19 November 2004

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Warning:

Cerita ini diikutsertakan event MWM oleh NPC2301
Dengan target tamat dalam sebulan

Akan ada banyak typo, plot hole, dan segala macam anu
karena dikerjakan tanpa proses semedi lebih dulu

Mohon maap jika hasilnya kurang memuaskan ;-;
Jika ingin bantu razia typo dan anu-anu, silakan komentar
I'd really appreciate it

Seharusnya aku ingat bahwa aku masih terikat penawaran ketiga Jerau: akses tak terbatas, yang artinya aku bisa merambah ke lintasan waktu mana pun. Tanpa kehadiran Olive, aku tidak bisa mengendalikannya. Kini, aku terlempar lagi ke masa lalu. Aku melihat diriku yang masih berumur 7 tahun.

Aku sudah masuk SD, Mama sedang sibuk-sibuknya dengan pekerjaannya, Paman Tam makin sering bertandang ke rumah, dan Kak Nila baru masuk SMA.

Pada malam-malam ini, kakakku sering bermimpi buruk—mimpi tenggelam dan sulit bernapas, katanya, dan ada anak laki-laki yang sekarat bersimbah darah di bawah pohon beringin. Orang zaman dulu percaya bahwa bermimpi melihat darah tidak pernah berarti bagus, dan ada anggota keluarga kami yang meninggal karena sesak napas sampai-sampai kakakku mudah panik dengan mimpinya sendiri.

Tahun ini aku sudah mulai agak mandiri, jadi kakakku mendapat sedikit lebih banyak perhatian Mama dari biasanya. SD-ku agak jauh dari rumah—mungkin 5 atau 7 menit dengan kendaraan bermotor—dan, kalau tidak diantar Paman Tam pakai mobilnya yang penyakitan, aku berangkat pakai taksi dengan beberapa teman—ada satu taksi hijau yang memang sudah sering membawa anak-anak dari SD-ku sampai-sampai sopirnya hafal dengan kami semua. Mama awalnya menemaniku sampai halte, lalu akhirnya melepasku pergi sendiri dengan cemas. Namun, kecemasan itu akhirnya berganti penyesalan diam-diam, bukan gara-gara aku diculik atau uang jajanku dirampok, melainkan karena aku senang kelayapan.

SD-ku letaknya berseberangan dengan rumah sakit swasta yang baru dibangun. Maka, suatu hari salah satu teman sekelasku jatuh sakit dan dirawat di sana, beberapa dari kami patungan untuk membelikannya roti, lalu pergi menjenguknya pagi-pagi sebelum lonceng berbunyi dengan ditemani wali kelas. Kami, anak-anak SD polos dan udik, ternganga-nganga melihat kamar inapnya yang serupa kamar hotel, berbeda sekali dengan ruang kelas berselimut debu dan serba usang. Di kamar itu, cat dindingnya masih tampak baru, pendingin udaranya dilengkapi pewangi ruangan beraroma lembut, lantainya bersih dan harum dilengkapi karpet berbulu halus yang tampak mahal, televisinya besar dan menayangkan kartun luar negeri yang belum pernah kami lihat. Salah satu temanku sampai menceletuk, "Aku juga mau menginap di sini," sampai mengundang omelan wali kelas.

Mengesampingkan fakta bahwa penghuni kamar yang sebelumnya sudah meninggal bulan lalu dan orangnya masih ada di pojok, kamar ini memang bagus sekali. Aku dan Kak Nila pernah dibawa Mama membesuk kerabat di rumah sakit lain dan kami tidak betah, bukan karena hantunya, tetapi karena kamarnya jelek, sempit, dan bau obat. Rumah sakit yang ini bangunannya masih sangat baru, mulus, dan penunggunya tidak sebanyak itu. Kami bisa saja berguling di lantainya dan malah jadi steril alih-alih kena penyakit.

Karena kamar inap mulai berbau kaus kaki 6 orang anak SD, wali kelas menggiring kami keluar. Namun, bukan anak SD namanya kalau tidak hilang-hilangan. Wali kelas menghitung jumlah kami empat kali di lobi yang sepi, dan selalu ada satu di antara kami yang tidak ada, entah ditemukan keliaran ke lorong bangsal lain atau kembali ke kamar inap teman kami.

Pada hitungan kelima malah kurang dua—keduanya kembali ke kamar inap teman kami yang dirawat, menonton film kartun, dan ibu dari teman kami yang sakit hanya bisa garuk-garuk kepala. Sementara wali kelas kami menjemput dua anak itu, kami disuruh duduk tenang di sofa-sofa yang membuat pantat tenggelam. Seorang petugas kebersihannya sedang mengepel lantai dan bertanya kami kelas berapa untuk basa-basi ketika aku melihat ada tetesan-tetesan darah di depan pintu kaca.

Untuk sesaat, aku mengira itu adalah hantu dari pasien lama, mungkin meninggal di pintu depan atau apa. Aneh sekali rumah sakit yang baru buka sudah punya jejak semacam itu. Lalu, kusadari darah itu tidak benar-benar ada di sana—atau belum ada. Aku mengerjap, melihat bayang-bayang samar seseorang menggendong anak kecil dengan darah menyecer heboh ke mana-mana. Lalu, bayang-bayang itu menghilang.

Tepat pada saat itu, salah satu dokter jaga yang masih sangat muda, kulitnya mulus bersinar bak aktor di televisi, tampan dan giginya putih sekali seperti keramik lantai, muncul dari salah satu pintu. Dia menyapa bapak-bapak tua yang tengah mengepel, lalu tangannya menyelipkan beberapa lembar uang di tangan si bapak tua. Dengan pandangan penuh arti, keduanya berbalas senyum persekongkolan. Dokter itu berbisik, "Mau titip sesuatu, Pak? Kopi, barangkali?"

"Apa sajalah," kata si bapak tua. "Tapi, tidak apa-apa UGD-nya kosong?"

Si dokter muda melambaikan tangan. "Jarang ada pasien di sini. Yah, ada dokter jaga lain di ICU, 'kan—"

"Barusan beliau juga keluar." Si bapak tua merogoh saku bajunya yang kumal, mengeluarkan sejumlah uang yang malah lebih besar dari pemberian si dokter muda. "Tidak mau titip ke saya saja? Mau makan di seberang, 'kan? Saya belikan sebentar, saya bungkuskan ke sini."

"Ah, saya cuma sebentar." Si dokter muda menepuk-nepuk perutnya yang kempis. "Cuma menyeberang sebentar, beli nasi—" Matanya mendapati tatapanku dan ucapannya terhenti. Si dokter muda buru-buru berkata, "Nanti Bapak saya belikan sebungkus."

Dokter muda itu tengah melintasi lobi saat aku mengejarnya. Aku lebih cepat karena aku berlari dan, sebelum dia mencapai pintu, aku sudah berada di depannya.

"Wah, keren," kataku, "kakak dokter?"

Si dokter muda tertawa canggung. Matanya melirik pintu sebelum kembali menatapku. "Iya, saya dokter. Siapa yang sakit, Dik?"

"Teman saya," jawabku. "Kami habis menjenguknya."

Aku bercerita hampir semenit lamanya, menambahkan detail-detail tidak perlu dan mengulang-ulang beberapa kalimat yang sudah kuucapkan. Si dokter muda mengganti-ganti tumpuan kakinya tidak sabar, tetapi terlalu sopan untuk menyuruhku minggir.

"Ah, begitu." Selesai aku bercerita, dokter muda itu kembali melirik ke pintu, lalu memandangi jam tangannya. "Semoga cepat sembuh, ya, temannya. Saya mau lewat, ya, Dik—"

"UGD sama ICU apa bedanya?" Aku menunjuk pintu yang baru saja dilewatinya. Di sofa di tengah-tengah ruang lobi, teman-temanku memandangi, kepingin ikut bicara dengan dokter muda, tetapi terlalu malu untuk menimbrung. "Saya pernah lihat temannya Mama dibawa ke ICU, heboh sekali—darahnya berceceran, tapi saya tidak tahu kenapa karena Mama menutupi mata saya."

"Barangkali korban kecelakaan," kata si dokter muda dengan senyum ramah. Dia membungkuk ke arahku dan satu tangannya bertumpu ke lutut. "Begini, UGD, yang di sana itu, adalah Unit Gawat Darurat, lebih kecil dari IGD, tapi fungsinya sama-sama untuk pasien mendesak, mendiagnosis sakitnya apa, dan operasi juga."—Aku berpura-pura bergidik berlebihan, sok ketakutan dengan mata membelalak lebar, sampai si dokter tertawa lagi—"ICU itu Intensive Care Unit, untuk pasien yang keadaannya kritis, habis kecelakaan, atau selesai operasi—"

"Kalau PICU?" tanyaku memotongnya dengan tidak sabar.

"PICU itu ICU untuk anak-anak—"

Di pertengahan ucapannya, wali kelas kami datang. Bersamaan dengan itu pula, teman-temanku menjerit di sofa karena di belakangku berdiri seorang laki-laki jangkung, kurus, berambut jabrik, berkulit kecokelatan, dengan kain sarung terselempang di badannya melangkah masuk sambil menggendong anak kecil perempuan. Kaki anak itu di sembunyikan ke belakang, dipegangi oleh si remaja kurus yang membawanya, tetapi kami semua bisa melihat darahnya yang mengucur deras seperti tetesan air dari keran yang dibuka sedikit.

Keadaan jadi agak di luar kendali gara-gara ada sekumpulan anak SD menjerit di lobi. Aku sebetulnya tidak kepingin menjerit karena sudah tahu apa yang terjadi, tetapi aku tetap merasa butuh berteriak-teriak dan berlarian karena teman-temanku begitu.

Wali kelas buru-buru menggiring kami kembali ke bangsal tempat teman kami dirawat. Di belakangku, beberapa perawat berdatangan, membawa ini-itu, menenangkan si remaja yang komat-kamit berlinangan air mata, masih menggendong anak kecil yang berdarah-darah. Si dokter muda hampir kebingungan juga, tetapi dia mengendalikan dirinya dan mendorong mundur kepanikan sampai nyaris tidak terlihat di matanya. Untuk sesaat yang singkat, mata kami berserobok, dan kudengar si dokter muda memberi serangkaian pengarahan pada perawat dan meminta mereka menghubungi beberapa dokter lainnya.

Sebagai manusia yang masih dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan, kami ketakutan sambil dengan heboh bertukar cerita mengenai apa yang baru saja terjadi. Banyak sekali kata 'darah' disebut secara berlebihan.

Bahkan setelah kami bisa kembali ke sekolah, cerita tentang itu mulai menjalar ke mana-mana—kakinya putus, si anak perempuan meraung-raung (padahal aku yakin anak perempuan itu sudah setengah pingsan saat sampai di pintu), dan dokter cakep menangani keadaan dengan cepat bak superhero berjubah. Di mana ada superhero, di sana ada sidekick—untuk kasus ini, akulah sidekick-nya. Aku mirip Robbin-nya Batman. Teman-temanku dengan bangga menyebarkan cerita, kalau saja aku tidak tanya-tanya di depan pintu, dokter itu mungkin akan keluar dan melewatkan si anak yang berdarah-darah.

Mentok sampai sana saja kisah petualangan kami di rumah sakit. Masalahnya, kami tidak tahu kelanjutannya; bagaimana nasib si anak perempuan yang berdarah-darah, apa yang telah terjadi kepadanya, atau apakah si bapak tukang pel dapat nasi bungkusnya.

Yah, dulu aku belum tahu. Sekarang aku tahu.

Bapak tukang pel akhirnya tidak dapat nasi bungkus. Beberapa dokter jaga tampaknya kena masalah karena tidak berada di tempat. Dokter muda yang kuajak bicara dapat pujian, tetapi hampir kena damprat juga karena ketahuan hendak meninggalkan tempat. Si remaja kurus berambut jabrik itu adalah tukang ngebut, baru akan mengantar adik sepupunya ke SD yang masih berjarak satu kilometer lagi dari SD kami saat tumit sepupunya masuk ke antara ruas-ruas ban sepeda motor yang masih melaju. Luka robek berdarah-darah itu itu nantinya akan menjadi bekas luka besar memanjang yang membuat si pemilik kaki takut melepas alas kakinya ke mana pun dia melangkah. Dan si pemilik kaki itu adalah Olive saat umurnya 6 tahun.

"Apa yang sebetulnya tengah kau coba untuk tunjukan kepadaku?"

Di antara kegelapan pekat, aku bisa mendengar suara aliran air sungai bergemericik. Namun, aku tidak bisa melihat apa-apa. Rasanya seperti memejam, tetapi aku sadar benar tengah membelalak lebar-lebar saat ini.

"Apa," ulangku, "yang mau kau sampaikan?"

Masih tidak ada jawaban, tetapi aku tahu ia di sana, masih terbawa arus dan maju terus melewatiku, berputar-putar di sepanjang aliran sungainya dalam keabadian yang terbatas.

"Sudah berapa kali—4 kali? Kau sudah 4 kali mengacaukan orientasiku terhadapmu. Tidak peduli jalurnya muncul dari Jerau atau Entitas mana pun, kau—sang Waktu—tetap memegang kendali penuh. Semua tahun, tanggal, dan kejadian yang kau pilih untuk kulalui itu bukan jalur yang acak. Kau mencoba menunjukkan sesuatu padaku—tapi, apa?"

Sang Waktu masih enggan menjawab. Yah, memang bukan tugasnya memberi jawaban. Saat orang-orang berkata bahwa "Waktu menyembuhkan" atau "Waktu yang akan menjawab", mereka menjadi bias dan hanya melihat kejadian-kejadian yang misterinya terungkap, lalu memberi kreditnya pada sang Waktu.

Sebenarnya, sang Waktu hanya berlalu, melewati kita begitu saja, membiarkan manusia menyingkap sendiri tabir apa pun yang ditebarnya dan menyembuhkan sendiri luka yang disebabkannya. Pada akhirnya, bukan Waktu yang menyembuhkan atau memberi jawaban. Manusia yang melakukan itu semua karena menyadari dunia masih berputar, Waktu tak mau berhenti untuk kita, dan kita hanya bisa terseok mengejarnya.

Seperti yang kubilang, Waktu adalah Entitas paling kejam.

Begitu berhasil kembali bermanifestasi, wujudku jadi lebih padat. Olive berada di depanku, dan Kak Zamrud di sampingnya. Di belakangku, Wilis tampak setipis asap dari korek api—aku hampir tidak menyadari wujudnya kalau bukan karena dia meloncat-loncat heboh sampai mendistorsi udara di sekitarnya seperti hawa panas di atas panci penggorengan.

"Grey!" teriaknya. "Curang—aku ditinggal sendiri! Bagaimana kau melakukan itu? Bagaimana aku balik ke tubuhku? Mana Mbak Hantu tadi?! Tolong aku!"

Aku lupa dia masih terikat ke tubuhnya—tanpa badannya di sini, Wilis cuma hantu yang sukmanya ketinggalan di dunia gaib. Dia tidak bisa bermanifestasi sepertiku di dekat Olive, dan dia tidak tertangkap panca indra manusia sama sekali. Malah, dia mungkin tidak mengenali kami berada di mana karena yang dilihatnya hanya kelebatan bangunan, pepohonan, penghuni-penghuni alam sana, dan kegelapan yang menyelimuti hingga tak tampak garis yang memisahkan pijakan dengan langit hampa.

"Kembalilah ke arah kita datang tadi," kataku pada Wilis. "Kinantan, si Mbak-mbak hantu yang kau bilang cantik itu, pasti masih ada di ujung sana."

"Grey?" Olive menyipitkan matanya. "Kau bicara sama siapa? Kinantan itu siapa? Siapa yang cantik?"

"Tidak, bukan siapa-siapa," kataku cepat-cepat.

Di belakangku, Wilis terbata-bata. "A-ada Olive di sana? Bagaimana dia?"

"Baik-baik saja," jawabku. Lalu, aku buru-buru menjelaskan duduk perkaranya pada Olive, bahwa kakaknya ada di sana, mengikuti karena cemas padanya.

Olive menyengir lebar, sedangkan Wilis mengayun-ayunkan sesuatu (mungkin tangannya, entahlah, aku tidak merasakannya sama sekali). Wilis kedengarannya malu saat berkata, "Jangan bilang padanya aku di sini! Ke mana perginya solidaritas pria di antara kita?"

"Solidaritas itu pergi bersama gebukan kotak tisu dan ceret pajangan," ujarku. "Sudahlah, sana—lekas kembali! Sebentar lagi gelap dan penghuni rumahmu bakal lebih liar daripada sekadar anak-anak riang gembira atau wanita-wanita yang berlarian."

Bahkan sebelum aku menyelesaikan kalimatku, kehadiran Wilis sudah memudar. Aku bisa mendengarnya terbirit-birit, lalu keberadaannya lenyap sama sekali di belakangku.

Di sekitarku, jalan aspal tampak sepi. Bangunan sekolah TK menjulang di seberang jalan, dibatasi trotoar depan dan menghadap lapangan udara. Langit jingga kemerahan membentang di atas kepala dan beberapa lampu jalan sudah menyala.

"Ada Grey di sini?" Kak Zamrud bertanya pada Olive.

Gadis itu mengangguk ragu-ragu. "Grey? Kenapa kau menyuruh kami ke sini?"

"Mana Navy?" tanyaku. Suaraku terdengar ketus bahkan di telingaku sendiri, padahal aku tidak bermaksud demikian. "Tidak diantar olehnya lagi?"

"Tidak." Olive cemberut. "Kami bahkan belum sampai rumahmu saat Kak Zamrud mencegat motornya—syukurlah! Dia raba-raba lututku sepanjang jalan, hampir tidak mau membiarkanku turun, mencengkram tanganku juga—"

"Kurang ajar," kataku begitu saja.

"Ya! Pada akhirnya, aku mesti berteriak 'copet' dan 'begal' sampai orang-orang berdatangan!"

"Itu ... licik sekali." Aku mengangkat alis ke arahnya. Cengiranku menyungging kemudian. "Aku suka."

"Jangan rayu-rayu, ya." Suaranya jengkel, tetapi aku bisa melihat bibirnya ditekan tipis-tipis dan pipinya merona. "Untunglah Kak Zamrud ini pakai mobil bagus dan pakaiannya necis, jadi orang-orang yang mendengar teriakanku langsung menyasar Kak Navy yang pakai kalung rantai dan celana robek-robek. Aku tidak tahu nasibnya sekarang—mudahan dia digebuki!" Olive melipat kedua lengannya di depan dada. "Tahu tidak, Grey, aku mulai berpikir kau tidak banyak gunanya jadi bodyguard. Ke mana kau sementara majikanmu dibawa kakak kelas bengis?"

"Tapi, kau sendiri yang memanggil Navy."

"Gara-gara siapa?" Olive menyentakkan ranselnya di punggung. Saat itulah aku menyadari tas Wilis dipanggul di bahu Kak Zamrud.

"Anu," kata Kak Zamrud dengan wajah mengerut kebingungan. "Mau apa kita di sini?"

"Tunggu dulu, aku belum selesai marah-marah." Olive mengangkat satu jarinya, lalu kembali padaku. Mulutnya terbuka, siap mencecar, lalu ekspresi wajahnya berubah dan melunak. "Iya, ya ... kita ngapain ke sini?"

Syukurlah dia mengakhiri sesi marah-marah. Syukurlah ada Kak Zamrud. Aku menjelaskan fungsi rumah gaib Jerau kepada Olive, perkiraanku tentang si anak pirau yang merupakan diriku dari dunia lain, dan tujuanku ke sini. Yah, aku tidak menyebut-nyebut tentang masa lalu yang baru kuselami.

Olive mendengarkan dengan ngeri, sesekali menyampaikannya ke Kak Zamrud yang matanya membeliak makin lebar di setiap kata.

Pertama-tama, sebelum malam turun, aku mengarahkan Kak Zamrud dan Olive ke sekitar pagar kawat yang membatasi lapangan rumput dan landasan pacu. Di sana, beberapa gerobak jajanan berjajar. Sesuai arahanku, Olive dan Kak Zamrud bertanya-tanya kepada beberapa penjaja jajanan itu tentang seorang pria tua yang dulu berjualan es buah di sekitar sana—tukang es buah yang dulu bercerita kepada Paman Tam bahwa anaknya hilang di sekitar bandara (cek tanggal 1 Februari 2001).

"Sudah tidak jualan lagi sejak tahun lalu," jawab sebagian besar dari mereka. Beberapanya malah tidak tahu menahu mengenai nasib di penjual es buah.

Namun, seorang wanita tua yang menjual rujak mengetahui lebih banyak.

"Anaknya dulu pernah hilang di sekitar sini, lalu tiba-tiba kembali bertahun-tahun lalu," kata si wanita tua sambil sesekali meludah, mulutnya penuh oleh daun sirih yang dikunyah-kunyah. Olive mundur perlahan-lahan karena cakupan daerah yang mampu dicapai lontaran ludah si nenek mulai meluas.

"Si Paman es buah itu bercerita ke Anda?" tanya Kak Zamrud.

Si wanita tua menggeleng-geleng. "Kebetulan rumah cucuku dekat rumahnya. Sudah jadi gosip di sana tentang nasib malang si Paman Es Buah. Anaknya yang hilang itu—dia pulang sendiri. Tapi, jadi berbeda, katanya. Anaknya jadi nakal luar biasa, membunuhi ayam dan ikan peliharan, memotong-motong keong yang masih hidup setelah melepaskannya paksa dari cangkangnya. Suatu hari anaknya jatuh sakit—sakit keras, macam kena guna-guna. Uangnya habis untuk mengobati anaknya, gerobaknya terjual, motornya juga, dan tahun lalu waktu rumahnya hampir dijual juga, anaknya mati—melompat ke sumur, katanya, saat diangkat subuh-subuh oleh warga sudah membiru."

Kak Zamrud berterima kasih, lalu memborong dagangan si wanita tua. Sementara Kak Zamrud membagikan rujak gratis ke pedagang kaki lima dan tukang parkir, Olive dan aku pergi ke bagian belakang bangunan TK.

Bangunan sekolah itu memunggungi sebidang tanah kosong. Namun, untuk malam ini, tanah kosong itu telah terisi. Sesuai yang ditunjukkan oleh Annemie, rumah gaib Jerau muncul di sana, tampak lebih benderang dari yang kulihat sebelum ini seolah lampu-lampu di dalamnya dinyalakan. Seperti menyambut kedatanganku.

"Grey ...." Olive mencoba memegangi lenganku, tetapi jari-jarinya menembusku. "Mungkin sebaiknya kita tunggu Kak Zamrud."

"Aku tidak mau melibatkannya lebih jauh lagi," kataku. "Kak Zamrud hidupnya normal—terlalu normal buat kucampuri. Dan,"—aku menyetopnya saat gadis itu akan bergerak maju—"kau tidak perlu ikut. Kau mesti minta Kak Zamrud mengantarmu pulang. Aku bisa sendiri dari sini."

"Tapi—"

"Pergi ke rumahku dengan Kak Zamrud. Kuncinya masih ada di tanganmu? Ya, bagus. Aku tidak menerima bantahan, Olive. Kembalikan saja barang-barangku, tidak perlu ke loteng, letakan di mana saja, lalu pulanglah. Kalau aku sudah dapatkan kembali tubuhku, aku bakal ke rumah kalian lagi."

Olive menggembungkan pipinya. Matanya berkaca-kaca. "Aku kepingin membantu ... mana bisa aku membiarkanmu masuk sendirian ke sana? Kau dengar apa kata si nini tadi? Kalau ceritamu benar, berarti yang pulang ke rumah Paman Es Buah itu bukan anaknya sungguhan—itu anaknya dari dunia lain, dan entah kenapa nasib mereka jadi sial setelahnya."

"Jerau memang hanya mengincar jiwa anak-anak yang masih segar untuk jadi makanannya, tapi dia juga pasti menyerap intisari ruh-ruh anak yang sudah mati yang sempat terpikat masuk ke rumahnya—kurasa karena itulah, meski hantu si anak memasuki tubuh baru dan pulang ke rumah baru, jiwanya sudah teracuni dan fisik barunya ikut sakit."

Olive merengek ngeri dan setetes air matanya jatuh. Kakinya menghentak. "Kalau begitu, kau tidak boleh masuk ke sana!"

"Aku harus masuk—jasadku di dalam."

"Kita panggil pemadam kebakaran, tentara militer, tim SWAT, FBI, atau apalah! Biar mereka yang masuk mengambilkan badanmu! Kau jangan masuk!"

Perasaanku campur aduk—aku gugup memikirkan bahwa aku akan masuk lagi ke Rumah Jerau, tetapi histeria Olive mengalihkan pikiranku. Tangannya meraih—andaikata dia bisa menyentuhku, aku yakin dia pasti berniat mencakarku.

"Olive," kataku lebih tegas. "Kau mau aku jadi hantu selamanya? Aku bakal menggentayangimu seumur hidup."

Dia terisak. "Aku tidak apa-apa—gentayangi saja. Asal kau tidak seram, aku tidak apa-apa."

"Lama-lama aku bakal jadi seram." Aku menggertaknya. "Kau ingat tempo hari saat kita menemui Kak Safir? Apa yang hampir kulakukan? Aku baru di dekatnya saru menit dan tidak bisa menahan diri dari merasuki badannya."

Dalam satu cara, kejadian itu menyedihkan sekali—aku menyombong terus-terusan bahwa aku punya rekor tidak pernah kerasukan, bahwa aku punya cara untuk menangkal hantu-hantu tidak tahu diri yang kepingin masuk mengambil alih tubuh orang. Lihatlah aku sekarang—menjadi salah satu dari mereka yang haus akan kehidupan, rindu jantung berdetak, menginginkan napas yang hangat, dan rela melakukan apa saja demi bisa merasa hidup kembali, bahkan meski itu artinya mengambil jasad orang lain.

"Itu baru secuil contohnya, Olive." Aku melanjutkan. "Hantu tidak seharusnya berada di dunia orang hidup lama-lama. Akal manusiaku bakal hilang, jiwaku berkarat, dan suatu malam mungkin aku akan menampakkan diri dengan wajah hancur dan tangan kutung di hadapanmu hanya untuk lucu-lucuan. Boleh jadi aku bawa-bawa teman dalam balutan kain kafan."—Annemie pernah melakukan ini padaku, dan aku tidak mau bicara padanya seminggu penuh sampai dia menyingkirkan teman bungkusnya dari rumah—"Pada akhirnya aku bakal harus memilih, menyeberang dan merelakan jasadku mati, atau jadi hantu jahat yang mengacaukan hidupmu."

Sebetulnya aku tidak tega—gara-gara kalimatku, Olive menangis keras sekali sampai dia menangkupkan kedua tangannya ke wajah untuk meredam suaranya. Namun, setidaknya gadis itu tidak membantah lagi setelah aku memintanya dengan lebih lembut untuk kembali ke Kak Zamrud.

"Aku bakal langsung datang ke tempat kalian begitu kembali ke tubuhku," kataku. "Aku janji."

(*゚ー゚*) Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

***

Huhuuu mau nangis ;-;
Bener-bener marathon di hari-hari terakhir ;-;

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro