2 Desember 2013

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Warning:

Cerita ini diikutsertakan event MWM oleh NPC2301
Dengan target tamat dalam sebulan

Akan ada banyak typo, plot hole, dan segala macam anu
karena dikerjakan tanpa proses semedi lebih dulu


Mohon maap jika hasilnya kurang memuaskan ;-;
Jika ingin bantu razia typo dan anu-anu, silakan komentar
I'd really appreciate it

Aku bersumpah tidak akan mencampuri jalinan sakral semesta lagi—12 tahun telah berlalu pasca kejadian di belakang bangunan TK itu, dan aku masih bermimpi buruk tentangnya. Namun, kadang aku juga bisa terpeleset, lalu mengacaukan beberapa hal.

Nah, sumpah yang kuajukan di awal paragraf atas itu; sumpah itu kuingkari hari ini. Hanya karena aku tidak mau melewati pergantian tahun baru seorang diri

Ya ... sebetulnya ada Annemie dan kucingnya, Obsidian, di rumah, tetapi aku tidak mau menghabiskan tahun baru dengan mendengarkan lolongan mereka berdua. Jadi, aku setuju membantu Wilis berburu harta karun.

Kalian bingung? Aku juga. Mari kita mundur sedikit ke beberapa jam lalu, saat teman sebangkuku bersikeras ada ular naga di halaman belakang rumahnya.

Jika pembagian raport tinggal menghitung hari, dan tidak ada lagi guru yang mengisi kelas, akan tampak para siswanya yang terbagi jadi dua sekte: 1) yang mendekam di rumah karena tidak ada gunanya ke sekolah, dan 2) yang malah jadi lebih bersemangat ke sekolah untuk kelayapan. Aku yang kedua.

Mayoritas anak cowok bermain bola di lapangan (aku di sini), anak-anak cewek menongkrong di kantin untuk mengobrol, dan sekelompok anak lainnya bermain kartu dan gitar di bagian belakang kelas.

Wilis—teman sebangkuku selama setahun ini—hampir mampus diganyang kartu +4 saat aku menghampirinya untuk mengajaknya bergabung ke lapangan. Dengan senang hati dia angkat kaki dari formasi melingkar di belakang kelas, mencampakkan kartunya, dan tertawa menanggapi protes semua lawan main yang ditinggalkannya.

"Untung kau panggil." Dia mengamati lapangan, di mana beberapa anak lain tengah menungguku. "Kenapa jadi kurang orang? Tadi, 'kan, anak kelas IPA 2 juga ada yang ikutan."

"Ada Navy di lapangan." Aku mengedik ke arah anak laki-laki berbadan besar kekar dengan kepala kekecilan. Dari jauh, Navy Nalayudha seperti tak punya leher—hanya kepala bundar berambut tipis yang ditempel begitu saja ke antara kedua bahunya.

Wilis tersaruk sedikit. "Oh ...."

Navy sebetulnya tidak sepandai atlet atau apa. Kemampuan olahraganya rata-rata saja. Malah, dia tidak lebih cepat dari Wilis saat lomba lari. Namun, Navy punya otot dan badan serupa gentong baja. Tangannya pernah melempar seorang anak melampaui pagar setinggi satu setengah meter, yang hanya diganjar dengan seminggu skors meski korbannya dirawat sebulan penuh—soalnya Navy anak kepala sekolah. Dan, entah apa yang salah di kakinya itu; tiap kali dia menendang, bola sepak mendadak menyerupai bola tolak peluru yang ditembakkan dengan meriam. Jadi, jika dia menendang, keputusan yang layak diambil seorang penjaga gawang adalah mengalah dan membiarkannya jadi gol ... atau pulang dengan permak wajah.

Karenanya Navy tidak pernah ikut pertandingan resmi. Olahraga dengan peraturan tidak cocok buatnya. Dia seperti raja hutan dalam rimbanya sendiri. Namun, dalam permainan di jam kosong macam ini, tidak ada yang berani menolaknya masuk. Lagi pula, selama bola tidak mendarat di depan kakinya, nyawa kami aman sentosa.

"Toska langsung salah urat habis ditabraknya," kataku sambil menyengir pada Wilis. "Masih mau main?"

Wilis menoleh kembali ke kelas, mungkin menimbang-nimbang antara risiko dapat +4 atau dijegal Navy. Dia lalu berdecak, "Main."

"Kenapa aku main?!" Wilis mengerang-erang sembari mempertahankan tisu di bawah hidungnya yang bengkak dan mengeluarkan darah. Ranjang UKS berderit di bawahnya saat dia membenarkan posisi duduk. "Orang macam apa yang menghentikan tackle dengan membanting lawan dan menyikut mukanya?!"

"Orang yang mengira futsal boleh dikawinkan dengan gulat?" Aku mengajukan. Sembari menarik-narik kerah baju kaus, aku pasang badan di depan kipas angin meja. "Kalau kita main American football, Navy turun sendirian pun pasti menang."

"Kau tidak kena tubrukannya sama sekali." Wilis berujar tidak terima. Jeda sesaat oleh ringisan, dia melanjutkan, "Padahal dia sepertinya selalu datang ke arahmu seperti orang dendam lama."

"Masa?"

Wilis baru akan berucap lagi saat seorang anak perempuan muncul di depan pintu ruang UKS. Tangannya memeluk ransel Wilis ke dada serta tas selempangnya sendiri di bahu, jaket merah mudanya diikat ke sekeliling pinggulnya, rambutnya yang ikal sebahu dijepit ke belakang telinga, dan matanya yang cokelat terang membesar saat melihatku. Gadis itu membuka mulutnya sesaat, lalu memasang cengiran malu-malu. "Hai, Kak Grey."

"Olive," sapaku.

"Wilis." Temanku menunjuk dirinya sendiri dengan nada jengkel. "Ol, sinikan tasku."

Olive mengamati kakaknya selama beberapa detik, lalu melangkah masuk, masih bersepatu, sambil meringis. Mendekatiku di depan kipas angin, gadis itu bertanya, "Wajahnya kenapa?"

"Aku di sini!" gerung Wilis seraya mengganti tisunya. "Kenapa kau tanya ke Grey?"

"Mau modus." Olive mengakui, lalu duduk di sampingku begitu saja. Di menjatuhkan tas Wilis dan tasnya sendiri ke lantai. "Jadi, mukanya Wilis kenapa?"

"Dicium Navy Nalayudha." Sebelum Olive memekik atau Wilis menyanggah, aku langsung menambahkan, "Pakai siku."

Olive terkikik, lalu berhenti saat mendapat pelototan Wilis.

"Betul, 'kan, yang kubilang!" Wilis menunjuk-nunjuk ke arah adiknya. "Sejak dapat mimpi ular naga itu, aku kena sial terus! Tadi aku hampir di-+4 waktu main kartu, sekarang Navy!"

"Itu cuma kebetulan. Yang namanya nasib buruk pasti ada—tidak peduli kau mimpi diseruduk badak atau ditampar bekantan sekali pun." Olive mendengkus. "Aku penasaran, Wil—sejak dulu kau, 'kan, tidak pernah percaya yang seperti itu? Kau malah menertawakanku karena ketakutan waktu kita nonton film Susana. Kenapa belakangan jadi percaya sekali sama takhayul?"

Wilis melirikku, membuatku mengalihkan pandang kembali ke kipas angin.

"Lucunya—dulu kau sering menakut-nakutiku kalau aku tidak berani ke toilet sendirian malam hari. Sekarang, giliranku melakukan itu." Olive mengoceh ceria. Tangannya merogoh tas selempangnya dan mengeluarkan sebuah wadah makan persegi. Dia membuka tutup stoples, memamerkan lima kue sus gemuk-gemuk di dalamnya, lalu menyodorkannya padaku. "Kak Grey mau?"

Makanan gratis haram ditolak, jadi aku mencomot satu. "Thanks."

"Tadi pagi, waktu kita masih di rumah, aku mau minta satu tapi tanganku kaupukul! Kenapa Grey malah dikasih begitu saja?!" Wilis turun dari atas ranjang UKS. Tisu-tisu bekas darahnya berceceran ke lantai. "Sudah kuduga, ini gara-gara ular naga!"

Aku menelan kue sus dengan susah payah, lalu bertanya, "Apa hubungannya?!"

"Wilis bermimpi didatangi ular naga entah berapa malam yang lalu," kata Olive seraya memutar bola mata. "Sejak itu dia tidak mau diam! Ular naga terus, harta karunlah, nasib sial—"

"Ular naga itu mencekikku pakai ekornya!" Wilis menyambar salah satu kue sus dalam stoples, tetapi tidak bisa langsung memakannya karena bekas darah yang mengering di atas bibirnya. "Makhluk itu bicara padaku—katanya, ada emas terkubur di halaman belakang rumah kami! Emasnya tidak boleh digali sampai malam ke-40 pasca aku mendapat mimpi itu—artinya tanggal 3 Januari nanti! Kalau digali sebelum 40 hari, katanya aku bakal sial; kalau terlambat digali, aku juga kena sial."

"Dan dia sungguhan mencoba menggalinya semalam." Olive mencengkram lengan atasku. "Konyol banget, 'kan, Kak?"

"Ya, lihat apa yang terjadi,"—Wilis menunjuk hidungnya yang bengkak—"karena aku mengingkari mimpi itu! Aku bahkan belum menggali—aku tidak tahu posisi pastinya di mana, tapi kesialannya sudah berdatangan. Artinya, kalau lewat 40 hari nanti aku tidak menemukan emasnya, aku bakal kena sial yang lebih lagi!"

Olive sampai berdiri dan menjungkalkan kursinya. "Itu cuma kebetulan! Tidak ada jaminannya kau sial gara-gara mimpi itu!"

"Tapi, kau juga nggak punya jaminan aku tidak bakal kena sial kalau nanti terlambat menggalinya!"

"Kalau begitu, coba saja nanti gali lagi! Aku bakal tertawa paling depan kalau emas yang dimaksud naga itu cuma eeknya Denim!" Olive menoleh padaku dan memasang wajah manis. "Denim itu kucingku, omong-omong. Kak Grey suka kucing, 'kan? Coba nanti sekali-sekali lihat ke rumah—"

"Masalahnya, aku tidak tahu lokasi menggalinya! Kecuali ada cenayang yang—" Wilis berhenti, lalu menatapku.

Tindakan itu kurang lebih membuatku balas memelototinya. Sesekali aku melirik ke arah Olive, memberi isyarat singkat pada Wilis bahwa ada adiknya masih di sana. Namun, Wilis tampaknya hilang akal sejak mimisan—entah otaknya ikut merembes keluar lewat lubang hidung atau apa.

"Grey." Wilis mencengkram bahuku. Bekas darahnya memeper ke kausku. "Menginaplah di rumah kami tahun baru nanti. Temani aku menggali harta karun yang dijaga ular naga itu."

"Ogah," jawabku seketika.

Aku meraih kemeja sekolahku yang menggumpal di atas meja, bersiap memakainya, tetapi Wilis menyambarnya dan melemparkannya ke wajah Olive.

Olive menatap kemejaku dengan takjub, lalu melicinkannya di tangannya dengan hati-hati, membuat punggungku dirayapi rasa merinding yang luar biasa. Ketika dia memergoki tatapanku, Olive buru-buru melemparkan kemejaku ke atas ranjang UKS sebelum tersipu sendiri.

"Emas, lho, Grey," bujuk Wilis lagi. "Cuma empat hari. Kita menggali di tanggal 3—tanggal 4-nya kau bakal kutraktir habis-habisan meski emasnya tidak ketemu sekali pun."

"Aku, sih, setuju saja kalau Kak Grey mau main sampai menginap di rumah." Olive berucap dengan wajah bersemu merah. Kakinya melonjak-lonjak.

"Kita bakal bikin barbecue, pakai daging dan jagung dan semua yang kamu request—aku belikan."

Aku mengerjap. Oh, sial. Aku jadi kepingin.

"Minuman dingin," rayu Wilis setelah menyadari aku tergoda. "Gorengan, keripik, burger ... apa aku sudah bilang Olive jago masak?"

Olive mengangguk-angguk semangat.

Aku menimbang-nimbang. Tidak ada ruginya, sih. Kalau aku menolak, memang apa yang bakal kulakukan malam tahun baru nanti selain memakan mi instan dan menonton film tengah malam dengan Annemie?

"Oke ..." kataku, sampai Wilis berseru menang. "Tapi, aku mesti menghubungi ibuku lebih dulu untuk minta izin meninggalkan rumah kami kosong di tahun baru."

"Kak Grey—"

"Grey saja," kataku jengah.

"Ya, Grey saja." Wilis menyetujui. "Seumur hidup, kau bahkan tidak pernah memanggilku 'Kak'."

"Kita cuma beda 11 bulan." Olive merengut. Ketika menatapku, senyum malu-malunya kembali. "Memang ibunya Kak—eh, ibunya Grey di mana?"

Meragu sesaat, akhirnya aku menjawab, "Di tempat kakek dan nenekku. Sejak ...." Aku menggaruk pipi, menghitung-hitung. "6 bulan yang lalu."

Olive mengerjap; aku baru memerhatikan bulu matanya begitu tebal, menyapu tulang pipinya yang tinggi. "Jadi, Kak Grey sekarang tinggal sama siapa?"

Aku mengangkat bahu. Sebetulnya ada Annemie, Obsidian, dan kadang kedua makhluk itu bawa teman. Namun, aku hanya bisa menjawab, "Sendiri."

"Kakakmu belum ditemukan?"

Pada titik itu, aku tidak tahu perubahan ekspresi wajahku sendiri. Namun, dinilai dari raut ketakutan Olive, dan caranya menunduk, sepertinya aku agak keterlalu menatapnya.

"Ma-maaf," bisik gadis itu. Suaranya mengecil hingga tak terdengar seperti dirinya yang selalu nyaring dan cerah.

"Tidak apa-apa," kataku. "Aku pulang, ya."

Aku mengambil kemejaku dan mengenakannya tanpa bersuara lagi, lalu beranjak ke kelas untuk mengambil tas.

(*゚ー゚*) Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro