20 Januari 2014

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Warning:

Cerita ini diikutsertakan event MWM oleh NPC2301
Dengan target tamat dalam sebulan

Akan ada banyak typo, plot hole, dan segala macam anu
karena dikerjakan tanpa proses semedi lebih dulu

Mohon maap jika hasilnya kurang memuaskan ;-;
Jika ingin bantu razia typo dan anu-anu, silakan komentar
I'd really appreciate it

Seharusnya aku tidak membuat janji sembarangan. Aku sudah mengumbarnya ke mana-mana—ke Annemie, ke Olive .... Namun, semuanya sudah terucap, dan hal paling baik yang bisa kulakukan adalah berusaha untuk tidak mati.

Aku meneguhkan niat dan membulatkan tekad. Aku masuk ke rumah itu, tetapi belum ada aktivitas berarti di sana karena malam belum larut. Aku menjelajah, tetapi tidak ada hal berarti yang bisa kutemukan kecuali perabot usang dan ruangan-ruangan apak yang terang benderang. Ruang dan Waktu dibengkokkan di sana. Satu kali, aku berada di lantai dua tanpa merasa mendaki tangga lebih dulu. Lalu tahu-tahu aku berada di bawah lagi. Dari jendela di satu ruangan, langit terang seperti siang, matahari begitu terik. Di jendela di ruangan lain, langit malam membentang tanpa cela, mendung dan gelap gulita.

Aku merasa ini baru beberapa menit, tetapi bisa saja aku sudah terjebak di sana berhari-hari. Aku hanya sewujud arwah, dan rumah ini adalah rumah lintas dunia—Ruang dan Waktu sama sekali bukan apa-apa di sini.

Ketika akhirnya aku mencapai ruang tengah, mulai terjadi aktivitas dan gangguan. Jendela menampakkan langit gelap dan jam dinding yang mati tiba-tiba menggerakkan jarumnya, menunjukkan tengah malam. Televisi menyala dan mati berulang kali dengan sendirinya, suara anak-anak yang bermain dan bertengkar terdengar di kejauhan. Lampu-lampu meredup.

Aku berbalik dari televisi, dan di sanalah dia: si anak pirau—Gray, diriku sendiri dari versi lain dunia. Dia berdiri di undakan terbawah tangga. Aku melangkah mendekatinya, cukup dekat hingga dia bisa saja melompat menerjangku kalau dia mau.

"Mana jasadku?" Aku bertanya ketus. Rasanya aneh sekali mengasari anak perempuan yang masih kecil, dan anak kecil itu adalah diriku sendiri. Yah ... kalau dipikir lagi mungkin masuk akal saja, mengingat belakangan ini aku memang sedang mengembangkan kebencian baru terhadap diri sendiri.

"Dengan Jerau," jawab Gray. Gigi-giginya yang kecil dan tidak rata menggertak. "Aku masih tidak mengerti kenapa dia melepaskanmu berkali-kali—padahal dia bisa saja langsung memberikan badanmu padaku. Tapi, bakal kupastikan dia langsung menelanmu malam ini—dan aku bisa keluar dari sini pakai badanmu."

"Kau tidak mau badanku atau pulang ke rumahku—percayalah." Aku memberi tahu. "Hidupku berantakan sekarang."

"Lebih baik daripada MATI!"—Dia meneriakkan kata terakhir itu dengan kebencian sepenuh hati. Kepalanya membesar seperti balon yang dijejali gas dalam sekejap, kulitnya merah meradang, matanya yang pucat berubah hitam, dan mulutnya terbuka lebar menampakkan kekosongan.

Tekanan tak kasat mata menekan ruhku ke bawah. Kurasakan diriku merapat ke lantai, bobot gaibnya menekan dadaku, dan mulut Gray yang hampa seolah menyedot intisari jiwaku seperti lubang hitam. Sedikit demi sedikit, keberadaanku mulai menipis, seperti asap panas yang diusir ke luar jendela—aku mulai membuyar. Aku tidak bisa mengingat siapa aku, siapa anak di depanku, di mana aku saat ini, dan apa yang sebetulnya tengah kulakukan.

Ketika aku terbaring pasrah dan bersiap lenyap, tekanan itu berhenti, bobot menyiksa itu terangkat. Aku butuh waktu untuk sekadar bangkit dan mengingat lagi tujuanku.

Aku mengedarkan pandang, lalu melihat tubuh kecil Gray meringkuk di bawah meja kayu panjang di antara sofa dan televisi, tangannya memeluk kaki meja seolah mencoba bersembunyi di baliknya. Ukurannya kembali normal—selayaknya anak-anak lagi. Sepasang mata kelabunya yang buram bergetar, menatap ke seberang ruangan, di mana bayang-bayang jatuh ke lantai lorong dan kian membesar. Bayang-bayang itu tengah mendekat ke arah kami.

Namun, mendahului bayangan itu sendiri, ada belasan anak berlarian masuk ke ruang tengah dan melewati sofa. Sekumpulan anak-anak dengan penampilan berbeda-beda berdasarkan zaman dan versi dunia yang berlainan, terbirit-birit melewatiku, melangkah menuju anak tangga dan menghilang ke lantai dua.

Bayangan itu makin dekat. Rasanya aku kembali jadi bocah 4 tahun lagi yang kaku ketakutan, panas-dingin, berusaha mati-matian untuk tidak kencing di celana. Padahal itu hanya bayang-bayangnya, tetapi aku merasa ia lebih dari itu. Bayangkan fobia terburukmu dan hal-hal lainnya yang paling kau takuti (benda, hewan, tempat, hantu, seseorang, kejadian-kejadian memalukan dan traumatis), gabungkan semuanya—itulah ia. Jerau adalah Rasa Takut itu sendiri.

Jerau bahkan tidak memiliki bentuk pasti. Ia hanya segumpalan kegelapan yang berjalan, tidak punya wajah, tanpa tangan atau kaki. Cahaya-cahaya aneh muncul pada beberapa lubang yang menyerupai mulut. Saat itu berdiri di sana, di ambang lorong yang benderang, sosoknya seolah menyerap semua cahaya di sekitarnya, membuat keadaan jadi gulita lagi.

Gray merengek di bawah meja; aku terseok-seok ke arah tangga.

Jerau membuka lebar-lebar lubang bercahaya yang menyeringai. Dari dalamnya, seolah dimuntahkan dari dalam mulut, menyembul rambut dan kepala, lalu leher, lalu sepasang tangan lemas, menempel ke badan yang basah kuyup. Saat kakinya menyembul keluar, dan seluruh tubuhnya jatuh lunglai ke lantai, aku pun menyadari bahwa itu adalah jasadku.

"Kemari ...." Suaranya yang tajam menyayat bergema di seluruh rumah. "Kemarilah anak-anak manis. Siapa cepat, dia dapat."

Mudah saja: lari ke sana, masuk ke badanku, lalu berbalik dan keluar—mungkin sambil menjerit minta tolong. Namun, aku dalam keadaan lumpuh saat ini, begitu pula diriku yang lain di bawah meja. Kami sama-sama membeku dalam ketakutan, tidak mampu melepaskan tatapan dari sosok gelap yang masih terkekeh-kekeh merayu.

Aku memaksakan diri untuk bergerak. Kuambil gerakan tanganku dengan tangan dan siku yang mengayuh ke depan. Lututku ikut bergerak. Jerau tertawa seperti orang tua yang bangga melihat anaknya merangkak untuk pertama kali.

Aku menengok; Gray masih di sana, tersedu-sedu dengan matanya yang buram masih mengawasi Jerau. Kurasa, karena inilah Jerau menyukai anak-anak—berbeda dengan orang dewasa yang menantang atau bahkan sudah bernyali mengabaikan ketakutannya, anak-anak justru mudah terjebak dalam rasa ngeri yang mereka ciptakan sendiri, terpaku dan malah berlama-lama melarutkan diri dalam kelumpuhan. Seperti anak kecil yang takut badut, tetapi menolak mengalihkan pandang darinya—anak-anak cenderung memberi makan pada rasa takut itu, membuatnya membesar.

"Sedikit lagi, Sayangku ...." Jerau bersenandung gembira saat aku hampir sampai. "Sedikit lagi ... bagus, seperti itu ...."

Pad akhirnya aku berhasil mencapai tubuhku. Dingin, tetapi belum mati. Samar-samar tampak gerakan turun naik di perut—satu-satunya yang menandakan aku masih bernapas.

"Hadiah untuk anak baik dan pintar." Jerau membungkuk di atasku. Sepasang lubang menyala lagi terbentuk di atas mulutnya, menyerupai mata yang memicing girang. "Kalau saja si Bocah Pirau yang sampai sini lebih dulu, aku akan langsung menelanmu dan membiarkannya pergi dengan tubuhmu—hadiah untuk keberaniannya melawan ketakutannya terhadapku. Tapi, seperti yang sudah kuduga, dia bukan anak yang bisa diharapkan—dia rabun, sama sekali bukan anak pintar sepertimu. Jadi, hadiahku untukmu, Anak Pintar, adalah sebuah pilihan."

Dua pintu kayu muncul dari dalam dinding di belakang Jerau. Satu pintu di kanan berwarna hitam pekat, daunnya mengayun terbuka, menampakkan rumahku yang kosong dan gelap. "Jika kau menolak tawaranku untuk 'jalur tak terbatas', kau boleh pulang ke kehidupanmu yang menyedihkan. Aku akan menelan si Bocah Pirau sebagai penggantimu meski aku yakin rasanya tidak akan enak. Tapi, kuperingatkan kau, hidupmu akan ditimpa kemalangan bertubi-tubi dari sini karena kunjunganmu ke rumahku meninggalkan bekas. Hayat akan berpaling darimu, Maut akan mulai tertawa padamu. Kau akan mulai berharap tidak pernah melewati pintu itu."

Pintu di kirinya, berwarna putih susu, menguarkan kehangatan serta cahaya saat terbuka. "Ini adalah kemurahan hati paling besar dariku: jalur tidak terbatas. Kau boleh mencampuri sang Waktu semaumu. Kau boleh mengubah sesuatu, mengembalikan kakakmu, menghidupkan ayahmu yang sudah mati, memberi mamamu keberkahan berlimpah ... dengan jasadmu sebagai penggantinya."

Aku hampir tertarik pada pintu putih saat mendengarnya. "A-apa?"

"Pintu putih," ujarnya, "artinya kau meninggalkan jasadmu di sini, membiarkan si Anak Pirau tidak berguna itu mengambil alih tubuhmu yang sekarang. Sementara kau, dalam wujud arwah, bisa melakukan apa saja di lintasan waktu yang baru. Ubahlah sesuatu, kembalikan kakakmu, ciptakan dunia paralel yang baru. Kau bisa merasuki tubuhmu sendiri saat kau masih kecil, mencegah kakakmu pergi, lalu menjalani kehidupan baru di sana. Dunia yang ini dan dunia yang kau ubah di balik pintu putih itu takkan saling mengganggu—keduanya akan berjalan secara terpisah. Dengan begitu, kau pun akan memulai hidup baru juga, seperti halnya si Anak Pirau. Bukankah itu akhir yang bahagia untuk cerita ini?"

Iya ... itu memang akhir yang bahagia.

Ayahku bisa hidup lagi, katanya? Selama ini aku hanya menyaksikan kehadirannya yang samar-samar melalui ingatan-ingatan yang disimpan oleh rumah kami. Mama bisa dilimpahi berkah, katanya? Mamaku memang sudah terlalu lama berjuang sendiri, dan dia pantas mendapatkan akhir yang bahagia juga. Yang terpenting—

Kakakku bisa pulang, katanya.

Dulu, meski melihat segala kemungkinan, aku tidak ada bedanya dengan si Anak Pirau di belakangku—buta, tidak tahu mesti melangkah ke mana. Aku melihat terlalu banyak jalur dan kemungkinan tak terbatas, dan aku cuma anak kecil. Aku takut terpeleset, maka aku malah membiarkan kakakku melangkah kejauhan. Begitu aku mencoba mencampuri urusannya, dia malah dibawa pergi ....

Sekarang, aku bisa melakukan sesuatu. Aku sudah 16—jalan 17 tahun. Aku bukan lagi anak kecil yang terpaku ditinggalkan oleh sang Waktu. Aku bisa mengejarnya—malah, aku bisa menghentikannya.

Aku bisa mencampuri sang Waktu dan, untuk satu kali ini, menolong diriku sendiri. Aku pantas mendapatkan akhir yang bahagia juga. Aku—

Serakah.

Aku menoleh. "Kinantan?"

Anak serakah.

Aku menggeleng kuat-kuat. Tampaknya kehidupan sebagai hantu dan berulang kali tercabik ke lintas waktu berbeda mulai memengaruhi isi kepalaku. Rasanya aku mendengar suara Kinantan, tetapi dia mustahil berada di sini.

Anak serakah sepertimu—

Aku mengerjap, lalu menyadari bahwa yang kudengar ini bukan suara Kinantan secara langsung. Entah kenapa aku teringat pada kalimatnya yang pernah dia ucapkan, seolah-olah aku ditarik kembali ke masa itu dan mendengarnya bicara sekali lagi: "—selama aku membimbing beberapa anak serakah sepertimu ke sana, dia membiarkanku saja."

Kenapa aku jadi teringat ke sana?

"Bagaimana, Anak Pintar?" Aku tersentak saat Jerau menarik perhatianku kembali. "Kalau kau butuh waktu berpikir, akan kuberikan beberapa malam lagi. Sementara itu, kau boleh bawa tubuhmu dulu."

Aku terpaku selama beberapa lama. Aku bisa saja menganga di sana selamanya, menghabiskan keabadian sambil memelototi Jerau, tetapi kemudian si Anak Pirau mulai bergerak dari bawah meja. Matanya masih mengamati Jerau takut-takut, tetapi kini dia mulai melirik ke arah jasadku juga.

Aku tidak butuh diberi tahu dua kali. Aku buru-buru masuk ke tubuhku sendiri.

Kurasakan guncangan parah di segala tempat—otakku seperti dikocok dalam batok kepala, pencernaanku berhamburan, aliran darahku berantakan, dan bisa saja gigiku bertanggalan. Dalam keadaan setengah sadar, aku merangkak lagi sampai ke pintu, menerobos sekumpulan anak-anak yang menatapku dengan lapar, dan berlari keluar.

"Kami akan menunggumu, Grey." Kudengar suara Jerau membuntutiku. "Kami menunggu kunjungan terakhirmu."

Dingin sekali di sini. Napasku beruap, tetapi aku senang bisa bernapas lagi meski rasanya menyakitkan. Aku ingin pulang, tetapi aku tidak bisa bergerak banyak. Menarik napas dalam-dalam dan meresapi irama degup jantungku sendiri, aku menyandar ke tiang lampu jalan yang tidak menyala. Sekitar dua meter ke samping, lampu jalan menyala redup, hampir tidak menerangi apa pun.

Gang gelap membentang di kanan dan kiriku. Ada suara jangkrik di antara semak-semak rimbun. Seekor kucing melintas dengan mata menyala, lalu melompat sampai menghilang ke balik pagar seseorang. Kupejamkan mataku, mencoba menenangkan diri—keringatku masih merembes dan pemandangan mengerikan dalam rumah gaib itu masih terpatri dalam benakku. Aku seolah bisa melihatnya di balik kelopak mataku. Namun, saat aku membuka mata, semua kegelapan ini tampak seperti Jerau bagiku, membuatku mual.

Aku mencoba berdiri, tetapi kakiku masih ngilu dan tanganku gemetaran.

5 menit lagi—sudah enam kali kukatakan itu pada diriku sendiri.

Dari arah kanan, aku mendengar suara langkah kaki. Aku masih pusing dan hampir tidak bisa memedulikan siapa atau apa yang tengah mendekatiku. Namun, saat suaranya terdengar, aku mengenalinya.

"Ini Grey—dia di sini."

Aku mendongak. Mataku berair hingga wajahnya hampir buram, tetapi itu memang Kak Safir—kedua tangannya dimasukkan ke saku jaket parka tebal yang dikenakannya, kerahnya berdiri menutupi mulutnya. Di belakangnya, muncul sosok lain yang kepalanya tertutup helm. Lalu, orang itu menaikkan kacanya, dan aku bisa melihat wajah Wilis yang awalnya tegang, berangsur-angsur lega.

Kak Safir memapahku sampai ke dalam mobil. Pendingin udara menyembur seperti es batu dilemparkan ke wajah dan dimasukkan ke dalam baju, membuatku hampir menggeliat keluar. Setelah aku mampu duduk dengan benar di jok belakang, barulah aku bisa melihat Kak Zamrud di belakang roda kemudi, mengenakan mantel cokelat, sweter putih di baliknya, dan topi yang menelan hampir keseluruhan kepalanya.

"Jam berapa ini?" tanyaku sambil mengerjap-ngerjap saat mobil dijalankan. Aku menoleh, melihat Wilis membuntuti dengan sepeda motornya. "Ini tanggal berapa?"

"Kau hilang dua hari," kata Kak Zamrud sambil menyetir. "Dan ini tengah malam. Selepas maghrib tadi, Wilis meneleponku—minta ditemani mencarimu karena dia tidak tahu mesti mencari ke mana. Dia bilang ...." Kak Zamrud menggaruk pipinya dengan satu jari. "Sebenarnya, aku tidak yakin dia bilang apa. Dia panik sekali. Dia mengatakan sesuatu tentang Mbak Hantu Cantik yang memberitahunya bahwa kau sudah keluar dari rumah ... jeruk? Jelangkung?"

"Jerau," sahut Kak Safir yang duduk di sampingnya. "Dia bilang 'Jerau'."

"Aku cukup yakin yang dia bilang jelangkung. Lebih masuk akal jelangkung."

"Masuk akal dari segi mana?"

"Yah, kita lagi berurusan dengan dunia hantu dan rumah berhantu, jelangkung itu boneka hantu. Jadi, masuk akal, dong. Tapi kalau dipikir lagi, pengucapan Wilis lebih mendekati 'jeruk' daripada—"

"Maaf." Aku bersusah payah mencondongkan badan ke depan. "Dan terima kasih. Aku tidak tahu mesti bilang apa lagi."

"Jangan dipikirkan." Kak Zamrud berbelok ke arah perumahanku. "Nah, beruntung buat Safir, dia tidak perlu beratraksi mengeluarkan ruh dari badannya buat mencarimu."

Kak Safir mendengkus, antara kesal dan tertawa. Sikunya bertumpu ke jendela, tangannya memangku pipi. Pada saat seperti ini aku bersyukur aku sudah kembali ke badanku sendiri—perasaan untuk menyergapnya dan mencuri jasadnya sudah lenyap sama sekali.

"Kami padahal sudah susun rencana kalau sampai pukul 2 lewat tidak bisa menemukanmu, Wilis bakal menabrak bokong Safir pakai motor sampai sukmanya keluar."

Kak Safir berjengit. "Kapan kalian menyusun rencana itu?"

"Sesaat sebelum kau menemukan Grey." Kak Zamrud menurunkan kecepatan dan berhenti di depan rumahku. "Kau kira kenapa Wilis mendadak pakai helm lagi?"

Rumahku gelap dan berdebu, bau apak juga, tetapi aku langsung jatuh ke atas karpet di ruang tengah dan mengorok di atasnya seolah sedang ditimang dalam buaian gendongan bayi dan tangan Mama.

Aku setengah tertidur, mengabaikan para tamu yang sudah mengantarkanku pulang. Samar-samar aku mendengar Wilis menelepon Olive, memberitahunya bahwa aku sudah ditemukan. Wilis kemudian duduk di sampingku, mencoba membangunkanku—mamaku menelepon, katanya, tetapi aku terlalu lelah untuk sekadar membuka mata. Jadi, Wilis mengangkatnya, samar-samar kudengar dia mengarang alasan kenapa aku tidak menghubungi Mama berhari-hari, tetapi aku tidak mampu menyimaknya dengan jelas.

Kak Safir dan Kak Zamrud mengobrolkan sesuatu yang tidak bisa kudengar juga, lalu sepertinya tak lama setelah itu Kak Safir pulang dengan diantar Wilis.

Ketika aku terbangun oleh aroma teh, kulihat jam dinding di atas televisi menunjukkan pukul 04.52. Aku beranjak duduk bertepatan dengan Kak Zamrud yang muncul dari dapur dengan segelas teh panas di tangannya.

"Kuharap kau tidak keberatan aku pakai dapurmu—"

"Tidak, tidak sama sekali. Silakan."

Kak Zamrud kembali ke dapur dan membuatkan segelas teh lagi untukku. Setelahnya, kami duduk berdua dengan canggung, beralaskan karpet yang sudah berbulan-bulan tidak ditepuk, bersandar ke dinding menghadap satu sama lain.

Kontras sekali dengan mantelnya yang bermerk, sweter wangi, dan celana panjang hitam yang tampak nyaman sekaligus modis—rumahku sudah tua dan cat dinding di atas kepalanya sudah mengelupas, aku sendiri tampak mengenaskan dengan baju lembap dan rambut lusuh. Kesannya, Kak Zamrud seperti salah tempat.

Aku pernah main ke rumahnya satu atau dua kali, mengintili kakakku dan Kak Magenta. Aku membuat mereka repot karena tidak mau diajak pulang—kamar Kak Zamrud dipenuhi game konsol, komputer, dan televisi layar datar super besar yang menghipnotis mata jelataku. Dan, dengan semua ingatan itu, sekarang aku jadi malu sekali berhadapan dengannya.

"Kukira Kak Zamrud pindah ke Jawa sekarang." Aku berusaha memulai percakapan. "Kak Magenta tidak ikut pulang ke sini?"

Kak Zamrud tertawa, kedengarannya seperti tawa sedih. "Ya ... kami putus bulan Desember lalu."

Aku menegakkan punggung, tetapi tidak berani berkata apa-apa.

"Tapi, kami putus baik-baik. Aku cuma merasa ... kewalahan. Kamu tahu Magenta, 'kan—kesan luar memang tampak pemalas, agak pemberontak juga, tapi dia aslinya aktif sekali kalau berhubungan dengan sesuatu yang disukainya. Dan badannya itu badan kuli. Dia memulai ekspedisinya sendiri, panjat gunung, tebing, ke hutan-hutan ... aku tidak bisa mengikutinya lagi."

Baru kusadari saku mantelnya kembung dipenuhi oleh sesuatu. Yang menyembul itu tampaknya bungkusan obat.

"Asma Kakak ...?"

"Tambah parah sejak semester akhir perkuliahan." Kak Zamrud mengerutkan pipinya, setengah tersenyum, setengah cemberut. Kedua jarinya menodong ke arah matanya. "Kacamataku ini sekarang tidak banyak membantu. Terlalu banyak obat bikin daya penglihatanku berkurang. Kamu pasti merasakannya tadi—aku mengemudi kaya siput diinjak kakinya."

"Siput tidak punya kaki."

Kak Zamrud menyeruput tehnya lagi. "Pokoknya begitulah."

Aku ikut menyeruput teh. Kulitku yang tadinya terasa kebas kini mulai menghangat.

"Grey," kata Kak Zamrud tiba-tiba saat aku hampir menghabiskan tehnya. "Kau tahu sebenarnya Magenta terlibat dengan apa?"

"Apanya?"

Dia menggosok hidungnya. "Magenta pernah berkata padaku kalau dia dikejar-kejar ... tapi tidak mau cerita lebih lanjut. Kalau aku bertanya, dia bakal mengalihkan pembicaraan atau melontarkan candaan bahwa dia tenar dan punya stalker, atau ada konglomerat tergila-gila padanya, atau ada perompak yang mau menjual organ dalamnya ... humor gelap seperti itu—macam kakakmu. Mereka akrab sekali, 'kan, dulu? Aku hanya kepingin tahu apakah barangkali Magenta pernah cerita sesuatu tentang masalahnya dan kau mungkin tahu."

Aku memutar-mutar bola mata seperti mengingat. "Tidak ... Kak Magenta dan kakakku memang akrab, tapi mereka hampir tidak pernah membicarakan masalah personal dengan satu sama lain. Itulah masalahnya—mereka terlalu mirip. Yang mereka lakukan hanya menggosipi masalah personal orang, atau ... yah, seperti kata Kakak, bercanda dengan humor gelap seperti dua nenek sihir menertawakan anak-anak dalam ketel rebusan."

"Begitu, ya." Kak Zamrud tersenyum dengan raut kecewa. Dia menggerakkan cangkir tehnya, memberi isyarat pada setumpuk barang di ujung ruangan, terjepit antara dinding dan meja televisi. "Temanmu mengembalikan barang-barangmu dua hari yang lalu. Dia pemalu sekali—hampir tidak mau bicara padaku dan buru-buru lari ke rumahnya setelah kuantar pulang."

Olive? Pemalu? Penggal kepalaku kalau setengah saja dari sangkaan Kak Zamrud itu benar. Kurasa, gadis itu bukannya pemalu, tetapi dia sungguhan malu. Aku tak bisa menahan diri dari menyengir kalau mengingat lagi semua ucapannya pada Kak Zamrud hampir seminggu yang lalu.

"Apa Kak Zamrud kemari tempo hari hanya untuk bertanya masalah Kak Magenta ke aku?"

"Ya ... memang untuk itu," jawabnya, "dan juga bertanya keadaan kakakmu—tapi tampaknya dia belum ditemukan ...."

"Belum."

Kak Zamrud mengangguk. Dia meletakkan cangkir teh yang sudah kosong di sampingnya. "Orang baik, kakakmu itu."

"Kakak orang pertama yang berkata begitu tentang Kak Nila."

"Masa?" Kak Zamrud bersedekap, kepalanya ditelengkan keheranan.

"Unik, eksentrik, sarkastis ... itu sudah sering. Lagi pula itu deskripsi yang dipakai orang-orang buat menghindari kata 'baik'. Juga untuk menghindari kata-kata kasar semacam 'aneh' dan 'seram'. Orang baik adalah hal terakhir yang terpikirkan saat seseorang disuruh mendeskripsikan kakakku."

"Nah, itu malah hal pertama yang terlintas di pikiranku." Kak Zamrud mengangkat bahunya. "Kamu tahu, dulu pertama kali aku kenal kakakmu, Abu hampir membunuhku pakai sepedanya? Kakakmu membelaku dengan menyangkutkan tangkai kamboja ke ruas-ruas roda sepedanya sampai Abu jungkir balik."

Aku mengulum senyum. Biasanya aku tidak pernah suka kalau seseorang mulai membicarakan kakakku, tetapi Kak Zamrud berbeda. Yang keluar dari mulutnya hanya yang baik-baik tentang Kak Nila.

"Waktu itu asmaku kambuh, hujan turun lebat, dan Abu masih mengejar kami—tukang bully nomor wahid, Abu itu." Kak Zamrud melanjutkan. Kakinya berselonjor dengan pergelangan kaki bersilangan. "Nah, kalau asmaku kambuh, aku tidak bisa apa-apa—jalan pun rasanya seperti akan mati. Kakakmu bisa saja pergi duluan, pura-pura tidak tahu, atau hal paling baik yang mungkin dilakukannya adalah mencari bantuan ke ruang guru. Tapi, tidak."

Kak Zamrud berhenti sesaat, menjilat bibirnya yang mengering dan matanya menerawang ke lututnya. Jari-jari tangannya saling memaut di atas pangkuan.

"Dia menggendongku di punggungnya. Dia menggendongku sampai rumah. Aku malu sekali waktu itu, tapi kakakmu malah bilang kalau aku mirip denganmu, Grey, sambil menyiratkan seolah-olah kau dan dia cuma beda setahun supaya aku tidak merasa membebaninya. Kalau itu bukan orang baik, aku tidak tahu lagi standar orang baik yang bagaimana lagi yang kau maksud."

(*゚ー゚*) Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro