sudah tidak ada hantu anak-anak yang berkeliaran lagi di sekitar sana.

Aku teringat si anak perempuan yang mencoba kabur melalui jendela lantai dua sebelum diseret oleh Jerau—siapa namanya? Si anak pirau? Dia salah satu dari segelintir hantu anak-anak di rumah itu yang manifestasinya penuh dan kuat, masih mampu berkomunikasi denganku. Andai aku bisa menemukan sisa-sisa energinya saja ... barangkali aku bisa melacaknya—menerka-nerka ke mana rumah gaib itu muncul malam ini.

Masalahnya, aku tidak bisa menjauh dari Olive kecuali ingin sosokku membuyar, terombang-ambing lagi antara masa lalu dan masa kini. Sedangkan gadis itu, setelah membersihkan beberapa barangku di tasnya, ketiduran di atas ranjangnya.

Aku mondar-mandir dengan gelisah. Kalau aku bisa meluncur cepat ke rumah, aku bisa meminta bantuan Annemie, tetapi pertaruhannya besar; tanpa Olive, ada kemungkinan ruhku buyar di rumah. Jiwaku barangkali bakal terlempar entah ke tahun berapa.

Di kaki ranjang Olive, tasnya bergerak, membuatku terperanjat. Tas itu jatuh ke depan dengan kancingnya yang longgar langsung terbuka, menumpahkan jaket mendiang ayahku keluar. Dari balik tas, Denim melompat keluar.

"Denim—" Aku berhenti saat menyadari si kucing kecil kali ini bukannya berniat mencari tempat tidur atau lokasi kencing. Dengan buntut bergoyangnya menghadap ke atas, kepala masuk ke balik saku jaket, Denim keluar beberapa detik kemudian. Ia melangkah mundur susah payah, berusaha melepaskan diri dari belitan jaket sambil menyeret sesuatu di mulutnya.

Satu lagi foto, sudah terlipat sisi-sisinya dan nyaris patah, plastik pelapisnya pun mengelupas. Aku ingat foto ini—foto keluarga terakhir yang kami ambil sebelum Ayah pergi. Foto saat aku baru lahir dan baru saja dibawa pulang ke rumah. Di balik noda kuning kehitaman, lusuhnya kertas, dan buramnya warna, aku mengenali Ayah dan Mama duduk bersisian di sofa ruang tamu. Mama menggendongku yang masih tidur dalam buaian. Ayah memangku Kak Nila. Kakakku sedang memberengut dengan mata melirik sengit ke arahku, masih tidak terima bahwa aku ternyata laki-laki.

Di ujung-ujung atas foto itu ada dua noda gelap—di sisi kanan dekat bahu Ayah, dan di sisi kiri di atas kepala Mama. Orang rumah tidak bisa melihat noda di dekat kepala Mama, soalnya itu adalah Annemie—itulah alasannya Mama menyimpan foto ini dalam saku jaket dan menimbunnya di loteng; karena Mama takut hantu dan aku dengan polosnya memberi tahu ada seorang anak lagi di atas kepalanya dalam foto.

Noda yang satu lagi ... aku selalu mengira itu noda sungguhan. Atau mungkin itu Obsidian. Namun, kalau dipikir lagi, itu mustahil—Entitas besar seperti Obsidian tidak bisa muncul dalam foto. Hantu mungkin masih bisa—berupa gumpalan samar yang hanya tampak bagi mata tertentu. Namun, tidak dengan Entitas—mereka tidak punya wujud seperti manusia atau hantu. Mereka hanya konsep yang manifestasinya berada di dalam kepala orang-orang tertentu, maka wujud mereka bisa saja bervariasi tergantung perspektif yang melihat. Lensa kamera tidak bisa menangkap manifestasi yang hanya ada dalam kepala manusia.

Ini bukan Obsidian. Bukan juga noda atau kotoran secara fisik. Sosok kelabu itu berada di dalam foto, tertangkap lensa kamera. Aku baru melihat perbedaannya sekarang, saat melihat wujud hantuku sendiri, betapa noda di dekat bahu Ayah memiliki wujud yang serupa ... itu adalah hantu yang lain.

Sosok itu memiliki wajah. Mati-matian aku memicingkan mata, berusaha melihat melampaui kertas, warna, dan tiap serat fisik yang menghalangi penglihatanku. Sosok itu barangkali adalah aku ....

Atau bukan.

Aku mengangkat wajah dan mendapati Kinantan berdiri membelakangi pintu balkon. Kepalanya ditelengkan, bibirnya menyunggingkan senyum samar, tetapi sepasang matanya dipenuhi keraguan. "Wah, apa itu?"

"Kau tahu apa ini." Bukan pertanyaan yang kulontarkan barusan. "Kau tahu fungsi rumah itu, ke mana anak-anak itu menghilang, kenapa hanya ada sedikit kasus anak hilang yang terdengar, padahal aku melihat ada banyak sekali jiwa anak-anak tersesat di sana."

"Ya ...." Kinantan berucap ragu-ragu. "Memang begitu fungsi rumah tersebut."

"Bagaimana denganmu?" Aku menuntut. "Bagaimana caranya kau bisa lolos?"

"Menurutmu, siapa yang membuat jalinan seprai dan selimut yang menjuntai dari jendela itu?" Kinantan bertanya lembut, tetapi ada nada penghinaan di dalam suaranya. "Aku sudah terbiasa kabur—dari para tuan tanah yang menganggapku hewan buruan, dari suami Belanda ibuku yang menganggapku anjing peliharaan, dari pria-pria Nippon yang berdatangan saat rumah ini dijadikan ianjo. Kabur dari Entitas jahat hampir tidak ada bedanya ... kecuali bahwa Entitas itu masih mampu mengintaiku sampai sekarang. Tapi, tidak masalah—selama aku membimbing beberapa anak serakah sepertimu ke sana, dia membiarkanku saja."

Aku menatapnya dingin. "Kita berdua bisa saja bebas kalau kau membantuku."

"Yah, beginilah masalahnya." Si gadis hantu berdesir mendekatiku. Matanya yang lembut berubah nyalang, menghujamku. Suaranya serupa belati, menyayat kerongkonganku. "Aku tidak mau bebas."

Meninggalkan angin dingin di sepenjuru kamar Olive, si gadis hantu berpendar lenyap.

Aku berdiri membeku di sana selama beberapa lama. Di atas jaket ayahku, Denim sudah berbaring melingkar lagi, foto keluargaku terjepit di bawah kaki belakangnya.

Aku tidak bisa diam di sini selamanya. Aku harus ambil risiko.

Kinantan tidak mau membantuku, maka harapanku sekarang cuma Annemie.

Aku menatap Olive yang meringkuk di atas tempat tidurnya, masih tidur dengan wajah sembap. "Thanks, Olive."

Matanya berkedut sedikit, tetapi kemudian gadis itu kembali terlelap.

Aku melayang ke sebelah, ke kamar Wilis. Dia masih duduk di atas tempat tidurnya, memangku gitar, melamun ke kakinya sendiri.

"Sori, Wil."

Wilis berkedut, matanya mengerjap. Tangannya terangkat dan mengusap tengkuk. Matanya mengedar ke sekitar ruang kamarnya. "Grey?"

Namun, aku sudah pergi.

(*゚ー゚*) Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan


***

Tulung ;-;

September udah mau abis ;-;

Doain saya bisa namatin ini ;-;

I still appreciate the correction
Sangat sangat sangat berterima kasih sama yang kasih koreksi dan typo typo, berhubung work ini bener-bener ngebut ngetiknya
Tapi saya belum sempat balas satu-satu ;-;

Pokoknya thank u, love u, uwu uwu

Dan maapkan, Escapade dan RavAges jadi terbengkalai ;-;

Begitu selesai MWM, saya bakal usahain buat ngejar dua itu

Psst

RavAges mo terbit

Tapi saya bakal tetap perjuangin sampai tamat di sini

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro