21 Januari 2014

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sejak pulang ke rumah, kusadari Annemie jadi lebih pemurung. Dia bahkan tidak memberiku senyuman lagi saat melihatku kembali. Awalnya kuduga dia ngambek karena aku menolak ke acara arisan hantunya, tetapi lama-lama kusadari Annemie makin kewalahan—dia kesepian, bingung, dan belakangan ini Obsidian terus menghabiskan waktu di loteng seperti menjaga jarak dengannya.

Yah, pada akhirnya, aku mesti mencarikannya wadah sungguhan karena Annemie tidak lagi bisa berjalan jauh dari rumah. Aku membeli salah satu mangkuk antik pajangan paling murah dari koleksi mendiang kakeknya Kak Safir yang masih disimpannya—kulakukan itu setelah berterima kasih dan meminta maaf pada Kak Safir atas semua bantuannya di masa lalu pada kakakku dan karena sempat hendak menyeretnya kembali ke masa-masa kelam dirinya meraga sukma.

Mangkuk antik yang kubeli darinya sekecil genggaman tangan, berbentuk hampir seperti guci, tetapi lebih rendah dan memiliki penutup berukiran bebungaan serta naga-naga mini. Annemie menyukainya dan sempat mengajakku masuk ke dalam, seolah-olah aku muat. Wadah itu kubawa ke taman kota dan lapangan bola—tempat-tempat rimbun berumput hijau segar yang dapat mengembalikan sedikit tujuan spiritnya walau hanya sebentar. Untuk sementara, usaha itu berhasil membuat Annemie bertahan, setidaknya sampai aku bisa menguraikan satu demi satu alasannya terjebak di dunia.

Setelah aku lumayan pulih dari pengalaman menjadi hantu, aku menelepon Mama. Dia mengomeliku hampir satu jam sampai telingaku panas, dan mungkin masih akan berlanjut andai baterai ponselnya tidak habis.

Selanjutnya, aku meminta maaf pada orang tua Wilis karena menghilang tanpa kabar selagi menginap di tempat mereka. Yah, aku tidak dimarahi lama-lama—ibunya Wilis langsung menarikku ke dapur dan bergabung dengan mereka untuk sarapan.

Saat aku masuk, Wilis dan Olive sedang melempar ejekan tentang bentuk ibu jari kaki satu sama lain, dan ada acara melempar kacang-kacangan juga, jadi kurasa mereka sudah berbaikan.

"Kak Zamrud chat aku, dia bilang sebentar lagi mau pulang," kata Wilis dengan mulut penuh nasi dan potongan telur dadar. "Jadi, aku mengundangnya main ke sini malam ini. Nanti malam datang, ya, Grey—kita bikin barbecue kayak malam tahun baru kemarin."

"Pulang ke Jawa? Kapan?" tanyaku.

"Katanya, sih, lusa." Wilis menyemburkan beberapa butir nasi ke wajahku, membuatku menyesal duduk di sebelahnya. Dia kemudian mulai bercerita ke orang tuanya tentang Kak Zamrud yang punya mobil mewah dan mantel bermerk mahal.

Beberapa hal tidak berubah—keadaan masih berjalan sebagaimana mestinya sejak aku pergi jadi hantu. Denim masih tidur serampangan. Ayah dan ibu Wilis masih pasangan suami-istri biasa-biasa saja yang disibukkan bisnis keluarga. Kinantan masih melontarkan hinaan dari balkonnya, dan belakangan dia menemukan hobi baru mengomentari baju Wilis yang konyol atau suaranya yang sumbang. Olive juga masih centil padaku, dan kudapati hal itu tidak lagi menggangguku.

Beberapa hal berubah—misal ... kudapati diriku jadi lebih sering melirik Olive dari sudut mata. Kalau dia sedang tidak melihat, aku betul-betul memandanginya sampai Wilis memergokiku dan dia bersumpah sekali lagi bakal memacari adikku juga, tidak peduli meski kukatakan berulang kali bahwa aku tidak punya adik.

Hal lain yang berubah ... barangkali betapa seringnya aku mendengar suara anak-anak belakangan ini. Suara seperti sekumpulan anak yang bermain-main. Namun, aku yakin benar suara-suara ini tidak berasal dari rumah Wilis sama sekali. Suara-suara ini terdengar amat jauh, seperti disekat banyak dinding, tetapi tetap terdengar lantaran banyaknya jumlah anak yang berteriak.

Petang itu, aku kembali lagi ke rumah Wilis setelah siangnya pulang sebentar. Di dalam tas, aku membawa-bawa mangkuk antik karena Annemie kepingin ikut lihat barbecue—lagi pula Wilis tidak keberatan karena, saat aku bercerita sedikit, dia mengira Annemie adalah gadis hantu Belanda cantik seumuran kami.

Aku meletakkan wadah Annemie di atas meja berlaci dekat tangga. Tentu saja Wilis tidak bisa melihatnya—dia terus mengetuk-ngetuk mangkuk antik itu dengan jari, tidak menyadari Annemie sedang mencoba memanjati punggungnya.

Aku masuk ke kamar Wilis untuk mengecek barang-barangku yang tertinggal di sana, lalu mendengar lagi suara-suara ramai seperti sekumpulan anak-anak sedang bermain di jalanan. Spontan, aku menoleh ke jendela, tetapi aku tahu suara itu bukan berasal dari luar sana. Suara itu tidak berasal dari mana-mana.

Aku beranjak ke arah balkon, lalu menabrak pintu kaca. Aku lupa aku sudah tidak bisa menembus benda-benda.

Kulihat Kinantan menongkrong di pagar balkon kamar Olive. Sebelah alisnya terangkat ke arahku saat aku keluar. "Kau dengar itu?" tanyaku.

"Kau habis kentut atau apa?" Dia balik bertanya. "Kalau iya, aku tidak dengar. Aku menolak mendengar suara-suara laknat macam itu."

"Bukan. Suara anak-anak." Aku mencoba fokus, tetapi suara-suara itu malah lenyap.

"Barangkali itu suara anak kompeni yang kau bawa." Kinantan mengedikkan kepala ke dalam rumah. Nada suaranya malah terdengar lebih kasar ketimbang saat dia bicara denganku atau mengomentari Wilis. "Bisa-bisanya kau mengotori rumah ini dengan membawanya."

"Annemie tidak mengusikmu—biarkan dia. Sebentar lagi, toh, dia mau pergi." Aku menggeleng. "Tapi, yang kumaksud bukan Annemie. Suara anak-anak yang kudengar ini seperti riuh sekali. Kedengarannya hampir seperti ...."

"Rumah Jerau?"

"Ya ...." Aku menelan ludah. "Dia masih mengintai, bukan?"

"Dia tidak bakal berhenti mengintai, bahkan setelah kau mengambil keputusan."

"Kau dulu mengambil keputusan apa?"

Kinantan memeyotkan bibirnya jijik ke arahku. "Apa urusannya denganmu?"

"Yah, aku berpikiran untuk mencontek keputusanmu karena tampaknya kau bisa lepas dari rumah gaib ...." Barulah aku terpikir satu hal. "Doppelgänger-mu mana?"

"Sekali lagi, ya." Gadis itu menelengkan kepalanya. "Apa urusannya denganmu?"

"Rumah itu bekerja dua arah. Satu anak masuk, lalu doppelgänger-nya—entah itu anak yang sudah mati lebih dulu, atau yang masih hidup lebih dulu. Intinya, saat keduanya sudah berada di sana, anak yang sudah mati merasuki jasad anak yang satu lagi. Kukira, cara kerjanya sesederhana itu, tetapi tempo hari aku menyadari tidak semudah itu juga; Jerau malah memberiku pilihan. Aku bisa menerima hadiah darinya dan menyerahkan jasadku sukarela, yang mana menurutnya bakal jadi happy ending buatku dan doppelgänger-ku; atau, aku bisa menolak hadiah-nya, kembali ke kehidupanku yang ini, sementara dia menelan doppelgänger-ku, tapi sebagai gantinya hidupku bakal ditimpa kemalangan, ujarnya."

Aku mengetuk-ngetukkan jari ke pagar balkon dan memberi tatapan menghakimi pada Kinantan. Aku menunggu, tetapi dia masih tidak mau mengatakan apa-apa.

"Aku bakal bertanya sekali lagi. Apa yang terjadi pada doppelgänger-mu? Hadiah apa yang ditawarkan Jerau padamu? Dan, apa keputusanmu? Aku sudah melakukan survei kecil-kecilan; aku bisa memastikan bahwa semua anak yang keluar dari rumah Jerau memang ditimpa kemalangan. Entah anak itu hanya doppelgänger, atau memang anak aslinya—hidup mereka tidak panjang."

"Nah, kau sudah punya jawabannya." Kinantan menatapku tajam. "Apa menurutmu hidupku bahagia setelah keluar dari Rumah Jerau? Apa hidupku panjang? Umurku 18 waktu aku dibunuh. Bahkan saat masih hidup, aku hanya diberi secuil harapan setelah berhasil kabur dari rumahnya, tepatnya waktu Dai Nippon mengusir orang-orang Belanda, tetapi rupanya mereka kemari buat melakukan hal yang sama—lebih parah, malah."

"Di mana doppelgänger-mu sekarang?"

"Mana kutahu." Gadis itu melempar pandangannya jauh ke halaman belakang yang luas dan dipenuhi rumput gersang. "Saat aku datang ke sana, Kinantan yang satu lagi sudah jadi hantu lebih dulu. Lucunya, bukan aku yang menolak tubuhku diambil alih, justru dia yang menolak mengambil alih tubuhku—dia lebih baik mati, katanya, ketimbang menyakitiku yang merupakan dirinya sendiri. Ideologi yang aneh. Walau kami orang yang sama, kami tetap menjalani hidup yang berbeda. Kalau itu aku—aku tidak akan berpikir dua kali untuk mengambil alih badannya."

"Kinantan yang satu lagi kedengarannya lebih ramah."

"Grey."—Aku berpaling dan mendapati Wilis di ambang pintu. Dia berderap masuk, dengan buku sketsa di tangannya. Di lorong di belakang punggungnya, aku bisa melihat Annemie berlarian, cekikikan, berkejar-kejaran dengan sekumpulan anak-anak yang pernah kulihat di gudang semi-basement.

Wilis menyusulku ke luar. "Bicara dengan siapa kau sejak tadi ...?"

Aku menyandari pagar balkon. "Tidak dengan siapa-siapa."

"Oke, bagus—soalnya aku mesti bertanya, Mbak Hantu Cantik itu tempat semayamnya di mana?"

"Semayam," gumam Kinantan sambil meratapi pepohonan. "Temanmu itu betul-betul butuh mengulang sekolahnya dari TK."

"Dia biasanya di kamarnya Olive, tepatnya di—" Kalimatku terputus saat aku menangkap sekilas garis-garis arsiran pada halaman buku sketsanya. Tanpa pikir panjang, aku menariknya. "Kau mulai menggambar lagi? Sudah lama sekali kau nggak menggambar sejak dapat gitar—"

Lalu, aku terdiam. Kinantan juga—gadis itu melongok dari seberang balkon ke buku sketsa di tanganku. Kami berdua sama-sama menatap potret lembut seorang gadis berambut panjang dengan senyum menawan dan sorot mata yang tegas. Wilis menggambarkan garis wajah Kinantan dengan kemiripan yang luar biasa dan detail gaun yang hampir sempurna. Padahal selama ini dia cuma menggambar adegan pertarungan di anime atau avatar game-nya.

"Oh ...." Kinantan terdengar kebingungan untuk sesaat. "Apa itu aku? Yah ... aku cocok pakai dress itu. Sudah kuduga, keputusan bagus untuk pakai gaun terbaik sebelum pria goblok itu mencoba menggorokku di leher."

Aku mengangkat wajah. "Buat apa kau menggambar cewek lampir itu?"

Kinantan mendengkus. "Siapa yang kau maksud cewek lampir?"

Wilis hampir merona. Dia tampak mengerut ke dalam baju kaus dan celana pendeknya (kali ini bergambar karakter Strawberry Shortcake karena celana ini dulu dibelikan ibunya untuk Olive, tetapi gadis itu tidak mau memakainya, dan komentar Kinantan sebelum ini lebih baik tak kutayangkan demi kebaikan penggemar Strawberry Shortcake di luar sana).

"Emm yah ... tiap seniman punya inspirasi, Grey." Wilis tampak malu-malu. "Kami punya ... apa, sih, istilahnya ... moose?"

"Muse," kataku. "Moose itu rusa."

"Yeah, muse. Kadang muse seseorang bisa jadi berupa hal-hal seram yang membahayakan kesehatan mental dan mengancam keselamatan jiwa—"

Kinantan menggeleng-geleng. "Kalimat yang sangat menyenangkan buat didengar."

"—tetapi tetap saja, seseram apa pun, sesuatu itu artinya sangat indah hingga layak dijadikan muse."

"Oke ...." Aku mulai merasakan keadaan jadi aneh di balkon. Kukembalikan buku sketsa Wilis, mengurungkan niat memberitahunya di mana Kinantan tengah bersemayam demi menyelamatkan selapis terakhir rasa malu cowok itu yang amat tipis. "Mari bicara hal lain. Kak Zamrud sudah datang? Peralatan barbecue-nya sudah dikeluarkan ayahmu?"

"Belum, dan sudah. Gila—Kak Zamrud mengirimiku foto daging-daging yang dibelinya dan semuanya kualitas bintang 5! Itu jenis daging dengan harga yang menurut ibuku bisa memiskinkan kami 7 turunan."

Saat itulah mataku tak sengaja melihat ke arah pagar muka. Di sana, seseorang sedang bicara dengan ayahnya Wilis, yang tampaknya akan pergi ke resto. "Apa yang dilakukannya di sini?"

"Siapa?" Wilis ikut melongok ke bawah, lalu menyumpah. "Ngapain genderuwo itu kemari?!"

Aku mengira ayahnya Wilis bakal menendang Navy keluar, atau minimal meludah di sepatunya, tetapi ternyata pria itu mempersilakannya masuk. Malah, saat mendapati kami di atas, ayahnya Wilis melambai dan berteriak, "Hei, ada teman kalian, nih!"—Bibirnya bergerak-gerak, mengatakan sesuatu tanpa suara. Aku mesti memicingkan mata untuk menyadarinya berkata, Apakah dia Zamrud? Yang kalian bilang sangat kaya itu?

Bukan! Aku menggeleng-geleng panik, sedangkan Wilis masih tidak menangkap ucapan ayahnya dan hanya bisa berteriak, "Ha? Apa? Apa, Yah?"

"Oke, deh!" Ayah Wilis juga tidak menangkap jawabanku sama sekali. "Ayah menyusul Ibu ke resto dulu, ya?"

Aku menoleh ke Wilis. "Adikmu mana?"

"Di bawah, memandikan Denim."

Kami berpandangan, lalu bersama-sama berlari keluar dan menuruni tangga. Pintu depan tidak ditutup oleh ayahnya Wilis. Maka, begitu kami mencapai undakan terbawah, Navy sudah berdiri di ruang tamu dengan baju jersey kedodoran dan celana jeans yang dilengkapi sabuk berkepala tengkorak dengan rantai emas menjuntai dari saku ke kaitan sabuknya.

Kinantan benar—Navy memang berdiri seolah-olah ada kaktus terapit di antara kedua kakinya. Barangkali itu karena otot-otot kakinya kebesaran. Barangkali karena dia merasa hebat berjalan seperti itu.

"Wilis!" Navy punya suara nge-bass dan nada menghentak yang bisa saja membangunkan nenek-nenek tua dari tidurnya. Cengirannya lebar dan kasar, tangannya mengepal dan agak melengkung di kedua sisi tubuhnya karena postur badannya yang lebar, membuatnya terlihat seperti tukang jagal tengah bersiap menguliti hewan ternak. Saat melihatku, alisnya yang tebal mirip ulat bulu telentang itu mengerut. "Apa yang kau lakukan di sini, Grey?"

"Berdiri di tangganya Wilis," jawabku. "Kau sendiri?"

"Aku ada urusan dengan Olive." Dia kembali mengembalikan perhatian ke Wilis. "Hei, ayahmu bilang kalian mau bakar barbecue malam ini. Keberatan kalau aku bergabung?"

Refleks, Wilis langsung menyentuh hidungnya, mungkin teringat saat terakhir kali mereka bertemu di akhir semester lalu, Navy nyaris mematahkan hidungnya di lapangan sekolah. Bibir Wilis bergetar, mencoba mengatakan keberatannya, tetapi yang keluar hanya suara cicit ngeri.

"Bagus!" Navy mengartikan tanggapan Wilis seenak udelnya yang dekil itu. Dia mengangkat ponselnya di tangan. "Soalnya aku baru saja menghubungi beberapa teman dan mengundang mereka ke sini."

Aku heran bagaimana bisa anak kepala sekolah punya kelakuan seperti orang yang tidak pernah sekolah begini.

Kaki Wilis menghentak-hentak seolah dia sedang kebelet kencing, tetapi lagi-lagi Navy menerjemahkan respons itu sesuai kapasitas otak dableknya sendiri. Navy tergelak. "Bagus—bersemangat sekali! Nah, sekarang mana adikmu?"

"Kau hampiri dia," kataku berbisik, "aku mengecek Olive."

Wilis melenguh. "Kenapa bukan kau yang menghampirinya?"

"Karena dia membenciku."

Sebelum Wilis sempat memprotes, aku buru-buru melompati pegangan tangga dan berderap ke belakang. Pintu kamar mandi ada di koridor panjang di antara dapur dan ruang tengah. Aku mengetuk dan memanggil gadis itu.

"Apa, Grey?" Gadis itu menyahut dari dalam. "Aku lagi memaksa kucingku mandi—kau sebaiknya tidak berada di depan pintu kalau aku keluar, kecuali kau mau aku mencolok matamu pakai cakar Denim."

"Yah, masalahnya ada Navy di depan. Cakar Denim tidak akan cukup mencolok matanya, 'kan?"

Pintu tahu-tahu tergeser membuka. Di ambangnya, Olive sedang berlutut di samping baskom kecil berisi air yang surut. Satu tangannya di gagang pintu, tangan lainnya mencengkram kain lap berbau wangi. Denim di lantai linoleum, penuh busa dan tengah berusaha menjauh dari air.

"Apa? Apa yang dilakukan beruang gunung itu di sini?" Gadis itu terkejut; aku juga, karena dia basah kuyup dengan pakaian menempel ketat ke badannya dan busa sabun menempel di dagunya.

Buru-buru kualihkan pandang ke dinding seberang. "Mungkin karena kau meneriakinya begal tempo hari?"

"Di mana dia? Ruang tamu? Bagaimana aku lewat dengan baju basah seperti ini?! Handukku di kamar!"

Aku masih memelototi dinding. "Masa tidak ada handuk cadangan di dalam?"

Melangkahi baskom, aku mengedarkan pandang ke sekitar kamar mandi. Di atas mesin cuci, ada sekeranjang cucian. Taplak meja yang sudah kotor dan tampaknya belum dicuci teronggok paling atas. Tanpa pikir dua kali, aku menyambarnya dan menyampirkannya ke bahu Olive.

Di balik kain taplak kotor, Olive memberengut ke arahku. "Taplak meja, Grey? Kau bisa saja mencopot jaketmu itu buatku."

"Oh, betul juga." Aku buru-buru melepaskan jaket. Sementara Olive mengenakannya, aku menyiram Denim sampai sabunnya terbilas habis, lalu mengangkatnya. "Kenapa dia berminyak begini?"

Olive menunjuk ke arah dapur. "Lihat saja—berantakan! Kayaknya dia mengejar-ngejar anak tikus atau apa. Wajan-wajan menggelimpang, minyak tumpah ke lantai, kecap terbalik di atas meja—kacau! Aku mesti cari cara buat menyalahkan Wilis sebelum Ibu datang."

"Yah ... kita bisa menyalahkan Navy."

Olive menjentikkan jarinya. "Kebetulan sekali! Denim memecahkan wadah bumbu dapur dan aku menjatuhkan tabir surya semprot ibu sampai tumpah waktu mengejarnya—aku bisa salahkan Kak Navy juga untuk itu."

Aku menyengir padanya seraya membilas Denim sekali lagi sampai minyaknya hilang.

Sambil menggendong Denim dalam balutan serbet, Olive berlari-lari kecil mengekoriku yang berjalan ke arah tangga sambil merentangkan taplak meja di sepanjang tanganku seperti tirai. Di ruang tamu, badan Navy memenuhi sofa yang seharunya muat untuk dua orang. Kedua tangannya terentang di sepanjang sandaran sofa, kakinya menyilang ke atas meja, dan dia sedang mengatakan sesuatu pada Wilis yang tampak menyimak malas-malasan saat kami lewat.

Olive baru mencapai undakan ketiga dan aku berjalan mundur mengikuti di bawahnya, masih membentangkan taplak meja, saat Navy memanggil. "Apa yang kalian lakukan?"

"Aku ...." Olive berhenti sebentar. "Aku habis memandikan kucingku."

"Dan kenapa Grey bawa-bawa kain jelek—"

"Kucingku telanjang, oke? Dia tidak suka dilihat orang asing saat telanjang bulat dan basah-basahan habis mandi."

"Halah—bilang saja kau yang habis mandi dan tidak pakai baju!" Navy tergelak. Dia melontarkan komentar menjijikkan kemudian, yang membuat Wilis menggertakkan rahang dan mengepalkan tangan. Kalau aku jadi Wilis, aku tidak bakal repot-repot mengepalkan tangan—aku bakal langsung mencolok lubang hidungnya dan mengayunkan Navy keluar lewat jendela. Sayang sekali, aku tidak bisa melepaskan taplak meja persetan ini.

Aku masih terus berjalan mundur dan tidak menurunkan tangan sampai Olive berada di dalam kamarnya. Di lorong, Annemie yang tampak cerita tengah berjingkrak-jingkrak menghampiriku sambil berkomentar, "Kamu ngapain, Grey? Berdansa sama kain? Kalau boleh jujur, gerakanmu payah, kayak undur-undur."

Aku mengabaikannya dan menurunkan kain taplak. Di balik pintu kamarnya yang setengah terbuka, Olive menyembunyikan badannya, lalu menengok sambil menyengir. "Thanks, Grey! Sekarang, kau punya harapan sebagai bodyguard."

"Bodyguard?" Aku mengangkat sebelah alisku. "Sejak tadi aku cuma bodyguard?"

"Kenapa? Kau mau lebih?" Gadis itu mengulum senyum sambil mendelikku. "Aku bisa mengangkatmu jadi kepala security di rumah ini kalau kau mau."

(*゚ー゚*) Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro