Bab 3a

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nikolai mendengarkan dengan bosan, pertengkaran di meja makan. Seperti biasa, makan malam selalu menjadi ajang drama dan pertengkaran. Keluarga ini seolah tidak kehabisan topik untuk bertengkar. Kali ini, tentang pesta yang akan dilakukan di balai kota dan mereka mendapatkan undangan. Keluarga Danver selalu menjadi kebanggan kota ini, selain kaya raya juga terkenal dermawan. Sudah turun temurun menyisihkan sebagian penghasilan untuk membantu warga kota, dari mulai membangun tempat ibadah, sekolah, hingga panti jompo. Tidak lupa juga memperbaiki jembatan, ataun membangun fasilitas publik. Tidak heran kalau kedatangan merewka selalu dinantikan oleh warga. Alasan lain adalah, keluarga Dannver akan datang dengan pakaian terbaik mereka dan setelahnya akan menjadi ikon fashion.

Pertengakaran terjadi antara dua sepupunya, satu berambut pirang dengan wajah cubby dan Nyla yang berambut hitam sebahu. Umur keduanya hanya terpaut dua tahun, tidak heran kalau selalu terlibat pertengkaran. Nayla adalah anak pamannya, sedangkan Anya anak dari bibi. Mereka tinggal di komplek perumahan yang sama, tak heran kalau kerap datang untuk makan malam.

"Aku sudah lebih dulu melihat gaun itu. Bisa-bisanya kamu mengambil model yang sama?" Nayla membentak. Umurnya yang lebih tua dua tahun, membuatnya berani berkata lantang.

Anya mengangkat wajah. "Memangnya kenapa? Kamu melihat lebih dulu tapi aku yang membayarnya."

"Aku sudah memesannya!"

"Tanpa membayar? Jangan salahkan orang lain kalau diambil!"

Keduanya saling pandang dengan mata menyala, Nikola menatap keduanya lalu menggumam pelan. "Kalau kalian masih ribut, aku akan melemparkan kalian berdua keluar. Sekarang juga!"

Keduanya melotot lalu secara bersamaan membuang muka. Di rumah ini hanya Nikolai yang mereka segani. Bahkan orang tua sendiri pun mereka tidak peduli. Namun, saat Nikolai marah itu berarti hal serius dan tidak boleh dibantah.

"Hanya perkara gaun dan kalian ribut sekali," ucap Dickson, papa dari Nayla. "Kalian beli model yang sama, beda warna. Memangnya nggak bisa?"

"Nggak bisaa!"

"Enak saja!"

Kedua gadis itu menyahut bersamaan. Dickson menghela napas panjang, menatap anak dan keponakannya. Ia ingin melanjutkan perkataan tapi sang istri menyenggol rusuknya.

"Jangan ikut campur urusan perempuan." Sang istri, Ida. Memberi peringatan pelan.

"Benar, Kakak. Jangan habiskan energi untuk melerai pertengkaran mereka." Kali ini yang bicara adalah Popy, mamanya Anya. "Anakku memang sudah bayar, dengan terpaksa Nayla harus memesan gaun lain."

"Nggak mau! Mamaaa, aku nggak mauuu!" Nayla membentak lalu merengek.

Nikolai yang hilang sabar menggebrak meja dan membuat beberapa makan tumpah.

"Wah-wah, ada pertengkaran lagi rupanya."

Nikolai mengeluh saat datang sepasang suami istri. Mereka adalah kakak dan kakak iparnya. Ia sama sekali tidak mengharapkan kedatangan mereka di sini dan memnperumit masalah.

"Nikolai, tahan juga kamu menghadapi mereka, hah?" Norris mengenyakkan diri di samping adiknya. "Para benalu yang menumpang hidup tapi nggak tahu diri!'

Semua yang berada di sekitar meja melotot tapi Noris tidak peduli.

"Dalam pesta nanti, hanya Nikolai yang mendapatkan undangan istimewa. Kita semua, sama seperti tamu lainnya." Dasha, istri Norris duduk di samping suaminya dengan senyum angkuh. "Tapii, karena Nikolai tidak pernah datang ke pesta maka kami yang akan mewakili."

"Kenapa harus kamu?" tanya Popy ketus. "Aku bibinya."

Dikson mengangkat tangan. "Tunggu, aku yang paling tua di sini dan seorang paman. Sudah semestinya aku yang mewakili."

"Kalian hanya menumpang hidup sama adikku. Masih ada nyali mewakili?" tegur Norris dingin. "Aku adalah kakak Nikolai. Sudah semestinya aku dan istriku yang datang. Kami datang untuk mengambil undangan!"

Dasha mengulum senyum, mengibaskan rambut ke belakang. Perkataan suaminya memukul telak orang-orang bodoh yang ada di meja makan. Mereka hanya orang yang menumpang hidup tapi tak tahu diri.

Nikolai yang sedari tadi terdiam, berdehem keras. Nafsu makannya menghilang. "Kalian saling memperebutkan undangan istimewa, seakan sudah pasti tahu kalau aku tidak akan datang ke pesta."

Semua mata kini tertuju pada Nikolai. "Kamu mau datang?" tanya Norris.

Nikolai memanggil Pram dan meminta bantuan untuk pindah ke kursi roda. "Kita lihat saja nanti. Sebaiknya kalian jangan berharap banyak."

Diikuti oleh Pram, Nikolai pergi ke ruang kerja. Meninggalkan keluarganya berdebat di meja makan. Merasa kesal karena tidak sekalipun, makan malam berlangsung damai. Orang-orang itu selalu punya cara untuk membuat suasana hatinya memburuk. Nikolai memutuskan untuk bekerja dan tidak keluar sampai perdebatan di ruang makan berakhir. Pada akhirnya ia tertidur dan terbangun saat matahari sudah menyingsing.

"Pram, aku ingin sarapan di teras belakang, sendirian!"

Nikolai perlu menegaskan itu karena sedang tidak ingin direcoki oleh yang lain.

"Baik, Tuan."

Selesai mencuci muka dan berganti pakaian, Pram mendorong Nikolai ke teras belakang. Ada macam-macam sarapan di meja bundar, dari mulai roti, wafel, kroket udang, masih banyak lagi. Pram menuang kopi ke dalam cangkir Nikolai saat terdengar dering sepeda. Seorang pelayan bergegas membuka pintu untuk mengambil susu. Terdengra percakapan riang, dari pelayan dan sosok pemuda di balik pagar. Nikolai mengenalinya.

"Pram, suruh anak itu masuk!"

Pram mengangguk, melangkah cepat dan bicara dengan pemuda pengantar susu. Eric muncul dengan senyum cemerlang, melambai pada Nikolai.

"Selamat pagi Tuan Nikolai!"

Nikolai membalas lambaiannya. "Masuklah. Kamu mau sarapan?"

Eric tercengang. "Bolehkah?"

"Tentu saja, pelayan akan mengambil piring dan gelas untukmu. Makanlah apa pun yang kamu mau."

Tanpa sungkan, Eric mengambil semua makanan yang di depannya. Dari mulai wafel hingga kroket. Merasa senang karena seumur hidupnya tidak pernah sarapan seenak ini. Terbatuk karena menelan terlalu banyak.

"Makan pelan-pelan, santai."

Eric mengangguk, meneguk jus buah dan menelan semua makanan. "Enak sekali, Tuan. Terima kasih."

Nikolai mengamati pemuda di depannya, mengingat perkataannya beberapa hari lalu. "Siapa namamu?"

"Eric, Tuan."

"Eric, bisa kamu cerita tentang temanmu berambut merah. Siapa namanya?"

"Iris."

"Nama yang indah. Ceritakan tentang Iris, dan juga kenapa kamu bilang aku akan menikahinya?"

Eric melotot, dengan kroket berada di mulutnya. Wajah memucat karena takut. "Tu-tuan, itu."

"Eric, aku ingin dengar cerita tentang Iris. Jangan takut, aku tidak akan melakukan apa pun pada temanmu."
.
.
.
Di Karyakarsa sudah bab 10.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro