5 Januari 2014

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Warning:

Cerita ini diikutsertakan event MWM oleh NPC2301
Dengan target tamat dalam sebulan

Akan ada banyak typo, plot hole, dan segala macam anu
karena dikerjakan tanpa proses semedi lebih dulu

Mohon maap jika hasilnya kurang memuaskan ;-;
Jika ingin bantu razia typo dan anu-anu, silakan komentar
I'd really appreciate it

Tidak ada yang spesial dari siang hari di tanggal 4 kemarin. Biar kuberikan padamu rangkuman singkatnya saja:

Pukul 5 dini hari, aku sempat terbangun sebentar, tetapi aku tidak bangun dari tempat tidur. Aku mendengar keributan di luar dan langsung tahu, keluarga kecil di rumah yang kebesaran ini sedang heboh.

Pertama-tama, sang ibu negara marah besar. "KENAPA LANTAIKU KOTOR? KENAPA PINTU GUDANG TERBUKA—BAGAIMANA KALAU TIKUS-TIKUS DI DALAM KELUAR? KALIAN BETUL-BETUL MENGGALINYA SEMALAM? APA YANG KALIAN PIKIRKAN—MEREPOTKAN GREY SAMPAI SEPERTI ITU? SAMPAI PUKUL 3 PAGI, KALIAN BILANG?!" dan seterusnya. Yang kukutip itu hanya sebagian kecilnya saja.

Sang kepala keluarga juga mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tak kalah penting: "Emasnya dapat? Betul-betul ada ular naganya? Jadi, apakah ular naga itu berupa ular berbentuk naga atau naga berbentuk ular?"

Olive menangis selama dimarahi, sedangkan Wilis diam untuk beberapa saat. Lalu, ketika tiba saatnya mereka bicara, kehebohan lain terjadi: tentang kuburan di halaman, tulang-tulangnya, lalu kedua bersaudara itu mengakhiri laporan dengan melemparkan keseluruhan urusan kepadaku: "Grey mengubur kembali semua emasnya. Grey bilang tidak ada yang boleh menyentuhnya. Menurut Grey nanti kita bisa kena sial, jadi pura-pura tidak tahu saja masalah emas. Kata Grey makamnya harus dipindahkan segera."

Padahal aku tidak bilang makamnya mesti dipindahkan. Aku cuma bilang, mereka mesti diskusikan ke orang tua mereka, makamnya mau diapakan. Kurasa mereka cuma tidak mau tinggal di rumah yang ada makamnya, lalu memakai namaku sebagai tameng.

Rapat keluarga itu berlangsung sampai pukul 7 pagi. Setelah keadaan tenang, dan aku yakin bahwa aku tidak bakal diusir, barulah aku keluar dari kamar Wilis.

Tukang gali dipanggil, ketua RT dan RW berdatangan bersama kerumunan kecil yang penasaran, silsilah para pemilik rumah yang sebelumnya dicari untuk meminta izin pemindahan makam. Setelah diskusi panjang sampai sore, diputuskan untuk melakukan pemindahan makam terlebih dahulu sebelum senja. Toh, ditilik dari buruknya catatan rumah ini, sebagian besar pemilik sebelumnya sudah habis dipanggil Tuhan. Akan sulit sekali untuk mengidentifikasi siapa si pemilik tulang dan melacak keluarga atau kerabatnya.

Gudang kembali dikunci, Wilis menepati janjinya mentraktirku seharian, dan si gadis hantu dari balkon kamar Olive mendadak bisa keliaran di sekitar rumah.

Si gadis hantu, untuk alasan tertentu, terus menatapku sambil menjaga jarak.

Pagi ini, seharusnya aku pulang. Semua masalah telah selesai, utang traktiran dilunasi, dan aku sudah membereskan barang-barang yang kubawa semalam, tetapi ayahnya Wilis melarang. Beliau dan istrinya pergi mengurus sesuatu, dan berjanji bakal pulang malam ini bawa pizza—bagaimana bisa aku mengecewakannya? Tentu saja aku harus tinggal semalam lagi.

Masih pukul 8, matahari tertutup awan dan udara sejuk—tidak satu pun dari kami, anak-anak SMA di masa-masa kedamaian, yang kepingin turun dari tempat tidur, apalagi mandi atau makan. Libur semester masih sebulan lagi, dan setelah malam-malam yang terasa panjang mengurusi emas serta kuburan, rasanya nyawa kami menempel ke seprai.

Kecuali Olive.

Aku tengah bicara dengan mama di telepon, sedangkan Wilis tengah memetik gitar sambil rebahan di atas tempat tidurnya, ketika adiknya mendobrak masuk.

Gadis itu masih mengenakan piama bermotif ikan-ikan biru, dan bersandal bulu yang tertutup di bagian tumitnya. Dengan rambut tersibak ke samping seperti habis diterjang angin topan, Olive masuk dan menjerit, "Wilis! Lihat Denim, tidak?"

Tanpa mengangkat kepala atau bangkit dari posisinya, Wilis mendecak, "Mungkin main ke sebelah dan dimakan kucing tetangga."

Sementara Olive melompat ke atas ranjang dan menghajar kakaknya pakai kaki, aku memutus sambungan telepon dengan mama.

Aku tengah membenarkan posisi bantal di bawah kepalaku saat Olive terjun dan menindihku. "Grey, carikan Denim!"

Aku mencoba berguling ke sisi, tetapi cewek itu menekanku dengan segenap bobotnya, dan aku takut salah pegang kalau sembarangan bergerak. "Aku tidak lihat—"

"Carikan dengan sensor cenayang yang kaupunya!"

"Sensor apa—"

"Terawang keberadaannya atau apalah!"

"Bukan begitu cara kerjanya!"

Olive menyingkir dari atasku, menunggu dengan tertarik. Bahkan Wilis bangkit masih sambil memangku gitarnya. "Memang cara kerjanya bagaimana?"

Aku duduk sambil mengusap rambut ke belakang. "Yang jelas ia bukan sensor!"

"Jadi, Denim di mana?"

"Aku tidak tahu—"

Lalu, aku terdiam karena, mendadak saja, air mata Olive berjatuhan. Wajahnya mengerut sedemikian rupa, suara isakan kecil lolos dari bibirnya yang bergetar. Sambil bersimpuh, dia menangkup wajah dengan kedua tangan. "Denim ...."

"Itu air mata palsu, biarkan saja," beri tahu Wilis. Dia memutar bola mata sebelum kembali berbaring bersama gitarnya. "Matanya itu bakal kering secepat dia menangis."

Namun, gadis itu masih terisak-isak. Wajahnya mulai merah, hidungnya kedengaran tersumbat, dan yang mengaliri pipinya itu tidak tampak seperti air mata mainan bagiku.

Dengan tubuh yang terasa berat, aku berdiri. "Di mana kau terakhir melihatnya?"

"Dia tidur di ranjangku tadi malam," ujar Olive sesenggukan. "Di tengah-tengah, pakai bantalku. Aku tidur di ujung. Saat aku bangun, badanku sudah di lantai, tapi Denim tidak ada di mana-mana."

"Tempat lain yang biasanya dia tiduri seperti sofa, karpet, keset kaki, keyboard komputer—"

"Sudah kucari ke sana." Olive menggosok matanya dan ikut berdiri. Bulu matanya lembap karena menangis. "Sampai ke bak cucian kotor, belakang mesin cuci, di depan televisi, dalam laci, di balik baskom yang telungkup—semua tempat yang sering disambanginya. Tapi tidak ada juga."

"Artinya masih di kamarmu."

"Tidak ada!"

Aku melangkah keluar dari kamar Wilis dan pergi ke sebelah. Kamar Olive, kurasa, seharusnya lebih rapi dari ini, tetapi tampaknya dia benar-benar habis mengamuk di sana. Seprai teronggok di kaki ranjang, karpetnya tersibak sebelah, buku-buku tengkurap dan berserakan di semua tempat, laci-laci setengah terbuka, dan alat tulisnya tumpah dari gelas berhias pita-pita di atas meja. Namun, ada satu titik yang selamat dari kekacauan.

Aku mendekati kepala ranjangnya.

Olive sudah menyusulku dan berdengap saat aku berbalik dengan Denim yang menguap di tanganku.

"Di mana kau—"

"Ketiban boneka singa." Aku menunjuk satu titik di pojok kepala ranjangnya, yang berdempetan dengan meja nakas.

"Bagaimana kau—"

"Nakasmu masih rapi. Ada gelas kaca yang masih terisi air mineral separuh, dan ponselmu di sampingnya. Bantal dan sepraimu ke mana-mana, tapi boneka singa ini tetap duduk rapi di ujung, ekornya terjepit meja nakas. Aku langsung tahu kau tidak menerkam ke sana karena takut ponselmu ketumpahan air. Intinya kau tidak mencari ke situ, tapi Denim di situ."

Olive menerima kucingnya dari tanganku dengan mata terpana. "Grey hebat."

Pipinya bersemu merah, dan gara-gara itu aku jadi merasakan wajahku ikut panas. Untuk menyembunyikannya, aku berbalik.

Dan menatap langsung ke arah si gadis hantu.

Aku tersaruk mundur dan, meski sudah mencoba menahan diri, tetap terduduk di tepi tempat tidur Olive. Bahkan Denim kembali meloncat ke samping nakas, menyelipkan badannya ke bawah pantat singa. Olive tampak tidak menyadarinya karena dia tengah menghabiskan air dalam gelasnya. Saat aku mendapat kendali lagi atas diriku, barulah aku menyadari Olive tengah bicara. "—gitu."

"Hmm?" Aku mengangkat alis ke arahnya.

"Aku bilang," ulang gadis itu, "menurut Wilis, kau bisa bicara sama arwah penunggu benda mati—apa betul begitu?"

"Kenapa dia berpikir begitu?"

"Katanya kau seolah bicara pada emas-emas itu saat kalian menggalinya."

"Bukan," kataku. "Bukan arwah."

Kurasakan tekanan kuat pada belikat, udara dingin menusuk di tengkuk, dan kulit yang seolah ditusuk. Di bawah tatapan si gadis hantu, aku merasakan jantungku seperti ditimpa sesuatu yang berat. Keringat dingin mengucur di punggungku.

Kualihkan perhatianku pada Olive. Aku bergeser ke arah nakas agar, saat Olive mencoba duduk di sampingku, dia mengambil tempat di antara aku dan si gadis hantu. Olive sepertinya tidak terpengaruh, padahal beban seberat ini seharusnya terasa bahkan oleh manusia yang tumpul. Tampaknya kehadiran si gadis hantu hanya menyasarku.

"Semua benda—benda mati sekali pun—punya kehidupan," kataku pada Olive. "Dan mereka punya sejenis ... bahasa tertentu, untuk menunjukkannya."

Sorot matanya kebingungan. "Aku belum paham. Benda mati tidak bicara."

"Menurutmu, bagaimana hewan-hewan bicara?"

"Bahasa hewan—tapi hewan-hewan berbunyi, Grey."

"Bagaimana orang tunawicara bicara?"

"Bahasa isyarat?" jawabnya, lalu pemahaman mulai mengisi matanya. "Oh ...."

"Musik juga bahasa," lanjutku. "Bahasa komputer, bahasa mesin, bahasa tubuh." Aku melambai pada buku-buku. "Bahasa tulisan juga bahasa—kau membacanya, bukan mendengarnya. Tapi, ada beberapa orang yang mampu mendengar tulisan atau gambaran, dan ada pula orang yang melihat bunyi. Karena bahasa tidak memiliki satu bentuk saja. Dan tiap benda mati punya getarannya sendiri. Dalam frekuensi tertentu, aku bisa mendengarnya, dan menerjemahkannya ... sedikit."

Olive mengerjap. Kedua tangannya di pipi, siku bertumpu ke lutut. "Kau bisa melihat masa depan juga?"

"Tidak." Aku melirik sebentar. Si gadis hantu masih ada, masih mengamati. "Yang kulihat bukan masa depan, tapi probabilitas."

"Kayak koin dan dadu?"

"Ya." Aku menyengir. Perlahan-lahan, beban di dada dan punggungku mulai terlupakan. Begitulah salah satu cara menanggulangi gangguan yang tak kasat mata; fokus, kerjakan hal lain, tetap bergerak atau berpikir atau bicara. "Kayak koin, tapi koinnya punya banyak sisi. Malah, sisinya tidak terbatas. Kalau kau melempar koin, probabilitasnya cuma dua: kepala atau ekor. Kalau kau menggulir dadu, probabilitasnya ada enam: dari satu sampai enam. Tapi, probabilitas kehidupan tidak terbatas. Kau melangkah ke kanan, tempatmu berakhir bisa jadi berbeda dengan tempat yang kaudapat kalau kau melangkah ke kiri."

"Bagaimana dengan probabilitas kehidupanku?" Aku mulai menyadari Olive sejak tadi terus menggeser posisinya. Tahu-tahu kini lengan kami berdempet. "Kau bisa lihat aku akan jadi apa nanti? Tinggal di mana? Apakah cita-citaku jadi developer kesampaian? Dengan siapa aku ... menikah?"

Aku bergeser, mencoba mengambil jarak, tetapi badanku langsung mentok di nakas. Denim menyelinap keluar dari bawah pantat singa dan merayap ke atas lututku.

Melihatku terpojok, Olive mencondongkan badannya. "Bagaimana? Kau bisa melihatnya? Apa kau perlu membaca garis tanganku juga? Nih, tanganku."

"Kemungkinannya, seperti kataku tadi, tidak terbatas, Olive." Punggungku tertusuk ujung nakas, tetapi aku tetap mencoba mundur, bahkan meski ada risiko badanku berlubang ditusuk ujung meja. "Yang kau tanyakan itu masih jauh terjadinya, tergantung pada usahamu dan apa yang akan terjadi di sekitarmu."

Ketika kupikir aku akan mati digencet adik dari sahabatku sendiri, nakas bergetar—ponsel Olive berbunyi. Aku berpaling untuk mengambilkannya. Setelah beberapa detik menahannya, akhirnya aku bernapas kembali; gadis itu akhirnya menarik diri dan membuat jarak.

"Kak Navy Nalayudha." Aku tak bermaksud mengintip, tetapi nama itu terpampang di layarnya. Tanpa sadar aku membacanya keras-keras. Kuberikan ponselnya. "Kau tahu, 'kan, dia menghajar kakakmu bulan lalu sampai mimisan?"

"Ya, dan aku marah karena itu." Dia merengut dan menolak panggilan. "Tidak ada yang boleh menghajar Wilis kecuali aku!"

"Dan dia mendadak menelepon karena ...?"

"Karena—" Gadis itu berhenti untuk menyunggingkan senyum yang tampak seperti seringai. "Grey, kau penasaran, ya?"

"Tidak terlalu," sanggahku terlalu cepat.

"Baiklah kalau kau memaksa." Olive menyelipkan sejumput rambutnya ke belakang telinga. Jarinya bergerak lincah untuk memblokir panggilan Navy. "Kak Navy sempat memacari temanku, tapi mereka putus Agustus tahun lalu. Lalu tiba-tiba Kak Navy melirikku—'kan, geblek. Gara-gara itu, Em—tahu Emerald, 'kan? Teman sebangkuku? Dia itu mantannya Kak Navy. Nah, Em dan aku sempat cekcok gara-gara dia. Tapi, aku sudah menegaskan, kok—aku sudah menolak Kak Navy Oktober lalu."

Aku langsung bisa menarik benang merahnya. Wilis sempat memberitahuku mengenai Navy saat terakhir kali kami main bola di lapangan sekolah: dia sepertinya selalu datang ke arahmu seperti orang dendam lama.

"Olive," kataku, yang ditanggapi senyum ceria oleh gadis itu. "Saat kau bilang kau menolak Navy, apakah jangan-jangan kau berkata padanya—"

"Aku suka sama Kak Grey." Gadis itu mengonfirmasi sambil terkekeh-kekeh. "Cuma alasan itu yang terpikirkan. Tapi, dia masih saja menghubungiku."

Olive masih bicara saat si gadis hantu mendadak mendekat. Udara berdesir, begitu pula dengan darahku. Wajahku menghadap Olive, tetapi sudut mataku menangkap jelas sosoknya yang berdiri tepat di hadapanku. Aku bernapas lebih keras saat merasakan cakar kecil Denim menancap ke lutut celanaku.

"Grey?" Olive menepukkan tangannya di depan mataku. "Kenapa? Kau ... berkeringat. Kau tidak enak badan?"

"Hanya capek," jawabku cepat. Aku menelan ludah, yang rasanya seperti duri. Persendianku ngilu, kepalaku berat, badanku lemas, dan tiba-tiba saja aku jadi mengantuk. Aku mencium aroma menyengat ... seperti parfum. Mirip jenis parfum yang digunakan nenekku. "Capek dan lapar. Aku dan Wilis main game sampai jam 1 pagi semalam."

"Aku akan buatkan makan." Olive menyatukan telapak tangannya. "Tapi, aku mandi dulu. Kau tunggu di sini, oke? Jagakan Denim untukku."

Aku terlambat menyadari Olive berderap keluar. Tahu-tahu dia telah menutup pintu di belakang punggungnya.

Aku tergesa ke depan pintu, memutar kenopnya. Dikunci.

"Olive?" Aku memanggil, lalu berteriak, "Olive!"

"Di situ saja!" Olive berteriak, kedengarannya dia sudah jauh. "Tunggu—jangan kabur!"

"Wilis!" Aku berteriak lagi. "Adikmu mengunciku di kamarnya!"

"Usaha bagus, Grey." Olive yang menyahut. "Wilis lagi pakai headset!"

"Apa?" Wilis membalas tepat saat Olive mengakhiri kalimatnya. "Sebentar, aku lagi main—tunggu level ini selesai!"

"Wilis, adikmu mengunciku—"

"Kucing itu paling-paling merantau ke kompleks sebelah, Grey! Lupakan saja!"

"KUBILANG, ADIKMU MENGUNCIKU DI KAMARNYA, DASAR KAU—"

Untuk pertama kalinya seumur hidup aku mengucapkan kata kasar.

"Iya, iya! Ambil saja!" Wilis menyahut lagi. "Ada di laci lemari ruang tengah, di antara kabel-kabel dan baterai bekas."

Percuma. Maka, aku kembali duduk di tepi tempat tidur Olive. Si gadis hantu masih di sana, bibirnya menyunggingkan cengiran geli seperti mengejek.

"Apa yang sebetulnya kau inginkan?" Aku mendongak menghadapinya. "Kau tidak pernah bicara, tidak pernah mencoba menjalin kontak ... dan tiba-tiba saja mengawasiku."

Si gadis hantu membuka bibirnya yang pucat membiru, dan untuk pertama kalinya bersuara, "Kebanyakan dari kalian tidak bisa percaya."

"Siapa?"

"Anak-anak sepertimu," ujarnya. "Yang mampu melihat menembus sekat dunia. Yang pada detik pertama berkata akan membantu arwah secara sukarela, lalu detik selanjutnya meminta sesuatu sebagai balas jasa."

"Aku tidak membantu arwah."

Wajahnya mengerut, menunjukkan ekspresi jijik dengan begitu lihai. Kebanyakan hantu sudah lupa cara berekspresi.

"Bukan hanya kau yang bisa melihat menembus kami," bisiknya seraya mencondongkan tubuh. "Aku pun bisa melihat menembusmu. Aku tahu kau punya banyak teman dari bangsa kami. Bocah Belanda itu? Kau memang menjijikkan."

Raga gaibnya berpusar serupa kabut, melentur, lalu bergerak menembusku di dada. Saat dia melakukannya, jantungku berhenti berdetak dan darahku membeku.

Aku mencoba bersuara, tetapi rahangku terkunci. Wajah si gadis hantu muncul tepat di samping kepalaku, matanya mendelik dan dipenuhi kebencian.

"Tapi aku mulai berbicara kepadamu bukan untuk mengungkapkan kejijikkanku padamu," bisiknya. Daun telingaku seperti diselimuti es. "Ada sesuatu yang lain—aku membawakan pesan: Jerau ingin bertemu lagi denganmu."

Aku memejamkan mata. Energiku terkuras hanya dengan bicara dan menahan bobotnya. Bahkan Denim sudah kembali meringkuk di samping nakas.

"Jerau?" ulangku.

"Entitas aneh di rumah iblis yang menelan anak-anak itu."

Bahkan setelah 12 tahun, ingatan itu masih membuatku menggigil hebat.

"Kenapa?"

"Akan kuberi tahu nanti malam," ujarnya. "Tepat tengah malam."

Lalu, si gadis hantu lenyap. Seolah dia tidak pernah ada di sana.

Demi keluar dari sarangnya Olive, aku memanjati balkonnya. Balkon Olive dan Wilis bersebelahan, tetapi tubuhku masih lemas, maka aku betul-betul memerlukan satu lompatan beruntung atau mati menghantam tanah.

Di atas kepalaku, Denim berpegangan dengan cakarnya. Ia mengeluarkan bunyi kecil, menyemangatiku.

Kakiku dingin, lantai balkon masih berembun, tetapi aku berhasil menguatkan pijakan dan pegangan. Tanpa melihat ke bawah, aku mengayun tubuh. Aku nyaris mencederai selangkanganku dengan melakukan split di antara dua pagar balkon, tetapi pada akhirnya aku mendarat dengan selamat di balkon Wilis.

Jendelanya terbuka, jadi aku langsung masuk ke kamar Wilis dengan memanjatinya. Dia terlalu kaget mendapatiku sampai menjatuhkan ponselnya. Headset-nya lepas, membuat pengeras suara melantunkan musik game over yang menurutku pantas dia dapatkan. Kami berpandangan sejenak; Wilis kebingungan, aku kelelahan.

Dia menghampiriku. Sebelum Wilis sempat berkata apa-apa, aku mendahuluinya, "Adikmu gila."

"Heh, jangan bicara sembarangan—biar begitu-begitu, dia adikku." Wilis menunjukku di dada. "Biar pun dia itu cerewet, menyebalkan, nenek lampir, egois, tidak punya malu, heboh, manipulatif, tidak beradab, cengeng, durhaka ... hmm, apa yang kita bicarakan tadi?"

Aku mendesah letih, lalu jatuh ke atas kasur tipis yang sudah berhari-hari belakangan jadi tempat tidurku. Denim, entah sejak kapan, sudah mengambil tempat di atas bantalku, tidur melingkar.

"Kau kenapa?" tanya Wilis.

"Tidak apa-apa."

Wilis berdecak. Ranjangnya berderit menerima bobotnya saat dia kembali duduk di sana. Tidak ada yang bersuara lagi selama beberapa menit kemudian. Aku juga hampir tertidur lagi.

Lalu, Wilis memecahkan keheningan. "Grey, kalau emasnya kupakai—"

"Wil," selaku tanpa membuka mata, "kau tahu, tidak, cerita-cerita di sekitar pasar intan Martapura?"

"Eh?"

"Tiap kali seorang pendulang intan di Cempaka mendapatkan intan yang amat sangat besar, pasar itu akan mengalami kebakaran hebat." Aku meniup-niup saat merasakan bulu kucing di hidungku. Ketika aku membuka mata, Denim telah menempelkan pantatnya ke wajahku. "Misal ... tahun 65 pasca penemuan intan trisakti yang katanya sampai 166 karat. Pasarnya langsung kebakaran, para pendulangnya diiming-imingi janji yang tidak pernah ditepati hingga sekarang, dan akhirnya intan itu hilang. Kau paham maksudku?"

"Tidak."

"Ada beberapa barang yang memang tidak untuk dimiliki manusia."

(*゚ー゚*) Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro