17 Januari -

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Warning:

Cerita ini diikutsertakan event MWM oleh NPC2301
Dengan target tamat dalam sebulan

Akan ada banyak typo, plot hole, dan segala macam anu
karena dikerjakan tanpa proses semedi lebih dulu

Mohon maap jika hasilnya kurang memuaskan ;-;
Jika ingin bantu razia typo dan anu-anu, silakan komentar
I'd really appreciate it

Sudah kuduga, tidak mudah untuk berjalan dalam wujud serupa kabut terpuntal dan asap yang tersibak-sibak.

Penglihatanku terdistorsi amat parah. Seluruh ruang seolah melengkung, saling tegak lurus, silang menyilang—segala pemandangan tidak ada yang benar. Aku bahkan tidak bisa membedakan langit dan tanah. Seluruh warna memudar dan cahaya dibelokkan. Sejenak, aku mengira diriku sedang terjebak dalam balon gelembung sabun raksasa, dibawa melayang-layang, sementara dunia membengkok di sekitarku; aku hanya tinggal menunggu gelembung itu pecah, meletus bersama aku di dalamnya.

Tanggal berapa ini?

Aku di mana?

Aku berjalan, tetapi rasanya kakiku tidak mengayun sungguhan. Aku mencoba mengangkat tangan, sekadar untuk memastikan bahwa aku masih punya badan walau berupa kabut tipis tembus pandang sekali pun, tetapi tidak ada apa-apa di depan mataku kecuali seisi dunia yang berputar-putar.

"Annemie?" Aku memanggilnya. "Annemie!"

Dari kejauhan, aku mendengar suara tangisan. Bau mesiu samar-samar berembus lewat di hidungku. Asap mengular muncul entah dari mana, naik perlahan. Aku berlari melewatinya, masuk mendobrak pintu rumahku.

Di dalam, segalanya gelap seperti malam hari. Seberkas cahaya masuk melalui kaca jendela, tetapi sinarnya tampak jauh dan redup. Di atas segalanya, rumahku kosong. Tidak ada perabot, foto-foto atau pajangan di dinding, atau tirai-tirai. Sekilas, pemandangan berkeredep berubah, hanya sedetik—cat putih dan dinding semen berubah menjadi tembok papan ulin kualitas terbaik yang dipoles, plafon berubah menjadi langit-langit kayu hitam berukiran pola rumit yang cantik, lantai kramik di bawah kakiku digantikan lantai papan berlapis karpet bagus dan lembut, dan tatanan ruangnya agak berubah menjadi lebih luas dan beratap tinggi.

Aku berkedip, dan tempat ini menjadi rumahku lagi, hanya saja masih gelap, kosong, dan dingin.

Samar-samar aku mengingat ini dari ingatan seseorang.

Aku berlari ke ruang tengah, di mana sosok-sosok berkelebatan. Ada percakapan yang cepat hingga nyaris tidak tertangkap oleh telingaku.

Di lantai, seorang pria berbadan kekar besar tergeletak telungkup, kepala miring dan nyaris tidak terbentuk dengan simbahan darah. Bayang-bayang moncong senjata menyenggol wajahnya. Di sebelahnya, seorang wanita pirang dengan penampilan berantakan mengamuk saat akan digotong.

"Mijn dochter! Hoorde ik mijn dochter gillen!" Jeritan wanita itu timbul tenggelam seiring dengan tubuhnya yang diseret melewati pintu. "Mijn man! Mijn dochter—Annemie!"

Bayang-bayang memudar. Suara-suara lenyap seperti keran air yang ditutup mendadak. Samar-samar, aku bisa melihat rumahku lagi sebagaimana adanya—karpet membentang di tengah-tengah ruangan, televisi di atas meja, lemari pajangan ... tetapi ini masih berbeda dengan rumahku yang seharusnya. Semua warna masih memudar dan penerangannya begitu rendah serta dingin hingga menyakiti mata.

Aku masuk ke kamar mandi. Baru satu langkah melewati pintu yang terbuka, segulungan rambut hitam kusut masai menjuntai turun dari atas. Seharusnya aku tidak terkejut, tetapi kejelasan tiap detail dari serat-serat legam dan kasar yang tampak di depan mata akhirnya membuatku berkedut dan menghentikan langkah.

Saat aku masih manusia, dengan mata batin yang kupunya sekali pun, makhluk yang menempel pada langit-langit kamar mandi rumah amat samar penampakannya. Dan secara keseluruhan, ia tidak mengganggu. Sebagian besar waktu, aku malah tidak melihatnya sama sekali. Pada dasarnya, ia terbentuk di sana karena memang sudah seharusnya demikian—karena tempat-tempat yang menyimpan kotoran pasti dihuni yang seperti ini minimal satu.

Satu kali saat aku masih 5 tahun, aku mendongak dan melihat jelas sepasang mata besar merah di balik rambut-rambutnya, mengamatiku, membuatku terpaku hampir setengah jam sampai-sampai Mama mengira kakiku kram dan mesti menyeretku keluar.

Kali ini, aku tidak mendongak. Aku menyibak rambutnya saja seperti tirai, melewati bak mandi besar, lalu melongok ke bak yang lebih kecil di depan kloset. Bak itu kering, tetapi keramiknya bernoda kerak. Di dalamnya, sosok mungil Annemie duduk meringkuk memeluk lutut.

"Sst!" Jarinya menempel ke bibir. "Nanti ketahuan ...."

"Tidak apa-apa," kataku lembut. "Mereka sudah pergi."

"Betulkah?"

Aku menarik Annemie sampai keluar dari bak. Gaun tidurnya kotor dan robek-robek di ujungnya. Poni pirangnya tersibak, menampakkan lubang peluru di antara kedua matanya.

Si gadis kecil menunduk, menyadari bercak darah pada bajunya.

"Grey ..." katanya sambil gemetar sementara aku berusaha menariknya keluar. "Aku sudah mati, ya ...?"

Karena dia tidak mau bergerak, aku mengangkatnya di punggungku. Kami menunduk melewati tirai rambut yang menjuntai menghalangi.

Kurasakan tubuh Annemie menggigil, tangannya mencengkram bahuku erat-erat.

Di luar kamar mandi, hanya ada ruangan kosong dan cahaya samar-samar yang, alih-alih mengusir kegelapan, justru menciptakan bayang-bayang. Rumah terus berkeredep, berganti pemandangan dari rumahku ke rumah lama Annemie.

Aku menurunkan Annemie dan berjongkok di depannya. Kuraih tangannya, memeganginya erat-erat. Dia melirik tangan kami.

"Sejak kapan tanganmu jadi sebesar ini?" tanyanya. Matanya bergetar dengan sorot iri dan air mata menggenang. "Sejak kapan kamu jadi sebesar ini?"

Waktu adalah Entitas paling kejam, jika kau tanya aku. Tidak peduli meski Keseimbangan adalah Entitas paling tegas dan intoleran; meski Alam adalah Entitas paling tak terduga, ganas sekaligus jinak; meski Probabilitas adalah Entitas paling kompleks—bagiku, Waktu adalah yang paling kejam. Ia adalah jawaban dari pertanyaan Annemie yang tidak bisa kuucapkan. Ia pula yang membunuh pekarangan rumah dan membuat berkarat hubungan keluargaku. Ia mengubahku, menolak mengubah Annemie, tetapi tetap berlalu meninggalkan kami berdua.

Ia berjalan lambat, tetapi tak terhentikan. Meski makan bertahun-tahun lamanya, seorang manusia akan selalu terkejut mendapati dirinya telah menua dan renta berbalut popok manula, padahal baru kemarin dirinya lepas dari popok bayi, bertanya-tanya ke mana Waktu pergi.

Ia mengalir begitu saja seperti air bocor dari bendungan yang mustahil ditambal, berlalu membawa kenangan, larut bersamanya. Manusia hanya mampu memandangi semua kenangan itu pergi tanpa bisa menuntutnya kembali.

Rasanya baru kemarin aku melihat Annemie untuk pertama kali, tampak begitu tinggi dan besar, menakut-nakutiku dengan wajah seramnya sampai aku menangis dalam buaian; baru kemarin aku mendapati tinggiku akhirnya sama dengannya, dan dia menganggapku setara. Hari ini, aku sudah menggendongnya di punggungku, tangannya tenggelam dalam tanganku.

"Aku sudah mati," lirihnya. Alisnya bertaut, bibirnya bergetar.

Suara gaung keluar dari dinding di sekitar kami, atap bergetar dan menjatuhkan serpihan-serpihan kayu, keramik lantai retak di bawah pijakan kami berdua. Angin ribut menerpa dari segala arah hingga aku berjengit.

Di depanku, wajah pucat Annemie bercahaya biru dingin, rambutnya terangkat liar oleh embusan angin hingga poninya tersibak. Dari lubang peluru di dahinya, darah segar mengalir, menuruni lekuk hidungnya yang mungil, menetes sampai dagunya, menodai wajah dan gaun tidurnya.

"Aku sudah mati." Gadis itu menggeram dengan suara bergema. "Tidak adil—"

"Tidak." Aku menghentikannya. "Jangan bilang begitu."

Sekilas, aku teringat pada Kinantan—ekspresi datarnya, sorot matanya yang dingin, dan senyumnya yang culas. Ada sesuatu yang membuat intisari ruhnya masih murni, menghentikannya dari membakar rumah Wilis dan menggoda orang-orang di dalamnya untuk saling bunuh (percayalah, kalau dia mau, dia bisa melakukan itu). Namun, separuh jiwa gadis itu dipenuhi dendam dan kebencian, meracuni intisarinya perlahan-lahan, menahannya di dunia, melenyapkan keinginannya untuk bebas.

Sekarang, Annemie sudah setengah jalan ke sana—menjadi seperti Kinantan yang dingin dan getir. Sedikit lebih lama lagi, mereka akan menjadi sosok mengerikan yang menandak-nandak, mengganggu dunia fisik, menebar ketakutan dan rasa depresi, menghancurkan rumah yang mereka huni.

Pada dasarnya mereka sama-sama merindukan kehidupan, takut untuk menyeberang, tetapi terlalu lelah untuk mempertahankan posisi yang terjepit di antara dua dunia.

Kinantan mungkin masih dirantai oleh emas-emas itu dan dendamnya. Namun, Annemie? Dia masih 10 tahun saat mati, ketiduran dalam persembunyiannya di bak—dia tidak punya dendam terhadap pembunuhnya. Dia tidak melihat wajah mereka. Dia bahkan nyaris tidak memahami apa yang terjadi saat kematiannya. Dia tidak memiliki kerabat lagi yang bisa dia harapkan bertandang ke makamnya seperti Om Kadru, dia juga tidak memiliki banyak penyesalan seperti Jian, tidak pula menunggu seorang teman yang tak pernah datang seperti Zwart.

Kukira, hal yang merantai Annemie pada kehidupan hanya pekarangan depan yang Mama rawat. Namun, sudah lumayan lama sejak pekarangan itu hancur, tetapi dia masih belum bebas. Rupanya, pengetahuanku tentangnya tidak sebanyak itu,

"Annemie," kataku lembut. Suaraku nyaris tidak terdengar di antara deru angin. "Maukah kau bertahan sedikit lagi? Begitu aku kembali ke tubuhku, aku akan mencari apa yang menahanmu. Aku akan membebaskanmu. Aku cuma mau kamu bertahan sedikit lagi."

Angin ribut menyurut, memudar. Darah berhenti mengalir dari lukanya, cahaya yang dingin itu lenyap, dan wajah Annemie kembali memucat seperti biasa. Bibirnya mencebik merajuk. Sambil berlinangan air mata, kepalanya mengangguk-angguk. Tangannya mencengkram jari-jari tanganku kuat-kuat.

"Baiklah." Aku tersenyum dan memeluknya. "Baik ... sekarang, kita perlu menemukan rumah gaib Jerau."

"Kenapa?" Annemie menyedot ingus di bahuku, kurasa dia mengelap hidungnya juga di sana. "Kenapa buru-buru? Aku belum sempat membawamu ke acara temu Jumat Malam."

Aku mengerutkan wajah diam-diam di bahunya. "Aku kurang cocok dengan acara arisan macam itu."

"Itu bukan arisan. Kami cuma nongkrong-nongkrong, ngobrol, dan sesekali menampakkan diri kalau ada manusia yang jalan sendirian. Lebih seru lagi kalau ada yang pipis sembarangan di bawah pohon, kita bisa—"

"Ya ... aku tidak mau tahu apa yang bisa kita lakukan ke orang yang pipis sembarangan di teritorial acara temu kalian." Aku menarik diri dari pelukan. "Rumah Jerau. Kamu tahu di mana?"

Annemie mengangguk. Jarinya menunjuk ke pojok rumah yang gelap, di mana asap berputar paling pekat, seperti ada lubang besar di sana.

"Kita bisa potong jalan. Aku pernah ke sana, jadi aku bisa kasih lihat lokasinya. Tapi, karena ini alam gaib, kamu nggak bisa masuk—gerbangnya beda. Kamu mesti mewujud, bermanifestasi dulu, mungkin ajak adiknya Wilis itu—baru, deh, kamu bisa masuk."

"Oke." Aku menariknya, tetapi Annemie balas menarik tanganku. "Kenapa?"

"Kau, 'kan, sekarang tinggi." Kedua tangannya terangkat ke arahku. "Gendong."

Aku berjengit. "Aku tahu tipuan hantu—kalian biasanya menyedot energi atau menutupi mata orang yang menggendong kalian buat lucu-lucuan sampai orang itu kecelakaan."

Annemie memutar bola mata. "Kamu juga hantu sekarang—sadar diri, dong."

Setengah hati, aku berjongkok membelakanginya dan membiarkan Annemie naik. Karena kami sama-sama gaib sekarang, di alam yang sama dan hampir setara, bobot Annemie hanya seperti anak-anak biasa di punggungku (biasanya bobot hantu yang menebeng bakal membuat manusia fana encok berminggu-minggu).

"Tapi, Grey,"—Annemie menotol-notol pipiku dari belakang—"bagaimana kalau si Jerau itu tidak mau melepaskanmu?"

"Masalah itu, akan kupikirkan nanti, jangan cemas," kataku dengan yakin, "karena aku sudah tahu cara kerja rumah itu. Sekarang, tarik jarimu dari mukaku dan jangan tiup-tiup telingaku."

Dari dunia fana saja, rumah itu sudah tampak angker dan mematikan.

Dari dunia gaib, rumah itu dipenuhi jeritan, diselubungi kegelapan tak tertembus, dan dindingnya dialiri cairan merah kental yang luntur dari atas seolah ada kebocoran air pada penampung airnya, tetapi air itu adalah darah.

Cahaya menyorot sesekali dari kaca-kaca jendelanya, dengan bayang-bayang anak-anak yang berlarian. Beberapanya tertawa histeris, yang lainnya menjerit dan menangis.

Annemie menunjuk ke sisi kanan, di mana samar-samar, seperti pemandangan dan klise film yang belum dicuci, ada jalanan membentang. Jalanan itu menyempit, berubah menjadi kelokan gang, dan tampak bangunan tinggi dengan pagar berplester membatasinya.

"Bangunan TK dekat bandara," gumamku. "Ini dekat rumah Paman Tam."

"Iya," sahut Annemie. "Ini tempat favoritnya tiap tahun karena tempat ini kayak ladang buat panen. Mengherankan sekali, sekian banyak anak-anak hilang ditelan rumah itu, tapi yang sadar cuma sedikit."

"Itu," kataku, "aku tahu jawabannya."

"Jadi?"

"Lebih baik kamu tidak tahu." Aku menurunkannya. "Nah, kembalilah. Aku harus menyelesaikan satu hal lagi sebelum kembali ke rumah keluarga Wilis."

Berjalan ke arah kabut, kembali ke arah rumahku, Annemie berhenti sesaat. Dia menoleh. "Tapi, nanti kamu pulang, 'kan?"

"Iya."

"Nanti kamu membebaskanku?"

"Tentu."

"Janji?"

"Janji."

Si bocah hantu tersenyum—senyum berpipi tinggi dengan dagu terangkat yang dulu diperlihatkannya untuk menyambutku tiap kali aku pulang sekolah waktu SD. Sejak aku masuk SMP, sampai sekarang, Annemie berhenti menunjukkan senyum itu, barangkali menyadari bahwa aku tidak lagi seumuran dengannya.

Setelah Annemie menghilang, aku berbalik ke arah rumah Jerau.

Aku menjaga jarak, mengamati dari kejauhan. Ada beberapa anak yang keluar-masuk, melewati gerbang pagarnya, melalui pintunya yang terbuka.

Perlahan, aku mendekati salah satunya. Si bocah perempuan, yang matanya tampak buram, rambutnya lepek, pakaiannya basah kuyup. Dia adalah anak perempuan yang mencoba melarikan diri melalui jendela kamar lantai dua itu, menggunakan jalinan seprai dan selimut yang dulu dirangkai oleh Kinantan, tetapi sayangnya Jerau menemukannya dan menyeretnya. Dia si anak pirau—anak yang setengah buta, sudah mati, tetapi masih mampu berkomunikasi denganku.

Artinya, jiwa si anak pirau masih utuh. Jerau belum menelannya sepenuhnya.

Aku menyentuh bahunya.

Seperti disedot oleh lubang pada sepasang matanya yang hampa, aku terhuyung dan jatuh, lalu mendarat di atas aspal jalan.

Ruang dan waktu terdistorsi dengan cepat. Kali ini, aku berada di atas jembatan.

Langit gelap membentang di atas kepala, bulan purnama menjadi satu-satunya penerangan. Di luar pagar pembatas jembatan itu, seorang wanita membelakangiku, mencoba melompat. Seorang bocah perempuan menggeliat ketakutan di tangannya. Bola mata si bocah sewarna susu keruh, bergerak liar karena matanya setengah buta. Dia tidak bisa melihat jelas apa yang tengah dilakukan mamanya, tetapi dia tahu apa yang akan teradi.

Saat Mama membawaku dan Kak Nila ke jembatan malam itu, aku baru lahir—belum genap setahun. Aku masih merah. Namun, anak yang ini sudah agak lebih besar saat mamanya mencoba melompat. Dan hanya ada dirinya dan mamanya, tidak ada kakak mau pun adik. Hanya mereka berdua.

Tidak ada jeda. Tidak ada yang menghentikan si wanita. Mereka melompat berdua, menyongsong air yang beku dan Maut yang sendu.

Si anak pirau menggentayangi jembatan itu beberapa lama, sampai rumah Jerau memanggilnya.

Di belakangku, anak-anak itu masih berbaris, keluar-masuk.

Saat kubilang keluar-masuk, sesungguhnya hanya ada satu anak yang masuk, dan satu anak yang keluar—anak yang berbeda, tetapi sama. Karenanya, saat anak-anak di dunia fana memasuki rumah itu dan lenyap ditelan Jerau, tidak ada yang menyadari mereka hilang—karena tubuh mereka kembali ke orang tua mereka, tetapi jiwanya berbeda.

Dunia paralel—dunia yang berbeda, tetapi mirip dan berjalan beriringan dengan dunia lainnya. Ada beberapa versi dunia—di sini kakakku mungkin anak sulung dan remaja terkucil, di dunia satu satunya kakakku adalah anak tunggal karena aku tidak pernah lahir dan kehidupan sosialnya entah bagaimana justru lebih baik. Di dunia ini aku lahir sebagai anak laki-laki, di dunia satunya aku adalah anak perempuan.

Entah ada berapa versi dunia—dua? Tiga? Belasan? Puluhan? Ratusan? Ribuan? Jutaan ... tak terbatas?

Rumah itu tidak terikat ruang-waktu. Rumah itu tidak pula terikat di satu dunia. Ia adalah rumah lintas dunia. Ia mengajak masuk hantu seorang anak yang sudah mati di dunia pertama (sebut saja si Fulan 1.0). Rumah itu lantas muncul di dunia kedua untuk memancing doppelgänger si Fulan yang masih hidup (Fulan 2.0), menjadikannya ada dua Fulan di sana: hantu Fulan 1.0 dan Fulan 2.0 yang masih hidup.

Fulan 1.0 yang sudah mati dari dunia pertama, yang jiwanya sudah berkarat karena terlalu lama terjepit antara dua dunia, merasuki jasad si Fulan 2.0 yang masih hidup. Lantas ke mana perginya jiwa Fulan 2.0 yang masih segar dan seharusnya masih sangat hidup?

Jerau menelannya.

Maka begitulah Fulan 1.0 keluar dari rumah Jerau menggunakan tubuh Fulan 2.0. Si Fulan 1.0 yang seharusnya sudah mati memulai kehidupan baru di dunia kedua, dan pulang ke rumah keluarga Fulan 2.0.

Andaikata Annemie melanjutkan kunjungannya senja itu, dia takkan sanggup menolak tawaran Jerau. Dia akan dibawa ke dunia paralel, bertemu versi lain dirinya yang masih hidup, dan merebut kehidupan Annemie di dunia lain tersebut.

Kinantan? Aku masih tidak tahu bagaimana bisa dia lolos dari doppelgänger-nya.

Aku ...? Aku nyaris tidak bisa lolos. Namun, di sinilah aku, baru memahami keseluruhan ceritanya. Fungsiku di sini sebagai Grey 2.0, sebagai penyedia jasad siap huni untuk diriku yang satu lagi, dengan jiwaku yang siap dimangsa Jerau.

Di belakangku, rumah Jerau berdiri megah dan menakutkan. Di depanku, hantu si anak pirau menatapku dengan matanya yang kosong. Dialah hantu yang satu lagi selain Annemie dalam foto keluargaku.

Apakah kamu percaya kalau kubilang, di dunia lain kamu terlahir sebagai anak perempuan? Namanya Grayer. Barangkali, Grayer yang itulah yang diharapkan kakakmu.

Kusentuh bahu si anak pirau sekali lagi. Kupanggil namanya, "Gray?"

Anak itu tersenyum.

(*゚ー゚*) Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro