Bab 23b

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rose menatap sang kakak yang duduk murung di ruang makan. Pasta yang baru saja dimasak, tidak tersentuh. Camelia seakan tidak melihat ada makanan di depannya. Pandangan menerawang dengan kedua tangan menyangga kepala. Entah apa yang dipikirkannya, Rose menduga ada hubungannya dengan Arlo. Ia mengambil sepotong roti bawang yang masih hangat, mencelupkan ke dalam krim saus dan memakannya.

"Ada masalah apa?" Rose tidak tahan untuk tidak bertanya. "Kamu kelihatan murung? Bertengkar dengan Arlo?"

Camelia menghela napas panjang, meneggakkan kepala dan meraih garpu. Memutar serta mengaduk pasta di atas piring tanpa berniat memakannya.

"Arlo terlibat masalah."

"Oh, dengan siapa?"

"Pimpinan di kantornya."

"Masalah besar?"

Camelia mengangguk. "Sangat. Dia sampai mendapatkan SP satu karena itu. Padahal selama ini pekerjaannya terhitung sangat baik dibandingkan teman seangkatannya."

Rose menatap kakaknya lekat-lekat. "Sebesar itukah? Sampai mendapat SP satu?"

Dengan muram Camelia mulai bercerita, menyingkirkan piring pasta dari depannya. "Arlo mengunggah foto pernikahan Iris dan Tuan Nikolai. Padahal jelas-jelas itu sebuah larangan dari mereka."

"Ya Tuhan!"

"Tuan Nikolai datang langsung ke kantor untuk menegur. Menyatakan dengan jelas pada Delamo, kalau dia akan memberikan pekerjaan pada kantor kami dengan catatan, Arlo harus bertanggung jawab atas perbuatannya."

"Untung nggak dipecat."

"Niat awalnya seperti itu. tapi menimbang Carlo adalah pengacara andalan mereka, makanya hanya diberi teguran dan SP satu. Arlo mengomeliku karena tidak memperingatkannya dengan lebih kesal. Padahal, saat melihat foto itu di media sosialnya aku sudah melarangnya. Demi atensi dari banyak orang, dia mengabaikanku dan kini marah. Hebat bukan?"

Camelia mendesah dramatis, menyesali kemalangannya dalam percintaan. Ia berusaha setengah mati untuk membuat Arlo mencintainya tapi seiring berjalannya waktu, laki-laki itu malah makin sering mengabaikannya dan cenderung tidak memikirkannya saat akan bertindak. Seolah dirinya hanya seorang perempuan biasa bukan kekasih yang harusnya disayangi dan didengar pendapatnya.

"Entah apa yang salah dengan diriku, jatuh cinta dengan laki-laki macam Arlo."

Rose mendesah, menyandarkan kepala pada punggung kursi. "Tidak ada yang salah denganmu. Orang-orang itu sengaja menentang Tuan Nikolai. Sudah jelas itu tidak diperbolehkan. Kita semua tahu bagaimana suami adik kita bisa bertindak sangat kejam kalau sedang marah. Arlo sedang menimpakan masalah padamu karena kamu hanya menerima tanpa kata."

Camelia menyadari perkataan adiknya. Ia memang sangat lemah pada Arlo. Laki-laki itu tahu kalau dirinya jatuh cinta setengah mata dan nyaris tolol. Memanfaatkan semua perasaannya untuk kepentingan sendiri. Camelia mengetahui semua itu tapi anehnya tidak bisa menolak.

Camelia menatap jendela yang terbuka, menampakkan pemandangan bunga-bunga dalam pot. Tanaman itu dulu Iris yang merawatnya dan sekarang berganti sang papa. Ia dan Rose sama sekali tidak ada minat untuk menyentuh bunga-bunga itu. Padahal, kalau diperhatikan lebih seksama, bunga-bunga itu mekar dengan begitu indah. Aromanya terkadang masuk ke ruangan terbawa oleh udara. Mendesah, ia memikirkan Iris yang sosoknya menghilang dari rumah. Tidak ada lagi suara lantang, tawa ceria dan lagu-lagu yang diputar Iris dengan keras. Rumah ini mendadak menjadi sunyi.

"Menurutmu, apakah Iris diperlakukan mereka dengan baik?"

Pertanyaan Camelia dijawab dengan gelengan kepala oleh Rose. "Aku nggak tahu. Tapi, semoga baik-baik saja. Mengingat, betapa angkuh dan sombongnya mereka."

"Semoga Iris kuat berada di rumah itu."

"Aku pun menginginkan hal yang sama. Jujur saja, aku nggak lagi merasa iri dengan pernikahan Iris, setelah melihat banyaknya yang terjadi. Tuan Nikolai yang terlalu berpengaruh, dengan keluarganya yang sangat mengintimidasi. Menikah dengan miliarder bukan lagi impian. Aku lebih suka menikah dengan orang biasa tapi punya kebebasan."

Camelia mngangguk muram, sepakat dengan perkataan Rose. Untuk kali ini ia benar-benar berharap Iris baik-baik aja berada di lingkungan yang tidak ramah.

**

Popy terperangah, menatap banyaknya barang yang dibawa masuk oleh pelayan. Semua barang-barang itu dibawa ke kamar Nikolai. Baru menikah dan Nikolai sudah membelikan banyak barang untuk Iris. Ia berdecak, tersenyum kecil pada pelayan yang keluar masuk.

"Di mana Tuan Nikolai?" tanyanya pada sopir.

"Masih di mall."

"Sendirian?"

"Tidak, bersama Nyonya. Katanya mau makan malam di sana."

Popy memejam lalu berkacak pinggang. Para pelayan sudah menyiapkan hidangan, karena tidak tahu kalau Nikolai akan makan du luar. Ternyata yang ditunggu tidak datang.

"Barang-barang siapa, Ma?" Anya muncul, menahan heran. "Banyak sekali."

"Siapa lagi di rumah ini yang baru saja mendapatkan durian runtuh?"

Anya mengernyit. "Nggak ada yang menanam durian di rumah ini."

Popy menatap kesal pada anaknya. "Itu hanya kiasan. Seseorang yang mendapatkan rejeki teramat besar."

Mulut Anya membentuk huruf o sambil mengangguk. "Ah, Iris maksudnya. Tentu saja sepupu membelikan banyak barang untuknya. Sudah kuduga kalau gadis itu, eh, salah, perempuan itu hanya menginginkan harta bend akita saja. Mana mungkin orang miskin sepertinya bisa membeli banyak barang!"

"Aku juga mendengar kabar angin, Nikolai akan membelikannya mobil baru."

"Semoga hanya kabar angin. Kita nggak tahu apa yang akan terjadi kalau Iris diberi kemewahan yang berlebihan, bisa-bisa makin kurang ajar sikapnya."

Popy terdiam, mengamati pelayan yang hilir mudik di depannya. Memikirkan tentang Nikolai, Iris dan status pernikahan mereka. Ia yakin, di balik pernikahan yang gemerlap, tersimpan rahasia besar dan ia akan mencari tahu nanti.

Ia mengenal Nikolai dari kecil, bisa dikatakan ikut mengasuh. Anak laki-laki tampan dan sehat yang akhirnya berubah menjadi pemurung dan pemarah setelah cacat. Dengan sikap Nikolai yang angkuh seperti itu, ia tidak menyangka kalau keponakannya akan menikah. Ternyata dugaannya salah. Setelah menolak lamaran banyak orang, Nikolai memutuskan untuk menikah dengan Iris. Semua perkiraan dan juga rencana-rencana menyangkut rumah ini hancur.

"Anya, sepertinya aku menemukan cara untuk mengusir gadis miskin itu dari rumah ini," bisiknya.

Anya menatap sang mama dengan bola mata berkilat. "Apa, Ma?"

"Kamu tahu bukan kalau pernikahan mereka aneh. Yang kita lakukan hanya membuat gadis miskin itu makin tertekan dengan pernikahan mereka."

"Maa, bisa nggak bicara secara langsung. Bagaimana caranya mengusir Iris?"

Popy tidak sempat menjawab karena kendaraan Nikolai meluncur masuk. Terdengar suara percapan lirih, dan Iris muncul dengan Nikolai. Keduanya menatap Popy dan Anya dengan heran, terutama Iris.

"Apakah di rumah ini setiap kali baru pulang kita selalu disambut, Sayang?"

Nikolai tersenyum. "Tentu tidak. Ini pengecualian." Ia menatap Popy dan Anya yang mematung dengan heran. "Kalian menunggu kami?"

Popy mengangguk sementara Anya menggeleng.

"Kami ingin mengajak makan malam," ucap Popy.

"Kami nggak sengaja berdiri di sini!" Anya menyahut ketus.

Ibu dan anak itu saling pandang, dan Iris menghela napas panjang. "Kita masuk kamar dulu, Sayang. Sepertinya mereka butuh waktu berpikir."

Nikolai mengangguk dan Iris mendorong suaminya sambil berceloteh, meninggalkan Popy dan Anya yang saling pandang kebingungan.

"Apa kamu mendengarnya?" tanya Popy pelan. "Gadis itu memanggil Nikolai dengan sebutan, sayang?"

Anya mendengkus. "Mama nggak salah dengar, Iris memanggil sayang pada sepupu?"

Tidak ada yang bisa menebak, hal-hal yang akan terjadi semenjak Iris tinggal di rumah ini. Mereka seolah dipaksa untuk selalu bersikap waspada karena Iris tidak pernah bersikap biasa saja.

.
.
.
.Tersedia di google Playbook.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro