3 Januari 2014

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Warning:

Cerita ini diikutsertakan event MWM oleh NPC2301
Dengan target tamat dalam sebulan

Akan ada banyak typo, plot hole, dan segala macam anu
karena dikerjakan tanpa proses semedi lebih dulu

Mohon maap jika hasilnya kurang memuaskan ;-;
Jika ingin bantu razia typo dan anu-anu, silakan komentar
I'd really appreciate it

Aku sudah cukup belajar dari pengalaman untuk tidak mencampuri hal-hal yang tidak membutuhkan campur tanganku. Celakanya, beberapa hal itu bisa saja menyangkut diriku sendiri.

Semisal aku bisa melihat kalau aku bakal dapat nilai jelek dalam ulangan, lalu aku malas belajar karena terbebani oleh pengetahuan bahwa kerja kerasku bakal sia-sia, dan nilaiku pun sungguhan jeblok; pada akhirnya aku menyesal kenapa aku malah tidak belajar dan mewujudkan nilai bobrok itu dengan tangan sendiri.

Semua kegagalan dan kemalanganku memberi beban dua kali lipat karena aku melalui dua fase depresi: sebelum ia terjadi, dan saat ia sungguhan terjadi. Padahal beberapa hal memang tidak dapat dihindari, termasuk kegagalan.

Lagi pula melihat segala kemungkinan sebelum ia terjadi tidak sepraktis yang orang-orang bayangkan. Mengerikan, malah. Kemungkinan-kemungkinan itu tidak punya batas. Kadang kau bisa menunda atau menghentikan hal-hal buruk jika kau bekerja cukup keras, tetapi beberapa hal telah digariskan untuk tetap terjadi bagaimana pun caranya.

Pilihan tersulitku terjadi beberapa tahun lalu saat aku melihat akan terjadinya sebuah kecelakaan pesawat. Ada dua orang tetanggaku di dalamnya—seorang mahasiswa yang pergi bersama ibunya untuk menemui pacarnya di Pulau Sumatra. Jika aku menghentikan keduanya, kursi kosong mereka akan diisi oleh sepasang suami-istri, yang akan meninggalkan empat anak mereka, dan salah satunya masih balita yang baru saja bisa berjalan.

Satu lagi: karena alasan konyol batal terbang ke Pulau Sumatra gara-gara dihentikan bocah di samping rumah (alias aku), si mahasiswa dan pacarnya akan berdebat panjang, kemudian putus melalui sambungan telepon tepat sebelum pesawat lepas landas. Dua nyawa terselamatkan; digantikan dua hati yang patah dan empat anak yatim piatu.

Maka, kubiarkan dua tetanggaku terbang menjemput ajal bersama puluhan penumpang lainnya. Pada dasarnya, apa pun yang akan terjadi, alasannya cuma satu: si mahasiswa dan pacarnya di seberang sana tidak pernah ditakdirkan bersama.

Aku, sebagai pihak yang telah mengetahuinya, merasa buruk karena tidak mampu berbuat apa-apa. Jauh lebih mudah saat aku mengabaikan semua gambaran yang muncul di belakang mataku serta suara-suara dalam batok kepalaku, berpura-pura tak mengetahui apa-apa dan membiarkan semesta merangkai kisahnya sendiri.

Seorang sahabat yang memahami kondisiku kadang bisa menjadi pendukung dan penyokong. Namun, ada kalanya dia berubah menjadi sahabat laknat yang malah menjebloskanku ke situasi gawat.

"Aku hanya menemani," kutegaskan pada Wilis berulang-ulang malam itu. "Aku tidak bisa kasih tahu lokasinya. Kau harus cari sendiri."

"Oke," jawabnya mantap. Tak berapa lama kemudian, dia melirikku. "Kasih clue, dong."

Aku berdecak sambil menatap kegelapan. Pohon-pohon rimbun membentuk kanopi, menaungi tanah berkerikil dan rumput pendek, suara serangga mengisi udara dingin malam hari. Wilis mengangkat lampu minyak di tangannya, menerangi jalan ramping berbatu yang berkelok di depan kami.

Rumah dan halaman ini setidaknya berusia satu abad, dengan berbagai macam perombakan sana-sini dan kepemilikan yang berpindah-pindah tangan puluhan kali, hampir tidak pernah bertahan lebih dari satu generasi. Namun, ada beberapa bagian yang masih sama seperti kondisi aslinya—fondasinya, misal, juga lantai satu yang kini berubah menjadi semacam gudang bawah tanah.

Karena jalanan serta permukaan tanah di sekitarnya terus meninggi, bagian asli dari rumah yang tidak dihancurkan pun tenggelam ke bawah, menjadi semacam semi-basement dengan seperempat bagian atasnya muncul ke permukaan sebagai dinding bata yang dari luar tampak seperti fondasi. Jendela-jendela di ruangan yang terbenam ke tanah itu dicopoti kacanya, lalu disemen dan ditambal dengan bata serta plester. Bagian rumah yang dulunya adalah lantai dua kini menjadi lantai satu dengan undakan landai yang terhubung ke terasnya; terdiri atas ruang tamu, ruang keluarga, kamar mandi, dan dapur.

Lantai dua adalah empat kamar tidur, dua kamar mandi, dan lorong panjang yang mengarah ke balkon panjang yang menghadap ke arah depan. Masing-masing kamar tidur memiliki langkan, dua di antaranya—kamar Wilis dan kamar Olive—menghadap halaman belakang yang luas dan segelap hutan. Beberapa lampu tidak menyala di sana.

Orang tua Wilis bukan orang kaya, hanya sepasang suami-istri biasa dengan usaha restoran keluarga kecil-kecilan di seberang jalan. Namun, kakek-neneknya dulu pengusaha batu bara. Maka bisa ditebak saat keduanya wafat, warisan dibagi—anak tertua meneruskan usaha, anak kedua mewarisi rumah megah di pusat kota yang jarang didiaminya karena bekerja sebagai nakhoda, sedangkan ayahnya Wilis mendapat beberapa aset lain alias sisa yang kemudian dijualnya untuk membeli rumah besar ini tanpa tahu makhluk macam apa yang menghuninya. Atau sejarah yang bersembunyi di bawahnya.

Aku mendongak, mengamati teras lantai dua di kamar Olive. Seorang gadis cantik bergaun krem dengan rambut hitam berombak tengah duduk di atas pagar langkannya. Wajahnya pucat, dengan noda darah di bawah telinganya, tetapi wajahnya amat sangat cantik hingga kadang kudapati diriku menatapnya tanpa sadar. Tampaknya seseorang mencoba menggoroknya, tetapi gagal, dan gadis itu tewas akibat kehabisan darah dari lukanya. Dia sudah berada di sana sejak pertama kali aku main ke rumah Wilis tahun lalu, dan dia tidak pernah bergerak atau pun bicara. Matanya yang sendu dan penuh kesedihan seperti memantau sesuatu ....

Sekarang, aku yakin benar dia menatap satu titik di tengah-tengah halaman belakang.

"Ingat bebatuan dan pasak kayu yang dulu kutanyakan fungsinya apa?" Aku memulai, mengangguk ke kegelapan. "Yang kau bilang dulunya di sana gudang dan pondokan tukang kebun, tapi sudah dirobohkan?"

Wilis mengangguk. Tangannya memegangi dua sekop panjang berkarat. "Di sana, ya?"

"Tidak persis di sana," kataku. "Yah, pokoknya sekitaran itu."

"Jadi," kata Olive, yang masih berdiri di teras belakang, "Grey itu benar-benar ...?"

Wilis mengangguk-angguk. "Dukun."

"Enak saja."

"Cenayang." Wilis meralat. Dagunya mengedik ke pintu belakang, memberi isyarat pada adiknya. "Sudah sana, masuk."

Olive menggeleng. Tangannya menggendong Denim, anak kucing belang putih-kelabu yang baru berumur lima minggu. Kata gadis itu, "Aku mau menertawakanmu kalau emasnya tidak ada."

Wilis mengangkat sebelah alisnya. "Kalau emasnya ada?"

Olive terkekeh-kekeh dengan pipi ditempelkan ke tubuh kucingnya. "Aku minta bagian."

Kurasa orang tuanya Wilis beruntung—atau anak-anak mereka yang sial. Wilis kreatif dan artistik, Olive pintar dalam bidang akademis, sedangkan orang tuanya agak ... yah, tidak kreatif maupun pintar. Syukurlah mereka orang baik.

Ayahnya seorang pria pendek berperut bundar dengan rambut tipis dan hidung kemerahan berbintik-bintik. Saat mendengar kami mau menggali halaman belakangnya malam ini, pria itu sempat mengomel, tetapi malah tertarik begitu Wilis menceritakan emas dan naga di mimpinya.

"Emas?" seru si ayah dengan mata berbinar seperti mataku kalau ditawari martabrak gratis. Mata cokelat terang itu diwariskannya pada Wilis dan Olive, tetapi tatapan kekanak-kanakan itu tidak lolos seleksi untuk diturunkan ke anak-anaknya. "Di halaman rumah kita? Nah, sudah kuduga tidak salah pilih saat membeli rumah ini!"

Mendengar itu, istrinya mengeluh, "Tidak salah pilih?! Rumah persetan ini membuat kita mengeluarkan hampir dua juta hanya untuk tagihan listrik tiap bulan!"

Si ibu ini adalah wanita jangkung dengan kulit kecokelatan yang akhirnya menurun ke Wilis dan Olive. Rambutnya lurus seperti Wilis, sebahu seperti Olive. Dia wanita yang sangat cantik dengan kulit wajah mulus tanpa kerut dan senyum cerah saat masih muda—kebiasaan memarahi suami mengubah itu semua.

"Grey, Sayang," ujar ibunya Wilis seraya menangkap bahuku. Sorot matanya khawatir. "Jangan ikuti orang-orang ini. Kau boleh tidur cepat kalau kau mau."

Andai aku bisa ....

Tentu aku malah berakhir di halaman belakang rumah mereka, jadi tukang bawa sekop sementara Wilis memimpin jalan dengan memegangi lampu minyak, dan Olive sibuk menepuk nyamuk-nyamuk yang hinggap di lengannya. Denim si kucing kecil meringkuk dalam tudung jaket Olive.

Pohon-pohon yang membentuk kanopi berakhir tak jauh dari rumah, digantikan pohon-pohon lain yang tumbuh dengan cabang saling mengait. Halaman luas tanpa pengurus kebun dan orang rumah yang jarang berada di tempat? Jelas saja tempat ini berhantu.

Rumput meranggas di satu sisi lahan dan tumbuh subur setinggi lutut di sisi lainnya. Ada pagar kawat berkarat yang menyekat halaman berumput dengan lapangan berukuran kecil, dengan tiang basket di satu sisi dan net bulu tangkis melintang di tengah-tengah. Lapangan itu tidak pernah dipakai kecuali aku datang dan mengajak Wilis main basket. Aku pernah mengajak ayahnya main bulu tangkis di lapangan itu satu kali, yang membuatnya hampir mati kehabisan napas dalam kubangan keringatnya sendiri di dua menit pertama.

Intinya, lapangan itu benar-benar tidak berguna di sini.

Melewati lapangan basket/ bulu tangkis, kami jalan terus sampai mencapai spot kosong yang dikurung semak, pohon pepaya, dan bunga-bunga liar. Rumput setinggi mata kaki di sana, dengan bebatuan dan sisa pasak kayu hampir setinggi lutut. Bekas fondasi gudang yang diruntuhkan itu masih ada setengahnya.

Wilis mengangkat lampu minyaknya tinggi-tinggi. "Yang mana, Grey?"

Aku menjatuhkan sekop-sekopnya. "Kau cuma minta clue tadi."

"Besok kubelikan bucket ayam tepung porsi besar—"

"Di bawah pohon pepaya."

Wilis meletakkan lampu minyak di atas sisa fondasi yang lebur separuh, lalu meraih salah satu sekop di tanah. Alih-alih langsung menggali, pemuda itu malah menatapku sembari mengangkat alisnya.

"Apa?"

Wilis mendengus. "Kau kira kenapa ada dua sekop di sini? Aku tidak mungkin menggali sendirian."

Aku menatap sekop satunya yang masih menggeletak di tanah, lalu melirik tudung jaket Olive. "Kukira Denim mau belajar pakai sekop."

Olive menyentuh tudung jaketnya secara refleks. "Denim masih dibawah umur."

Kucing itu menyembulkan diri dari dalam tudung jaket, lalu melompat turun sebelum kemudian menggesek ujung sepatuku dengan sisi tubuhnya. Aku berjongkok, membiarkan si kucing kecil menggosokkan hidung di jari tanganku.

"Lucunya!" Olive melonjak girang. Untuk sesaat aku mengira dia membicarakan kucingnya, sampai kemudian dia berucap, "Jadi, tambah naksir, 'kan!"

"Ayo, dong!" desak Wilis. "Ini barang gaib! Kalau menggalinya sendirian, aku takut mati kena kutuk!"

Aku mengerutkan hidung. "Kau kira aku kebal mati?"

"Yah, setidaknya aku tidak mati sendirian."

"Aku tidak mau." Aku berdiri sambil menggendong Denim. Kuacungkan sekop pada Olive. "Kau, 'kan, naksir aku. Kau sajalah yang gali."

"Aku memang naksir kamu, tapi aku bukan bucin bodoh." Olive mendorong sekop di tanganku dengan lembut, lalu mengambil alih Denim dariku. "Kalau kau mati, Grey, aku akan mengenangmu pakai lilin-lilin wangi tiap malam, juga membuatkanmu puisi cinta dua kali setahun; di hari ultah-mu dan hari kematianmu."

Tidak ada pilihan lain; aku menyeret sekop malas-malasan dan ikut mulai menggali dengan Wilis. Olive duduk di atas gundukan batu di antara sisa-sisa fondasi, memangku anak kucingnya dan sesekali mengangkat lampu minyak untuk menerangi penggalian kami.

"Jangan terlalu ke sana." Aku memberi tahu Wilis tanpa mengangkat kepala. "Jangan di bawah batu-batu itu."

"Kenapa?"

"Tidak apa-apa."

Kami menggali selama hampir setengah jam. Galianku seperempat meter lebih dalam daripada Wilis karena dia terus-terusan berhenti untuk bernapas atau mengelap keringat. Baju kami kotor, udara makin dingin mendekati tengah malam, dan lampu minyak mulai meredup.

Sesekali Olive bercanda, "Kalau di film horor, biasanya sebentar lagi bakal ada yang terbang-terbang atau ketawa dari atas pohon pepaya."

"Olive!" Wilis berseru. Wajahnya merah dan butir-butir peluhnya tampak diterpa cahaya temaram kekuningan lampu minyak. "Kalau kau tidak bantu apa-apa dan cuma bakal mengoceh yang aneh-aneh, mending masuk!"

"Ke lubang?"

"Maksudku ke rum—" Wilis berhenti, lalu menatap lubang galian kami di bawah kakinya. "Boleh juga."

Olive diam untuk sesaat, mengelus kepala Denim yang begitu tenang, lalu dia menceletuk lagi, "Di saat-saat seperti ini, kalau Wilis kesurupan, pasti seru."

Wilis menghantamkan ujung sekop ke dinding tanah dekat kaki Olive menjuntai. "Sudah kubilang, jangan ngomong yang aneh-aneh! Lagi pula, kalau ada yang bakal kerasukan itu orangnya Grey!"

Untuk pertama kali sejak pertama memulai penggalian, aku berhenti. "Sembarangan!"

"Kau, 'kan, cenayangnya di sini. Biasanya anak seperti kalian bakal menjalin kontak dengan makhluk halus, lalu minta kopi pahit dan bicara pakai bahasa asing."

Olive mengulum senyum geli seraya menelaahku. Dia masih tidak percaya bahwa aku—mengutip Wilis—adalah cenayang. "Waktu Wilis cerita Grey itu anak indigo, aku kira malam ini kau bakal tampil pakai kalung kerang dan celak mata."

Wilis ikut mengamatiku. "Betul juga. Kau tidak pakai aksesoris macam itu dalam pencarian harta gaib macam ini?"

"Tidak, biasanya aku cuma pakai koteka," sanggahku sarkastis. "Dan, aku tidak pernah kesurupan."

Aku memang punya rekorku sendiri. Aku belum pernah—dan semoga tidak akan pernah—kerasukan makhluk-makhluk gaib. Kuncinya adalah tidak membiarkan dirimu kosong; pikiran, batin, dan keadaan mental yang sehat adalah wadah yang jelek bagi makhluk halus. Jika satu saja bagian dari dirimu memiliki ruang untuk diisi, mereka bisa masuk dan menempatinya dengan mudah. Otak harus tetap jalan, pikiran dijaga agar fokus, kondisi sehat dan perasaan riang juga membantu.

Wilis dan aku kembali menggali sampai kepala kami hampir sejajar dengan permukaan tanah. Olive menguap. Saat aku merasa sudat dekat, aku memperingatkan, "Kalau emasnya ketemu, kalian punya dua pilihan: kubur lagi atau kasih ke polisi."

Wilis dan Olive setengah terpekik, mengeluh, "Kenapa?!"

"Tidak apa-apa."

"Oke, cukup dengan tidak apa-apa!" Wilis meraung marah. Sekopnya ia tancapkan keras-keras pada satu sisi dinding tanah. "Sejak tadi aku merasa kau menyembunyikan sesuatu! Kenapa emasnya malah di bawah pohon, padahal yang paling mencurigakan menurutku adalah di sekitar fondasi bekas gudang ini?!"

Aku belum sempat membuka mulut saat tanah longsor di sisi Wilis. Sekop yang baru ia tancapkan itu pun terbenam dan terkubur longsoran. Olive, yang duduk di atasnya, buru-buru melompat ke bawah sebelum terseret arus tanah, menginjak kaki kakaknya sampai keduanya melolong senada. Denim yang sama kagetnya segera melompat keluar; aku menangkapnya sebelum ikut terkubur.

Belum selesai sampai sana, Wilis dan Olive kembali menjerit, kali ini lebih keras. Olive meloncat, hampir seperti bergelantungan ke leher kakaknya, sementara Wilis terhuyung ke arahku menerima bobot adiknya. Keduanya melihat apa yang tumpah dari longsoran itu, berasal dari dalam tanah di bawah bebatuan dan kayu.

"Makanya, tadi aku bilang lokasinya tidak tepat di bawah batu-batu dan pasak kayu," decakku. "Soalnya, ada hal lain yang terkubur di bawah itu semua—dan sama sekali bukan emas."

Wilis menelan ludah. "I-ini—"

Aku mendorong salah satu kerangka dengan sekop. "Ini makam."

(*゚ー゚*) Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro