22 Januari 2014

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Iya, Yah, tidak apa-apa! Tidak usah pulang! Kami bakal baik-baik saja." Wilis berucap gugup ke ponselnya, tetapi rona wajahnya sedikit lebih lega daripada semenit lalu saat ayahnya menelepon. "Iya, iya—oke. Salam sama Tante. Iya, kami bakal langsung tidur setelah ini."

Kudengar suara ibunya Wilis kemudian, nyaring sekali, "Jangan bakar rumah, oke?"

Ini sudah lewat tengah malam, Navy dan kawanannya masih keliaran di sekitar rumah Wilis. Mereka menghabiskan daging-daging mahal di panggangan, tergelak dengan berisik, membuat kacau rumah Wilis dengan kelakuan hedonis mereka.

Kak Zamrud garuk-garuk kepala dan duduk termenung di anak tangga terbawah, tidak bisa pulang karena mobil yang diparkirnya di halaman terhalang oleh selusin sepeda motor milik Navy dan kawanannya. Olive juga duduk di sana, di samping Kak Zamrud sambil memangku Denim, memasang wajah kosong sementara Navy bersandar ke pegangan tangga dan mengoceh tentang anak-anak kelas 1 yang pernah dihajarnya.

Wilis memutuskan sambungan. Aku mengangkat alis. "Bagaimana?"

"Kabar baiknya, sepupuku masih di kantor polisi." Wilis terdiam sebentar, lalu mengernyit sendiri saat menyadari ada yang salah dengan kalimatnya. "Maksudku, kasusnya belum selesai. Tampaknya pemilik kandang ayam yang ditabraknya pakai motor masih tidak mau damai. Tanteku dan anaknya itu tinggal berdua karena Om-ku masih melaut, jadi ayah dan ibuku ke sana untuk membereskannya, kemungkinan bakal makan waktu semalaman—syukurlah. Bukannya aku tak punya hormat pada ayam-ayam yang ditabraknya atau musibah yang menimpanya, tapi aku bersyukur sepupuku berulah di saat seperti ini!"

"Ya ...." Aku memandangi lemari pajangan yang acak-acakan, karpet ketumpahan limun, sofa dan meja dipenuhi jejak sepatu karena ada dua anak sinting yang berdansa di atasnya. Musik yang tadi sudah kupelankan sudah dikencangkan kembali. "Orang tuamu bakal membunuhmu kalau melihat ini."

"Kenapa cuma aku?!"

Aku mengangkat bahu. "Karena aku anak emas sekaligus anak orang—paling-paling mereka hanya menasihatiku. Dan Olive memang jago memelintir kenyataan sambil menangis—aku jamin orang tuamu malah jadi iba padanya, soalnya kadang dia memberi efek macam itu, bahkan padaku. Jadi ... kusarankan kau menyembunyikan kartu keluarga sebelum ibumu mencoret namamu dari sana."

Di lantai atas, aku bisa mendengar suara-suara menyerupai ringisan—entah itu Annemie atau Kinantan. Terakhir kucek, Kinantan sedang duduk memeluk lutut dan tubuhnya bergoyang maju mundur seperti orang depresi. Annemie sendiri meringkuk di antara dinding dan meja pajangan, menutup kedua telinganya dengan tangan dan mengomel, "Kecilkan musiknya! Aku tidak suka! Suruh mereka diam! Atmosfernya bikin ruhku sakit!"

Di bawah lantai, tepatnya di gudang semi-basement yang angker, keadaan tidak lebih baik. Aku bisa merasakan semua penghuninya menandak-nandak, gelisah, dan marah. Perubahan ekstrem pada suasana rumah dan ketidaksesuaian dengan kebiasaan mereka membuat semua penghuni di sini terganggu.

Sementara Wilis berlari ke ruang tengah seperti kesetanan, melarang anak-anak kelas Navy memainkan koleksi mobil miniatur milik ayahnya, aku berjalan ke arah tangga sambil sesekali menunduk menghindari bantal-bantal sofa yang beterbangan. Bahkan satu kali, sepasang sepatu tali melintas lewat di atas kepalaku, entah apa yang dilakukan anak-anak iblis itu.

Ketika aku menghampiri mereka, Navy sedang membandingkan Olive dengan mantan-mantan pacarnya (mantan pacar Navy, kalau dikumpulkan semua, bisa membuat perkampungan baru). Dia memuji-muji Olive dengan kata-kata yang membuatku muak, sedangkan gadis itu memangku dagu dengan sebelah tangan, tidak repot-repot menyembunyikan tampang jenuhnya.

"Kapan kalian pulang?" tanyaku ketus.

"Tidak sampai kau pulang," jawab Navy. Jari tangannya yang besar-besar mencolek rambut Olive sampai gadis itu tersentak menjauh. "Mana bisa kubiarkan kau di sini berduaan dengan baby-ku."

Olive menggeleng-geleng marah. "Berani-beraninya Kakak memanggilku babi."

Meski mungkin itu hanya alasan, Olive mendapat kesempatan untuk berderap naik ke kamarnya dengan tampang jengkel. Denim berkedut-kedut di tangannya, gundah oleh suara musik yang makin lama makin kencang. Kuping kecilnya menegak dan bergoyang-goyang saat ada barang-barang yang pecah ke lantai.

"Bukan itu maksudku, Babe!" Navy berteriak, tetapi Olive sudah menghilang di puncak tangga. Sambil menyengir tolol, Navy berkata, "Yah, dia memang cantik banget, bodinya proporsional. Sayang sekali agak bego. Tapi kurasa ada untungnya, lho, kalau memacari cewek yang bisa dibodoh—"

Sebelum dia merampungkan kalimatnya, aku sudah meninjunya di muka.

Navy terhuyung-huyung ke belakang, memejam, menggeram, tangan besarnya memegangi hidungnya yang berubah bentuk. Aku? Seharusnya aku bisa berdiri menantangnya dengan keren, tetapi dengan menyesal kuakui bahwa aku meloncat-loncat sambil mengibaskan tanganku yang mati rasa.

"Grey!" Kak Zamrud berdiri kaget dari tempatnya duduk, mencoba menghampiriku, tetapi Navy sudah menerjangku ke lantai.

Navy dan aku bergulingan sampai ke karpet, membentur meja, membuat anak-anak gadis memekik dan para cowok bersorak. Kurasakan cahaya menyambar—beberapa anak mulai merekam.

Sudah bertahun-tahun sejak Mama pertama dan terakhir kali memukuli pantatku gara-gara aku berkelahi sampai membuat temanku berdarah, waktu itu umurku 9 tahun. Kalau aku sampai viral, Mama tidak akan pikir panjang untuk melakukannya lagi. Maka, dengan cepat, aku mendorong Navy dan mencoba lari dari bawah sorot kamera, tetapi lelaki itu mengapit pinggangku dengan kakinya dan membantingku.

Kurasakan ada seseorang yang melompat ke atas kami, mengalihkan perhati Navy hingga aku bisa melepaskan diri. Saat aku membuka mata—yang entah sejak kapan sudah bengkak sebelah—kulihat Wilis bergabung ke pertempuran. Bersama-sama, kami menggulat Navy Nalayudha sepenuh hati.

"Curang! Dua lawan satu!" Navy berteriak, padahal dia hampir mampu mengimbangi kami berdua dengan tangannya yang berat dan kakinya yang panjang.

"Dua lawan satu apanya, hah? Lihat ukuran badanmu!" Aku memiting tangannya susah payah. "Tiga orang Wilis muat di dalam lambungmu sendiri!"

"Dasar gembrot jahat!" Wilis memanfaatkan ini untuk melampiaskan dendam pribadi yang disimpannya sejak ospek SMA. "Badak raksasa! Kudanil mutan! Dugong pun malu bersaudara denganmu! Ini untuk uang jajanku yang kau palak sejak kelas 1 dan hidungku yang kau buat mimisan semester lalu!"

Kerumunan mulai terbagi dua—yang mendesak Navy untuk bangkit dan menggepengkan kami berdua, dan yang mendukungku dengan Wilis.

Tepat ketika aku hampir bisa membuat Navy memohon-mohon agar aku melepaskannya, sudut mataku menangkap kelebatan di dapur: dua orang cowok, kukenali salah satunya dari kelas Navy dan yang satu lagi teman sekelasku sendiri. Mereka baru saja keluar dari pintu gudang semi-basement yang terbuka, terseok-seok mengangkut karung bernoda tanah yang robek di sisinya, menyembulkan pendar emas patung-patung pajangan milik Kinantan.

"Hei!" Aku teralih. Aku lengah. Tiba-tiba saja, ada yang menghantam kepalaku dari belakang, yang sepertinya adalah kaki berotot tebal Navy. Dia membalikkan posisi, menekanku ke lantai, membuat napas melesak keluar dari paru-paruku. Lalu, Wilis juga terbanting di sisiku.

"Teman-teman, lihat apa yang kutemukan di gudang joroknya Wilis!" Kudengar teriakan girang dari koridor dapur, mendekat ke arah kami. "Ini keren banget!"

"Dasar bodoh—jangan bilang-bilang! Sudah kubilang, 'kan, kita mesti langsung pulang lewat belakang! Ini kita bisa bagi dua saja!"

Situasi jadi di luar kendali saat itu. Navy melepaskan kami dan tampak terpukau oleh pendar emas di ujung koridor. Wilis buru-buru berdiri, terseok-seok meneriaki dua cowok yang menggotong emas-emasnya. Kerumunan beralih, bergerak seperti ombak menyapu ruang tengah dan berduyun-duyun mengejar emas tersebut.

Entah apa yang terjadi selanjutnya, aku sibuk mengerang-erang di karpet, meraba dadaku yang sepertinya memar. Di atasku, Kak Zamrud tampak mengabur wajahnya, bibirnya bergerak panik, mungkin memanggil-manggilku.

Aku mendengus kesakitan, merasakan Kak Zamrud menyeretku di kaki, menjauh dari bagian tengah ruangan. Setelah kami menyingkir ke samping sofa, kerumunan anak-anak itu kembali melewati ruang tengah, mengejar-ngejar dua cowok yang masih berusaha melarikan emasnya.

Aku mengerjap. Kusadari anak-anak ini tampak ... berbeda. Tatapan mata mereka liar, gerakan tangan mereka seperti orang lapar yang sudah berhari-hari tidak makan dan mencoba meraih sekarung beras. Kaki mereka tersandung-sandung, beberapa yang terjatuh pun terinjak-injak dan berteriak. Bahkan, dua anak yang membawa karung emas itu kini sudah tidak tampak seperti teman-teman yang kukenali lagi—mereka terbahak, pandangan mata tidak fokus, dan tangan mereka yang kotor oleh tanah pun bernoda darah di sela-sela kuku mereka.

Wilis bergabung dalam arus manusia yang hilang akal tersebut. Sudut bibirnya berdarah bekas dihajar Navy, dan dia tampak tidak peduli sama sekali.

Aku buru-buru bangun, menyelip di antara kerumunan yang berlarian, mencengkran sweter Wilis, menariknya paksa ke pojok ruangan, di mana Kak Zamrud tampak syok.

"Emas itu!" Wilis berteriak padaku. Kelopak bawah matanya membiru, tangannya mengepal begitu kuat. "Emas itu milikku! Beraninya mereka—"

Kuraih gelas limun di meja dan menyiramkannya ke wajah Wilis. Sementara dia megap-megap, aku meregangkan jari-jari tangannya yang tergenggam, menampar pipinya dua kali, memanggil namanya sampai sepuluh kali, sampai akhirnya Wilis tampak sadarkan diri lagi.

Wilis meringis, mencoba berguling ke samping, tetapi badannya pun dipenuhi memar. Matanya setengah memejam. "Uh ... badanku. Aduh, rasanya aku bermimpi tidur di pangkuan Mbak Hantu Cantik."

Aku tidak sampai hati memberitahunya bahwa itu pangkuan Kak Zamrud.

Jeritan terdengar lagi, kali ini lebih nyaring. Aku memberi tahu Kak Zamrud untuk menjaga Wilis sebentar, lalu berlari ke arah dapur. Di sana, kerumunan teman-teman sekolahku berteriak histeris, beberapanya membeku, tetapi itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan emas.

Mereka ketakutan karena salah satu anak lelaki terbaring di lantai dengan darah menggenang dari kepalanya, matanya membelalak ke langit-langit, kakinya berada di antara genangan minyak dan tepung yang sebelum ini ditumpahkan Denim dan belum sempat kami bereskan. Tampaknya anak itu terpeleset. Namun, bukan hanya itu—dinilai dari jejak-jejak sepatu di bagian perut dan dada bajunya, tampaknya dia sempat terinjak-injak oleh teman-temannya sendiri. Di pojok dekat konter, salah satu teman sekelasku memeluk sekarung emas Kinantan, matanya bergerak liar menatap teman kami yang terbaring dengan kepala berdarah.

Dapur dipenuhi tangisan dan jeritan panik. Saat itulah perkakas dapur mulai bergerak sendiri, melayang, menambah pekikan dan histeria massal. Api-api kompor gas menyala sendiri, kulkas berguncang, dan bumbu dapur mulai berpusing menjadi badai. Di sisi lain dapur, kudapati sosok Annemie yang wajahnya bercahaya biru kelam dengan paras meradang. Kakinya melayang setengah meter di atas lantai, rambutnya beriak, luka tembaknya mengucurkan darah.

"Kenapa tidak berhenti juga?!" pekik bocah itu dengan suara setajam belati. "Aku menyuruh kalian berhenti!"

Aku mengulurkan satu tangan ke arah Annemie. "An ... tenangkan dirimu."

"Grey!" Wilis memanggil putus asa di ruang tengah. "Grey!"

Ketika aku menoleh, menyebrangi koridor, tampak Kinantan yang melayang di depan anak tangga. Gaunnya berubah warna dari krem kalem menjadi semerah darah. Kepalanya terteleng dan berkedut-kedut, matanya menatap nyalang ke arah lelaki yang memangku karung emasnya.

Satu tanganku masih berusaha meraih Annemie, tetapi kini aku juga harus membagi perhatian pada hantu marah di bawah tangga. "Kinantan, tunggu ...."

Seolah merespons kemarahan mereka berdua, pijakanku mulai bergetar. Ada suara cekikikan dan isak tangis di bawah tanah. Samar, terdengar keributan di telingaku seperti percakapan tumpah tindih dalam berbagai bahasa asing, lalu suara letusan senjata. Annemie menjerit marah dengan matanya yang mengeluarkan darah; Kinantan meluncur maju di sepanjang koridor sambil membawa hawa panas mematikan. Udara berdenyar, tumpahan minyak menggelegak di lantai seperti dipanaskan, benda-benda berbahaya berpuntir ke dalam badai poltergeist.

Aku menyingkir ke tepi dan merunduk saat angin mengamuk di dapur, koridor, hingga ruang tengah. Anak-anak lainnya berlarian keluar, saling tabrak, saling injak. Aku mengendus bau yang khas ... seperti alkohol. Apa ini—etanol?

Bau gas. Bau hangus juga. Hidungku mengendusnya sebelum merasakan panasnya. Saat itulah aku jadi teringat barang-barang yang tumpah di dapur, yang tidak sengaja disenggol Olive, yang terinjak-injak oleh kerumunan sebelum ini, dan ... apakah ada yang ingat membereskan panggangan sehabis barbecue?

Lalu, aku teringat suara ibunya Wilis dari telepon: Jangan bakar rumah, oke?

Tiba-tiba saja semburan panas menyengat badanku. Kak Zamrud muncul di sisiku, menarikku menjauhi dapur. Bisa kudengar suara berat napasnya, tetapi dia tetap berusaha memegangiku. Dia menyeretku menuju koridor karena, di seberang sana, pintu menuju ke pekarangan belakang sudah diblokade oleh api. Tirai-tirai habis dilalap api, dan nyala si jago merah mulai menjalar ke kompor. Di dekat sana, Wilis masih berusaha memutus jalur api menuju kompor gas dengan seember air.

"Wilis!"

Dia terpeleset, tetapi berhasil memutus jalur api ke kompor gas. Tentu saja arah angin akan segera berubah, membawa carikan tirai yang membara dan api akan mulai menjalar lagi ke arah benda-benda yang bisa meledak.

"Olive!" Wilis berteriak. "Olive masih di atas!"

"Aku di sini!" Kami menoleh ke arah suaranya dan dengan lega mendapati gadis itu di undakan pertama, menggendong Denim yang gemetaran.

Kami berlari ke arahnya, diikuti api yang menjilat-jilat dari belakang. Mati-matian aku berharap api belum menyambar tabung gas di dapur. Tentu saja saat itu pun aku sudah bisa mendengar desisan gas di antara retih api.

"Harus ke atas!" Olive menunjuk ke puncak tangga, di mana tampak kaki-kaki beberapa teman kami yang berlarian, termasuk kaki gempal berbalut sepatu kulit milik Navy. Gadis itu terbatuk sekali, lalu menunjuk ke sekitar kami yang diwarnai corak merah-kuning menyala. Pecahan kaca jendela memberi bahan bakar pada kobaran, dan panasnya yang meningkat memecahkan lebih banyak kaca. "Sudah tidak bisa ke pintu—harus lewat balkon depan!"

Kak Zamrud terbatuk dengan suara keras yang mengkhawatirkan. "Hubungi pemadam—"

"Sudah!" Olive berteriak seraya membimbing kami ke atas. "Begitu mencium bau hangus, aku langsung teringat Denim menumpahkan macam-macam di dapur, dan dari jendelaku aku melihat api muncul dari panggangan di pekarangan belakang. Aku langsung minta pertolongan."

Begitu kami mencapai puncak tangga, kerumunan yang panik berebut untuk berada paling dekat dengan balkon. Namun, orang-orang tidak berguna paling depan itu justru ragu-ragu hendak melompat—jarak antara balkon depan ke pepohonan tidak begitu dekat, jadi siapa pun harus punya tangan yang panjang atau lompatan akurat jika mau selamat.

"Olive—kau mau ke mana?!" Wilis berteriak, Denim di bahunya. Ketika aku berbalik, Olive tengah menuruni undakan lagi.

Aku bergegas ke arah tangga, menarik Wilis dan memaksanya tetap di atas. Ketika aku melongok ke bawah, memicingkan mata di antara asap hitam pekat, kusadari alasan Olive kembali: Kak Zamrud masih di undakan pertama, tersengal-sengal dengan suara tersiksa dan berlutut mencari sesuatu. Wajahnya coreng-moreng oleh jelaga, matanya mengerjap-ngerjap kebingungan; kacamatanya tidak ada.

Tersandung-sandung, aku menyusul ke bawah, memaksa Kak Zamrud bergerak tanpa kacamatanya—benda itu mungkin sudah pecah atau dilalap api. Dengan Olive menyangga tangan kanannya, dan aku di tangan kirinya, kami membimbing Kak Zamrud bergerak menaiki anak tangga.

"Inhaler-ku ...." Kak Zamrud menarik napas, membuat bunyi tercekik nyaring. Mulutnya megap-megang mengais udara. "Inhaler-ku tidak ada ...."

Kerumunan sudah jauh berkurang saat kami di atas. Tersisa tiga orang di balkon, dan mereka langsung melompat saat kami muncul.

Kubiarkan Wilis mengambil alih Kak Zamrud, memapahnya menuju balkon depan. Aku sendiri segera menyambar mangkuk antik dari atas meja pajangan, berbisik samar, "Annemie?"

Tidak ada jawaban. Mangkuk itu terasa kosong.

Aku menyusul yang lainnya ke balkon. Kak Zamrud sudah setengah pingsan dan kepalanya terdongak. Olive mempertahankan pegangannya pada Kak Zamrud, menolak melompat lebih dulu—gadis itu meneriaki Navy dan kawanannya di bawah sana, memaksa mereka berbaris untuk menangkap Kak Zamrud. Wilis mengamankan Denim ke dalam sweternya, lalu menggeliat sendiri, tetapi dia bertahan.

Kami memastikan Kak Zamrud turun lebih dulu, tanpa cedera, dipegangi oleh Navy dan kawanannya yang memanjati pohon demi menyambutnya. Dari jalanan, bunyi sirene meraung-raung. Cahaya yang berputar-putar dari lampu mobil pemadam menyambar wajah kami.

Dengan mata berair, tubuh pegal, napas sesak, kulit dan baju berbalur jelaga, kami melompat dengan putus asa. Tepat pada satu itulah, terdengar suara ledakan dari dapur.

Aku tidak tahu apakah pegangan kami terlepas, atau ini karena dorongan panas dari ledakan, atau kami cuma sial—aku dan Wilis mematahkan dahan-dahan pohon, tergores-gores, tuli untuk sesaat. Telingaku mendenging.

Begitu aku membuka mata, aku sudah terbaring di tanah berumput dekat undakan menuju teras depan. Ranting menancap di lengan kananku. Di atas lengan kiriku yang terentang, ada kepala Olive yang terkulai, rambutnya menutupi wajahnya, tetapi aku bisa melihat darah di antara helaiannya, mengalir dari telinganya. Tangannya melepuh di atas dadaku.

Wajah Wilis muncul di atasku, matanya yang sembap bolak-balik menatapku dan Olive. Lalu, bola mata Wilis bergetar, tidak fokus. Rona gelap darah menempel di sisi wajah dan pelipisnya. Dia menelan ludah dengan susah payah, bibirnya bergerak mengucapkan sesuatu, sebelum kemudian matanya berputar ke atas. Wilis jatuh menimpa adiknya yang tidak lagi bergerak.

Langit berputar, pandanganku mengabur. Wajah berbulu Denim muncul, kumisnya bergerak-gerak, hidungnya menyundul pipiku. Aku tidak bisa mendengar atau pun melihat dengan benar, jadi aku mengira aku pasti salah dengar, tetapi seolah aku bisa mendengar jeritan dan tangisan Kinantan di dalam rumah yang terbakar.

(*゚ー゚*) Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro