Prolog Sungguhan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seharusnya namaku Grayer. Pakai huruf a, bukan e. Kak Nila mau adik perempuan, bukan laki-laki. Jadi, nama Grayer itu, yang merupakan nama untuk anak perempuan, disiapkan Kak Nila lebih dulu sebagai semacam tuntutan pada sang Pencipta dan Peniup Ruh untuk menjadikanku satu spesies dengannya.

Begitu aku muncul, Kak Nila mendesak agar aku dikembalikan ke dalam perut mama supaya aku berubah jadi perempuan. Seolah-olah kelaminku bisa diedit di dalam sana.

Kak Nila butuh seminggu penuh untuk menerima fitrahku sebagai laki-laki. Sebulan penuh untuk paham bahwa aku lebih suka main mobil-mobilan ketimbang boneka barbie. Dan enam bulan untuk mengerti kalau adik bayinya belum bisa diajak main monopoli. Entah sudah berapa butir rumah-rumahan monopoli dan dadu yang kutelan selama masa penyangkalannya itu ....

Setelah dia menolerir kehadiranku, dan menyayangiku serta memperlakukanku selayaknya adik sendiri, barulah aku merasa aman kencing di pangkuannya.

"Nih," katanya suatu hari seraya menunjuk salah satu gambar dirinya sedang memaksa untuk menggendongku. Aku tampak tersiksa di foto itu. Sepertinya itu diambil tiga tahun lalu saat usiaku belum genap setahun. "Setelah gambar ini diambil, kamu pipis dan poop di kakiku."

Kutotol-totol paha celanaku. "Celanaku mirip sama yang Kakak pakai di foto."

"Soalnya yang kamu pakai itu memang celana lungsuranku. Coba lihat di lipatan lututnya—kayaknya yang kuning-kuning itu bekas poop kamu sendiri, deh."

"Bohong!" jeritku seraya memeriksa. Tidak ada noda kuning-kuning yang dia maksud, tetapi aku merasa tetap berkewajiban untuk berteriak dan menangis sekencang-kencangnya sampai mama datang.

Sementara Kak Nila mendapat masalah dengan mama, aku berjalan keluar. Matahari baru terbenam, langit sangat oranye dan tampak ramai sekali dilalui. Dulu aku pikir yang terbang-terbang itu balon dan pesawat yang bentuknya mirip manusia dan hewan. Lalu, Paman Tam mengajakku melihat pesawat sungguhan di bandara, kemudian membelikanku balon—aku pun sadar yang kulihat berseliweran tiap maghrib itu bukan pesawat atau balon.

Ada yang dadah-dadah padaku sambil memasang senyum lebar. Ketika aku akan mengangkat tangan, seorang pria yang sebelah matanya hilang berkata, "Jangan melambai balik. Nanti dianggap undangan."

Aku buru-buru menurunkan tangan, lantas menoleh pada pria itu. "Tapi aku sering melambai sama Om Kadru."

"Makanya Om sering ke sini, 'kan," katanya lagi. "Sudah, masuk sana."

"Mata Om mana? Hilang lagi?"

"Om yakin ada di sekitar sini ...." Pria itu celingukan di sekitar halaman. "Sudah, Dik, masuk saja sana. Sebentar lagi gelap."

Seharusnya aku menurut.

Ketika Om Kadru berbalik dan gerasak-gerusuk di semak melati mama untuk mencari bola matanya yang sebelah, seorang anak perempuan yang sedikit lebih besar dariku melayang keluar dari dinding kamar Kak Nila—Annemie, hantu anak Belanda yang suka menggangguku dan membuatku menangis tiap malam waktu aku bayi. Setelah aku bisa berjalan, dia berhenti membuat wajah seram dan memutuskan untuk memandangku sederajat dengannya, jadi sekarang kami berteman.

Annemie keluar tiap malam belakangan ini tanpa membawa kucing peliharaannya. Dia bilang dia punya teman baru. Dia tidak mau cerita kegiatan malamnya padaku. Katanya, nanti aku takut.

Karena penasaran, aku mengekorinya keluar pagar.

Mama masih memarahi Kak Nila. Om Kadru masih menelusuri jejak bola matanya yang menggelinding. Annemie terbang rendah di depan, dan aku berjalan dengan kaki telanjang mengikutinya.

Saat Annemie berbelok ke rumah besar bertingkat tiga yang baru-baru ini ditinggalkan lagi oleh penyewanya, aku ikut masuk dengan menelusupkan badan ke celah pagarnya yang berlumut. Ada suara tangisan di dalam sana, dan suara tertawa juga. Namun, karena aku sudah biasa mendengar suara macam itu di toilet atau rumah kosong di sebelah kontrakan Paman Tam, aku tetap lanjut ke pintunya yang setengah terbuka.

Ada keset kaki usang bertuliskan welcome, kata Paman Tam itu berarti siapa pun boleh masuk. Jadi, aku masuk.

Grayer, ya? bisik sebuah suara saat aku baru menjejakkan kaki di dalam.

"Bukan," balasku. Gelap sekali. Aku tidak bisa melihat apa-apa. "Namaku udah diganti jadi Greyer. Soalnya, aku bukan perempuan. Kakakku mau adik perempuan."

Apakah kamu percaya kalau kubilang, di dunia lain kamu terlahir sebagai anak perempuan? Namanya Grayer. Barangkali, Grayer yang itulah yang diharapkan kakakmu. Suara itu mendesis tepat di sebalah telingaku. Lalu, kusadari celah pintu tertutup di belakangku.

Itu adalah awal mula dari rentetan kesalahan terbesar dalam hidupku.

(*゚ー゚*) Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan




Hari ini 19 April 2020 genap usia akun E-Jazzy yang ke dua tahun \( '-' )/

Apa harapan kalian untuk saya dan akun ini ke depannya? :>

Jangan lupa mampir ke tiga work saya yang lain karena hari ini semuanya update:

-RavAges-
Chapter: #76

-Caesura-
Chapter: There Is No Cheat In Life

-Jangan Dibuka (ノ*゚ー゚)ノ-
Chapter: 20, 21, 22


P.s.
I'm so grateful for having you guys
dari yang rajin komen sampai yang sider,
dari yang waras sampai yang gilanya melampaui saya.
❤ Saya sayang kalian semuaaa para pembaca ❤
❤ (ɔˆз(ˆ⌣ˆc) ❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro