18 Januari 2014

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Warning:

Cerita ini diikutsertakan event MWM oleh NPC2301
Dengan target tamat dalam sebulan

Akan ada banyak typo, plot hole, dan segala macam anu
karena dikerjakan tanpa proses semedi lebih dulu

Mohon maap jika hasilnya kurang memuaskan ;-;
Jika ingin bantu razia typo dan anu-anu, silakan komentar
I'd really appreciate it

Aku jadi paham kenapa Kak Safir benci melakukan perjalanan astral.

Pertama, pemandangannya tidak enak, traumatis, dan membekas. Segalanya dingin dan panas—rasanya tidak keruan. Tulang-tulangku menggigil dan kulitku membeku, tetapi bagian dalam tubuhku panas seperti terbakar. Pendengaranku pun kacau dibuatnya—hening, tidak ada gelombang suara kecil yang sewajarnya ditangkap telinga sesepi apa pun, bahkan deru angin, tetapi sesekali terdengar jeritan, percakapan yang tumpang-tindih, tawa, dan tangisan.

Kedua, alam gaib amat sangat menjebak—aku nyaris tidak bisa kembali ke dunia fana. Aku lupa waktu. Aku bisa saja menghabiskan seumur hidupku berdiri di sana, memelototi doppelgänger diriku yang tersenyum kosong.

Maka, saat aku berhasil menyeret diri kembali ke rumah Wilis, dan manifestasiku kembali terbentuk, aku hampir menangis di teras mereka. Aku mungkin bakal duduk memeluk lutut, menggoyangkan badan maju-mundur, tetapi Kinantan sedang menongkrong di atas balkon dengan mata tertuju ke arahku—dia menantiku untuk berbuat bodoh. Aku tidak punya pilihan selain berdiri tegap dan menerobos masuk.

"Olive?" Aku berteriak dan mendatangi kamarnya. "Rumah Jerau ada di dekat bandara—hei, mana dia?"

Hanya ada Denim di kamar itu, sedang menggores kaki meja nakas dengan cakarnya yang belum sepenuhnya tumbuh. Tas-tas yang bertumpukan di kaki ranjangnya tidak ada.

Aku meluncur ke balkon, di mana Kinantan duduk memangku tangan dan memasang tampang bosan.

"Ck, bagus sekali," ujarnya malas. "Kau sudah mulai beradaptasi."

"Mana Olive?"

"Entahlah—ke rumahmu barangkali."

Aku menoleh ke sebelah. Wilis masih ada, berbaju kaus putih dan celana selutut, tiduran di atas ranjangnya. Dia tengah memainkan ponselnya. Telinganya tersumpal headset. Bibirnya komat-kamit, barangkali mengikuti lagu yang tengah didengarnya.

"Tapi, Wilis masih ... dengan siapa Olive pergi?"

"Entah, ya. Mungkin dengan salah satu temannya."

"Kau terus-terusan berkata entah, padahal kau tahu semuanya!"

"Entahlah, aku cuma sebal lihat tampangmu ...." Si gadis hantu memutar bola matanya, menghindari tatapan tajamku. "Cewek itu mencarimu sejak kemarin. Dia bertanya pada kakaknya kapan mereka bakal mengembalikan barang-barangmu, dan katanya hantumu hilang—tapi cowok bodoh itu tidak mau menggubrisnya. Lalu, tadi dia menghubungi beberapa teman, cari tebengan atau apalah. Tampaknya teman-temannya sibuk dan sebagainya, sampai akhirnya ada yang mau. Dia pergi sekitar ... yah dia baru saja pergi waktu kau muncul di teras."

"Dengan siapa?" desakku. "Sekali lagi kau bilang entah—"

"En-tah-lah." Kinantan berbicara lamat-lamat di depan wajahku. Dia berdecak-decak seraya menarik diri, matanya mengamati pagar depan. "Seorang cowok besar, kepalanya kekecilan buat badan beruknya itu, jalannya mengangkang seolah dia mengapit kaktus di selangkangannya, punya tampang sok berkuasa, menjijikkan, dan tidak sadar diri kalau cewek itu tampak tidak nyaman dengannya." Kinantan mendengkus. "Ada sesuatu dari cowok itu yang tidak kusukai—melihatnya saja membuatku kepingin muntah. Padahal sudah puluhan tahun aku tidak pernah muntah."

Itu Navy Nalayudha! Kenapa Olive pergi dengan cowok itu?! Jelas-jelas dia membencinya! Aku buru-buru masuk ke kamar Wilis. Aku berhenti di sisi ranjangnya, memutar otak, mencoba mencari cara untuk berkomunkasi dengannya.

Aku tidak bisa menyentuh barang-barang. Dia tidak bisa mendengar atau melihatku ....

"Coba lihat badanmu baik-baik, dasar lemot." Kinantan memberi tahu. Dia masih berdiri di balkon Wilis, tampak tidak sudi menginjakkan satu jari kaki pun ke dalam kamar cowok itu. "Kau sudah mulai beradaptasi."

Dia benar—aku baru menyadari ini karena otak hantuku memproses segalanya dengan begitu lambat; kakiku mungkin masih tidak ada dari lutut ke bawah, tetapi aku bisa melihat tanganku sendiri. Aku menoleh, melihat ke arah kasur rendah dekat jendela—itu tempat tidur buatku sewaktu menginap, entah kenapa Wilis tidak membereskannya. Mungkin dia cuma malas. Aku mendekat dan mengulurkan tangan. Berkonsentrasi penuh, aku bisa merasakan tekstur seprainya di bawah telapak tanganku. Beberapa jari tanganku masih menembusnya, tetapi aku bisa menyentuhnya.

"Tiap benda dan lokasi menyimpan memori," beri tahu Kinantan lagi.

Aku punya banyak memori di sini. Kinantan benar. Tiap benda yang paling dekat denganku menyimpan jejak-jejak kehidupanku. Di sini, aku bisa tidur nyenyak bermalam-malam tanpa mendengarkan tangisan Mama atau memikirkan kamar kosong kakakku di sebelah. Di sini, aku dan Wilis tertawa dan berkelahi.

Aku mengedarkan pandang sampai menemukan setumpuk buku tulis di atas meja. Cangkir berisi pensil dan pena berdiri di sebelahnya.

Kudekati meja itu, mencoba membalikkan halaman salah satu buku tulis. Satu menit pertama, tanganku terus-terusan menembusnya. Aku mengibas-ibaskan tangan dengan gerakan kasar, tetapi sampulnya hanya berkedut sedikit. Rasa frustrasi mendorongku mengerahkan tenaga, membuat gerakan melibas keras, dan buku itu pun terbang menghantam pintu. Cangkir berisi alat tulis jatuh berguling ke bawah meja.

Wilis tersentak. Dia bangkit dan melepas sebelah headsetnya. Matanya memelototi buku yang teronggok di depan pintu, lalu beralih pada alat tulis dan cangkirnya yang berserakan di lantai.

"Sejak tadi aku bingung," komentar Kinantan dengan tatapan merendahkan kepadaku. "Kenapa kau idiot sekali. Kau bisa saja mencoba mewujud. Kau malah main-main sama alat tulis."

Wilis memasang kembali headset-nya, kembali menaruh perhatian ke ponselnya, tetapi aku bisa melihat matanya jelalatan dengan gugup ke pojok-pojok kamar. Yah, untuk ukuran orang penakut, dia lumayanlah. Lumayan bodoh, maksudku, masih mau bertahan di sini demi menyelesaikan game-nya walau kakinya tampak kaku dan setengah terangkat seolah betis kanan dan kirinya tengah berunding apakah mereka mesti meninggalkan kamar atau tetap tinggal.

Seperti saran Kinantan, aku mencoba mewujud. Aku mengepalkan tangan kuat-kuat karena hanya bagian tubuh ini yang lebih padat daripada yang lainnya. Kupusatkan pikiranku—ayo, kaki, tumbuhlah! Ayo, badanku, berhenti jadi asap!

"Apakah itu suara mengedan untuk mewujud, atau kau lagi belajar berak berdiri?" Tawa Kinantan meledak, membuyarkan konsentrasiku. "Aku pernah dengan suara edanan kucing melahirkan yang lebih merdu dan tampangnya lebih cantik dari itu!"

Aku mengatupkan rahang rapat-rapat, menahan godaan untuk mendorong cewek itu sampai jatuh dari balkon. "Oh, ya? Tapi, aku yakin tidak lebih jelek daripada kau."

Tawanya menghilang. Sorot matanya mengeras. "Apa maksudmu?"

"En-tah-lah." Aku mengangkat bahu. "Yah, aku, 'kan, masih hantu newbie. Wajar saja usahaku membuat tampangku jelek. Tapi, lain lagi sama hantu yang sudah punya jam terbang sekian dekade. Aku cuma bilang ... tempo hari wajahmu jelek sekali waktu muncul di depan Wilis."

"Itu karena aku sengaja!"

"Masa?"

"Iya!"

"Kelihatannya kau cuma cari-cari alasan."

Kalau wajahnya punya warna selain putih pucat, aku yakin gadis itu sudah merah meradang. Kakinya mengambil satu langkah, lalu satu langkah lagi ke dalam kamar Wilis. Dia berdiri di ambang pintu. Sejenak, dia membuat ekspresi jijik ke sekitar kamar, tetapi kemudian kembali fokus kepadaku.

"Aku tidak butuh usaha keras sepertimu," geramnya. "Aku bahkan tidak butuh usaha sama sekali."

Dia tidak melebih-lebihkan saat menyombongkan bakatnya. Gadis itu, hanya sekerjapan mata, mampu membuat tubuhnya yang berkabut dan tembus pandang menjadi padat. Riak rambut dan tepian gaunnya terurai turun seolah memiliki bobot fisik. Wujudnya terfokus dan sepenuhnya terbentuk, kulitnya lebih berwarna meski masih pucat, dan ... kalau mengabaikan bekas darah di belakang telinga sampai garis samping lehernya, yah, dia sangat cantik.

Bersamaan dengan manifestasi penuh itu, aku bisa merasakan getaran hantu-nya. Ibunya, meski lahir di sini, adalah wanita berdarah campuran Jawa-Arab; sedangkan ayahnya pejuang lokal yang berasal dari daerah Barito. Di balik sorot mata dan ekspresi wajah yang sudah mati, Kinantan memiliki garis alis tajam yang kontras dengan matanya yang lembut, hidung mungil mancung, dan bibir penuh berlekuk. Rambutnya sepunggung, hitam mengilap bak arang. Tubuhnya langsing dan semampai. Aku jadi mengerti maksudnya saat dia bilang bahwa dia sering lari dari para pria saat rumah ini masih merupakan ianjo.

Waktu pertama kali melihatnya pun—masih berwujud hantu dan transparan, duduk di balkon—aku sudah kesulitan memalingkan pandang. Sekarang, aku kehilangan harga diri dengan menganga lebar-lebar.

Bahkan Wilis terjungkir dari atas ranjangnya.

"Ha ... ha-a ... u ... ha—" Jarinya menunjuk-nunjuk. Sebelah tangannya yang lain mengibas-ibas. "Ha ... ha—"

Kinantan memutar bola matanya. "Bilang saja 'hantu', aku tidak apa-apa."

"Sebetulnya aku mau bilang 'halo' ...." Wilis terperangah, lalu sudut bibirnya terangkat membentuk senyum dungu. "Hai ...."

Kinantan memasang raut wajah jijik dan terganggu. "Aku ini hantu, kau pria tidak berotak."

Seolah tersadar dari hipnotis, Wilis mengerjap dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Kakinya mengelojot saat mencoba lari. "Ha—hantu?!"

"Oh, akhirnya—terima kasih!"

"Tidak, aku yang berterima kasih." Aku berucap setelah berhasil menyadarkan diri dari parasnya yang menyihir. "Sekarang, sampaikan pada Wilis adiknya pergi sama Navy Nalayudha."

Kinantan memberengut. "Kenapa aku?"

"Kau tadi sempat memberiku petunjuk ini-itu—jadi kuasumsikan kau pun peduli sama Olive. Dan kulihat kau juga tidak suka melihat Navy."

"Ya, auranya menjijikkan dan penuh kekerasan."

"Kau juga tidak pernah bermasalah dengan Olive." Aku mengangkat bahu. "Jadi, lakukan saja."

Kinantan mendengkus. "Akan kulakukan ini untuk menolong sesama wanita, bukan untuk membantumu."

Wilis masih terduduk di lantai dengan satu kaki menggantung di atas ranjang. Tangannya mencakar-cakar lantai seperti hendak melarikan diri, tetapi sorot matanya masih dipenuhi kekaguman dan terpaku pada Kinantan.

Tanpa memedulikan suara dengkingan ketakutan Wilis, Kinantan melangkah mendekatinya. Aku lumayan terkesan Kinantan masih mampu berjongkok di depan Wilis, menahan tangannya untuk tidak menampar wajah cowok itu. "Dengar, ya, Bolot—"

"Bolot?!" Suara Wilis melengking, campuran antara gugup dan terperanjat.

"Adikmu barusan pergi sama—" Kinantan memandang ke arahku. "Napi siapa tadi?"

"Navy," kataku dengan penekanan. "Navy Nalayudha."

"Napri Entah-Siapa-Kuda." Kinantan mengangkat kedua tangannya seperti menyerah. "Mereka pergi pakai motor ke rumah temanmu yang sama bolotnya—"

"Kau yang bolot!" teriakku murka. Kurasakan energi memancar dari balik rongga dada hantuku. "Aku bilang, NAVY NALAYUDHA!"

Badai mini menerjang kamar Wilis selama tiga detik penuh saat aku berteriak. Tirai-tirai tersibak, buku-buku terbuka, seprai dan selimut jatuh dari ranjang, dan pakaian dalam Wilis yang tergantung sembarangan beterbangan menampar jendela. Suaraku meninggalkan gema samar yang memantul dalam ruangan.

Hening menyambut pasca ledakan energi psikis yang kubuat. Wilis terpana pada ubun-ubun Kinantan selama sepersekian detik sebelum kemudian menoleh kanan-kiri. Alisnya mengernyit. "Grey? K-kaukah itu?"

Kinantan merengut ke arahku. "Kenapa tidak dari tadi?"

"Aku tidak tahu aku bisa melakukan itu!" protesku.

"Nah, yah, temanmu yang bolot tampaknya sudah kehabisan energi hantu lagi," kata Kinantan pada Wilis. "Jadi, yang mau dia sampaikan adalah bahwa adikmu sekarang dibawa cowok jahat menjijikkan."

Wilis tampaknya masih takut pada Kinantan—kalau bahunya yang mengerut dan kepalanya yang berjengit bisa dijadikan acuan. Namun, mendengar ucapan gadis itu, Wilis bertahan di sana dan bertanya, "Kenapa anak bodoh itu mesti pergi sama Navy?"

"Mungkin karena kakaknya tak kalah bodoh dan menolak bicara padanya gara-gara masalah sepele—siapa yang tahu?"

Wilis memucat. Dia buru-buru bangkit dan meraih jaket serta celana jeans yang teronggok ke pojok ruangan sehabis diterbangkan energi psikisku. Dia meraih ponsel, menghubungi Olive. Dari gerungan frustrasinya, teleponnya tidak tersambung.

"Kunci ...." Wilis meraba-raba jaketnya. "Kunci motornya di tas ...."

Dia memelesat ke kamar Olive. Setengah menit kemudian, Wilis kembali dengan kaki melonjak-lonjak. "Dia membawa tasku!"

Aku menepuk jidat. "Bodoh—kau, 'kan yang melemparkan tasmu kepadanya tempo hari, menyuruhnya mengembalikan sendiri barang-barangku!"

Namun, Wilis tidak bisa mendengarku. Dia berlari ke lantai bawah.

"Temanmu itu parah sekali." Kinantan berkomentar.

"Yah, dia memang kikuk dan berisik, tapi setidaknya dia peduli sama adiknya."

"Bukan," tukas Kinantan sembari mengibaskan tangan. "Celana pendeknya itu. Apa tidak ada motif lain selain bintang merah muda?"

"Itu bintang laut. Tokoh kartun. Memang begitu warnanya."

Aku tak percaya aku baru saja membela celana pendek Wilis.

Ketika kami menyusulnya ke bawah, Wilis sedang mengguncangkan pintu depan. Tirai-tirai ditutup, lampu tidak dinyalakan, orang tuanya mungkin sedang mengecek pegawai di resto, membuat rumah itu sepi dan gelap meski ini baru lewat tengah hari.

"Dia mengunci pintu—halah, Olive geblek!" Wilis mendesah dan menyatukan jidatnya dengan daun pintu. "Ah, aku juga goblok ...."

"Hilang kunci motor, celana bintang laut, sekarang terkunci di rumah sendiri ...." Kinantan berdecak. "Aku kasihan sama wanita mana pun yang bakal menikahinya."

Aku mendesak si gadis hantu. "Bantu dia!"

Kinantan menggaruk-garuk leher belakangnya dan memasang wajah enggan. "Meh ...."

"Demi Olive!" kataku lagi, tetapi si gadis hantu masih memasang tampang malas. "Demi sesama wanita dalam cengkraman pria barbar!"

Kinantan masih berdecak-decak, tetapi akhirnya dia bergerak mendekati Wilis.

Wilis, menyadari ada hantu wanita di belakangnya, buru-buru berbalik memunggungi pintu. Kedua tangannya terentang, menempel ke tembok. "Jangan sakiti aku! Aku rasanya tidak enak—tidak cocok dijadikan tumbal! Dan aku masih perjaka! Hidupku masih panjang!"

"Aku punya jalan pintas," kata Kinantan, mengabaikan semua pekik ketakutan Wilis. "Lewat dunia sebelah. Masalahnya, kalian para cowok bolot juga tidak bakal bisa melakukan apa-apa di sana. Begitu menemukan cewek itu, kalian cuma bisa memandanginya layaknya hantu melihat dunia fisik."

Aku memutar otak—yang mana sulit dilakukan karena otakku hanya sebatas konsep gaib dan tidak bekerja dengan baik tanpa kehadiran Olive.

"A, aku bisa ...." Wilis tampak ikut berpikir. "Aku bisa menghubungi teman ... buat menjemput Olive ...." Dia berhenti, lalu wajahnya mengerut jengkel. "Tapi tidak ada satu pun dari mereka yang tahu rumah Grey—halah, inilah akibatnya kalau sok-sokan jadi orang misterius, Grey! Kau dengar aku? Di mana pun kau sekarang—"

"Dia tepat di sebelahmu." Kinantan memberi tahu.

"Tunggu ...." Wilis mengangkat satu jari. Tangan lainnya merogoh saku dan mengambil ponsel. "Kak Zamrud—aku ada kontaknya. Aku bisa minta dia jemput Olive. Dan lagi, setidak beradab apapun Navy, dia tidak bakal berani melawan mas-mas yang bawa mobil bagus."

Aku mengerutkan kening. "Kenapa kau bisa punya kontaknya?"

Namun, dia tidak mendengarku dan Kinantan menolak menjadi penyampai pesanku.

"Bilang padanya," desakku pada Kinantan, "untuk menyuruh Kak Zamrud mengantar Olive ke wilayah bandara."

Kinantan mengernyit. "Kenapa?"

"Aku punya rencana."

"Wah ...." Wilis berujar takjub, tetapi sekujur tubuhnya gemetaran. "Dunia Lain sangat ... lain."

Di atas tempat tidur di kamarnya, tubuh Wilis teronggok dengan mata dan mulut setengah terbuka, tertungging di atas bantal karena Kinantan tak membiarkan Wilis mengatur posisi.

Rumah Wilis di dunia fana dan dunia gaib tidak jauh berbeda sebenarnya. Perabot-perabotnya masih ada dan dekorasinya tidak berubah, kecuali ketiadaan cahaya normal dan suhunya jauh lebih beku. Cahaya biru dingin seolah muncul begitu saja tanpa sumber, memberi penerangan samar dan bayang-bayang gelap. Warna-warna memudar, bangunan jadi tampak lebih tua dan suram.

Meski dunia astral sangat tidak nyaman, terlebih karena tempat ini dipenuhi kenangan buruk, ada bagusnya: tubuhku lebih padat di sini. Yah, tidak bisa dibilang tubuh—aku dan Wilis kini hanya sebatas sukma, arwah, ruh, jiwa yang bergentayangan. Dan ini dunia ruh. Jadi, kami bisa berinteraksi satu sama lain. Kami bisa menyentuh perabot. Kami menapak di lantai.

"Dengar," kataku pada Wilis, "tiap tempat pasti ada penunggunya. Jangan kira cuma kuburan yang banyak penghuninya, bahkan rumah biasa pasti ada makhluk halusnya. Jadi, jangan kaget kalau melihat macam-macam di sini. Bukan berarti rumahmu jadi rumah paling angker dan meminta tumbal atau apalah."

"Oke." Wilis melompat-lompat sambil menggosokkan kedua tangannya seperti melakukan pemanasan. "Aku sudah lihat Mbak Hantu Cantik, dan aku baik-baik saja. Jadi, datanglah para hantu! Wilis tidak takut! Wilis tidak gentar!"

"Aku sudah sering lihat anak manusia yang tolol," kata Kinantan di sampingku, "tapi tidak pernah setolol ini."

Aku mengangguk ke arah pintu kamarnya yang terbuka, menampakkan jalan ke kegelapan lorong. "Ayo."

Kami mengendap keluar, bertepatan dengan dua sosok wanita muda yang melintas lewat, berlarian sambil tertawa-tawa seolah sedang main kejar-kejaran di lorong. Entah ke mana perginya keberaniannya tadi, Wilis menjerit.

"Oh, itu cuma para ianfu saat menikmati waktu bebas mereka." Kinantan melambaikan tangannya, menyuruh kami jalan terus. "Mereka hanya kilasan kenangan—mengulang-ulang apa yang terjadi di sini karena ini masih siang. Teriakan-teriakan dan bagian penyiksaannya baru terdengar kalau malam. Abaikan saja."

Wilis memepetku. "Apa itu ianfu?"

Aku menggaruk tengkuk dengan canggung. "Comfort woman ... yah ... perempuan yang melayani tentara Jepang."

Mulutnya begitu lebar terbuka. "Rumah kami dulunya rumah bordil?!"

"Dua kali." Aku memberitahunya. "Masa Belanda dan masa Jepang. Sejarah rumah ini panjang."

"Yap," kata Kinantan. "Ibuku mendapat rumah ini dari kerabatnya yang gantung diri, dan si kerabat itu dulunya membeli rumah ini dari seorang pedagang Timur Tengah yang mati dibantai. Pasti masih ada cerita panjang lagi jauh sebelum itu. Rumah ini hebat."

Wilis mengerjap-ngerjap. "Kau tidak pernah memberitahuku."

"Kalau kuberi tahu, kau bisa melanjutkan hidup di sini? Tidur nyenyak, makan enak, nonton tv tanpa terbayang-bayang nasib para korban di sini?"

"Tidak, sih ...." Matanya melirik Kinantan sekilas. "Sekarang, aku tidak tahu mesti bersikap bagaimana di rumah sendiri."

"Yah, sayangnya sudah terlambat, 'kan—tidak bisa di­-undo." Aku menuruni tangga, diikuti oleh Wilis dan Kinantan. "Makanya aku tidak pernah suka bilang-bilang."

Begitu kami tiba di lantai satu, cahaya jadi lebih redup. Meja-meja tampak kusam, dekorasinya ruang tengah tampak lebih suram dan tanpa warna, karpet dipenuhi laba-laba, kipas angin di langit-langit digelantungi oleh sejenis manusia setengah kera yang melotot, tetapi Wilis belum mendongak dan melihatnya. Toh, makhluk itu kecil sekali dan hampir membaur dalam kegelapan.

"Grey," kata Wilis dengan suara pelan. "Sori."

"Hmm," balasku singkat. "Aku juga."

"Masalahnya ...." Wilis masih bicara di pertengahan ucapanku. "Kau tidak pernah mau bilang apa-apa, jadi aku memutuskan mencari sendiri. Barang-barang yang kami ambil dari loteng itu—itu sepenuhnya ideku. Olive sudah melarangku, tapi aku memaksanya."

"Ya." Aku berputar dan meninjunya tepat di tengah wajah. Aku tidak mengerahkan tenaga besar, dan Wilis pun terduduk di undakan pertama hanya karena kaget ... kurasa. Aku mengibas-ibaskan tangan. "Aku sudah telanjur membentak Olive. Aku tidak bisa membentakmu karena kau sudah minta maaf, jadi kau kukasih bogem saja. Sekarang impas."

"Impas dari mana?!" Wilis bangkit berdiri, satu tangan memegangi hidungnya, tangan lainnya berpegangan pada meja pajangan di samping tangga.

Aku berbalik memunggunginya. "Yah, sejak kau menggosipi kakakku, aku sudah kepingin melakukan itu. Harusnya aku memukulmu dua kali, tapi—"

Belikatku dihantam sesuatu yang empuk, tetapi ayunannya lumayan keras sampai aku terdorong ke depan.

"Itu," kata Wilis, wadah tisu berbentuk boneka kelinci dari meja pajangan di tangannya, "karena menyuruh adikku berbohong padaku!"

"Tanpa kusuruh pun, adikmu bakal tetap berbohong padamu!" Aku meraih ke belakang, berusaha mengusap belikat. "Sekali lagi kau ayunkan benda itu—"

Dia mengayunkan lagi wadah tisu itu, mengenaiku di muka. "Dan itu karena kau ingkar janji untuk tidak memacari adikku!"

Aku menyambar ceret pajangan di atas meja, membuat Wilis tersaruk mundur sambil mengangkat kotak tisu kelinci sebagai tameng. Kuayunkan ceret itu, tetapi Wilis berhasil berkelit. "Aku tidak memacari adikmu!" Aku menambahkan dengan penekanan, "Yah, belum setidaknya."

"Kalau kau berani memacari adikku,"—dia mengayunkan wadah tisu, yang kutangkis dengan punggung lengan—"aku juga akan memacari adikmu!"

"Aku tak punya adik!" Kuayunkan ceret sekali lagi, nyaris mengenainya di dagu. "Berhentilah menghindar seperti pengecut!"

Wilis melemparkan wadah tisunya, hampir menghantamku di kepala andai aku tidak menangkis lagi. Katanya, "Kau mengayun ceret seperti anak perempuan!"

Saat itulah tangan Kinantan yang mulus dan panjang dengan jari-jarinya yang langsing datang menempeleng kepala belakang kami berdua, membuat jidatku dan jidat Wilis hampir bertemu.

"Kau juga bisa mengayun seperti anak perempuan," ujar gadis itu, "kalau mengeluarkan tenaga sedikit lebih besar lagi."

Ceret terlepas dari tanganku, berkelontangan ke lantai. Selama beberapa detik, Wilis dan aku saling lirik tanpa berani mengangkat kepala.

"Inilah alasannya," geram si gadis hantu, "kenapa tiap perang dan penjajahan dimulai oleh sepasukan laki-laki—kalian biadab dan bobrok."

"Tidak benar," tukasku. "Perang Troya dimulai oleh tiga wanita."

"Ya, mereka rebutan apel." Wilis menyetujui.

"Kau kira aku dungu? Aku hantu terpelajar. Perang Troya disebabkan penculikan seorang ratu Sparta oleh seorang pangeran Troya." Kinantan menjinjing kami di bagian belakang kerah baju, dengan kasar melemparkan kami ke lorong yang mengarah ke dapur. "Lekas—kalau hari gelap nanti, suasana bakal riuh dan kalian tidak bakal bisa keluar hidup-hidup dari sini."

Kinantan mengarahkan kami menuju gudang semi-basement. Di sana adalah titik buas aktivitas psikis dari rumah ini, tetapi di sana pula emas-emas peninggalan ibunya kukubur—jalan pintas yang dimaksud gadis itu ada di sana, di mana getaran psikis paling besar dan membengkokkan konsep ruang-waktu.

Memantapkan hati dan nyali, aku membuka pintu. Undakan kayu reyot menuju ke bawah, ke dalam pekatnya lantai dasar dari rumah yang terbenam ke tanah. Titik-titik cahaya melayang samar-samar di bawah sana.

Aku turun lebih dulu, disusul Kinantan, lalu Wilis yang terakhir turun sambil terus mengoceh, "Apa itu? Itu apa?"

Di antara barang-barang rongsokan, beberapa pasang mata menyala mengintai, tetapi tidak satu pun menghalangi jalan ....

Kecuali tiga anak kecil—satu laki-laki dan dua perempuan—kisaran umur 3 sampai 5 tahun. Mereka menghadang di depanku, kulit tergores-gores, rambut menggumpal dan penuh kotoran, pakaian bersimbah darah, tetapi ketiganya tertawa-tawa sambil mengulurkan tangan.

Wilis memekik di belakangku. "Itu apa? Apa itu?"

"Ah, ya ...." Kinantan melebarkan matanya seperti baru teringat. "Anak laki-laki ini ... dia penghuni lama sebelum aku. Aku tidak pernah mengerti bahasa apa yang digunakannya. Dua anak perempuan ini, aku kenal. Jadi, kami para ianfu bakal disterilkan supaya tidak bisa punya anak, tapi tidak selalu—entah ada yang terlewat atau obatnya tidak bekerja cukup baik, kadang ada beberapa yang akhirnya tetap hamil. Di antara sekian kehamilan, dua anak perempuan ini segelintir yang selamat dan berhasil lahir ... walau nasib mereka juga tidak terlalu bagus."

Ketiga anak itu meraih-raihkan tangan mereka kepada kami. Tidak peduli aku berusaha menghindar dan Wilis mengusir dengan gertakan, ketiganya justru tampak makin girang, seolah-olah kami memanggul mainan dan kerincingan di leher. Di depan sana, tempat emas terkubur, terdapat asap pekat yang menandakan jalan pintas, tetapi anak-anak itu memblokir jalan kami.

"Mereka tidak berbahaya sama sekali," kata Kinantan seraya duduk ke atas kotak kipas angin bekas. Tangannya merogoh bagian samping kotak. Sambil mengerang samar, dia mengangkat sebuah organ berdebu yang tuts-tutsnya hampir menghitam semua.

Beberapa tuts tertekan di bawah jari-jari tangan Kinantan, menggelontorkan bunyi nyaring nan sumbang, kedengarannya mirip musik kematian di film-film.

Wilis menganga. "Listriknya?"

"Hantu tidak butuh listrik. Tiap benda mati punya nyawa di sini." Kinantan mengoper organ itu ke Wilis. "Nyanyikan lagu anak-anak atau apa saja, nanti mereka pergi sendiri kalau bosan. Yang riang gembira, ya. Lagu sedih bakal membuat mereka depresi dan menyerang."

Wilis menyengir kepadaku. "Aku main ini, kau nyanyi."

Kulepaskan tangan salah satu anak perempuan yang sudah menggelantung di leherku. "Kau saja yang nyanyi! Kenapa juga mesti pakai organ?!"

"Ini, Kawanku," kata Wilis, "adalah organ terkutuk."

"Apa?"

"Ayahku membeli ini untuk mengundang pedangdut seksi manggung di resto, tapi ketahuan Ibu. Jadi, Ibu mengusir mereka dari resto; menguber-uber si biduan berbodi aduhai dan band-nya sampai mereka berlarian ke jalan. Ibu nyaris menggunakan organ ini untuk mementung kepala Ayah."

Wilis menekan satu tuts, dan ketiga anak itu terdiam. Mereka menyimak, mata yang hampa menonton. Wilis menekan lagi, tetapi kali ini bunyi yang keluar lebih liar dengan tempo cepat. Kedua tangannya terangkat kebingungan, menyaksikan organ itu bermain sendiri. Apa pun yang dimainkan organ terkutuk, sama sekali bukan musik dangdut.

"Mana lagunya?" tuntut Kinantan.

Aku dan Wilis menyanyikan lagu anak-anak dengan kepanikan, yang sama sekali tidak sesuai dengan musik seram dari organ itu. Kami berdua bahkan menyanyikan dua lagu berbeda. Namun, ketiga bocah hantu menari-nari kegirangan.

Wilis kemudian berhenti bernyanyi karena syok. Jari-jari tangannya masih mencoba mengendalikan tuts organ.

Akhirnya, suaraku pun memelan. Pikiranku blank karena anak-anak itu berhenti menari. Aku mendekati telinga Wilis dan berbisik, "A-apa lirik selanjutnya?"

Wilis menganga. Jarinya sudah terangkat dari tuts-tuts piano, tetapi benda terkutuk itu masih bermain sendiri. "Aku tidak tahu! Aku cuma hafal versi yang liriknya jorok waktu SD!"

Untungnya, kami tidak perlu menyanyikan versi jorok itu. Ketiga bocah hantu akhirnya berlalu sambil bergandengan, pergi ke balik tangga, entah mencari apa lagi untuk dimainkan.

"Lumayan." Kinantan tergelak. Tangannya menampar bahu Wilis. "Pemilik rumah sebelum keluargamu memanggil dukun untuk mengusir anak-anak itu—yah, dukun cabul tak tahu diuntung. Dia kabur sambil menjerit-jerit."

Wilis buru-buru menyingkirkan organ yang masih bermain sendiri ke samping kotak-kotak kardus. "Jadi, memanggil dukun untuk rumah ini pun percuma?"

"Kau butuh selusin dukun untuk sekadar membersihkan satu ruangan dari rumah ini." Kinantan menggeleng-geleng. "Dan tidak ada dukun yang bisa menyingkirkanku. Nah sekarang, ayo, pergi ke Rumah Jerau—dia pasti sudah menunggu tumbal baru."

(*゚ー゚*) Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro