25 Januari 2014

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tidak semua hal berakhir baik setelah aku melepaskan diri dan jiwa semua anak yang tersesat dari Rumah Jerau. Pertama-tama, Wilis marah sekali—kami bertinju pagi ini di halaman rumahku, dengan Olive yang duduk di jok belakang motor kakaknya, menonton sambil memakan keripik kentang.

"Apa, sih, susahnya bilang kalau kau berencana membebaskan jiwa-jiwa itu?!" Wilis meraung seraya menindihku dan tangannya mencengkram kerah bajuku, sementara lututku bersarang di perutnya. "Apa, sih, susahnya menjelaskan kalau kau tidak berniat pilih pintu yang mana saja? APA SUSAHNYA BILANG KAU TIDAK BERNIAT MEMBUNUH ADIKKU, BERENGSEK!"

"Susahnya adalah aku terburu-buru malam itu dan tengah malam hampir berakhir! Kau, 'kan, lihat sendiri, terlambat sedetik saja, rumah itu bakal hilang!" Aku berguling dan mengganti posisi kami. "Kau sendiri juga lelet mencerna cerita dan penjelasanku!"

Kami bergulat selama beberapa menit, lalu berhenti setelah merasakan pegal-pegal dan kejang otot.

"Bekas dihajar Navy masih ada memarnya," ringis Wilis. "Dan kepalaku baru lepas perban pagi ini."

Duduk dengan satu lutut terangkat di lutut, aku menatapnya. "Olive bilang, benjolnya sebesar bakpau—aku lihat, dong."

Wilis menunduk dan menyibakkan rambutnya. Aku meringis saat melihat benjolan itu—tidak sebesar bakpau, tetapi cukup besar untuk menghantui mimpi burukku seminggu ke depan.

"Jadi ..." kata Olive seraya beranjak turun dari atas jok motor. Bungkusan keripik kentang yang sudah kosong dicampakkannya ke pangkuan Wilis. Tangannyayang lain diperban menutupi bekas luka bakar. "Biar kuluruskan—Grey, kamu dulu pernah tanpa sengaja menyelamatkanku dari maut?"

"Garis bawahi tanpa sengaja itu," kataku. "Aku bahkan belum mengenalmu."

"Yah, jodoh memang tidak ke mana. Jadi, intinya, kau melepaskan kesempatan untuk bisa menemukan kakakmu kembali, dan karenanya aku masih di sini ... hidup, alih-alih meninggal karena infeksi atau tetanus parah di kaki." Bahunya melorot. "Nah, sekarang aku jadi merasa bersalah. Ini bukan gara-gara kalimatku di telepon waktu itu, 'kan?"

"Salah satunya memang itu," akuku. "Tapi, kurasa alasan lainnya adalah Kak—" Aku menjilat bibir yang terasa kering mendadak. "Karena mendiang Kak Zamrud."

Wilis menghela napas. "Kau melewatkan pemakamannya kemarin. Bahkan Kak Safir datang dan menanyakanmu."

"Iya ... nanti aku bakal melayat." Kutatap lututku yang dekil oleh tanah dan rumput basah. "Waktu kalian meneleponku ... memberi tahu kalau Kak Zamrud meninggal, hal pertama yang terpikirkan olehku adalah kalimatnya tentang kakakku. Dia bilang, kakakku orang baik. Lalu, aku memikirkan kalimat Olive bahwa kakakku mungkin pergi agar aku tidak ikut tenggelam bersamanya ... kurasa itu ada benarnya. Jadi, kalau aku menerima tawaran Jerau, artinya aku membunuh diriku sendiri. Dan kalau aku membunuh diriku sendiri, artinya aku menyia-nyiakan pengorbanan kakakku dan semua usahanya selama ini untuk menolongku. Aku juga menyia-nyiakan setiap tetes darah Mama saat beliau melahirkanku. Aku menyia-nyiakan semua cinta kasih ayahku. Dan aku menyia-nyiakan nyawaku sementara ada banyak sekali anak di luar sana yang ingin hidup ... diriku yang satu lagi, contohnya."

"Itu ...." Wilis mengerjap-ngerjap. "Melankolis sekali."

"Hmm." Olive menghapus air matanya diam-diam. "Pokoknya, terima kasih, Grey. Karena tidak membiarkanku mati kejepit ban motor. Aku bisa saja memeluk dan menciummu sekarang, tapi aku gengsi."

Aku meyunggingkan cengiran tipis. "Kalau aku, sih, tidak gengsi."

Aku berkelit saat Wilis mengayunkan kepalan tangannya ke kepalaku. Katanya, "Kalau kau berani mencium adikku, akan kubuat benjol di kepalamu yang kembaran dengan benjol di kepalaku—kita akan jadi kembar benjol!"

Dari sudut mataku, kulihat Olive berbalik untuk menyembunyikan wajah, tetapi dia tidak bisa menyembunyikan kakinya yang melonjak-lonjak. Aku melirik Wilis yang masih memelotot ganas, lalu kembali ke Olive.

Yah ... mungkin lain kali.

"Satu masalah lagi," kata Olive sambil mengerjap-ngerjap. Pipinya masih tampak kemerahan. "Hantu dari rumah kami yang terbakar itu ... belakangan dia muncul di ruko yang kami tiduri. Aku tidak lihat, tapi Wilis bilang dia melihatnya beberapa kali."

Aku mengangkat alis. "Kinantan?"

"Ya, Mbak Hantu Cantik," kata Wilis dengan wajah pucat. "Tapi, dia tidak terlalu cantik lagi ... dia jadi menyerupai sosok seram patah-patah dan berdarah-darah yang dulu pernah menampakkan diri di kamarku, Grey."

"Oh, sosok seram itu memang dia—itu juga Kinantan. Dia cuma mengerjaimu."

"Tapi sepertinya dia tidak mengerjaiku kali ini!" Wilis bersikeras. "Dia menangis—aku jadi susah tidur karenanya!"

Olive mengangkat sebelah alisnya. "Karena cemas ada perempuan menangis atau karena itu hantu?"

"Keduanya!" Wilis berseru. "Seram sekali, tapi di saat bersamaan aku merasa kasihan. Dia kedengaran tersiksa ... tapi aku juga tersiksa mendengar suaranya seperti itu tiap malam. Dia muncul di jendela, di balik meja, dari dalam kaus kakiku—sosoknya selalu mengerikan! Aku merasa dia mencoba memberi tahu sesuatu padaku."

"Mungkin ...." Aku melirik ke arah sepeda motor Wilis, samar-samar melihat noda seperti asap kemerahan di atas joknya, tetapi tak berapa lama kemudian ia lenyap. Kurasa ia merespons saat kami menyebut-nyebut tentangnya, tetapi kehadirannya terlampau lemah—manifestasinya nyaris tidak ada. "Bagaimana dengan emas-emasnya?"

"Hilang," jawab Olive. "Aku sudah menginterogasi semua yang datang ke rumah kita malam ini—sebagian dari mereka trauma berat dan beberapanya hilang ingatan. Tapi, tidak ada yang tahu menahu masalah emas. Kurasa, kalau ada petugas pemadam, atau petugas asuransi, atau kuli bangunan yang mulai bekerja itu menemukannya, pasti bakal heboh, 'kan? Emas itu benar-benar bawa sial."

Saat itulah manifestasi Kinantan terbentuk di belakang Olive, tetapi gadis itu tak menyadarinya sama sekali. Kinantan hampir seperti Kinantan yang biasanya kukenal ... kecuali warna gaunnya lebih gelap, wajahnya lebih pucat, dan ekspresi merengutnya lebih memancarkan perasaan depresi ketimbang judes. Wilis mengernyit sedikit, barangkali menangkap secuil kehadiran si gadis hantu yang berpendar lemah, tetapi panca indranya tidak memadai untuk menangkap sosok Kinantan.

"Terus bicara tentangnya dan emasnya," kataku seraya berdiri dan menepuk-nepuk celana dari tanah. "Dia mulai muncul."

"Si gadis hantu?" Olive mengusap-usap lengannya sendiri. "Tidak mau, ah! Aku tidak mau membicarakannya, nanti dia muncul di belakangku—,'kan, gawat!"

"Kalau begitu aku yang membicarakannya." Wilis ikut bangkit. Dia menggosok-gosokkan telapak tangannya, berpikir sesaat, lalu memulai, "Hmm ... dia cantik."

Kami menunggu.

"Sudah, itu aja." Wilis mengerjap. "Aku tidak pandai menggibah."

Olive memutar bola matanya. "Alasan! Kita menggibah kolesterol Ayah dan kerut usia di wajah Ibu tiap hari. Kau yang paling antusias."

"Tolol sekali." Kinantan berkomentar—suaranya terdengar begitu jauh dan pelan. Sosoknya yang transparan berkedut sedikit, parasnya kian muram.

"Kalian duduklah di sini dulu," kataku pada Wilis dan Olive. "Duduk di teras, guling-guling di tanah, cabuti rumput—terserah. Aku akan ke dalam mengurus sesuatu ... dan melihat apakah aku bisa menyajikan sesuatu buat kalian. Mungkin teh celup masih ada."

Di depan pintu rumahku, aku mengedikkan kepala, memberi isyarat pada Kinantan untuk mengikutiku.

Setelah kami di dalam, Kinantan berkomentar, "Rumahmu jelek."

"Trims, kau juga."

"Ke mana kita?"

Aku mendekati pintu kamar Mama dan memutar kenopnya. "Mencari cara membebaskan kalian berdua."

"Begini, ya, sudah kubilang berkali kali aku tidak kepingin bebas ...." Kinantan berhenti. "Apa maksudmu berdua?"

Aku masuk ke dalam kamar Mama, menyalakan lampu, dan memanggil, "Annemie?"

"Oh, ya, ampun." Kinantan berdengut. "Kau, 'kan tahu aku tidak menyukainya!"

"Kau tidak menyukai garis keturunannya—itu dua hal yang berbeda." Aku berjongkok ke bawah ranjang, mengintip kolongnya yang sempit, menyibak seprai, lalu menatap langit-langit. "Annemie ... ayolah."

"Manifestasinya malah lebih lemah dariku." Kinantan berkacak pinggang. "Tinggal sejengkal lagi, dia bakal jadi energi murni dan menyatu ke dalam material rumahmu—itu buruk, tahu? Dia bakal mengganggu penghuni rumah tiap malam dengan poltergeist, dan suatu hari mungkin melakukan pembunuhan juga."

"Annemie ..." panggilku lebih lembut. "Aku hanya mau menepati janji. Jangan menghindariku ...."

Aku berjongkok di depan meja rias, membuka pintu lacinya yang setinggi lututku dan selebar dua kali badanku. Ketika aku membukanya, Annemie sedang meringkuk dan menangis di dalam.

"Apa yang kau lakukan—seni melipat tubuh? Kau mirip lipan."

Tangisannya makin kencang, membuat kaca bergetar dan engsel pintu laci berderit.

"Aku mesti membalas komentarmu malam itu masalah berdansa dengan kain dan bergerak kayak undur-undur."

Aku meraih ke dalam, tetapi tidak bisa menyentuhnya. Dia begitu tipis; aku bisa melihat kayu bagian dalam laci melaluinya.

"Lihat aku!" isaknya. "Aku kayak hantu! Aku tembus pandang!"

"Keluar dulu, sini." Aku melangkah mundur, membiarkannya keluar dari dalam laci. Kutadahkan tanganku ke sosok Kinantan yang lepek dan berdarah-darah. "Nah, Kinantan, ini Annemie. Annemie, Kinantan."

Annemie memanyunkan bibirnya. Matanya yang kelabu mengamati Kinantan. "Kau bilang dia cantik ...."

"Dia, sepertimu, sedang krisis identitas."

Kinantan menggeleng-geleng pelan. "Andai aku bisa menyentuhmu, aku sudah mencekikmu."

"Nah." Aku duduk di tepi ranjang Mama. "Annemie, berhubung pekarangan rumah yang paling mengikatmu ke dunia sudah kacau balau sejak Mama tidak ada di sini, sekarang salah satu alasanmu terpaut ke sini sudah hilang. Tapi, kau masih di sini, yang artinya ada hal lain. Jadi, aku menduga ... apakah barangkali kau memiliki rasa bersalah tertentu?"

Annemie mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari. "Apakah menceburkan sikat gigimu ke kloset tanpa sengaja masuk hitungan?"

Senyumku turun. "Kapan kau melakukan itu?"

"Bulan lalu, kurasa, aku main air—bikin gelembung-gelembung di bak mandi pakai poltergeist, tapi sikat gigimu ternyatan kepingin ikutan. Cuma pegangannya kok, yang masuk ... hmm, bagian yang berbulu itu pegangannya, 'kan?"

"Bukan, itu kepalanya."

"Oh, sori, deh. Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku gosok gigi, aku tidak bisa membedakan mana yang digosokkan—apakah yang berbulu atau yang keras."

"Okelah." Kinantan berdecak-decak. "Kurasa aku mulai menyukai anak ini sedikit."

"Maksudku," ujarku penuh penekanan. "Penyesalan saat kau masih hidup."

Annemie menggembungkan sebelah pipinya. "Ada seorang pria tua baik hati—salah satu pegawai ayahku yang bekerja di lumbung. Dia senang pakai topi jerami, sering menemaniku menanami ilalang di depan, aku memanggilnya Kai karena artinya kakek dalam bahasa lokal ... Kai lebih ramah daripada kakekku sendiri yang cuma sekali-sekali berkunjung dari Nederland. Saat ada sekumpulan orang pakai seragam dan bicaranya pakai bahasa lain masuk ke rumah ini, Vader dan Moeder menitipkanku ke Kai yang sedang berada di pekarangan belakang, sedangkan mereka keluar menyambut tamu katanya. Waktu terdengar suara letusan, Kai langsung menyuruhku bersembunyi—katanya main petak umpet, tapi dia tidak pernah datang mencariku."

Aku melipat bibir ke dalam. "Baiklah ... agak sulit. Kita ke Kinantan dulu."

"Tidak." Kinantan menolak tegas. "Aku sudah bilang aku tidak mau bebas."

"Doppelgänger-mu saja sudah bebas." Aku melambaikan tangan ke udara seperti melibasnya. "Dia bilang kau bukannya takut sama Jerau. Tapi kau masih gagal move on dari dendammu."

"Dia bawel."

"Dia dirimu sendiri."

"Ya, dan aku bebas menghina diriku sendiri."

"Kin." Aku mengusap wajah. "Dendam itu meracuni jiwamu, membuatmu jadi hantu yang menyebalkan dan sering bikin aku naik darah. Tapi ada satu bagian kecil dari ruhmu yang masih murni, menahanmu sekuat tenaga supaya tidak menerima tawaran Jerau. Aku ingin kau berpegang pada bagian itu, dan mencari keinginan buat bebas."

Kinantan mendengus-dengus dengan marah. "Jerau melemah saat ini. Kalau aku mencarinya dan menerima tawarannya, dia tidak akan sanggup merangkai siasat buat mempermainkanku seperti dia mempermainkanmu. Ketimbang bebas, bakal lebih asyik kalau aku bisa balas dendam. Kau tahu aku bisa langsung saja meluncur ke rumahnya sekarang, 'kan?"

"Tapi tidak kau lakukan," kataku, "yang artinya, bagian murni itu masih cukup besar di dalam dirimu. Apa yang ditawarkannya? Jalur tidak terbatas buat mengulangi masa lalumu dan menggorok duluan orang yang menggorokmu?"

"Aku tidak seserakah kau." Kinantan menyeringai. "Tidak—bakal banyak sekali paradoks kalau keinginanku adalah memutar waktu. Aku tidak bodoh. Aku lebih rapi dari itu. Jerau menawariku identitas dan lokasi tiap-tiap keturunan dari semua pria yang pernah menyakitiku dan ibuku. Dia menawariku ruang gerak tak terbatas—manifestasi penuh di segala tempat, tanpa perlu terikat emas atau dendam semata. Aku bisa menyeberangi perairan, ke daratan lain, mencari keturunan orang-orang bejat itu, dan menghantui mereka sampai kiamat."

Aku mengangkat alis. "Itu ... sangat ekstrem. Dan kalau boleh aku berkomentar—"

"Tidak, kau tidak boleh komentar."

"—keinginan itu juga sangat tidak berguna." Aku tetap berkomentar. "Kenapa kau mau menghabiskan keabadian buat itu? Kau bisa saja menemukan kedamaianmu sendiri, orang-orang yang pernah menyakitimu pasti punya karmanya sendiri. Lagi pula, keturunan orang-orang itu tidak tahu apa-apa. Rugi sekali buatmu, menakut-nakuti mereka yang bahkan tidak pernah sadar salah mereka di mana. Lihat Annemie ini! Orang tua dan kakek-neneknya mungkin pernah membuat rakyat tempat ini sengsara, tapi anak ini—keturunan mereka—yang ada di otaknya hanya si Kai bertopi jerami dan ilalang. Dia hanya memikirkan perkumpulan sosialita hantunya di pekuburan seberang sana."

"Kadang aku juga memikirkan mangga-mangga muda dan buah pepaya." Annemie mengangguk-angguk. "Sesekali aku juga memikirkan kenapa pemeran film hantu di sini pada tolol—lari-lari ke tempat di mana hantu malah bisa menemukan dan menjebak mereka. Musiknya mengagetkan dan menyebalkan."

"Dan pola jumpscare-nya mirip-mirip." Kinantan mengangguk.

"Nah, ini bagus—kita sepakat tentang sesuatu. Mari kita sepakat pada hal lainnya. Misal ..."—aku menatap Kinantan—"tidakkah kau kepingin menjadi seperti ibumu?"

Ekspresi wajah Kinantan melonggar. "Apa?"

"Ibumu," ulangku. "Kami menemukan tulang-tulangnya di pekarangan, beserta emasnya. Olive mennduduki nisannya, Wilis sempat menginjak tulangnya. Sampai hari ini, dia tidak pernah datang menemui kita. Itu artinya hanya satu hal: dia tidak terikat apa-apa di sini. Dia betul-betul sudah damai di sana. Dia bebas. Emas-emas itu tidak membebaninya karena dia tahu harta benda tidak bisa diapit di ketiak dalam kain kafan. Dia tidak menyimpan dendam. Dan jelas sekali, dia tidak akan suka melihat anaknya menggentayangi bokong orang-orang Belanda dan Jepang yang tidak tahu apa-apa sampai kiamat."

Annemie memangku dagu ke tangannya. "Oke ... sekarang dia mulai cantik."

Annemie benar. Perlahan, rona kembali ke wajah Kinantan, gaun terbaiknya kembali ke warna semula, dan rambutnya kembali beriak dalam obak lembut.

Kinantan tidak mengucapkan apa-apa. Matanya masih menatap lantai.

"Begini, deh," kata Annemie. Kepalanya menoleh keluar jendela yang tertutup tirai. Di luar sana, aku mendengar suara deru mesin mobil dan percakapan samar-samar. Annemie kembali menatap kami dan tangannya yang transparan menggandeng tangan Kinantan. "Ayo, kita bebas sama-sama."

Kinantan menggertakkan gigi-geliginya, bibirnya terkatup rapat. Meski tampak enggan untuk beberapa detik, gadis itu akhirnya mengangguk.

"Oke, tunggu sebentar." Annemie beranjak keluar dari ruang kamar menuju pekarangan. Tak sampai lima detik kemudian, dia kembali sambil menyengir. "Sudah!"

"Sudah apa?" tanyaku.

"Mengucapkan selamat tinggal." Annemie menerjang ke arahku dengan riang, sepasang tangannya yang mungil melingkari leherku. Meski kami tak bisa bersentuhan, aku bisa merasakan desiran udara lembut yang sejuk mendekapku. "Dadah, Grey."

Sedetik pertama, mereka masih di sana. Detik selanjutnya, hanya ada aku yang duduk seorang diri. Aku mengusap mata dengan jari, merasakan begitu panas dan letih.

Aku menoleh ke balik bahuku, di mana Obsidian si kucing hutan tengah menunggu di ambang pintu.

"Sudah selesai," kataku. "Anda pun boleh melepas ikatan dengan rumah ini sekarang."

Sepasang matanya yang tajam mengedip perlahan, lalu ia meloncat dan lenyap ditelan udara kosong.

Aku berdiam diri untuk beberapa lama di sana, menyerap kekosongan rumah. Kutekan dadaku keras-keras, merasakannya sesak luar biasa.

Setelah aku mampu mengendalikan diriku lagi, aku pergi keluar dan mendapati sebuah mobil sedan hitam yang terparkir di depan pagar. Di bumpernya, bersandar sesosok wanita jangkung berjaket tudung warna hitam, dengan baju kaus merah muda di dalamnya, celana kain hitam panjang membalut kakinya yang jenjang, dilengkapi sepatu kets hitam. Di balik topinya yang diturunkan rendah-rendah, matanya sembap seperti habis menangis berhari-hari, tetapi senyumnya itu masih sama dengan yang kuingat dulu.

"Kak Magenta." Aku membalas senyumnya menyalami tangannya. Aku baru akan menurunkan tangannya, tetapi yang ada di depanku ini Kak Magenta; maka aku tidak kaget saat dia mendorong punggung tangannya ke wajahku, memaksaku menciumnya.

"Kamu tambah tinggi, ya?" Kak Magenta berkomentar. "Dulu kamu cuma sepinggangku dan, kalau kita berjalan bertiga bareng Zamrud, aku kelihatan kayak emak-emak beranak dua."

Aku tertawa kikuk. "Sudah lama Kakak nggak mampir ke sini."

"Aku mau melayat," ucapnya sambil menarik topinya lebih rendah. Nada suaranya terdengar biasa saja, tetapi aku bisa melihat di matanya yang goyah saat mengucapkan itu. "Tapi di tengah jalan tadi, aku lihat seseorang turun dari taksi."

Aku menoleh ke arah yang ditunjuknya, dan melihat Mama di dekat pagar. Mama berbalik, baru saja menaruh tiga tangkai ilalang yang menguning di atas gundukan tanah cokelat yang dulu ditanaminya semak mawar.

"Kamu bikin cemas saja." Mama langsung menghampiriku dan memelukku. Dalam dekapan hangat itu, dia menyempatkan diri mencubit pantatku. "Teleponku tidak diangkat berhari-hari, lalu tiba-tiba menelepon dan menangis minta aku pulang—aku hampir meluncur ke jalan malam itu juga, Grey, tapi kakekmu menyuruhku menunda dulu sampai pagi. Cari taksi dari kampung sana kemari sangat susah, tahu?"

"Maaf." Aku meringis.

Sementara Mama beranjak ke dalam, membuatkan teh untuk para tamu, aku duduk di antara Wilis dan Olive. Kami memandangi Kak Magenta yang tengah berbicara kepada seseorang di balik roda kemudi mobilnya. Mesin sedan itu masih menyala, jadi tampaknya kenalan Kak Magenta tidak berniat naik ke rumahku.

"Kau kenal orang-orang keren, Grey." Wilis merenung. "Holang kaya, cowok yang rohnya bisa keluar-keluar, sekarang wanita semampai ini ... dia agak mirip artis, nggak, sih?"

"Artis yang biasanya jadi pemeran antagonis, maksudmu." Aku menggoyang-goyangkan lutut. "Mereka semua teman-teman kakakku." Aku melirik tas Wilis di pangkuannya yang setengah terbuka, buku sketsanya menyembul keluar dari sana. "Kau menggambar Kinantan lagi?"

"Oh, iya." Dia mengeluarkannya dengan gembira. "Siapa tahu nanti dia muncul, aku mau memperlihatkannya."

"Wil," kataku perlahan, "dia baru saja pergi."

"Ha?"

"Yah ... dia sudah pergi—bebas. Emas yang menjeratnya di dunia tidak ada lagi, dendamnya lunas melalui seorang anak. Intinya ... dia sudah tidak ada di sini."

"Oh ...." Wilis mengernyit, lalu menunduk. Matanya menampakkan kekecewaan. Tangannya menggenggam kertas dengan potret Kinantan, seperti hendak merobeknya, tetapi kemudian urung. Dia memasukkannya kembali ke dalam tas. "Hm ... baguslah."

Olive mencondongkan badan ke arahku dan berbisik, "Biasanya, kalau Wilis patah hati, yang mana sudah sering terjadi, aku jadi bersemangat mengejeknya." Gadis itu menengok kakaknya sebentar, lalu kembali berbisik ke telingaku, "Anehnya, untuk yang ini aku tidak tega. Untunglah, kau bukan lagi hantu."

Gadis itu tersenyum, terlalu dekat dengan wajahku. Aku membalas senyumnya dan mencondongkan badanku ke arahnya. Aku bahkan belum dekat-dekat amat dengan bibirnya saat gadis itu mendadak berdiri, jarinya menjentikku di dahi. Dengan langkah melompat-lompat, dia berlari masuk ke rumahku dan berseru, "Halo, Tante—saya Olive! Tante butuh bantuan sama tehnya? Saya pandai masak dan teh buatan saya enak, lho!"

"Teman laknat, kau ini." Wilis mendelik tajam ke arahku. "Cari kesempatan. Kubiarkan sedikit malah bablas."

Aku bersandar dengan kedua tangan terentang ke belakang. "Aku tahu tidak bakal kena, kok. Aku tahu dia bakal begitu."

"Kalau kena?"

Aku menyengir. "Syukuri saja."

Di depan pagar, Kak Magenta menutup pintu mobilnya. Kacanya diturunkan, dan pria perlente di balik roda kemudi itu mengangguk sambil tersenyum berpamitan kepada kami.

Saat mobilnya melaju menjauhi rumahku, Kak Magenta menghampiriku. Aku bertanya dengan nada sesantai mungkin, "Pacar baru, Kakak?"

Kak Magenta berdecak. Jari tangannya memilin rantai kalung emas berbandul huruf Z di lehernya. Saat itulah aku sadar dia sudah tak mengenakan kalung jimatnya lagi, dan sosok yang dulu selalu di belakangnya sekarang entah di mana.

"Enak saja. Sir Morris hanya menawariku tumpangan ke sini. Dia bekerja di proyek bandara, kenalannya temanku. Dan lagi, sejak Zamrud memutuskanku, aku masih patah hati sampai sekarang. Dan sekarang orangnya meninggal, aku hancur sampai ke tulang-tulang, tahu?"—Meski mengucapkannya seperti candaan, pipi Kak Magenta berkedut-kedut. Matanya yang bengkak bekas menangis berhari-hari tidak menyembunyikan kenyataan sama sekali. Dia memandangi bandul huruf Z kalungnya, lalu kembali menatapku. "Lagi pula, dengan siapa pun aku menikah nantinya—atau entah berapa kali—Zamrud tetap bakal jadi cinta pertamaku."

Dia melenggang masuk ke rumahku, menyusul Mama dan Olive.

"Enak, ya, naksir sama yang ada wujudnya." Wilis menangkup wajah ke lengannya yang terlipat di atas lutut. "Aku sudah sering naksir cewek, terus patah hati, tapi patahnya tidak pernah sesakit ini."

"Oh, aku tahu sekali rasanya."

Wilis memberengut ke arahku. "Masa?"

Aku meluruskan kaki. "Aku cukup tahu untuk bisa berkata begini: jangan pernah jatuh cinta ke hantu. Pertama, mustahil bersama kecuali kau juga jadi hantu. Kedua, wujud mereka berhenti di sana, kemungkinan akal mereka juga; sementara kau menua, mereka tetap segitu-gitu saja. Dan, ketiga, saat dia bebas, semua tempat yang pernah diisinya hanya meninggalkan kekosongan; tidak ada sisa aroma badannya, atau fotonya ... cuma kenangan samar-samar."

"Kenapa kau sepertinya tahu sekali?"

Aku menatap ke pintu. Suatu waktu, dulu sekali, saat umurku 10 tahun ... aku lebih rajin pulang ke rumah daripada tahun-tahun sebelumnya atau tahun-tahun sesudahnya, karena aku tahu akan ada Annemie di sana, tersenyum menyambutku. Bertahun kemudian, rasa itu memudar, tetapi kenangannya masih ada.

"Karena aku memang tahu."

(*゚ー゚*) Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro