7 Januari 2014

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Warning:

Cerita ini diikutsertakan event MWM oleh NPC2301
Dengan target tamat dalam sebulan

Akan ada banyak typo, plot hole, dan segala macam anu
karena dikerjakan tanpa proses semedi lebih dulu

Mohon maap jika hasilnya kurang memuaskan ;-;
Jika ingin bantu razia typo dan anu-anu, silakan komentar
I'd really appreciate it

Aku sudah seperti anak bagi orang tua Wilis, lebih daripada anak kandung mereka sendiri—begitulah yang dikatakan ibunya.

Aku menemani ayahnya membersihkan bangkai tikus dan kecoak di gudang semi-basement, mengantar ibunya berkendara ke pasar, sementara Olive belum bangun dan Wilis masih semaput di kamarnya. Bahkan ketika aku akan berkemas untuk pulang sebelum jam makan siang, ibunya Wilis membujuk, "Menginaplah sampai liburan habis. Kau bisa mengecek rumahmu yang kosong siang-siang, lalu kembali lagi ke rumah kami."

Aku baru akan menyahut bahwa pakaian kotorku bertumpuk dan rumah pasti kacau kalau kutinggal terlalu lama, tetapi kemudian beliau melanjutkan, "Aku masak semur ayam dan oseng tahu siang ini."

"Boleh, deh." Aku menjawab.

Lagi pula, aku masih ada urusan di dekat rumah Wilis—rumah hantu itu masih minta disambangi. Setelah Kinantan menghilang waktu itu, aku sempat mondar-mandir di depan pagarnya dengan bimbang. Akhirnya, pukul 01.55, aku memutuskan untuk kembali ke kamar Wilis dan tidur. Pagi harinya di tanggal 6 itu, Wilis tidak bisa bangun seharian—dia diam di tempat tidur sampai senja sehingga ibunya murka sekali dan Olive jadi punya kesempatan menyeretku ke mall untuk membawakan belanjaannya. Malamnya, aku jadi tidak punya tenaga untuk keluar. Membawakan tas belanja Olive sama menguras tenaganya dengan menghadapi entitas jahat dalam rumah hantu.

Jadi, aku berniat akan datang lagi malam ini, tanggal 7—Paman Tam pernah bilang padaku kalau angka 7 itu angka keberuntungan, hanya karena dia pernah menang undian di tanggal itu dan nomor undiannya mengandung banyak angka 7. Kalau aku pulang sekarang, dan ternyata rumah gaib itu masih betah di jalan tusuk sate di kompleksnya Wilis, aku bakal kesulitan mencari taksi malam-malam.

Maka, meminjam kendaraan Wilis, aku pulang sebentar ke rumah. Sambil mencuci pakaianku yang seminggu belakangan kupakai di tempat Wilis, aku bercerita semuanya pada Annemie. Obsidian, si Entitas Alam berwujud kucing hutan, berkeliaran di sekitarnya. Matanya menyipit saat aku menyebut nama Kinantan.

"Kadang memang ada hantu seperti itu." Annemie mengangguk-angguk. "Esensinya ada di tengah-tengah—tidak jahat, tapi bukan berarti dia makhluk baik. Lebih kayak merepotkan. Bisa jadi dia dulunya orang yang murah hati dan sebagainya, tapi caranya mati dan kebenciannya pada sesuatu meracuni ruhnya."

"Yang jelas, dia tidak menyukaiku." Aku berkata. "Tidak suka padamu juga, An. Dia seperti menganggap semua orang yang bukan pribumi sama buruknya."

"Aku tidak menyalahkannya." Mata si bocah hantu menerawang pada kaus kakiku yang tersangkut di ujung baskom. "Aku masih anak-anak waktu itu, tapi aku juga paham perbuatan dari bangsaku di sini dulu banyak yang jahat. Orang tuaku salah satunya."

Aku menggembungkan sebelah pipi, tidak tahu mesti berkata apa. "Yah, pokoknya jaga saja rumah. Dan kalau ada telepon masuk, jangan diangkat. Terakhir kali kau mengangkat gagang telepon pakai poltergeist, aku harus menjelaskan ke mama bahwa aku terpeleset sampai kabelnya tercerabut seperti itu."

"Aku mau ikut." Annemie memajukan bibirnya. "Aku ikut dong, Grey. Rumah sepi sekali sejak mama pergi ke rumah nenekmu. Jian juga sekarang sudah jarang kemari sejak Om Kadru nggak ada."

"Tapi kehadiranmu terikat di sini," kataku. "Paling banter kau cuma bisa sampai taman makam. Satu kali kau mencoba mewujud di sekolahku, kau nyaris tidak berbentuk. Aku mimpi buruk tentang wujudmu itu sampai bermalam-malam."

"Aku bisa, kok, mewujud sempurna kalau pakai wadah."

Makhluk halus punya definisi terhadap ruang dan waktu yang berbeda dengan manusia. Mereka bebas dan terkekang di saat bersamaan. Mereka bukannya bisa pergi sesuka hati ke mana dan kapan pun, tetapi ada tempat-tempat tertentu yang mengikat wujud mereka: tempat mereka mati, tempat yang pernah mereka sambangi saat masih hidup, tempat paling berkesan, tempat yang membuat mereka dibanjiri penyesalan, atau tempat-tempat di mana orang yang mereka cintai berada.

Wadah yang dimaksud Annemie bisa jadi berupa botol, guci, atau barang-barang antik yang memiliki ruang untuk dihuni ... atau tubuh manusia. Dengan membawa-bawa wadah itu, akan ada bagian dari ruh mereka yang terbawa, membuat mereka mampu mewujud di tempat wadah itu diletakkan dan dibuka.

Kadang, begitulah cara mereka mampu memindahkan manifestasi, memperluas cakupan agar tidak semata terikat di satu tempat. Kurasa, karena itulah beberapa orang melarutkan botol-botol berisi makhluk halus tangkapan ke sungai atau laut—air mengalir bisa membuyarkan mereka perlahan-lahan, dan jika larut terlalu lama bisa mencabik keterikatan mereka dengan tempat yang mereka hantui.

Makhluk-makhluk ini juga bisa menempeli benda-benda kotor semacam ... yah, sesuatu yang kena darah misal, tetapi menempeli benda seperti itu akan merusak intisari ruhnya dan mengubah mereka menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang buruk.

"Wadah apa?" tanyaku. "Aku tidak punya barang antik."

Annemie melorot. Wajahnya merajuk. "Dulu Kak Nila saja membiarkanku merasuki temannya si ketua kelas cakep."

Kali ini, giliranku memasang wajah redup. Aku tidak menjawab, dan sepertinya Annemie juga sadar aku tidak mau bicara lagi. Maka, sampai pakaianku selesai dicuci, kami hanya diam di sana, mendengarkan suara dengkuran Obsidian.

Tidak enak rasanya meninggalkan Annemie lama-lama. Kadang, dia bisa membawa beberapa teman hantunya ke rumah (dia betul-betul hantu yang supel), atau membuat berantakan kamarku dengan poltergeist. Namun, aku berjanji padanya akan pulang sebelum liburan berakhir.

Kembali ke rumah Wilis, temanku sudah mampu turun dari tempat tidurnya, tetapi dia tampak blank seharian. Dia melamun saat makan, melamun saat kami main game hingga aku menang mudah (bagus, sih), dan melamun saat kami main bulu tangkis hingga kok yang kulempar masuk ke dalam mulutnya (Olive tak buang waktu dan langsung mengambil foto).

Menjelang petang, fokusnya mulai kembali, dan dia pun bercerita, "Grey, dua malam lalu aku mimpi buruk."

Aku mengangguk-angguk dan tidak berani menyahut selama dia menceritakan apa yang terjadi. Di luar jendelanya, kabut tipis berputar-putar, membentuk sosok samar Kinantan yang menyimak dengan girang.

Di pertengahan cerita Wilis, kami disela oleh pintu yang didobrak sampai terbuka, dan Olive berdiri di ambangnya. "Wilis! Lihat Denim tidak?!"

Setelah dicari berjam-jam, aku menemukan si anak kucing sedang mendengkur di dalam celah sempit di samping kulkas.

Pukul 11, semua orang sudah tidur kecuali Wilis. Padahal, aku harus pergi sebelum tengah malam, persis Cinderella. Cinderella yang harus pergi ke rumah gaib. Kacau sekali hidupku.

"Mungkin aku harus pelihara kucing juga," gumam Wilis di atas tempat tidurnya. "Olive tidak pernah dihantui, mungkin karena ada Denim. Tapi merepotkan sekali kalau mesti jadi budak kucing itu, mencari-carinya tiap hari, menemukannya di tempat-tempat menyusahkan."

"Sudah kubilang tidak ada hantu."

"Tapi yang semalam itu nyata sekali, Grey!" Wilis menarik selimutnya sampai menutupi kepala. "Seram banget! Sampai mau mati rasa—"

Kalimatnya terhenti, dan aku buru-buru bangun dari posisi berbaringku. Di dalam selimutnya, Wilis mendadak jadi histeris dengan suara teredam. Aku berusaha menyibaknya, memanggilnya berkali-kali, sampai kemudian Wilis merangkak keluar dengan panik.

Wilis jatuh dari atas ranjangnya, wajahnya menghantam ujung meja nakas, melukai pelipisnya, dan temanku pun pingsan.

Menembus selimut yang menggumpal, kepala Kinantan menyembul keluar sambil tersenyum geli.

"Kau—"

"Aku membantumu, tahu?" sungut si gadis hantu. "Membantumu dengan cara yang asyik. Sudah sana, Jerau menunggu."

Menelan rasa marah, aku menggulingkan tubuh Wilis sampai berbaring ke atas kasurku. Matanya juling ke atas, suaranya mengerang-erang parau. Ada warna merah terang di antara kedua matanya, jiplakan ujung meja. Sebelum dia sadarkan diri, kupakai jaket dan kaus kakiku buru-buru, lalu mengambil ponsel.

Mengendap keluar bukan perkara sulit. Rumah ini luas sehingga sulit sekali menangkap suara-suara yang terjadi di lantai bawah. Bahkan jika ada maling berjoget di atas meja ruang tamu, keluarga ini takkan menyadarinya.

Karena tidak bisa menembus pagar tembok, aku terpaksa mengambil jalan memutar lagi lewat gerbang depan. Malam mendung, udara lembap, dan suara-suara anjing melolong terdengar di kejauhan.

Kusingkirkan semua prasangka buruk dan tetap lanjut berjalan.

Tampak besar menjulang, rumah itu kembali memanggilku seperti godaan. Seperti dua malam lalu, aku mondar-mandir dulu di depan pagar berkarat rumah gaib itu, merasa gelisah tanpa alasan jelas. Aku mengamati rumah itu dengan kalut, mempertimbangkan untuk masuk atau tidak.

Tiap kali berhubungan dengan hal astral sebesar ini, mataku jadi buta akan semua probabilitasnya, seperti saat dulu aku terlambat menyadari betapa jauhnya kakakku tenggelam dalam urusan para entitas ....

Aku mengambil ponsel, menyalakan senternya, dan baru mengambil satu langkah saat merasakan punggungku ditatap oleh seseorang.

Aku berbalik dengan cepat, mengejutkan orang yang mengikutiku. Dia segera menarik diri ke balik tiang lampu jalan, tidak menyadari betapa siraman cahayanya justru menerangi ujung jaket dan lututnya yang menyembul.

"Olive!" Aku berbisik kencang dan menyusulnya.

Ketika aku menghampirinya, ternyata lebih buruk. Ada Wilis juga di sana. Wajahnya pucat dan bibirnya tidak berwarna. Bekas benturan meja masih mentato puncak hidungnya.

Keduanya merapat ke satu sama lain, tampak seperti sepasang saudara yang akur untuk beberapa detik.

"Kau, sih!" Wilis kemudian membentak adiknya. "Makanya kubilang jangan keluar dulu, tunggu sampai dia masuk!"

"Nanti kalau kehilangan jejak Grey, kita bisa kesasar di rumah hantu! Kalau mesti kesasar, mending aku kesasar sama Grey, bukannya denganmu!"

"Adik kurang ajar!"

"Kakak blangsak!"

"Kau koplak!"

"Penakut!"

"Siapa yang kau panggil penakut! Bukan aku yang menangis waktu ada tulang jenazah di halaman! Cengeng!"

"Kau tadi lari ke kamarku dan minta ditemani mengejar Grey—kalau bukan penakut, apa lagi namanya? Lemah!"

Mereka masih melempar panggilan-panggilan sayang saat aku meninggalkan keduanya dan berderap masuk ke rumah Jerau. Keset welcome usang yang berbau basah masih membentang di depan pintunya yang setengah terbuka, dan bagian dalamnya begitu gelap. Pada dua kesempatan sebelumnya aku masuk saat masih petang. Sekarang, aku masuk hanya satu jam sebelum tengah malam, yang mana benar-benar cari mati.

Aku berusaha menutup pintu itu di belakangku saat Olive mendobrak masuk. Dia dan kakaknya menghambur ke dalam, tersandung undakan teratas, dan jatuh menimpaku. Kami bertumpukan bertiga di sana dan mengerang-erang, tetapi semuanya terdiam saat terdengar bunyi pintu yang berdebum tertutup.

"Olive," geram Wilis. "Kakimu menyenggol pintunya, ya?!"

"Kau yang paling atas, 'kan? Coba tanya pantatmu, yang sudah pasti menyundulnya."

Aku tersedak. "Olive, sikumu di rusukku."

"Oh, sori." Gadis itu menyingkirkan tangannya, tetapi tidak menyingkir dari atasku. Sisi kepalanya malah merebah ke dadaku. "Jangan ge'er, ya, Grey. Ini gara-gara Wilis masih di atasku."

Wilis bangkit lebih dulu, disusul Olive yang terhuyung-huyung. "Gelap sekali!"

Masih di lantai dan bertumpu lengan, aku meraba-raba ke mana ponselku jatuh. Kulihat cahayanya di samping kaki meja dari kayu. Aku menyambarnya dan mengarahkan cahayanya ke sekitar.

Tidak ada si entitas.

"Pintunya tidak bisa dibuka!" Wilis menarik dan mendorong kenop dengan panik. "Kita terkurung!"

"Jendela?" usul Olive sambil meremas-remas kedua tangannya. Kakinya mengganti-ganti tumpuan dengan gelisah.

Wilis mencoba mendorong jendela, mencari-cari kuncinya, mengutak-atiknya. "Tidak bisa—seperti dilem!"

"Lantai atas!" Olive berseru. "Tadi sebelum masuk, aku mengamati lantai atasnya—ada satu jendela terbuka di samping kiri, dan ada balkonnya juga. Menurutmu kita bisa memanjat turun dari situ?"

Aku mengangkat alis ke arahnya. "Tajam juga matamu."

Gadis itu mengebelakangkan helaian rambutnya dengan gaya. "Kalau mataku tidak tajam, aku tidak mungkin naksir kamu, Grey."

Kami berjalan lurus memasuki rumah lebih dalam, melewati lorong tak berpintu yang dipenuhi pigura-pigura kosong di dindingnya dan karpet merah berbau apak di sepanjang lantainya.

Kali pertama dan kedua masuk kemari, aku langsung disambut oleh si entitas dan tidak sempat memperhatikan apa-apa karena ketakutan. Baru sekarang aku menyadari ada perabot yang sudah tua dan berdebu. Lorong-lorong membentang, saling berpotongan, dan beberapa lorong berakhir buntu begitu saja. Beberapa ruangan terkunci, sisanya terbuka dan menguarkan hawa panas yang sama sekali tidak mengundang untuk dimasuki. Langit-langit berupa plafon kayu berukiran, terkesan agak lapuk. Lampu-lampu besar megah tergantung di atas. Wilis menemukan saklar dan mencoba menyalakannya, tetapi tidak ada yang menyala.

"Ini, 'kan, rumah yang dulu kerampokan itu," erang Wilis. Suaranya bergetar. Satu tangannya mengait ujung jaketku, tangannya yang lain menggandeng lengan adiknya.

"Tapi, bukannya rumah yang itu sudah diruntuhkan?" sahut Olive. Satu tangannya yang tidak ditahan oleh Wilis menggamit lengan kananku erat-erat. "Dan lagi, rumah ini beda dengan yang dulu. Kita pernah lewat sini beberapa kali, dan seingatku tanahnya sudah jadi tanah kosong."

"Kenapa kalian mengikutiku, sih?" Aku menggerutu.

"Kata Wilis, kau mungkin kesurupan hantu wanita seram."

"Sudah kubilang, aku tidak pernah kesurupan."

"Bisa saja, 'kan?" sergah Wilis. "Kukira aku bakal mati tadi—kau janji tidak ada hantu, Grey! Ternyata ada! Dan ternyata yang kulihat semalam juga betulan! Seram sekali! Aku hampir mengencingi celanaku!"

Olive mendengus. "Bukan hampir lagi, 'kan?"

"Tidak, kok! Aku masih bisa menahan diri!"

Aku melirik ke bawah. "Kenapa celanamu beda dari yang tadi?"

Dalam cahaya temaram senter, wajah Wilis yang pucat tampak berwarna lagi. "I-ini karena keluar mengejarmu—aku mesti ganti celana piama ke celana jeans!"

Kami berjalan terus sampai melewati dapur. Ada pintu belakang di samping kulkas yang berkarat, tetapi pintu itu juga tidak bisa dibuka. Jendela-jendelanya gelap tertutup debu, tidak bisa dibuka juga, seperti dipaku ke kosen. Maka, kami tidak punya pilihan selain mencari tangga menuju lantai atas.

"Grey ...." Olive menarik-narik lenganku saat kami sampai di persimpangan lorong. "Itu ...."

Aku menoleh dan melihat apa yang ditunjuknya: sosok gelap di ujung salah satu lorong. Aku menyorotkan cahaya senter ponsel ke sana, tetapi sinarnya seolah terpotong di tengah jalan dan tak mencapainya sama sekali. Dari bentuknya, itu seseorang. Dari ukurannya, dia anak-anak.

Kudengar Wilis menelan ludah. "Itu manusia hidup, 'kan?"

Si anak bergerak, berjalan ke arah kami. Tiap detik, kecepatannya meningkat.

"Bukan." Aku mendorong Wilis dan Olive ke belokan lorong menuju ruang tengah. "Lekas!"

Kami berlari sekarang, begitu pun sosok yang mengejar. Dari anak itu, aku mendengar suara tawa melengking yang histeris.

Aku mengarahkan senter lurus-lurus. Wilis paling cepat di antara kami dan sudah lebih dulu melesat melewati pintu yang terbuka menuju ruang tengah. Wajahnya begitu pucat, matanya membeliak, dan tangannya terus melambai dengan teriakan mendesak, "Cepat!"

Aku menarik Olive yang hampir tertinggal dan mendorongnya masuk lebih dulu. Di ambang pintu, aku menunggu dengan tangan mencengkram gagang pintu. Wilis dan Olive menjerit histeris ketika sosok kecil itu sudah sangat dekat.

Di saat-saat terakhir, aku menutup pintu dan menahan gagangnya. Bersamaan dengan suara debuman dan pintu yang bergetar, aku menggeser kuncinya yang agak berkarat. Suara cakaran pada daun pintu memenuhi ruangan.

"Apa itu?" tanya Olive yang mulai terisak.

"Apa lagi?" balas Wilis dengan suara gentar. "Hantu!"

"Kenapa dia tidak menembus pintunya?"

"Olive—jangan ngomong sembarangan!"

"Tapi, dia tidak bisa ke sini, 'kan?"

Wilis menatapku. "Ya ... dia tidak bisa ke sini, 'kan?"

"Tidak, selama pintunya ditutup di depan wajahnya untuk menegaskan batas wilayahnya," kataku. Kedua bersaudara itu menarik napas lega. Maka, untuk menghancurkan kebahagiaan mereka, aku mengarahkan cahaya senter ke sofa di belakang mereka. "Jangan senang dulu."

Keduanya hampir menjerit lagi, tetapi aku buru-buru membekap mereka dengan kedua tangan. Ponselku hampir jatuh saat menutup mulut Wilis.

Di atas sofa, duduk sepasang anak lelaki dan perempuan. Kulit mereka seputih kapur, dan lingkaran di sekitar mata mereka segelap arang. Mereka mengenakan seragam yang nyaris identik: kemeja putih lusuh, celana hitam panjang untuk si anak laki-laki, dan rok lipit hitam untuk di anak perempuan. Keduanya menghadap televisi yang mati, menatapnya dengan pandangan menerawang seperti terhipnotis.

"Jangan berteriak," kataku. "Jangan lari. Jangan melakukan hal-hal yang bisa membuat perhatian mereka teralih ke kita. Tangganya ada di belakang sofa itu—kalian lihat? Bagus. Sekarang, jalan pelan-pelan dan jangan perhatikan mereka."

Wilis bergerak sekaku balok kayu dipaksa berjalan, Olive menutup mata dengan satu tangan dan tangan lainnyanya berpegangan erat pada kakaknya, dan aku mendorong bahu keduanya agar terus berjalan maju. Dengan langkah terseok, kami mendaki tangga perlahan. Sisa lima anak tangga sebelum sampai ke atas, aku melirik sofa, di mana kedua anak itu telah menoleh ke arah kami.

Lorong lagi, kali ini keadaan lebih terang karena jendela berjajar di dinding dan membiarkan cahaya lampu jalan di luar menembus samar.

Wilis hampir kembali menuruni anak tangga saat mendengar suara jeritan di sepanjang lorong dan bunyi pintu yang dibanting. Namun, aku menahannya.

"Aku mau pulang." Olive sesenggukan. "Aku janji tidak akan mengganti isi odol Wilis lagi dengan selai nanas, atau menyuruh Denim menggigiti headset-nya, atau mengotak-atik kunci senar gitarnya. Aku betul-betul mau pulang ...."

"Kamarnya ada di sekitar sana." Aku menunjuk ujung lorong, di mana suara teriakan makin jelas terdengar. "Sekitar itulah yang jendelanya terbuka, menghadap halaman samping rumah."

Kuperhatikan jam di layar ponsel—tepat tengah malam. Kumatikan senter dan memasukkan ponsel ke saku. Cahaya lampu jalan sudah cukup menerangi lorong.

Kami mengendap. Di depan sana, di sisi kiri dinding, berdiri pintu kayu merah gelap yang tertutup. Kami sudah akan berlari ke sana, tetapi berhenti saat sesosok bayangan melesat dari lorong kanan, merentangkan tangan ke depan, dan membuat pintu itu menjeblak terbuka. Ia menghilang ke dalam kamar itu.

Wilis dan Olive mengerut di belakangku, keduanya hampir memanjati badanku saat sosok itu keluar dari kamar dalam posisi tengkurap. Ia bergerak dengan ganjil, seolah ada yang menyeret kakinya ke belakang. Teriakannya terdengar, menusuk persendian dan membuat tulang-tulangku ngilu. Pintu pun tertutup kembali.

Kami mendekat perlahan, menyaksikan sosok itu—seorang anak perempuan, barangkali dua atau tiga tahun—berlari kembali dengan tangan direntangkan. Pintu lagi-lagi terbuka oleh energinya—ini pengulangan.

Aku mengintip ke dalam kamar, di mana terdapat sebuah ranjang ganda berkelambu tua di ujung, lemari berlaci di sampingnya, dan meja rias di seberangnya. Sarang laba-laba memenuhi tiap sudut. Pada jendela yang terbuka di antara ranjang dan meja rias, terdapat jalinan seprai dan selimut yang terikat, menjuntai keluar. Pangkalnya disimpul mati pada tiang ranjang berkelambu.

Wilis dan Olive saling berpelukan menungguku. "Ada apa di dalam, Grey?"

"Jalan keluar."

Aku menunggu, memperhatikan bayang-bayang si anak perempuan yang melongok ke bawah lewat jendela, tangannya memegangi jalinan tali seprai erat-erat dan baru akan mencoba loncat saat sebelah kakinya terangkat energi tak kasat mata lainnya. Dan begitulah ia diseret keluar sambil menjerit-jerit.

"Masuk!" Aku menarik Wilis dan Olive sebelum pintu tertutup. Kami sudah berada di dalam saat anak perempuan itu diseret keluar dan pintu dibanting menutup.

Wilis memanjat turun lebih dulu. Balkon lebih rendah dari lantai kamar, dan ada cabang pohon besar di depannya yang bisa diraih. Tanpa perlu bergelantungan di jalinan seprai yang lapuk, Wilis hanya perlu meraih cabang pohon dan tetap berpegangan ke pagar balkon, lalu mendarat di atas kedua kakinya. Saat Olive melompat, dia mendarat di atas kakaknya.

Ketika aku akan turun juga, pintu menjeblak terbuka di belakangku. Namun, alih-alih sosok si anak perempuan, yang menyapaku justru sebentuk suara lirih yang menggema dalam kepala. "Grey ...."

Aku menoleh.

"Grey, tolong aku ...."

Aku membeku di sana. "K-kak Nila?"

"Grey ..." rintihnya lagi, kali ini lebih mendesak. "Grey, tolong!"

"Grey!" Itu teriakan Wilis dan Olive di bawah sana, tetapi aku mengabaikan mereka. Aku berbalik, berlari ke arah pintu dan memelesat sepanjang lorong di mana si anak perempuan diseret pada kakinya.

"Grey!" Gema itu lagi, tetapi tidak ada sosok apa-apa lagi sejauh apa pun aku berlari, ke mana pun aku menoleh. "Grey, di sini!"

"Di mana?!" Aku menjerit.

Udara berdenyar di depan pintu kayu yang cat putihnya mengelupas. "Di sini!"

Aku menabrakkan segenap bobot tubuhku ke sana, mendobraknya sampai hancur. Aku jatuh ke dalam dengan bahu lebih dulu, serpih kayu menusuk badan, dan ruangan seolah berputar dalam pandanganku.

"Grey ...."

Aku menoleh. Tepat di ambang pintu yang kuhancurkan, gumpalan asap pekat menjulang. Merah tua—merah yang, saking gelapnya, nyaris hitam. Pekat dan kental seperti darah. Ia nyaris tidak ada bentuk, hanya sekumpulan asap yang menguncup ke atas, melengkung dan melebar ke bawah. Tidak ada wajah, tetapi ada sebentuk bibir dari cahaya merah gelap di atas, menyeringai. Tiruan bibir itu bergerak, menggemakan suara kakakku, "Grey, di sini ...."

Mataku berkedut. Tanganku tidak bisa berhenti gemetar. Kutekan kedua sisi kepalaku, lalu menyadari bahwa sejak awal suara itu tidak ada di mana-mana kecuali di dalam kepalaku sendiri.

Sosok itu tertawa. Suara kakakku lenyap, digantikan bisikan lirih yang pernah diucapkannya belasan tahun lalu: "Kunjungan pertama, kuberi tahu kau salah satu rahasia hidupmu.

"Apakah kamu percaya kalau kubilang, di dunia lain kamu terlahir sebagai anak perempuan? Namanya Grayer. Barangkali, Grayer yang itulah yang diharapkan kakakmu.

"Kunjungan kedua, kubantu kau menggali potensi terbesarmu."

Kepalaku berdenyut. Gambaran-gambaran kacau seperti foto-foto yang tumpang tindih pun muncul, masuk ke kepala seolah dijejalkan melalui rongga mataku.

"Kunjungan ketiga, kubuka jalur tak terbatas untukmu."

(*゚ー゚*) Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan


***

Dapat kiriman fanart pertama untuk cerita ini
HOREEEE >/////<

Timakaci sonozakirei (。・ω・。)/💕💕💕💕


Ada Olive yang bucin (BUdak kuCINg) bersama Denim :3


Ada Wilis yang kiyowo UwU
Ada Denim juga di bawah xD



Sama paket lengkap Wilis, Mbak Kinantan, dan ....
G R E Y


/sonozakirei tries to murder us with Grey's pose/

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro