4 Januari 2014

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Warning:

Cerita ini diikutsertakan event MWM oleh NPC2301
Dengan target tamat dalam sebulan

Akan ada banyak typo, plot hole, dan segala macam anu
karena dikerjakan tanpa proses semedi lebih dulu

Mohon maap jika hasilnya kurang memuaskan ;-;
Jika ingin bantu razia typo dan anu-anu, silakan komentar
I'd really appreciate it

Sudah lewat tengah malam. Bulan tertutup awan, suhu turun drastis, tetapi tubuhku berkeringat karena menyekop dan bajuku bau tanah. Denim si kucing kecil berusaha mempertahankan posisinya di atas kepalaku, gemetaran dan syok gara-gara tanah ambruk.

Alih-alih melanjutkan pekerjaan, Wilis dan adiknya malah berdebat.

"Nah, bagaimana? Betul, 'kan?" Wilis menuntut dengan suara bergetar. "Sudah percaya, 'kan, Grey betulan dukun?"

"Percaya!" Olive menjerit histeris, kakinya menendang-nendang, tangannya melingkar erat pada leher Wilis. Matanya berkaca-kaca, terpaku ke kumpulan tulang. "Percaya—aku percaya! Singkirkan benda-benda itu dari bawah kakiku!"

"Lubang ini sempit, dan kita bertiga!" gerung Wilis seraya berusaha melepaskan diri dari jeratan adiknya. "Makanya, kau naik!"

"Aku tidak mau memijak di itu!"

Aku menceletuk, "Sejak tadi kau duduk di atas nisannya."

Olive terisak-isak, "Aku, 'kan, tidak tahu ada orang mati di bawah! Tapi sekarang tulangnya keluar—aku tidak mau menyentuhnya!"

"Mau bagaimana lagi?!" bentak Wilis. "Aku juga telanjur menginjaknya! Grey juga menginjaknya! Sudah—langkahi saja! Kau tidak punya pilihan!"

"Tidak mau! Lakukan sesuatu!"

"Lakukan apa? Terbang?"

"Gendong aku ke atas!"

"Gila aja! Kau berat!"

Denim bergerak dari atas kepalaku, meloncati longsoran, mengendus-endus sisa tulang yang terkubur dengan penasaran, sebelum kemudian melompat ke atas.

Aku menggulung lengan kemeja yang sempat melorot, mengusap keringat di wajah dengan secuil bagian punggung tangan yang belum bercelemot tanah. Menjatuhkan sekop, aku bergerak maju dan menyandar ke depan dengan satu tangan, membelakangi Olive dan Wilis. Kutepuk-tepuk bahuku. "Olive, injak sini. Naik ke atas."

Hening sesaat. Lalu, kudengar Olive mengisak, "Kalau begini aku mau diadopsi Grey saja!"

Wilis menyumpah, yang membuat Olive malah sesenggukan lebih keras.

"Tapi—tapi—tidak jadi! Kalau diadopsi jadi adik, nanti tidak bisa menikah—"

"Olive!" geramku.

Gadis itu meraih ke arahku. Tangannya di kepalaku, lututnya mengayuh ke bahuku. Aku meloncat sedikit, memudahkannya untuk memanjat naik. Setelah Olive ada di permukaan, aku berpijak ke longsoran dan menepuk-nepuk lengannya.

"Olive, dengarkan aku." Saat aku mengatakannya, Olive masih tampak syok dan bersimbah air mata. Namun, setelah beberapa detik, dia mencoba meredam tangisannya dan mengatup bibirnya rapat-rapat. "Kita terlalu jauh dari rumah dan halaman ini terlalu luas—teriak-teriak saja tidak akan mempan memanggil siapa-siapa. Orang tuamu pasti sudah tidur. Jadi, kau mesti kembali ke rumah dan panggil mereka, bilang kita menemukan makam orang di sini."

Gadis itu mengangguk-angguk, tetapi kehilangan nyali saat menoleh ke arah kegelapan. Lampu minyak hanya satu, dan tidak akan bertahan untuk waktu lama.

Olive memegangi tanganku erat-erat. "A-aku tidak mau jalan ke rumah sendirian."

Aku menoleh melampaui bahuku, menatap Wilis. Pemuda itu seketika merentangkan tangannya tidak terima. "Aku tidak mau ditinggal sendirian di sini!"

Kuusap lagi wajahku, tetapi kini malah membuat noda tanah menempel di pelipis.

"Olive," kataku. Kuraih Denim, dan menaruhnya di pelukan Olive. "Diam dulu di sini, oke? Denim menjagamu—sungguhan. Tidak apa-apa. Begitu kami selesai dengan harta haramnya kakakmu, kita kembali ke rumah."

Gadis itu mengangguk seraya menggosok hidung dengan punggung lengannya.

"Ini bukan harta haramku," protes Wilis. Dia seperti bercelana tanah akibat longsoran, rambut dan wajahnya kotor.

"Bakal jadi harta haram kalau kau tidak menguburnya kembali," kataku. "Emasnya memang minta ditemukan, tapi tidak untuk dipakai."

"Jual mahal sekali," gerutunya.

Menggali di antara longsoran bercampur tulang belulang bukan perkara mudah. Terutama karena Wilis kian melambat; dia melirik sisa kerangka di belakang kami hampir tiap detik. Namun, hampir sepuluh menit kemudian usaha kami terbayar. Sekopku berdenting membentur benda keras yang tertutup tanah. Kami pun mulai menggali dengan tangan, mengerik sedikit demi sedikit sisi-sisinya hingga sebuah kotak menyembul keluar.

Hampir setinggi lutut, sepanjang setengah meter, dan selebar 30 sentimeter; kotak itu dari logam, sudah berkarat dan kemerahan. Kuncinya rusak dimakan usia, tetapi kotak itu tetap tidak bisa dibuka lantaran penutupnya menempel karena karat dan bentuk penyok di sisinya.

Kami mesti mencongkelnya dengan ujung sekop sambil menginjak sudut-sudut tajam penyokannya. Saat penutupnya mulai tersingkap, lampu minyak padam. Wilis memekik, Olive mengerang ketakutan, dan aku merasakan beban di lenganku bertambah karena tiba-tiba Wilis melepas sekopnya. Tutup yang hampir terbuka pun kembali ke posisinya semula karena sekopku sendiri tidak cukup untuk menahannya.

"Jangan dilepas!" gerungku.

"Lampunya mati!" bentak Wilis. "Olive, kenapa lampunya mati?!"

"Minyaknya habis—bukan salahku!"

Kurasakan Wilis membungkuk panik. "Sekopku jatuh di mana, halah, dasar—"

"Jangan ngomong kasar di depan sisa mayat, dong!" bentak Olive histeris. "Oh, ya Tuhan, apa ini yang menyentuh lututku—Denim, tolong bilang itu ekormu!"

"Gelap sekali—aku tidak bisa menemukan sekopku!"

"Ya Tuhan, ya Tuhan—lekaslah!"

"Sekopku mana?! Oh, ini dia—" Lalu, Wilis melolongkan beberapa kata kasar dan nama hewan. Badannya membentur kakiku. "Tengkoraknya menyeringai kepadaku!"

"Tengkorak memang menyeringai! Memang begitu bentuknya!" Aku berteriak. "Ayo, cepat, bantu aku!"

"Belum terbuka juga?! Apa saja yang kau lakukan selama aku mencari sekop, hah?!"

Aku mengerti situasi ini membuat mereka takut, kalut, dan putus asa. Aku juga pernah mengalaminya—rasa ngeri yang merayap, menjalari tulang dan membuat darah membeku, dorongan kuat untuk mengencingi diri sendiri dan meninggikan suara di saat yang tidak perlu, serta kerinduan mendadak terhadap cahaya terang dan tempat aman di bawah atap. Namun, aku bukannya tergolong orang sabar. Aku menyambar bagian belakang baju Wilis, memaksanya berdiri, dan kembali mencungkil penutup peti.

Setelah berbagai erangan dan kata-kata kasar, serta suara rengekan Olive yang beberapa kali membuat Wilis terlonjak kaget, tutupnya pun terbuka. Engselnya yang sudah hancur menyebabkan tutup besinya bergeser dan jatuh ke belakang.

"Jangan pegang apa-apa." Aku mengingatkan Wilis sebelum dia bergerak.

Aku meraba dalam kegelapan, merasakan tekstur kasar dan banyak celah sempit dalam rajutannya, agak robek juga—ini karung. Di dalamnya, berdesakan benda-benda berat berlekuk.

"A-apa yang kau temukan?"

"Patung pajangan," lirihku. Kurasakan benda-benda itu di bawah kulitku, disekat kain karung. Mereka seolah bicara padaku, menceritakan kisah-kisah mereka saat masih di permukaan, dimiliki seseorang, tersusun dalam lemari-lemari kaca dan di atas meja-meja kayu jati. "Pahatan emas. Ada banyak. Beberapanya tidak senang."

"Hah?"

"Intinya, benda ini mesti dipindahkan. Disimpan atau dikubur di tempat lain—tempat yang bakal terkunci dan tidak ditemukan meski sampai ratusan tahun ke depan."

"B-bagaimana dengan gudang bawah?" tanya Olive sambil menyedot ingus, suaranya masih bergetar habis menangis. "Lantainya banyak yang tersingkap, beberapa baagiannya juga sudah menyatu dengan tanah, dan kita tidak pernah turun ke sana kecuali untuk menyimpan barang-barang bekas."

"Tapi, kuncinya," ringis Wilis. "Ayah menghilangkan kunci pintunya, 'kan?"

"Kuncinya terselip di antara kulkas dan lemari piring yang berdempetan."

Hening sejenak.

Suara Wilis terdengar kemudian, "Dari mana kau tahu, Grey?"

Aku tidak menjawab. Awan gelap menyingkir dan membuka jalan pada cahaya bulan, memberi kami penerangan temaram keperakan. Aku segera meraih karung dari dalam peti, memanggulnya di bahu sampai merasakan lengan dan perutku sakit saking beratnya, lalu memanjat naik. Wilis mendorongku dari bawah, sedangkan Olive menarikku ke atas; gadis itu jatuh ke belakang hingga aku menimpanya. Dia hampir tersipu, dan aku juga, ketika karung di bahuku tiba-tiba melorot, hampir membunuh kami berdua dengan hujan patung emas di kepala.

Kulemparkan karung itu ke depan, lalu berguling ke samping. Olive masih terbaring syok di sampingku. Di atas kepalanya, Denim mengendus-endus karung dan menyentuhnya ragu-ragu dengan cakar kecilnya.

Wilis mengoperkan sekop-sekop kepadaku dan menyusul naik kemudian. Tanpa banyak bicara lagi, kami menguburkan kembali peti dan tulang belulang itu, lalu menancapkan sekop di sana sebagai penanda.

"Prioritas utama adalah menyembunyikan emas-emas ini," kataku saat kami berjalan kembali ke rumah. Karungnya tersampir di bahuku. "Besok pagi, silakan bicarakan dengan orang tua kalian, mau diapakan tulang-tulang dan peti itu."

Wilis dan Olive mengangguk tanpa banyak membantah. Meski beberapa kali kupergoki mencoba mengintip ke dalam karung dengan mata lapar, keduanya tidak begitu mempermasalahkan jika tak bisa memiliki emas-emas ini—selera jadi kaya raya padam seketika karena melihat tulang jenazah, dan menurutku itu bagus. Beberapa orang yang cukup lancang akan mengabaikan rasa takut dan tetap menuruti keserakahan, memakai apa yang bukan milik mereka, dan menghabiskan semua yang bahkan tidak seharusnya disentuh. Biasanya, orang-orang macam itu akan tetap mengalami kekurangan seumur hidupnya meski bergelimang harta-tahta, lalu kisahnya berakhir tragis.

Ketika sampai di sisi rumah, aku menyempatkan diri mendongak. Gadis hantu itu masih duduk di sana—di atas pagar langkan kamar Olive. Matanya yang hampa, yang selalu teruju ke halaman belakang, kini teruju padaku—atau apa yang kubawa.

Olive yang paling bersih di antara kami, meski dia juga belepotan tanah dari rambut, siku, baju, sampai celananya. Jadi, dia yang mencari kunci sementara Wilis dan aku berjingkat-jingkat masuk lewat pintu belakang, mencoba sesedikit mungkin mengotori lantai. Kami menunggu di depan pintu menuju ruangan semi-basement.

"Astaga," geram Wilis saat dia mencoba mengangkat karung yang kujatuhkan ke lantai. "Berat amat! Bagaimana caramu membawa-bawa ini dari tadi?"

Aku menyengir, menggulung lengan baju lebih tinggi untuk pamer. "Makanya, olahraga."

"Aku olahraga!" sanggahnya, lalu ikut memamerkan lengan kurusnya. "Di jam olahraga sekolah, aku olahraga. Ah! Ukuran lengan kita sama, kok."

"Membandingkan lengan kita sama seperti membandingkan cakar Denim dengan ibu jari kakimu."

Wilis mendengus. Sisa tanah tertiup dari ujung hidungnya.

"Sekali lagi," katanya, "aku tanya dari mana kau tahu soal makam, emas, dan kunci pintu ini?"

Aku meludahkan tanah yang menempel di bibir. "Panjang ceritanya."

"Oke." Wilis membuang muka ke arah lorong yang menghubungkan dapur dengan pintu belakang. Tak berapa lama kemudian, dia menoleh dengan wajah penasaran. "Kasih clue, dong. Anak indigo tidak cuma lihat atau dengar hantu, ya? Hal-hal lain juga? Kau tadi seolah-olah bicara sama patung-patung emas itu."

Di pertengahan ucapannya, Olive datang. Dengan ujung kuku kedua jari tangannya, dia menjinjing sebuah tali hitam kecil kotor dengan kunci berkarat tergantung di sana. Gadis itu tidak melepas sepatunya, membuat alur alasnya yang kotor meninggalkan jejak di sepanjang lorong. Denim masih mengekor, menginjak bekas tanah dari sepatu Olive, menyebarkannya ke bagian lain lantai hingga terbentuk jalur bercabang dari tapak kaki kecil sepatu dan cakar anak kucing.

Ibu mereka akan menggila besok pagi. Mungkin aku pamit saja sebelum subuh.

"Kotoran tikus, hewan-hewan merayap!" Olive melonjak-lonjak dengan kaki berjinjit, lalu melemparkan kuncinya ke Wilis. "Sumpah, bagian samping kulkas hampir sama mengerikannya dengan galian kalian!"

Wilis membuka pintu menuju gudang bawah, alias lantai satu asli dari rumah ini sebelum sekian banyak renovasi. Ada tangga kayu yang sudah lapuk mengarah ke bawah. Beberapa papannya sudah lepas, menyisakan lubang kosong gelap. Tidak ada bohlam yang dipasang karena semua anggota keluarga ini masih cukup waras untuk tidak masuk ke ruangan ini malam hari, maka Olive mengambilkan senter.

Cahaya senter menyapu bagian dalam; barang-barang bekas, kotak-kotak rusak digigit tikus, dinding-dinding berplester dan bata yang tidak dicat, sarang laba-laba, debu tebal, bayang-bayang binatang pengerat, serta hewan-hewan merayap. Lantainya berupa ubin hitam yang retak-retak; beberapanya seperti kata Olive, sudah tersingkap dan tercampur tanah. Ada sedikit rumput dan lumut tumbuh di sisi-sisi bawah dinding, sarang semut menyebar dari sana.

Olive meringis. "Bahkan sebelum aku percaya hal-hal mistis, aku sudah yakin ruangan ini berhantu."

Dia tidak salah. Banyak sekali yang bisa dilihat di sini, dan yang kubicarakan ini bukannya barang-barang rongsokan semata.

"Kalian boleh menunggu di sini sampai aku selesai," kataku sambil mengulurkan tangan untuk meminta senter dari tangan Olive. "Atau mau ikut denganku?"

Wilis melongok ke balik bahuku. "Me-memang ada apa di dalam? Apa yang kaulihat."

Aku melirik kakiku. "Tidak apa-apa."

"Aku mulai terbiasa," ujar Olive seraya menunjukku. "Kalau Grey bilang tidak apa-apa, berarti kebalikannya."

Kedua bersaudara itu mundur dua langkah. Dari balik kaki Olive, Denim keluar dan berlenggok ke arahku.

Olive tercekat. "Denim—"

"Tidak apa-apa," kataku seraya membiarkan si anak kucing masuk duluan. "Dia pemberani."

Melompati beberapa rongsokan dan sempat menginjak bangkai tikus yang sudah jadi lempengan busuk, aku pergi ke sudut terjauh. Ubin lantainya keropos sehingga bisa dicungkil dengan tangan kosong. Lalu, menggunakan sekop tanaman dan linggis yang kutemukan di samping televisi rusak, aku mulai menggali lagi. Tidak sedalam yang kugali dengan Wilis, tetapi cukup untuk menyembunyikan sekarung patung emas pajangan. Lagipula tanpa peti logamnya, patung emas dalam karung ini tidak terlalu makan tempat.

Sementara aku menggali, Denim bermain-main dengan hewan merayap di sekitar microwave kotor tak berpintu dan gabus-gabus bekas.

Setelah menimbun semuanya, menghasilkan tanah menggunduk sampai setinggi mata kaki, aku menumpuk kotak-kotak kardus di atasnya, lalu menggeser mesin cuci rongsokan dan lemari tanpa pintu untuk menghalanginya.

Keringat menetes-netes dari ujung hidung dan daguku. Mataku berkunang-kunang karena kelelahan. Ketika aku terduduk di samping lemari, Denim mengeluarkan bunyi kecil, lalu menggigiti ujung jari kakiku.

"Oke, oke," kataku. "Aku tahu. Tidak boleh ... kosong. Tapi, aku betul-betul capek."

Kupaksakan diriku bangkit. Kakiku kram, punggungku sakit, dan tanganku terasa kebas. Udara terasa panas di sekitarku, tetapi tengkukku dingin dan rambut di seluruh tubuhku berdiri. Aku mengerjap beberapa kali, berusaha mengabaikan gangguan di sekitar. Ketika melalui anak-anak tangga yang kayunya peretel, aku mesti lebih berhati-hati agar tidak terperosok atau terpeleset.

Sesampainya di atas, kudapati Wilis masih menunggu di depan pintu. Olive sedang menyeduh teh di dapur. Kami menghampiri Olive, dan Wilis langsung bertanya padaku, "Tadi di dalam, kudengar ... k-kau bicara sama siapa?"

"Denim," jawabku. Si kucing sendiri langsung pergi ke sisi Olive, mengeong-ngeong kecil mencari perhatian dan makanan.

"Aku serius!"

"Sudahlah!" Olive merengut seraya menyajikan cangkir-cangkir teh ke atas meja. Asap dan wanginya hampir membuatku ambruk dan tidur di lantai. "Grey pasti capek—malah kau tanya-tanya! Bilang terima kasih, dong!"

Bahu Wilis turun. Tangannya menepuk bahuku. "Makasih. Besok kutraktir seharian. Dan kau boleh mandi duluan sekarang."

Aku lelah sekali, jadi hanya mengangguk saja.

Kami berdua duduk untuk beberapa lama, meminum teh dengan tenang dan diam, sedangkan Olive membersihkan diri dan kucingnya di kamar mandi.

"Tidak ada naga," ujar Wilis. Suaranya campuran aneh antara lega dan kecewa.

"Tahu dari mana tidak ada naga?" sahutku.

Wilis membelalak terkejut. "Kau lihat naganya tadi?"

Aku menyengir. "Tidak."

Kami menyeruput teh lagi.

Tehku hampir habis saat Olive muncul, bersih dan berganti pakaian, dengan Denim yang bulunya lembab di tangannya. Bau tisu basah dari Denim dan wangi sabun dari Olive bercampur dengan sisa aroma teh di udara, membuatku kian mengantuk.

Tak seorang pun dari kami berminat membicarakan lagi makam yang kami temukan, atau emasnya, tetapi aku yakin mereka berdua akan cerewet tentang itu saat matahari sudah terbit nanti. Orang tua mereka masih di lantai atas, tidur nyenyak, belum mengetahui berita macam apa yang bakal kami bawa besok fajar.

Begitu naik ke lantai atas, Wilis mencegatku lagi di depan pintu kamar mandi. "Serius, Bung, kau mesti kasih tahu aku kau bicara sama siapa di gudang tadi—atau aku tidak akan bisa tidur malam ini."

"Wilis!" bisik Olive agak keras.

"Aku tadi sudah bilang, aku bicara dengan Denim—kucingnya Olive."

"Oke, oke." Wilis mengalah. Alis mengernyit ke arah tangga. "Tapi, nanti tunggui aku pas mandi, ya? Eh—jangan berekspresi seperti itu! Aku cuma minta kau tunggu di depan pintu—aku tidak mau mandi di kamar mandi bawah sendirian."

Wilis masuk ke kamarnya, mengambil handuk dan baju ganti, juga tasku yang berisi pakaian gantiku.

Aku menoleh tepat waktu untuk memergoki Olive berbisik ke kucingnya, "Grey tadi bilang apa?"—Lalu memelotot karena tidak dapat jawaban kecuali tatapan lugu dari Denim.

Aku terpaku sebentar, lalu wajah Wilis muncul di hadapanku, menghalangi Olive dari pandanganku. Wajahnya mengerut. "Kenapa kau senyum-senyum ke adikku?"

"Hmm?" Aku terperanjat sedikit dengan alis terangkat, lalu buru-buru menyambar tasku serta handuk dari tangannya. "Thanks."

Tidak banyak yang terjadi setelah aku mandi. Aku sempat menunggu Wilis di depan pintu kamar mandi di menit pertama, lalu meninggalkannya karena seharusnya dia sudah cukup dewasa untuk tidak ditelan lubang WC-nya sendiri. Aku sudah berbaring memainkan ponsel di tempat tidur rendah di samping ranjangnya saat Wilis terbirit-birit masuk.

"Kau," ujarnya tajam, "meninggalkanku."

Aku menyengir.

Ketika dia berbaring di tempat tidurnya sendiri, aku mematikan ponsel. Mataku bahkan belum terpejam saat Wilis tiba-tiba berucap lagi, "Aku betul-betul berterima kasih buat malam ini."

"Hmm," jawabku singkat.

Hening selama beberapa saat, lalu Wilis bicara lagi, "Kau tahu, 'kan, Olive sebetulnya takut kucing?"

"Hm hmm." Aku mengangguk meski dia tidak bisa melihatnya.

"Tahu-tahu dia bawa anak kucing itu suatu hari, ditemukannya meringkuk di atas genangan air saat hujan, katanya. Dia membawanya pakai jaketnya dan tidak mau menyentuh kucing itu selama seminggu pertama. Jadi, saat tahu-tahu dia menamainya, aku bertanya kenapa malah dipelihara kalau takut; dia bilang, 'Karena Kak Grey suka kucing.' Sekarang, lihat dia, jadi budaknya Denim."

"Jadi, itu salahku?"

"Tidak." Wilis berbaring menyamping menghadapku. "Tapi, kau tahu, 'kan, Olive naksir padamu?"

"Ya, dia memberitahuku sepuluh kali semester ini."

"Jadi, biar kuluruskan: awas kau kalau memacari adikku." Jarinya menunjukku. "Pertama, bakal mengenaskan sekali kalau aku yang jomblo 16 tahun malah dibalap adik sendiri, pacaran sama teman sebangkuku. Kedua, aku berharap kalau adikku punya pacar, cowok itu akan lebih kecil dan payah dariku, tipe yang gampang kuintimidasi dan kugalak-galaki—masalahnya, kau lebih tinggi dan besar dariku, tidak lucu kalau aku malah melorot dibandingkan pacar adik sendiri. Ketiga—"

"Wilis." Aku memotong sambil mengangkat kepala dari bantal. "Apakah kau sedang mengulur waktu karena tidak bisa tidur? Kau takut aku tidur duluan?"

Wajahnya memerah, tetapi dia tetap melanjutkan seraya mengacungkan ketiga jarinya. "Ketiga, Bung, aku tidak mau kau jadi orang yang mematahkan hati adikku. Kalau sampai kalian putus, bayangkan posisiku. Bisa-bisa aku jadi kepingin meninjumu tiap hari."

Dengan kibasan selimut, Wilis berbalik membelakangiku.

Tidak sampai setengah menit kemudian, dia menoleh sedikit, lalu berucap cepat, "Dan, ya, aku tidak mau kau tidur duluan!"

Aku bersedekap, berbaring miring menghadap jendela. Dua menit kemudian, Wilis mengintipku lagi.

"Grey," panggilnya, "kau sungguhan sudah tidur?"

Aku mendengkur dengan suara dibuat-buat. Bisa kudengar Wilis mengeluh ke dalam selimutnya.

Aku membuka mata sedikit untuk melihat Wilis, tetapi yang kulihat justru sesosok gadis yang biasanya bertengger di balkon kamar Olive. Kini, dia berdiri di balkon kamar Wilis, tepat di depan jendela yang kupandangi.

Padahal dia tidak pernah bergerak dari posisinya sebelum ini.

Aku tak pernah melihatnya sungguh-sungguh sebelum ini, hanya dari kejauhan, karena aku memang tidak pernah masuk ke kamar Olive. Namun, kali ini aku bisa melihatnya begitu dekat, persis di depan mataku, hanya tersekat kaca.

"Wilis," kataku, "kau lupa menutup tirai lagi."

"Hm," jawabnya malas, "tutupkan. Tolong."

Rambutnya beriak mengikuti alur gaunnya, sekilas seperti diterpa angin, lalu aku sadar gelombang itu bukan tiupan udara, melainkan air. Entah bagaimana, meski penyebabnya tewas adalah kehabisan darah, dia mati di dalam air—atau barangkali jasadnya hanyut di perairan. Darah pada luka di bawah telinganya itu sulit sekali diabaikan. Bibirnya putih, kulitnya tanpa rona. Matanya yang sayu dan pucat menatapku dalam-dalam.

(*゚ー゚*) Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro