Bab 4b

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ia meluncur naik, meninggalkan kedua kakaknya yang ternganga dan gemetar karena rasa iri. Kali ini, tidak bisa mengatakan kalau Iris berbohong karena melihat dengan mata kapala sendiri, Nikolai datang. Masalahnya adalah bagaimana mereka bisa saling kenal hingga ada ajakan ke pesta?

Kehebohan tidak hanya terjadi di rumah Iris, tapi dikediaman Nikolai pun sama. Saat ia mengumumkan akan datang ke pesta, semua anggota keluarganya terbelalak. Norris menghampiri adiknya, bertanya sekali lagi untuk meyakinkan.

"Kamu yakin akan datang?"

Nikolai mengangguk. "Tentu saja."

"Tapi, kenapa? Biasanya kamu nggak suka acara seperti ini?"

"Anggap saja, aku sedang bosan di rumah dan ingin bergembira."

Sirna sudah harapan mereka untuk menggantikan Nikolai. Padahal, mereka menunggu kesempatan ini. Setiap kali ada pesta, Nikolai akan menunjuk satu orang untuk datang menggantikannya. Popy yang mendengar percakapan adik kakak itu coba-coba ikut bicara.

"Nikolai, kamu yakin akan datang? Bagaimana kalau nanti merasa bosan?"

Nikolai mengangkat bahu. "Aku akan bosan kalau sendiri, tapi kali ini ada teman."

"Teman? Siapa?" tanya Norris. "Laki-laki atau perempuan? Kami mengenalnya?"

Nikolai menatap sang kakak yang penuh pertanyaan ingin tahu. "Sebenarnya ini bukan urusan kalian. Tapi, biar kalian nggak saling curiga satu sama lain, aku akan katakan. Temanku perempuan dan siapa dia? Kalian nggak kenal."

Setelah itu, tidak ada lagi kata-kata yang keluar dari mulut Nikolai. Ia membiarkan orang-orang berspekulasai tentangnya. Tidak masalah kalau sesekali keluar dari cangkang. Bersama Iris yang begitu penuh semangat, rasanya pesta tidak akan membosankan. Nikolai menantikan pesta itu seolah sesuatu yang penting akan terjadi.

**

Sisa Minggu dilalui Iris dengan setengah gembira, setengah melamun. Ia mengatakan pada sang papa akan pergi ke pesta dan merengek meminta uang untuk membeli baju baru.

"Aku janji akan kerja lebih keras di kebun kalau Papa memberiku uang. Please, Papa. Aku membutuhkan pakaian baru."

Albert menghela napas panjang, jujur saja tabungannya tidak banyak. Namun, karena anak bungsunya merengek, tidak tega melihatnya. "Papa tidak punya banyak tabungan, tapi seharus cukup untuk menbeli baju baru."

Memang tidak banyak tapi Iris tidak peduli. Ditambah dengan tabungannya, ia bergegas ke pasar untuk membeli gaun. Tidak banyak yang bisa ditemukan di tempat seperti ini, tapi Iris mencoba yang terbaik. Eric menawarkan diri untuk meminjami uang, tapi ditolak.

"Kamu sudah baik hati, membantuku untuk dekat dengan Tuan Nikolai. Bagaimana mungkin merepotkanmu lagi?"

Akhirnya, satu potong gaun warna biru berhasil dibeli dari toko barang bekas. Gaun itu masih cukup bagus, dengan potongan sederhana yang melekat pas di tubuh Iris. Panjang gaun semata kaki, tanpa lengan. Iris merasa penampilannya akan lumayan cantik dengan gaun ini. Ia membeli gaun bekas, membawa pulang, dan mencucinya. Dengan hati-hati menggantungnya di kamar. Selalu menutup pintu dan jendela karena tidak ingin ada binatang masuk dan merusak gaunnya. Menepati janji, ia bekerja lebih keras untuk membantu sang papa di kebun. Tidak peduli meski hujan atau panas, janji adalah janji yang harus ditepati.

Di hari yang sudah ditentukan, Iris yang baru pulang dari kebun dibuat ternganga saat pintu kamarnya membuka. Ia berbegas masuk dan mendapati dua ayam sedang beterbangan di atas ranjang. Bukan hanya itu, gaun yang sudah dibelinya dengan susah payah, tergeletak di lantai dan robek di beberapa bagian. Ada banyak bulu menepel di sana.

"Oooh, tidaaak! Gaunkuu! Tidaaak!"

Iris mengambil gaun dan meremasnya, tidak kuat menahan kesedihan dan menangis. Ia sudah menunggu datangnya malam ini, pergi ke pesta dan bersenang-senang dengan Nikolai. Semua usaha dan persiapannya, hancur begitu saja. Rasanya sungguh mengesalkan. Dalam ketidak berdayaan, Iris termenung di ruang tamu. Menunggu Nikolai datang. Ia tidak bisa membayangkan, melihat laki-laki itu kecewa. Momen yang sudah ditunggunya seumur hidup, ternyat hancur begitu saja.

Di rumah tidak ada orang lain, tersisa hanya dirinya. Sang papa pergi ke rumah temannya untuk minum. Camelia dan Rosa, entah ada di mana. Tidak ada yang bisa membantunya mengatasi kemalangan yang menimpa. Ia bahkan berharap Nikolai tidak datang menjemputnya, karena malu.

Ia menahan isak saat sebuah kendaraan mewah masuk ke halaman. Cuaca sedang tidak bersahabat, dengan gerimis dan angin kencang. Iris tidak perlu menunggu sampai Nikolai turun, berlari menghampiri dan berdiri dengan gaun rusak di tangannya.

"Iris, kenapa berdiri di situ. Ayo masuk!" Nikolai membuka kaca jendela.

Iris menggeleng. "Maaf, Tuan. Sepertinya saya nggak bisa ikut ke pesta."

Nikolai menatap Iris dengan pandangan bingung. "Kenapa? Ada masalah apa?"

Iris menelan ludah, tenggorokannya tercekat. "Tuan, ga-gaun saya rusak dan tidak ada yang lain lagi. Maaf."

Nikolai memperhatikan gadis berambut merah yang berdiri gemetar di bawah gerimis. Mendekap sesuatu yang ditebaknya adalah gaun yang rusak. Ia tersenyum kecil.

"Aku punya solusi untuk membantumu. Masuklah dulu, jangan sampai kebasahan."

Nikolai membuka pintu dan Iris masuk dengan gugup. Duduk di sebelah Nikolai yang berbau sangat wangi. Kalau sedang tidak bersedih, ia pasti sibuk menganggumi interior mobil.

"Pram, bisa telepon Madam Inggrid? Katakan, aku membutuhkan gaun terbaik yang bisa dipakai malam ini dan juga, minta dia sediakan seorang perias dan stylis rambut."

Pram mengangguk dari samping sopir, melakukan panggilan cepat sementara kendaraan melaju meninggalkan rumah Iris.

Iris menunduk, mencuri pandang pada Nikolai. Dadanya berdebar keras, bukan hanya karena pesta tapi juga karena laki-laki tampan yang duduk di sebelahnya. 
.
.
.
Di Karyakarsa Iris dan Nikolai sudah menikah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro