Semacam Prolog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku diserang déjà vu.

Pria itu bertahan di atas tungkainya yang kurus dan ketar-ketir, tangannya erat di pagar pembatas jembatan. Tengah malam begini, aku hampir berpikiran, Arwah siapa lagi ini? Gentayangan tidak tahu jam.

Lalu kusadari dia masih hidup. Helaian rambut putihnya menyembul sedikit dari kupluknya yang kelabu. Gigi depannya sudah habis, walau barangkali ada tersisa beberapa buah gigi belakang karena kudengar suaranya menggeligis. Air mata mengalir sampai ke ujung hidungnya yang bengkok.

Aku menghampirinya perlahan, tetapi dengan langkah yang berbunyi agar dia sadar ada orang di belakangnya. Sambil menyandar pada pagar pembatas, aku bertanya, "Butuh dorongan, Kek?"

"Kurang ajar," cibirnya.

Aku menatap ke langit dengan syahdu. Ah ... purnama. Memang fase paling sakti untuk meracuni jiwa manusia.

"Aku teringat seorang wanita yang dulu juga berada di tempat ini, pada posisi yang serupa denganmu, Kek." Bedanya, kakek ini sama sekali tak kukenal, sedangkan aku mengenal wanita itu seumur hidupku karena dia yang melahirkanku.

Pada masa lampau, saat pandangan mataku masih pirau, dan yang kulakukan cuma menggalau dalam kain bedongan, mama mencoba melompat dari atas jembatan. Ada kakak perempuanku di sisinya. Saat mama menyerahkan buntelan kain berisi raga fanaku pada Kak Nila, aku menangis kejer, yang kurang lebih bermakna, Hiiiiii!

Kakakku masih 7 tahun, yang artinya dia menggendongku seperti menenteng boneka babinya. Aku bisa jatuh menggelinding dari lengannya ke aspal jalan kapan saja.

Lalu, ketika mama menyusup melewati pagar pembatas jembatan sambil membawaku dan kakak perempuanku serta, saat itulah rengekanku berubah makna: Aku baru 4 minggu di sini, dan sudah disuruh menghadap sang Pencipta?! Buat apa kau berdarah-darah memelantingkanku ke dunia, Ma, kalau ujung-ujungnya aku bakal dilempar juga ke aliran sungai nan dingin di tengah malam cuma dalam kurun waktu 30 hari?!

Kau barangkali bertanya-tanya mutasi macam apa yang melandaku sampai-sampai aku bisa memikirkan itu semua saat masih bayi. Jadi, biar aku balik bertanya: memang kau ingat apa yang kau pikirkan saat masih bayi? Kau mengingat apa yang kau lihat, dengar, dan rasakan saat masih belum bisa bicara? Mengapa begitu yakin bahwa pikiran-pikiran di atas tidak mungkin menyambangi otak bayi berumur sebulan?

Nah, sesungguhnya aku juga tidak yakin apa aku benar-benar memikirkan itu semua.

Aku mengingat—ya. Dengan sangat jelas. Saat mataku terbuka, saat mengambil langkah pertama, saat mengeluarkan kata pertama yang berupa, "U-cing!" karena ada kucing hutan raksasa di atas loteng rumah kami yang tak bisa dilihat oleh mama maupun kakakku.

Namun, semua pemikiran di atas, tentang aku yang takut digendong kakakku atau takut mamaku bunuh diri—tidak begitu persisnya. Aku hanya ingat saat itu merasa resah. Aku tahu mamaku hendak melompat untuk menyusul ayah. Dan meski belum memahami alasannya, aku tahu itu hal yang buruk untuk dilakukan, terutama kalau dia ajak-ajak.

Semacam naluri—insting tertua dalam diri manusia di mana kau merasakan tanda bahaya tanpa mampu menjelaskan apa yang sebenarnya bakal kau alami. Karena saat itu aku belum punya bekal huruf abjad lengkap buat diucapkan, aku hanya menjeritkan, "Aaaaaaa!" dengan air mata.

Setelah aku cukup tua untuk menyusun kalimatku sendiri, dan memahami sistem dunia tempatku berada, dialog-dialog itu tersusun sendiri setiap kali aku mengenangnya:

Jangan biarkan kakakku menggendongku—dia masih 7 tahun! Dia bakal menjatuhkanku seperti boneka babinya!

Ma, jangan melompat! Atau setidaknya, jangan ajak-ajak aku!

Untuk ukuran anak-anak, aku tergolong durhaka dan durjana—aku tidak bakal menyangkalnya. Memang, aku juga bakal hancur lebur kalau mama benar-benar melompat dan mati sendirian, tetapi aku juga tidak mau dibawa kalau dia sudah memantapkan niat untuk mangkat lebih cepat. Buat apa aku sukarela ikut terjun dari jembatan bersamanya—solidaritas? Yang memahami hal macam itu hanya mama dan Kak Nila, bukan aku.

Aku terlalu cinta dunia, ogah mangkat cepat-cepat, dan takut akan apa yang menungguku di ujung satunya. Aku ingin hidup lebih lama untuk menebus dosa; tetapi aku sadar bahwa makin lama aku hidup, dosaku malah kian menumpuk. Tambah menumpuk dosaku, tambah besar pula keinginanku untuk memperpanjang hidup, berpikiran bahwa aku hanya butuh lebih banyak waktu untuk menebus semuanya. Dan begitulah seterusnya, tak temu ujung, padahal suatu hari nanti nyawaku akan temu ujung.

Oh, Tuhan, unik nian Engkau mencipta makhluk macam kami.

"Seorang wanita, katamu?" tanya si kakek, yang kehadirannya nyaris terlupa olehku. "Apa dia sudah ...?"

"Belum. Waktu itu, niatannya batal."

Jari-jari si kakek memutih—kalau dia benar-benar mau mati, kenapa berpegangan seerat itu? Kalau dia mau hidup, kenapa berposisi menantang seperti ini?

Aku menghela napas. Udara makin dingin, dan terdengar lolongan anjing di kejauhan. Makin larut, alam seberang makin aktif saja berinteraksi.

"Masih lama, Kek?"

Si pria tua menyumpahiku dalam bahasa daerah, lalu dia buru-buru beristigfar, seolah-olah lupa kalau saat ini dia akan melakukan sesuatu yang tidak akan tercuci bersih dengan semata istigfar.

"Usiaku 75 tahun ini," ucap si kakek tiba-tiba sambil memandangi aliran sungai yang dingin. "Tahun ini saja, sudah enam kali aku melayat ke pemakaman teman-teman dan saudaraku. Tetanggaku yang sepantaran usia denganku saja sudah pada mati jauh bertahun lalu. Bahkan ibu dan bapakku mangkat duluan. Lelah aku—kenapa aku saja yang belum mati-mati?!"

"Kakek punya keluarga?" tanyaku.

Si kakek terisak. "Istriku sudah meninggal sedekade lalu. Kami tidak punya anak karena aku mandul."

Kutepuk-tepuk jari tangannya yang kurus di pagar pembatas. "Kakek masih kuat, ya, jalan malam-malam dari rumah sampai ke sini?"

"Aku hampir mati di jalan tadi, sesak napas, dan kakiku lemas."

"Tapi sudah komitmen untuk melompat di jembatan ini, ya?" tanyaku simpati.

"Aku takut mati di jalan—mayat digigit anjing liar, dilindas pengemudi mengantuk. Mending mati di air."

"Ah ..." kataku paham. "Mungkin, itu juga yang dipikirkan beliau hari itu."

"Siapa?"

"Wanita yang tadi kubilang pernah hendak bunuh diri juga di sini." Aku memberi tahu. "Dulu, ada seorang wanita yang hendak melompat dari sini sambil membawa anak-anaknya, tapi batal karena anak tertuanya bilang, dia punya cita-cita ingin jadi supir ambulans."

"Apa hubungannya itu?"

"Tidak ada. Itu artinya wanita tersebut hanya mau diberi sedikit harapan, alasan buat melanjutkan hidup, sesepele apa pun. Walau cuma harapan kosong sekali pun. Sayangnya, tidak ada yang memberi harapan tersebut pada kakakku."

Aku bisa melihat pandangan si kakek mulai goyah. "Kakakmu ... bunuh diri, kau bilang?"

"Semacam itulah, walau dia tak benar-benar mati ... tapi juga tidak hidup. Bunuh dirinya agak terlalu fantastis dari kebanyakan orang sampai aku dan ibuku tidak tahu harus berduka dengan cara macam apa."

Kami kemudian dijerat keheningan selama beberapa saat. Lama-lama, aku mulai kedinginan. Para arwah di sekitar pun tampaknya mulai bosan menunggu dan bubar sambil mencibir kepengecutan si kakek. Beberapa dari ruh orang mati itu memasang raut jijik lantaran si kakek masih berkali-kali mengucap nama Tuhan—ironi dari posisi berdirinya di pinggir jembatan dan pola pikirnya yang menantang Tuhan.

"Kalau Kakek tidak mau dorongan," kataku seraya mengulurkan tangan kepadanya dengan telapak menghadap atas. "Berarti Kakek ingin ditarik."

Si pria tua malang nan putus asa akhirnya melepaskan satu tangan dari pagar pembatas, lalu menyambar tanganku. Untuk ukuran manula, cengkramannya kuat. Ada bekas luka bakar dan luka sayat lama di sana—tahulah aku bahwa pria tua ini punya masa muda yang menarik.

Kutarik si kakek sampai berposisi ke dalam pagar pembatas jembatan. Kakinya langsung ambruk ke aspal jalan. Kerongkongannya mengeluarkan suara tangis dan batuk kering, napasnya satu-satu, dan sekujur tubuhnya tampak gemetar.

Kuselonjorkan kakiku ke bawah ruas-ruas melintang pagar jembatan, lalu duduk menghadap aliran sungai. Kutepuk tempat di sebelahku, meminta si kakek duduk di sana. Kukeluarkan botol air mineral dari ranselku.

Si kakek menelan air itu beberapa teguk, terbatuk, lalu minum lagi. Setelah kerongkongannya basah, dan napasnya tidak lagi terlalu berbunyi, barulah si kakek bertanya, "Apa yang anak muda macam dirimu lakukan tengah malam begini?"

"Mengelana," jawabku. Kuperhatikan si kakek yang menyeka lelehan air dari dagu dengan kupluknya, lalu memasang kembali peci itu dengan tangan gemetar kedinginan. "Aku tidak betah di rumah. Rumahku terlalu ... berhantu."

Si kakek menganga sebentar, tetapi kemudian mengangguk-angguk mafhum. Inilah yang kusukai dari para manula—mereka lebih mudah memafhumi hal-hal mistis meski mereka mungkin tak terlalu memercayainya.

"Anda percaya hantu, Pak Danta?"

"Ya, dan tidak." Si kakek mengerjap. "Aku sudah memberi tahu namaku?"

"Secara verbal, belum," kataku. "Luka-luka di badanmu memberi tahuku."

Diam sejenak, si kakek lantas mengangguk dengan tatapan terheran-heran. "Anak yang unik—dirimu ini."

"Masih kalah unik dari kakakku."

"Kakakmu ...?"

"Yang sudah pergi lebih dulu." Aku berdecak-decak. "Kakek mau kuantar pulang?"

Bisa kulihat si kakek yang wajahnya jadi ketakutan lagi. Dia belum siap mati, tetapi enggan hidup juga. Saat ini, hal terakhir yang ingin dilakukannya adalah pulang ke rumah yang sepi, tanpa seorang pun di hari tuanya kecuali suara kecil di dalam kepalanya yang mengajak untuk mengingkari Tuhan sekali lagi.

Kuputuskan, untuk terakhir kali, aku mungkin bisa mengulur waktu lagi dan menemaninya sedikit lebih lama. Padahal sang Waktu paling tidak suka diulur-ulur. Sang Waktu tidak punya toleransi; itu sebabnya seseorang yang senang mengulur-ulur waktu, pekerjaannya tidak pernah selesai-selesai.

"Aku bisa temani Kakek di sini sebentar," kataku, membuat wajah si pria tua melonggar lega. "Aku akan ceritakan sesuatu padamu, Kek. Sesuatu yang menghibur, tapi juga menyedihkan. Kuharap, cerita ini tidak mendorongmu mengulangi aksimu yang barusan."

"Cerita ... tentang masalahmu?" tanya si Kakek. "Atau sekadar cerita? Seperti dongeng dan fiksi?"

"Fiksi," jawabku, lalu terkekeh sendiri sambil menggeleng-geleng. "Ini cerita tentang seorang bocah yang sok pahlawan. Dia ingin menolong banyak orang, tetapi justru berakhir menciptakan semua bencana itu dengan tangannya sendiri. Nama bocah itu Greyer Adhwa."

(*゚ー゚*) Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro