Bab 24

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Iris dibantu beberapa pelayan termasuk Jeni untuk merapikan barang-barang yang baru dibeli. Nikolai sudah menyiapkan dua lemari khusus untuknya. Jeni mengatakan akan mencuci dan menyetrika semua pakaian sebelum meletakkannya ke dalam lemari. Untuk sementara Iris memakai beberapa blus dan minidress yang sudah disiapkan untuk dipakai.

"Saya rasa, Nyonya akan membutuhkan ini."

Jeni mengeluarkan kain hitam dari dalam kotak dan menyerahkannya pada Iris yang menerima dengan bingung.

"Apa ini?"

"Coba dibuka."

Mengikuti perkataan sang pelayan, Iris membukanya dan tercengang saat celana dalam super mini terjatuh di lantai. Ia menatap kain renda di tangannya dengan bingung. "Ini pakaian apa, Jeni?"

Jeni terkikik, wajahnya bersemu. Melirik pada pelayan lain yang sedang sibuk lalu berdehem. "Nyonya, itu pakaian tidur."

"Hah, bukannya ini terlalu tipis?"

"Memang, pakaian tidur untuk pengantin baru. Semua memakai itu untuk para suami agar, itu, anu, ah, harusnya Nyonya paham."

Setelah melihat bentuknya yang berenda dengan kain halus menerawang, Iris akhirnya mengerti tentang keguaan pakaian dalam mini itu, termasuk celana dalamnya yang super kecil. Mengusap permukaan kain dan mengulum senyum, membayangkan reaksi suaminya saat melihat dirinya berpakaian minim. Malam ini, ia berencana memakainya dan menggoda Nikolai.

"Nyonya, mau pakai malam ini?" Jeni seolah bisa menebak pikirannya, membuat Iris sekali lagi tercengang.

"Hebaat, kamu bisa menebak pikiranku."

Jeni terkikik. "Terlihat dari wajah Nyonya. Begini, saya punya ide dan ini sepertinya akan menjadi saran yang baik."

"Ide untuk apa?"

"Cara menggoda suami tentu saja. Memangnya Nyonya hanya memakai pakaian itu saja sudah cukup? Tentu saja tidak. Ada banyak hal yang harus dipersiapkan."

Sementara para pelayan lain sibuk merapikan barang-barang, Jeni bertukar kata dengan Iris di kamar mandi. Gadis pelayan itu memberikan semua saran dan pengetahuan yang dimiliknya, termasuk bagaimana cara Iris merawat tubuh.

"Setelah selesai semua pekerjaan, saya akan kemari untuk membantu Nyonya."

Iris menyambut tawaran Jeni dengan suka cita. Setelah mendengar saran dari pelayannya itu, ia mengakui memang membutuhkan banyak persiapan sebelum merayu suaminya. Ia tetap berada di kamar, mengawasi para pelayan menata barang sedangkan suaminya berada di ruang tengah. Norris datang dan mereka bicara berdua di sana. Meskipun Iris tidak yakin kalau hanya berdua, karena anggota keluarga yang lain pasti tidak mau ketinggalan berita terbaru. Iris tidak peduli dengan mereka, yang terpenting sekarang adalah bagaimana caranya membawa suaminya ke atas ranjang. Tugas dan misi penting yang tidak boleh gagal.

Di ruang tengah, Nikolai mendengarkan dengan seksama penuturan sang kakak tentang proyek perkebunan. Norris dengan tegas mengatakan kalau pihak keluarga Maila tidak terima dengan berita pernikahan Nikolai.

"Haris mengamuk di telepon, mengatakan dengan tegas akan menindak kita." Norris mengusap telinganya. "Rasanya masih sama sampai sekarang, telingaku jadi mati rasa karena suara orang tua itu."

"Dia tidak ada hak untuk marah," gerutu Nikolai, mengisap cerutunya.

"Memang! Laki-laki tua tidak tahu diri. Hanya karena berstatus sebagai dewan kota, membuatnya berhak untuk bersikap semena-mena. Dia juga membawa-bawa nama istrimu."

"Iris? Kenapa?"

"Mengatakan sesuatu tentang gadis miskin dibandingkan anaknya yang seperti berlian."

Nikolai menahan makian di ujung lidah. Maila sudah pasti mengadu pada sang papa tentang pernikahannya. Ia tidak peduli dengan mereka tapi berharap Iris tidak mendengar soal ini.

"Haris itu, sudah tua tapi tidak tahu diri," dengkus Nikolai.

Norris mengangguk. "Aku mendengar kamu bertemu Maila di kantor? Apakah perempuan itu menganggumu."

"Bisa dibilang begitu dan cukup mengesalkan."

"Apa yang akan kamu lakukan nanti? Untuk mengatasi masalah ini?"

Nikolai menggeleng. "Belum tahu, aku akan memberitahumu nanti kalau sudah menemunkan caranya."

"Jangan lama-lama."

"Tidak akan."

Anggota keluarga yang lain, mendengarkan dalam diam percakapan kakak beradik itu. Tidak ada yang berani menyela saat mereka sedang bicara hal penting, terutama soal bisnis. Dickson yang merupakan seorang direktur di salah satu anak perusahaan milik keluarga Danverpun, tidak menyela saat Norris sedang bicara dengan Nikolai tentang bisnis. Ia tahu kapasitasnya, untuk tidak menganggu mereka. Perusahaan yang ditanganinya hanya satu, itu pun tidak besar. Berbeda dengan Norris yang merupakan pemegang dua perusaahaan. Tidak bisa dibandingkan lagi dengan Nikolai yang merupakan puncuk pimpinan. Tidak salah kalau keponakannya termuda itu menjadi pimpinan, Dickson mengakui cara kerjanya memang sangat baik.

Dibandingkan sang kakak, Nikolai paling paham cara menangangi perusahaan. Mengambil keputusan dengan cepat dan jarang sekali menyia-nyiakan waktu. Hari-hari dilalui dengan bekerja dan mengembangkan jaringan. Saat adiknya meninggal dan Nikolai tergeletak di atas ranjang, ia mencoba memimpin perusahaan tapi gagal. Ia tidak cukup mampu untuk menangani begitu banyak masalah. Dua tahun kemudian digantikan Norris dan hasilnya tidak jauh beda. Sampai akhirnya, Nikolai yang sudah sembuh mulai menunjukkan kemampuannya. Dalam waktu singkat, perusahaan berjalan seperti sebelum kecelakaan dan kini bahkan berkembang makin pesat.

"Kenapa duduk di sini, Pa?" Ida menghampiri suaminya. "Harusnya bersama mereka."

Dickson menggeleng. "Tidak, bukan ranahku untuk bicara masalah itu."

"Mereka membahas proyek perkebunan, bagaimana mungkin kamu bilang bukan ranah? Sama-sama anak perusahaan keluarga Danver."

"Sudahlah, Ma. Kamu nggak lihat aku lagi makan?"

Ida menatap suaminya dengan kesal. Dickson dengan perut buncitnya, lebih suka makan dari pada mengobrol bisnis dengan dua keponakannya. Padahal, mereka sama-sama anggota keluarga Danver tapi suaminya bersikap seakan menjadi orang lain. Ia selalu mendorong suaminya agar lebik aktif, lebih banyak inisiatif, dan lebih giat lagi dalam bekerja. Tapi, Dickson selalu bersikap semauanya. Asalkan pekerjaan selesai, tidak peduli hal lain. Sikap pasif sang suami sering membuat Ida geram tapi tidak tahu lagi bagaimana mendorong Dikson agar lebih proaktif.

"Kalau anak kita laki-laki, aku yakin akan mewarisi karkter bisnis keluarga Danver. Sayangnya, anak kita perempuan."

Dickson menggeleng. "Jangan begitu, Ma. Kalau sampai Nayla mendengarnya, dia akan sedih. Mamanya menharap anak laki-laki dibandingkan dirinya. Lagipula, apa salahnya punya anak perempuan? Nayla cantik, banyak punya teman dan bertalenta. Bukankah dia sedang kuliah di bidang bisnis?"

Ida tidak menjawab, hanya terdiam sambil menatap bagian belakang tubuh Nikolai. Memikirkan tentang anak perempuannya yang lebih suka bersenang-senang dari pada berbisnis. Harusnya, di umur Nayla yang sekarang, sudah mulai ke kantor. Belajar bekerja dan adapatasi dengan dunia bisnis. Sayangnya, anaknya lebih banyak menggunakan waktunya untuk bepergian tak menentu. Sekarang nyaris pukul sembilan malam dan tidak ada yang tahu kemana Nayla pergi.

Dari ujung matanya, Ida melihat Popy. Sama seperti suaminya, Popy juga enggan mendekat ke arah ruang tengah. Perempuan itu duduk di teras samping bersama anak perempuannya. Secara tidak langsung, keadaan ini menegaskan siapa yang paling berkuasa di rumah ini. Terkadang Ida heran, semua orang takut dengan Nikolai, bahkan dirinya pun sama. Padahal, yang mereka takuti adalah satu orang cacat. Sungguh keadaan yang penuh ironi.

Ida bergegas bangkit dari kursi saat Norris berpamitan pulang. Ia menghampiri Nikolai dan tersenyum. "Apa kamu mau makan cemilan? Biar aku siapkan."

Nikolai menatap Ida sekilas dan menggeleng. "Tidak."

"Minum kopi?"

"Tidak."

Ida tidak lagi bertanya saat Nikolai berlalu tanpa kata. Ia menghela napas panjang, merasa setidaknya sudah berusaha ramah. Nikolai tidak menerima tawarannya, itu adalah masalahnya sendiri. Ia melirik ke arah suaminya yang masih asyik makan. Dari sepiring roti berisi krim keju, kini beralih ke piring lain berupa lumpia udang. Ida hanya berdecak tak berdaya.

Dari dalam kamar mandi terdengar senandung merdu. Iris berbaring di dalam bathtub berisi air hangat, sabun susu, dan minyak aroma terapi. Rambut merahnya basah tertutup handuk kecil. Setelah berendam hampir tiga puluh menit, ia bangkit dan membilas tubuh. Setelah mengeringkan dengan handuk besar, mengoles lotion di kulitnya. Ia mengendus aroma lotion yang wangi. Tidak heran kalau barang itu begitu mahal, ternyata memang enak saat digunakan.

Ia mengeringkan rambut sambil bersiul. Merasa gembira setelah tubuh dan rambutnya bersih serta wangi. Jeni mengajarinya tahap-tahap berendam dan membuat tubuh jadi bugar. Ia menerapkan semua sarap Jeni dan tidak lupa, menonton video semi porno yang juga direkomendasikan sang pelayan.

"Kenapa saya merekomendasikan semua pada Nyonya? Karena saya tahu Nyonya masih muda. Belum berpengalaman soal sex. Dari menonton film, setidaknya tahu sedikit banyak tentang cara-cara merayu, berciuman dan juga menggoda laki-laki."

Saat melihat tubuh telanjang laki-laki dalam video, Iris merasa wajahnya memanas. Ia membayangkan Nikolai dalam posisi yang sama. Tentu saja ia ingin melayani suaminya seperti istri pada umumnya. Berpelukan, berciuman dan bermesraan. Bukan sekedar mengobrol.

Berdiri di depan kaca dengan jemari mengusap bibir, Iris membayangkan ciuman dengan Nikolai. Ia tidak tahu bagaimana rasanya berciuman, karena tidak pernah melakukannya. Tapi, ia bertaruh akan sangat menggairahkan.

Sedikit gemetar, ia memakai gaun tidur tembus pandang dengan celana dalam mini. Menatap malu bayangannya di cermin. Gaun hitam itu membuat kulitnya yang putih makin terlihat bersinar, selaras dengan rambutnya yang merah.

"Okee, sexy sudah. Wangi juga sudah." Ia menepuk-nepuk pipi dengan krim, lalu membubuhkan bedak dan mengoles pemerah pipi. Selesai semua, Iris menatapo bayangannya di cermin dan hampir tidak mengenali dirinya sendiri. Di cermin bukan sosok gadis muda, melainkan perempuan dewasa yang cantik dan sexy. Setidaknya itu yang terlihat di matanya. "Semoga semua berjalan lancar. Suamiku harusnya tergoda dan malam ini kami bisa bermesraan."

Terakhir, Iris memakai sepatu hak tinggi warna merah. Ia tidak tahu kenapa di dalam kamar harus memakai sepatu tapi sekali lagi Jeni menyarankan seperti itu. Katanya, untuk menunjukkan kakinya yang jenjang. Iris merasa apa yang dikatakan Jeni benar saat melihat kakinya dalam balutan sepatu merah.

Iris berjengit saat mendengar panggilan dari luar. Nikolai sudah datang. Ia meraba dada sebelum menyahut panggilan suaminya.

"Iya, Sayang. Sebentar lagi aku keluar!"

Iris menutupi dadanya yang membulat dengan puting menegang karena dingin dan juga sentuhan kain. Menyingkirkan rasa malu dan gugup sebelum membuka pintu. Ia melongok dari dalam, untuk memastikan suaminya sendiri.

"Apa kamu sendirian?"

Nikolai mengangguk. "Iya, kenapa?"

"Nggak apa-apa, takutnya ada Pak Pram. Apakah pintunya sudah dikunci?"

Nikolai mengernyit. "Sudah tertutup tapi nggak terkunci. Tidak akan ada yang berani masuk kamar ini tanpa ijin."

Iris menggigit bibir. "Anu, tolong kunci pintunya."

"Kenapa?"

"Please, aku ingin pintu terkunci."

Tanpa kata Nikolai memutar kursi roda dan mengunci pintu. Selesai semua, ia berniat kembali ke tempat semula dan tertegun. Di tengah kamar, Iris berdiri malu-malu dalam balutan gaun malam sexy yang menunjukkan seluruh tubuhnya. Nikolai meneguk ludah, menatap dada Iris yang menyembul, paha yang tidak tertutup, dan sepatu merah. Wajah gadis itu pun tertutup bedak dan pemerah bibir yang cukup tebal.

"Iris, apa yang sedang kamu lakukan?"
.
.
.
Tersedia di Karyakarsa dan google playbook.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro