6 Januari 2014

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Warning:

Cerita ini diikutsertakan event MWM oleh NPC2301
Dengan target tamat dalam sebulan

Akan ada banyak typo, plot hole, dan segala macam anu
karena dikerjakan tanpa proses semedi lebih dulu

Mohon maap jika hasilnya kurang memuaskan ;-;
Jika ingin bantu razia typo dan anu-anu, silakan komentar
I'd really appreciate it

Hantu juga bisa terlambat atau ingkar janji. Sekarang, contohnya. Sudah lewat tengah malam, sebentar lagi pukul satu, dan aku menyesal meninggalkan tempat tidurku di kamar Wilis yang sejuk.

Aku menunggu di tempat kami menggali patung-patung emas itu, dan udaranya luar biasa beku di luar sini. Di bawah pepohonan, sekelompok anjing sepekat asap hitam dengan mata menyala merah memperhatikanku dengan waspada, tetapi hanya sebatas itu—mereka tidak mengganggu. Di sekitar pagar kawat yang membatasi halaman rumput dengan lapangan basket/bulu tangkis, ada beberapa sosok anak perempuan yang duduk-duduk seolah menikmati udara pagi, semuanya tidak punya wajah dan kaki.

Sebagian besar makhluk halus di sini tidak bergerak bebas, hanya mengulang beberapa hal yang dulu menjadi kebiasaan mereka selagi masih hidup. Tidak ada gangguan, hanya sosok samar yang sesekali berkedip lenyap lalu muncul lagi serupa refleksi di permukaan air atau asap tipis.

Aku melirik layar ponsel yang menjadi satu-satunya penerangan. Tepat pukul satu—sesuai peraturan tidak resmi di jam terakhir sekolah, jika guru tidak datang lewat dari satu jam, bergegaslah pulang sebelum ketua kelas muncul membawa tugas titipan. Maka, aku berjalan kembali ke dalam rumah Wilis.

Saat aku masuk ke kamarnya, Wilis tengah memakai jaket.

Aku mengernyit. "Kau mau ke mana?"

"Kau yang ke mana!" serunya. "Jaketmu tidak ada, kukira kau menggali harta lagi, atau ... entahlah, menangkap ular naga yang tidak mau kau ceritakan padaku?"

"Sudah kubilang tidak ada ular naga di halamanmu!" Aku melepaskan kaus kaki dan melemparkannya ke atas kasur rendahku. Kuamati balkon sebelah dari jendelanya yang tidak tertutup tirai, kalau-kalau si gadis hantu tidak tahu diri malah menongkrong di sana. "Aku tadi ada urusan sedikit, tapi tidak ada sangkut pautnya dengan harta—"

Itu dia. Bukan di balkon Olive. Saat aku tengah membuka jaket, mataku tak sengaja menyapu halaman belakang yang baru saja kutinggalkan, dan cahaya putih kekuningan benderang itu berdiri di sana. Aku memicingkan mata dan melihat si gadis hantu, seperti memberi isyarat padaku untuk menghampirinya, turun kembali ke sana.

Penglihatan hantunya pasti melampaui jarak, jadi aku yakin benar dia melihatku dengan jelas saat aku memeletkan lidah ke arahnya.

Si gadis hantu tidak senang. Dengan gaun krem terang yang berombak dan memudar jadi asap, wajahnya terbang menuju jendela Wilis. Suaranya, penuh kemarahan dan rasa jijik, terdengar seperti gesekan jarum di atas kaca di kejauhan, Kau ingin cari masalah denganku? Akan kubuat temanmu itu jadi gila.

Aku buru-buru menutup tirai, tetapi tentu saja dia akan menembusnya dengan mudah. Aku tergesa-gesa menghampiri Wilis yang telah naik ke ranjangnya sendiri.

"Dengar," sengalku. Bibir dan pipiku masih dingin, tetapi badanku terasa panas. "Apa yang bakal kau lihat ini tidak akan menyenangkan, tapi kau harus menahan diri! Jangan masuk ke selimut, jangan teriak, jangan ngompol, dan jangan menangis—dia akan makin menjadi!"

Wilis menganga tidak paham, tetapi kemudian matanya membulat dan mulutnya terbuka makin lebar. Arah tatapannya teruju ke jendela yang tengah kupunggungi. Teriakannya hampir lolos, tetapi aku buru-buru membekapnya pakai tangan.

Aku menoleh dan melihat si gadis hantu tengah membuat pose seperti hendak menerkam. Wajahnya yang cantik berubah rusak dan penyet seperti habis dilindas ban motor, telinganya mengeluarkan darah dan nanah, matanya rusak (aku sampai tidak tahu mesti mendeskripsikannya bagaimana), luka kecil di bawah telinganya melebar jadi luka sobek besar hingga dia seolah bisa membuka tutup kepalanya pada pangkal leher. Gaunnya semerah darah dan bernoda tanah, tergantung lepek pada badannya yang pengkor. Tangannya serupa tulang yang dibalut ketat kulit putih tipis. Rambutnya mekar sekali dan disarangi belatung yang berjatuhan.

Tubuh Wilis bergetar dan terayun maju mundur. Suaranya teredam di tanganku. Dia menggeliat ketakutan saat si gadis hantu mengubah-ubah wajah dan bergerak patah-patah, tiap detik makin mengerikan dari yang sebelumnya.

Biasanya, orang biasa sudah pingsan, atau berlari sambil buang air tanpa bisa berhenti, tetapi Wilis termasuk orang yang punya benak kuat, dan itu merepotkan. Dia tidak mau mengalihkan pandangannya, tidak mampu menenangkan diri, dan terus melakukan hal-hal yang membuat si gadis hantu kegirangan. Padahal akan lebih mudah kalau dia langsung semaput saja.

Puncaknya adalah saat si gadis hantu mengeluarkan suara kikikan melengking dan melesat mendadak sampai wajahnya hampir bertempelan dengan wajah Wilis. Pemuda itu langsung kejang di tempat tidurnya, bola matanya hampir terbalik, dan suara teriakannya lenyap, dibekukan kelumpuhan.

Aku buru-buru menggulingkan tubuh Wilis sampai membelakangi si gadis hantu, menindih wajahnya dengan bantal, lalu menduduki badannya agar dia tidak berbalik kembali menghadap si gadis hantu.

Gadis hantu itu sendiri kembali ke wujud cantiknya yang semula. Kaki telanjangnya melompat-lompat kegirangan, gaunnya berombak pelan. "Aku masih hebat dalam melakukan ini! Kau lihat wajahnya? Dia kayak, Ekh! Huekh! Brrr! Grrrh! Akk!"

Aku mengatupkan rahang kuat-kuat untuk menahan kemarahan. "Apa yang sebenarnya kau mau?"

Masih tersenyum puas, si gadis hantu mengedikkan kepala ke luar jendela, mengisyaratkan halaman belakang, lalu menghilang.

Aku tidak punya pilihan selain memasang kembali jaketku dan memasukkan ponsel ke saku celana. Sebelum pergi, aku mengecek Wilis. Dia masih meringkuk menyamping, lutut bersampuk dada dan siku mengepit kepala. Liur meleleh di sudut bibirnya dan matanya masih membelalak syok.

Berapa lama, sih, yang dia butuhkan untuk jatuh pingsan?

"Tidurlah lagi." Aku menepuk-nepuk kepalanya dengan bantal. "Yang barusan itu cuma mimpi."

"Mihm ... phi?" desahnya. Matanya berkumpul ke tengah. "Tadi ada hantu ...."

"Bukan, kok. Kau cuma kaget saat bercermin."

"Oh ... baguslah."

Matanya menerawang. Wajahnya pucat. Sepertinya untuk beberapa hari ke depan dia bakal jadi lesu dan mudah kejang, tetapi untuk saat ini dia baik-baik saja. Yah, seperti yang kubilang, temanku ini mental baja dan bebal setengah mati.

Aku pun keluar menyambut malam.

Dari halaman belakang, Kinantan—si gadis hantu—membimbingku berjalan terus melewati bunga-bunga liar, pohon-pohon cabai, dan pagar semak yang meranggas. Ujung gaunnya berkelepai, rambutnya mengambang, dan kakinya samar berupa kabut yang tidak menapak tanah.

"Jadi, Kinantan," kataku sampai matanya melirik tajam. "Itu betul-betul namamu?"

Bibirnya menyunggingkan cengiran. "Kenapa? Bingung, ya? Karena aku bisa menyembunyikan getaran hantuku sampai-sampai kau tidak bisa mengetahui cerita dan namaku?"

"Bingung, sih, tidak. Aku tahu beberapa dari kalian punya ... kelebihan." Aku melipat bibir ke dalam beberapa kali, merasakannya membeku oleh udara dingin. Hidungku terasa seperti es. "Annemie, misal. Dia bisa membuat poltergeist dan disukai entitas tertentu."

Wajah Kinantan berubah. Kebenciannya menandak-nandak, meracuni udara. Di saat itulah getaran hantunya naik sedikit, dan aku bisa mengintip sekilas—hanya sekilas.

Suhu turun dan naik dengan aneh. Dadaku kembali ditekan bobot tidak kasat mata. Aku merasa pusing, seakan-akan dunia berputar dan ruangan jadi timpang. Pohon-pohon seperti meliuk aneh, langit terdistorsi seolah aku memandang refleksinya melalui air yang beriak.

Lalu, aku menyadari kepalaku tengah miring ke arah kanan, sedangkan si gadis hantu tahu-tahu sudah berposisi di belakangku dengan wajahnya di sisi kiri kepalaku. Tangannya yang dingin menekan telinga dan pipiku. Leherku mengencang. Bola mataku bergetar saat aku memaksakan diri bicara, "Berhenti ...."

"Kenapa?" Si gadis hantu terkikik. Suaranya bergema ke dalam kepalaku. "Kau membiarkan si hantu anak Belanda itu mengakibatkan poltergeist di rumahmu, tapi aku tidak boleh mematahkan lehermu? Aku juga bisa memengaruhi fisik kalian yang masih hidup. Aku juga bisa membuat benda-benda—terutama yang tajam—beterbangan dan menusukmu sampai tembus."

"Kinantan," kataku. Bisa kurasakan sosok itu melemah sedikit saat aku memanggil namanya, maka aku meneruskan, "Annemie masih 10 tahun saat mati. Dan sama sepertimu—dia dibunuh Nippon."

Gadis itu akhirnya melepaskanku dari jeratan psikisnya. Sosoknya timbul tenggelam, berkeredep singkat, lalu terbentuk kembali di depanku. Kebencian sudah menyurut darinya, tetapi dia masih tidak senang. Ada kelebatan kesedihan dan rasa marah di matanya.

"Jangan sekali-sekali menyamakanku," ujarnya seraya mendekatkan wajah, "dengan anak PENJAJAH ITU!"

"Baiklah, baiklah." Aku mengalah. "Kemarin kau bilang Jerau ingin bertemu denganku lagi? Entitas macam apa dia?"

"Entitas gagal," jawabnya dingin. "Sudah berabad-abad dia menghuni rumah gaib itu, menolak mengerjakan tugasnya. Dia terus berpindah-pindah dan memangsa anak-anak. Dia bilang,"—suara Kinantan berubah, seperti batu arang yang nyala apinya diperciki air. Seperti suara sosok di dalam rumah iblis itu. "Kunjungan pertama, kuberi tahu kau salah satu rahasia hidupmu. Kunjungan kedua, kubantu kau menggali potensi terbesarmu. Kunjungan ketiga, kubuka jalur tak terbatas untukmu."

Entitas laknat itu bahkan tidak terbentuk di sini sekarang, tetapi mendapati suaranya dari mulut si gadis hantu membuatku hampir muntah. Aku tersengal, bajuku basah oleh keringat dingin. "Kenapa pesan itu dititipkan padamu?"

Si gadis hantu mencibir. "Kau pasti tahu kenapa."

Aku tidak yakin, tetapi mungkin aku memang tahu. Ini persis seperti saat aku masuk ke rumah itu untuk pertama kali—aku mengekori Annemie. Begitulah si entitas mampu terhubung denganku. Dia melacakku melalui hantu-hantu. Saat aku mencampuri urusan astral, dia tahu keberadaanku, dan aku mendatanginya seperti anjing yang merespons siulan.

"Patung emas," kata Kinantan. "Mestinya, kaubiarkan temanmu menggalinya sendiri. Dia akan mati selagi menggunakannya, tapi kau malah mencampurinya."

Aku tidak berkomentar. Dia memang benar—kalau kubiarkan, Wilis tidak akan berpikir dua kali untuk membawa patung emas itu pada keluarganya. Ayah dan ibunya takkan berpikir dua kali untuk menggadaikannya. Maut pun takkan berpikir sama sekali dan langsung saja menyita nyawa mereka.

Keburu kucampuri ... yah, inilah akibatnya. Kinantan jadi bebas berkeliaran di dalam rumah karena, entah bagaimana, manifestasinya memiliki ikatan dengan patung-patung emas itu, dan Entitas Jerau kembali mendekat ke arahku.

"Dulunya itu milik ibuku." Si gadis hantu menyeringai. "Dulu, saat akan dibawa jadi tahanan Belanda, dia menguburnya di antara bunga-bunga kamboja yang tumbuh persis di bawah balkon kamar teman cewekmu itu, tempat kehadiranku paling terikat. Ibuku bebas dari masa tahanan dengan menjadi gundik, tapi kemudian kawin lari bersama seorang pejuang lokal. Saat ayahku mati, aku lahir—ibuku membawaku pulang kemari. Dia menggali kembali semua harta bendanya, mewariskannya padaku. Saat rumah ini beralih fungsi jadi rumah bordil di tangan orang Jepang, kami mengubur lagi semua harta yang berharga sebelum mereka mengambilnya—kalung, cincin, gelang perak, pajangan-pajangan emas ... tapi mereka tahu siasat itu dan menggali semuanya. Mereka menemukan semua perhiasan ibuku ... kecuali patung-patung emas yang kalian gali. Ibuku dibunuh, lalu—ironisnya—dikubur tepat di sebelah emas-emasnya."

Jadi, tulang belulang itu memang bukan milik Kinantan, melainkan ibunya—tidak mengejutkan. Dilihat dari riak di sekitar ruhnya, jasad Kinantan hampir pasti dibuang ke sungai atau laut, jadi tidak mungkin berada di sini. Dan, karena hampir tidak ada makhluk gaib yang bisa terbentuk di air mengalir, manifestasi Kinantan pun terikat di sini—di rumahnya. Di balkon kamar Olive.

Umur gadis ini paling tidak 18 atau 19 tahun saat terbunuh di rumahnya sendiri. Kebenciannya tertuju pada laki-laki, juga kepada orang-orang yang punya darah atau keturunan selain pribumi—aku berada di kedua kategori itu. Kebencian itulah yang sebelumnya menekanku, meremas jantungku sampai rasanya nyaris meledak. Nah, sekarang aku paham kenapa dia tidak pernah mengganggu Olive dan barusan hanya menyasar Wilis. Yang dilakukannya pada Wilis pun bukan untuk sungguhan menyakiti; menurutnya itu cuma buat senang-senang.

Dan, seperti Annemie, Kinantan berbeda. Manifestasinya kuat, nyaris utuh. Dia mempelajari hal-hal baru meski sudah mati, membuatnya tampak seperti hantu yang baru saja mati kemarin. Dia mampu mencampuri beberapa hal di dunia orang hidup—mencoba mematahkan leherku barusan hanya contoh kecilnya saja. Entitas pun tertarik kepadanya meski dia sudah mati.

"Kinantan—"

"Tidak usah sok akrab." Sosoknya berkeredep. "Melihatmu saja bikin aku muak."

Aku mendesah. "Bukan salahku aku mirip ayahku."

Kinantan berbalik membelakangiku, lalu menembus pagar belakang rumah seenak jidat hantunya saja. Pagar itu berupa tembok berplester setinggi dua meter, tanpa gerbang atau lubang atau celah apa pun. Permukaannya rata hingga mustahil aku memanjatinya. Dengan jengkel aku berlari ke halaman muka, keluar dengan memanjati pagar berjeruji karena gerbangnya digembok, dan jalan memutar sampai ke gang sempit di bagian belakang rumah Wilis.

Melihatku tersengal-sengal bertumpu ke lutut, Kinantan menyengir, "Dasar manusia. Menembus tembok saja tidak bisa."

Pukul 01.34, dan ada macam-macam yang bisa dilihat di jalan. Laki-laki buntung merayap, orang-orang berkepala hewan, wanita tua yang tubuhnya tinggal kerangka, hingga sekumpulan anak-anak yang memanjati pohon dan berjatuhan sampai berdarah-darah sebelum kemudian bangkit dan memanjat kembali. Beberapa di antara anak-anak itu melambai padaku, mata mereka kosong, mulut mereka yang berupa rongga gelap dan hampa menyengir, "Kak, main sini, yuk!"

Di ujung jalan sana, berselang dua rumah dari rumahnya Wilis, adalah persimpangan. Menurut Wilis, di ujung simpang tiga itu dulunya ada rumah, tetapi yang menempatinya menemui akhir yang buruk. Kepala keluarganya tewas dibunuh perampok, istrinya diperkosa dan bunuh diri sebulan pasca perampokan, anak-anaknya terpencar—ada yang merantau jadi TKW, ada yang masuk penjara karena mengedar sabu, dan yang bungsu meninggal karena diabetes. Si sulung yang merantau pernah mencoba menyewakan rumah itu—tidak ada yang bertahan lebih dari sebulan, dijual pun tidak laku. Tiga tahun lalu, rumah itu diruntuhkan, tanahnya terbengkalai.

Itu letak yang bagus untuk rumah gaib.

Rumah besar yang pernah kulihat dua kali saat aku masih anak-anak berdiri di sana. Gelap, tampak mewah sekaligus bobrok, dan jelas sekali berhantu.

"Tuh." Kinantan mengangguk ke rumah itu. "Tugasku selesai. Sebetulnya aku mau menontonmu dimakan oleh Jerau, tapi ... kurasa aku harus kembali dan menjaga warisan ibuku di bawah tanah."

Aku meliriknya. "Apa kau tidak kepingin masuk lagi?"

Kinantan baru akan lenyap ketika aku mengatakannya. Manifestasinya kembali memadat. Alis hantunya terangkat. "Apa katamu?"

"Kau pernah masuk ke sini juga, 'kan?"

Matanya berkilat, tetapi dia menolak menjawab.

"Kau bisa menyembunyikan getaran hantumu, tapi aku bisa melihat umur fisikmu saat kau mati." Dengan kedua tangan di saku, aku mendekatinya. "Aku masuk pertama kali waktu masih anak-anak, mengikuti Annemie yang juga hantu anak-anak. Rumah ini hanya menerima anak-anak. Kau bukan anak-anak sekarang—kau mati saat sudah remaja. Berapa .. 17? 18—ya, 18 tahun. Dan kau bilang Jerau sudah menempati rumah ini berabad-abad. Artinya cuma satu: waktu kau masih hidup, kau pernah masuk ke rumah ini saat kau masih anak-anak, dan entah bagaimana entitas itu melepaskanmu, seperti dia melepaskanku dulu."

Kinantan mengerutkan bibirnya dengan jengkel, tetapi kemudian dia memaksakan seulas senyum kecut. "Kau mau kukasih saran?"

"Jangan mengalihkan pembicaraan."

"Jangan masuk dulu," katanya. "Ini jam-jam paling rawan. Saranku, kembalilah besok sebelum tengah malam. Kau mungkin punya kesempatan mendapatkan sesuatu di dalam sana tanpa perlu dikunyah oleh Jerau."

"Jadi, tadi kau terlambat karena menunggu lewat tengah malam, ya? Kau sengaja ingin mengirimku ke dalam di jam-jam rawan? Kenapa berubah pikiran?"

"Anggap saja aku mendadak berbaik hati karena kau anak indigo pertama yang bisa mengejutkanku."

Seperti asap, dia memudar, lalu lenyap.

(*゚ー゚*) Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro