24 Januari 2014

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kinantan bilang, Rumah Jerau paling aktif tengah malam. Maka, tepat pukul 00.00, aku pergi jalan kaki menembus malam, berniat mencari taksi atau menumpang mobil orang asing menuju bandara—apa saja. Pikiranku kacau. Tidak ada lagi yang bisa kurenungkan sekarang.

Aku membawa Denim bersamaku, memasukkannya ke saku jaket.

Namun, rupanya aku tidak perlu mencari taksi. Sebuah sepeda motor melintas melewatiku, lalu berbalik dan berhenti memotong jalanku.

Wilis membuka helm. Matanya bengkak. "Sudah kuduga."

"Apanya?" tanyaku.

"Olive cerita tentang rumah itu—kau mau ke sana sekarang, 'kan?"

"Ya."

"Kalau begitu naik." Wilis mengedikkan kepala ke jok belakang motornya, lalu mengoper helm padaku. "Ceritakan padaku semuanya di jalan. Kalau tidak, kau bakal ku-drop di siring sungai depan masjid sana."

Aku menceritakan hampir semuanya pada Wilis, bahkan lebih detail ketimbang ceritaku pada Olive. Namun, sebelum ceritaku lengkap, kami telanjur sampai di depan bangunan sekolah TK itu.

Barulah, ketika aku turun dari sepeda motornya, aku menyebutkan hal terpenting, "Aku pernah bertemu Olive satu kali. Dan sepupumu yang bermasalah itu juga ... aku pernah melihatnya."

Wilis mengernyit. Dia membuka mulut, tetapi aku mengangkat tangan dan menghentikannya. "Jangan menyela. Aku harus mengatakan ini."

Setelah aku merampungkan semua cerita itu, Wilis belum benar-benar memprosesnya. Dia belum melihat implikasinya. Aku menghentakkan kakiku tidak sabar. Hanya seraihan tangan di balik punggung, rumah Jerau berdiri, memanggilku mendekat.

"Lalu ..." kata Wilis. "Kau bisa mengembalikan kakakmu kalau memasuki pintu putih itu? Kedengarannya bagus ... kecuali pada bagian di mana si bocah perempuan itu merasuki jasadmu dan menggantikanmu di dunia ini." Wilis mengangguk-angguk. Ekspresinya mengeras dan dia menolak menatapku. "Tapi kau kepingin menemukan kakakmu—aku mengerti. Kalau begitu, setelah kau keluar lagi nanti, yang mengisi jasadmu adalah si Gray itu, 'kan? Bukan kau yang asli? Baiklah, aku akan mengantarnya pulang, lalu ... entahlah, memutuskan hubungan, barangkali. Mana bisa aku berteman dengan orang yang pakai badanmu tapi isinya bukan kau?"

"Tidak perlu repot-repot memutuskan hubungan," kataku. "Tampaknya kau masih belum paham, ya, akibat dari pilihanku yang mana pun? Begitu aku memilih pintu hitam, umurku bakal memendek seperti kebanyakan anak yang jiwanya sudah teracuni oleh rumah ini. Kalau aku memilih pintu putih, aku bakal kembali ke lintas waktu di mana aku masih bayi dan mengubah beberapa hal, membelokkan keputusan kakakku—secara otomatis, akan ada banyak perubahan yang terjadi. Semua hal yang pernah mendapat pengaruh dariku di sini bakal hilang, atau berubah. Kita mungkin bakal tidak saling kenal. Kau barangkali tidak bakal mengenali wajahku seolah-olah bertahun belakangan ini tidak pernah terjadi."

Aku bisa melihatnya marah sekarang, tetapi Wilis menahan lidahnya. "Begitukah? Bagus—aku bisa langsung pulang kalau begitu, biar badanmu yang dirasuki si Gray itu membusuk kedinginan di sini."

Dia mengulurkan tangan, dan aku menjabatnya.

"Aku nggak ngajak salaman, Grey. Aku minta helmku kembali."

Aku melepaskan helmnya, lalu mengembalikan Denim juga. Dari dalam saku jaketku, kini Denim beralih masuk ke dalam baju Wilis. Sepasang cakar depan dan kepalanya menyembul ke atas kerah depan baju Wilis sampai aku hampir merasa kasihan pada si kucing kecil.

"Baiklah, jadi tampaknya pilihanku ...." Kalimatku terhenti saat menyaksikan rumah itu tampak memudar. "A-aku harus masuk."

Wilis masih tidak mengatakan apa-apa. Dia tengah mengamatinya refleksi wajahnya di helm yang baru kukembalikan. Alisnya mengernyit, seperti menyadari sesuatu. Namun, aku sudah tidak punya waktu. Rumah itu seperti mempermainkanku. Aku harus masuk sekarang atau kehilangannya.

Aku telah berada di ambang pintu ketika Wilis memanggilku lagi.

"Kalau kau mengubah masa lalu dan hilang dari lintas waktu di dunia yang ini, semua yang pernah mendapat pengaruh darimu juga bakal ... berubah?"

Aku menoleh. Tanganku berhenti di kenop, batal menghela pintu. "Iya."

"Bagaimana dengan Olive?" Pada titik itu, Wilis mendengus-dengus dan amarahnya meledak sepenuhnya. Dia membanting helm ke tanah, membuat Denim terkejut dan tenggelam ke dalam bajunya. "Kalau kau hilang, kalau semua pengaruhmu juga lenyap, siapa yang bakal menghentikan dokter itu? Siapa yang akan menangani adikku sebelum infeksinya menyebar waktu itu? Bahkan, meski dengan campur tanganmu saja, meski kau membimbing dokter itu, tetap saja Olive sudah hampir mati hari itu! Sekarang, kalau semua campur tanganmu hilang, lantas bagaimana dengan Olive? Bagaimana dengan adikku—dasar sialan, kau!"

Pintu terbanting menutup di depan wajahku tepat saat Wilis mencoba mengejarku. Dari jendela, kusaksikan pemandangan di sekitar bandara mulai terdistorsi. Wilis berlari mati-matian, satu tangannya meraih ke depan, tetapi kemudian segalanya gelap di kaca jendela. Rumah ini telah lenyap dari tanah bandara.

"Dia tidak boleh masuk." Suara Jerau terdengar dari langit-langit rumah. "Kemarilah, Anak Pintar. Penuhi panggilanmu."

Aku berjalan menyusuri koridornya yang lebih panjang daripada sebelumnya. Kian jauh aku berjalan, makin kusadari koridor ini tak berkesudahan. Bahkan di saat-saat terakhir, rumah ini mencoba mempermainkanku.

"Baiklah." Aku berkata. Rasa kebasku mulai terangkat perlahan-lahan. Kegentaran mulai mengisi hatiku. "Gray, aku tahu kau di sana."

Aku memejamkan mata selama tiga detik. Lalu, membukanya. Di sekitarku, dinding dan langit-langit menghilang. Jalan lurus koridor masih terbentang, tetapi hanya ada kehampaan putih di sekitar. Di depanku, si Anak Pirau berdiri sambil tersenyum simpul, kedua tangannya terulur—kunci putih di tangan kiri dan kunci hitam di tangan kanan. Kedua pintu yang mewakili masing-masing warna tersebut berdiri di belakangnya.

"Kau tahu harus pilih yang mana, 'kan?"

Betapa miripnya dia denganku—congkak, tidak sabaran, menyebalkan ....

"Ya, aku tahu." Aku menggosok hidung. Kuraih kedua kunci itu di tangannya.

"Kau tidak boleh mengambil keduanya." Anak itu menukas cemberut. "Cukup ambil kunci yang putih, masuk ke sana, dan aku akan langsung ambil badanmu."

"Begitu, ya?"

Aku membuang kedua kunci itu ke kehampaan di bawah kami.

"Apa—"

"Aku memilih," jawabku. "Ini pilihanku: aku punya pintuku sendiri. Rumahku sendiri. Aku tidak butuh pintunya Jerau, begitu juga kau."

Gray membuka mulutnya, kebingungan. Lalu, bibirnya mulai bergetar; dia seperti anak menangis, dan matanya memang memerah. Bersamaan dengan kehampaan yang mulai menggelap dan menghitam di sekitar kami, Gray berteriak dan melontarkanku dengan energi psikisnya yang tak terbendung.

"KENAPA?!" jerit anak itu sementara aku terpeleset dari jalur koridor dan jatuh ke bawah. Aku menggelantung dengan satu tangan di ujung pijakan. Di bawah sana, kehampaan yang gelap menungguku, dan bisa kurasakan Jerau menonton kami berdua. "KENAPA—AKU CUMA MAU HIDUP LAGI! INI TIDAK ADIL!"

"Gray!" Aku memanjat naik susah payah. Besarnya dorongan yang dihasilkannya bahkan lebih kencang dari Annemie. "Gray, dengarkan aku—aku kemari bukan lagi untuk menyelamatkan kakakku, atau menghidupkan ayahku! Aku kemari untuk menyelamatkan kita berdua!"

"PEMBOHONG!" Suaranya bergema, menggetarkan tulang belulangku. Gigiku seperti akan rontok dibuatnya. "KAU HIDUP; AKU TIDAK! KAU PUNYA SAUDARI YANG MENYELAMATKAN NYAWAMU; AKU TIDAK! KAU PERNAH PUNYA AYAH; AYAHKU BAHKAN MEMBUANGKU DAN IBUKU! KAU PUNYA MAMA YANG BATAL MELOMPAT DARI JEMBATAN ITU; AKU- AKU—"

"Itulah masalahnya, 'kan?" Aku berhasil naik setelah susah payah berayun-ayun dan mengangkat badan. "Kita semua menginginkan apa yang tidak kita punya! Kau ingin hidup karena kau sudah mati, sedangkan aku ... aku malah bertanya-tanya kenapa malah aku yang masih hidup dan baik-baik saja di antara semua orang. Percayalah, beberapa hari belakangan aku mulai menyesal tidak langsung menyerahkan jasadku padamu dan membuat semuanya lebih mudah. Tapi, masalahnya, aku digariskan untuk tetap hidup dan berjuang sedikit lagi; dan kau digariskan untuk beristirahat, berhenti sampai di sini—inilah yang sudah digariskan buat kita! Siapa yang tahu apa yang bakal terjadi andaikata kau masih hidup? Barangkali hidup terlalu kejam buatmu hingga Tuhan memilih untuk memanggilmu—karena Ia sayang padamu! Gray, kita mendapatkan kehidupan seperti ini karena Tuhan merasa kita mampu menjalaninya—"

"TIDAK BENAR!" jeritnya lagi. Aku hampir terdorong untuk yang kedua kali. "BAGAIMANA AKU PERCAYA ITU SEMUA KALAU IBUKU SAJA MEMBUNUHKU?!"

"Gray ...." Aku mendekatinya perlahan, merangkak sedikit demi sedikit. "Ibumu melahirkanmu—itu bukti paling besar dia mencintaimu. Untuk perbuatannya melompat dari jembatan itu ... itu tidak bisa dibenarkan, tapi bukan berarti kau harus menjadi seperti ini ...."

Gray masih menjeritkan tangisan menyayat, tetapi dorongan energi dahsyatnya sudah lenyap. Kini, aku berhasil mencapainya, berlutut di depannya, dan memegangi tangannya. "Dunia memang buruk, Gray, tapi bukan berarti tidak ada hal-hal baik satu pun. Kenapa kau mesti memilih pintu hitam atau pintu putih dari Jerau jika kau memiliki lebih banyak pilihan warna dari pintumu sendiri?"

Gray menggertakkan gigi geliginya. "Tidakkah kau kepingin menyelamatkan saudarimu?"

"Sangat ingin .... Tapi, Gray, saudariku direnggut dariku." Sosok Wilis dan Olive melintas di balik kelopak mataku saat aku memejam. "Aku tidak mau melakukan hal yang sama pada orang lain. Jadi ... kumohon, kau paling tahu rasanya tersesat dalam kematian ... dingin dan hampa dan sendirian. Apakah kau mau menimpakan hal yang sama pada anak-anak lain? Dan aku sama sekali tidak bicara tentang diriku sendiri—aku bicara tentang spirit anak-anak yang terkurung di sini. Jerau tidak akan berhenti kecuali kita memutus mata rantainya ...."

Gray mencoba menarik tangannya, tetapi aku menggenggamnya kian erat.

"Kau paling tahu rasanya ...."Suaraku tersendat. "Kau paling tahu betapa menyiksanya .... Lagipula, Jerau takkan membiarkan kita hidup tenang. Dia tetap akan mengunci jiwa kita di sini. Bahkan setelah kau masuk ke badanku, atau setelah aku mengembalikan kakakku, kita tetap berada di dalam genggamannya. Jangan biarkan dia melakukan ini terhadap kita dan anak-anak lainnya. Aku tidak akan memilih pintu mana pun yang ditawarkannya agar aku bisa bebas dari cengkramannya, dan aku butuh kau—diriku yang lain—untuk ikut melawan. Jika tidak, kita berdua akan berada di dalam cengkramannya selamanya."

Tangan Gray bergetar. Kurasakan setetes air matanya jatuh ke tanganku. Aku mendongak, mendapati matanya yang buram menatapku.

"Aku cuma kepingin hidup ...."

"Maaf," kataku seraya menunduk lagi. Aku menggeleng, lalu kembali menatapnya. Di sepasang matanya yang kelabu, kulihat keinginannya yang amat besar untuk bisa hidup kembali. Sebut aku jahat, tetapi justru karena keinginannya untuk hidup itulah aku tidak mau mati. Ada begitu banyak jiwa-jiwa yang menginginkan kesempatan kedua, dan aku masih memiliki sisa nyawa di jasadku. Aku masih memiliki waktu untuk hidup di dunia. Aku tidak mau menyia-nyiakan itu. Sebelum aku menjadi seperti mereka, sebelum penyesalan menggerogotiku seperti para hantu, aku masih harus hidup dan memanfaatkan sisa waktuku di dunia. "Gray ... maaf."

"Aku kepingin punya mama yang tidak membunuhku." Anak itu terisak-isak. "Aku kepingin saudari yang menyayangiku. Aku kepingin punya mata normal yang tidak buta. Aku kepingin tumbuh besar, sekolah, dan ... dan—"

Aku menariknya sampai anak itu jatuh ke dekapan tanganku. "Aku juga kepingin kakakku kembali," kataku. "Aku juga kepingin kehidupanku diputar ulang. Aku juga kepingin memulai kembali segalanya. Tapi, aku tahu batasanku. Memang hanya sampai sini aku digariskan punya kakak. Memang hanya sampai sini kemampuanku—melihat masa lalu dan masa depan tanpa bisa mencampurinya. Memang hanya sampai sini ...."

"Memang hanya sampai sini ...." Gray terisak.

Aku mengeratkan pelukan, tetapi, tanpa kusadari, anak itu telah menghilang.

Aku membuka mata, dan aku kembali berada di rumah gaib Jerau, di lorongnya yang temaram, senyap ....

Bayang-bayang pekatnya mengendap di belakangku. Aku menoleh, menghadapinya. Ia menjulang di hadapanku—asap pekat tak berbentuk, kelam, dengan lubang mulutnya yang menyala merah.

"Ternyata kau tidak terlalu pintar ...."

"Tidak," kataku, "kau sendiri juga tidak sekuat itu ...."

Aku berjalan menembusnya begitu saja hingga asap pekat tersebut mengeluarkan suara rintih yang bergaung ke dalam kepala. Aku mengabaikan kegentaran di kakiku, jantungku yang berdentum kencang menggedor rusuk, dan keringat dingin yang mengucur. Aku berjalan ke arah pintu, membiarkan Jerau mengejarku.

"Kau hanya Rasa Takut," kataku, lantas memutar kenop pintu. "Sejak awal kau hanya melumpuhkanku dengan kengerian. Kau mempermainkan benak anak-anak. Kau menyentuh ketakutan terdalam mereka. Kau menawarkan serangkaian hadiah, menggoda mangsamu, mempermainkan kami ... tapi kau tidak bisa melakukan apa-apa lagi selain itu. Kau tidak bisa menyakitiku."

Aku memutar gagang pintu dan membiarkannya terbuka lebar. Dalam sekejap, angin dingin menerpa dari dalam koridor, meluncur melewatiku, mengarah ke luar. Terdengar suara pekikan anak-anak—bukan lagi teriakan ngeri atau histeris, bukan pula jeritan gembira ... lebih seperti semburan kelegaan.

Kebebasan.

"Seharusnya aku tahu sejak pertama kali menginjakkan kaki di sini," kataku, kali ini dengan rasa takut yang lenyap sepenuhnya meski aku menatap lurus-lurus pada sosok Jerau. "Kau bahkan tidak bisa menyentuhku. Kinantan benar saat berkata kau adalah Entitas gagal."

Aku melangkah keluar, mendengarkan suara bergaung yang kedengarannya mirip lolongan dari bawah jurang. Namun, itu hanya lolongan. Itu hanya Jerau. Itu hanya rasa takut yang mencoba mengendalikanku. Ia tidak bisa mengendalikanku.

Di ambang pagarnya, sementara sosok-sosok tembus pandang hantu anak-anak berlarian, seorang gadis muda dengan wajah familier bergaun putih susu berdiri menungguku. Rambutnya berombak, senyumnya lembut dan hangat, dengan sorot mata ramah yang kontras sekali daripada dirinya yang satu lagi. Kuperkirakan, Kinantan yang ini masih 13 tahun saat meninggal.

"Terima kasih," ucapnya, bergema lembut ke dalam kepalaku.

"Aku yang terima kasih," kataku seraya mengangguk ke arahnya. "Kurasa, tempo hari saat aku hampir menerima tawaran Jerau ke pintu putih itu ... aku mendengar suara Kinantan yang mengataiku anak serakah. Kukira itu hanya ingatan. Tapi ... kurasa itu suaramu?"

Dia menyengir. "Suara kami sama, 'kan?"

"Ya." Aku membalas senyumnya. "Kurasa, Kinantan yang satu lagi masih menyesal karena dia kabur sendirian, tidak sempat menyelamatkanmu dari rumah itu. Mungkin dia belum tahu cara mengatasi ketakutannya."

"Oh, dia bisa mengatasi ketakutannya." Kinantan 2.0 (astaga, aku mulai menamai orang pakai nomor) menggeleng-geleng. Gerakannya begitu gemulai dan menentramkan, luar biasa kontras dengan dirinya yang satu lagi. "Yang tidak bisa diatasi Kinantan yang itu adalah dendam-nya. Nah, untuk urusan persaan bersalahnya ...."—Kinantan 2.0 berdesir mendekatiku. Tangannya menyentuh tanganku. "Katakan padanya bahwa dia boleh berhenti merasa bersalah. Dia memilih orang yang tepat untuk membebaskanku dari sini."

Kinantan 2.0 mengedip, lantas berdenyar menjadi cahaya yang menyebar ke seluruh pekarangan angker rumah Jerau sebelum kemudian lenyap.

Berjalan keluar pagarnya, aku melangkah ke bawah cahaya lampu jalan yang mengusir kegelapan. Begitu aku menoleh, rumah itu sudah lenyap. Tanah kosong itu hanya berupa rumput ... dan titik-titik cahaya berpendar, yang perlahan melayang naik. Sekali itu, tidak ada jeritan, hanya suara tawa anak-anak yang kian lama kian memudar.

(*゚ー゚*) Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro