Lowongan Kerja?!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rambut pirang—maha karya salon langganan—Nova menjadi semakin eye cathing saat berdiri tidak jauh dari X banner yang aku sediakan. Dia dan Lia—adikku—berdiri tepat di bawah salah satu pohon yang tidak terlalu jauh dari tugu air mancur, maskot gedung prosesi wisuda hari ini.

Tempat yang teduh dan tentunya instagramable untuk merekam memori. Tidak sia-sia aku menyisihkan uang menyewa Make Up Artist untuk membuat X Banner. Aku jadi dapat tempat paling asyik untuk foto-foto.

"Berdirinya jauh amat sih, Nov. Kayak lagi musuhan sama Lia." Aku tersenyum lebar melihat wajah Nova yang tertekuk.

"Lo sih gila! Gue kayak lagi mau jumpa pers artis gara-gara ni X Banner!"

Tangan Nova mendorong X Banner-ku dan nyaris jatuh karenanya. Untung saja Lia dengan sigap menahan benda mahal itu, meski wajahnya masih tetap kecut setelah tahu kakaknya benar-benar mewujudkan ide gila ini.

"Tuh, lihat! Semua orang nengok kesini! Lo nggak punya malu apa!?" Nova nyaris histeris. "Udah sih, gulung aja, kan gue udah ketemu lo!"

"Ih, ntar dulu!" sahutku cepat. "Gue sebar broadcast kemarin. Gue yakin yang datang hari ini nggak bakal sedikit, deh. Kasian kalau mereka kesusahan nyari gue di tempat serame ini," kataku penuh percaya diri.

Empat tahun kuliah dan mendedikasikan diri dalam sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa. Sungguh keterlaluan kalau rekan organisasiku tidak ada yang datang. Kukutuk skripsi mereka tahun depan akan direvisi dosen setidaknya 25 kali.

Nova menggelengkan kepalanya frustrasi, lalu buru-buru mengajak berfoto dan pamit. Dia payah. Padahal aku begini karena empat tahun berteman dengannya. Ternyata terlambat lulus membuatnya jadi manusia—agak—waras.

"Kak, temenmu yang itu ketumpahan cat di mana?" Bapak berkomentar tepat ketika Nova menghilang dibalik kerumunan.

"Bukannya kelamaan berjemur, jadi begitu?" Ibu menyahut tanpa diminta.

Sekarang aku tahu darimana keanehanku ini berasal.

"Itu diwarnain," jawab Lia dengan muka putus asanya.

Aku berpura-pura tidak mengenali ketiganya saat beberapa orang di dekatku memperhatikan kami, perihal cat rambut Nova yang masih terus dibahas Bapak dan Ibu.

"Hai!!" Aku melambaikan tangan meski orang yang kumaksud sudah melihat ke arahku. Ketiganya tampak ogah-ogahan berjalan ketika menyadari ada benda mencolok di belakang punggungku.

"Kak, Bapak sama Ibu tunggu di mobil aja, ya." Bapak sepertinya mulai menyerah dengan kerumunan yang semakin padat dan lelah setelah membicarakan warna rambut Nova.

Aku mengangguk dan membiarkan Lia mengikuti orang tuaku ke arah parkiran.

Hanya orang-orang tertentu yang bisa tahan dengan kepadatan seperti ini. Terutama yang sudah berjibaku empat tahun demi menambah nama belakangnya dengan gelar kebanggaan.

Anindita Angelina, S.M.

Setiap menyebutnya dalam hati, entah kenapa dadaku berdesir.

Tak lama kemudian, tiga orang yang kumaksud tiba di depanku.

"Gue harusnya tadi ikutin naluri buat nggak datang. Gue nggak habis pikir bisa temenan tujuh tahun sama makhluk macem dia," tuding Nesa langsung saat sampai di depanku. Tangannya mengulurkan sebuah paper bag berwarna biru langit.

Aku meraihnya dengan senyum lebar. "Asyiiik, apaan nih?" kataku tak mempedulikan raut wajah ketiganya.

Nova memberiku buket bunga mawar putih yang cantik tadi, sekarang aku jadi tak sabar ingin tahu apa isi hadiah dari ketiga temanku sejak SMP ini.

"Lo nggak malu apa, Na?" Alis Yasmin terlihat menyatu. Jarang sekali wajahnya menampilkan ekspresi protes seperti itu.

Kepalaku menggeleng sambil tersenyum lebar. "Gue nggak maling apa-apa, kenapa harus malu?"

Tiba-tiba, Fathia merangkulku. "Nah, akhirnya lo paham juga prinsip gue!" Kemudian Fathia tertawa lebar.

Fathia meminta Yasmin dan Nesa untuk mengambil gambar bersamaku, bergantian. Katanya, anggap saja gladi resik pernikahan kelak.

Sekarang aku tahu, lingkungan memang berpengaruh besar dalam tingkat kenormalan seseorang.

Aku senang sekali saat broadcast-ku berguna, kuotaku tak terbuang sia-sia. Tak lama setelah ketiga sahabat karibku datang, teman-teman yang didominasi junior kenalan dari UKM tiba.

Mereka semua tertawa heboh melihat X banner-ku. Tapi akhirnya, berfoto juga dengan benda yang mereka hina itu. Untuk bahan meme comic katanya, bocah-bocah sialan.

Di tengah hiruk pikuk tamu undanganku. Edward, seorang senior dua tahun di atasku dari UKM datang dalam diam. Seolah dirinya sama sekali tidak terpengaruh dengan kegilaan para juniornya.

"Kak, lo undang Kak Edward?" Sita, salah seorang juniorku dari jurusan Akuntansi bertanya antusias. Matanya seolah menyorotkan lampu yang biasa digunakan mal-mal Jakarta untuk menarik perhatian.

Aku menggeleng heran. "Nggak, pas gue join UKM, dia lagi magang, kan. Jarang ketemu juga, ngapain gue undang?"

Aku cuma mengundang yang dekat denganku, biar tahun depan balas budinya tidak terlalu banyak. Syukur kalau aku sudah bekerja dengan gaji tetap saat itu, kalau belum bagaimana?

"Selamat, ya." Edward dengan setelan kerjanya mengulurkan tangan.

Aku tersenyum canggung dan membalasnya.

"Makasih, Kak. Kakak mau ketemu siapa di sini?" tanyaku polos. Siapa tahu dia mau bertemu seseorang tapi mampir dulu karena melihat X banner-ku yang mencolok.

"Menurutmu?" Edward mengambil sesuatu dari saku dalam jas yang dipakainya.

Kenapa seniorku ini bertingkah seperti dosen penguji skripsi, sih?! Ditanya, malah balik bertanya.

Tangannya kini terulur ke arahku dengan selembar amplop. Dia memberiku angpau?

Aku menatap benda yang dipegang dan wajahnya bergantian. "Kak, gue kan nggak lagi kawinan. Lo ngapain kasih sumbangan?"

Tawaku sekarang pasti terdengar sumbang. Seniorku ini memang seaneh yang digosipkan orang-orang.

"Ini bukan sumbangan, tapi lowongan," jawabnya datar.

"Hah!?"

Nesa, Yasmin, Fathia dan Sita—juniorku yang tersisa di dekatku sekarang—melongo berjamaah.

"Baik banget lo, Kak! Tahun depan, gue juga mau, ya!" Sita menyahut lebih dulu.

Hidup di Jakarta memang sulit, tidak heran kalau Sita iri padaku yang baru saja ditawari pekerjaan perdana.

"Sori, Dek. Cuma buka satu lowongan." Edward melempar senyumnya yang jarang terlihat.

Aku yang penasaran, langsung meraih benda itu setelah menitipkan seluruh kado yang tengah aku peluk pada Nesa, Yasmin dan Fathia.

Mataku menyipit saat membaca barisan pertama dari lowongan kerja yang Edward maksud.

LOWONGAN PEKERJAAN

Dibutuhkan istri paruh waktu untuk Edward Jun.

Job desc:
Menyiapkan makan malam.
Mengelola pakaian dari Laundry.
Memastikan kebersihan apartemen.
Menjaga kesehatan pemberi kerja,
dan job desc lain yang akan dibicarakan selanjutnya.

Yang akan didapat:
- Bebas mengakses seluruh fasilitas apartemen, seperti gym, spa dan kolam renang.
- Gaji pokok yang bisa dinegosiasikan.
- Jaminan masa depan.

Langsung datang untuk tanda tangan kontrak pada akhir pekan, ke:
Apartemen Skyblue, lantai 17
Unit 1701
Jakarta Selatan.

"Lo gila ya, Kak?!"

Aku meremukkan kertas itu dan melemparnya kasar ke tubuh jangkung makhluk tidak waras ini!

"Kalau bercanda, pake otak!" seruku lagi.

Fathia yang penasaran memungut kertas lowongan—sialan itu—dan membacanya. Dia pun sama terkejutnya denganku.

"Aku cuma mau kamu tahu, aku selalu ada kalau kamu butuh."

Edward pergi meninggalkan kami yang membeku dengan ulahnya, tanpa merasa berdosa.

Setelah dia pergi. Nesa, Yasmin, Fathia dan Sita tertawa tanpa filter. Menyuruhku untuk cepat-cepat melamar daripada menjadi pengangguran. Sialan!

081218

Vote dan komennya yaa, Sis~
By the way, tanggal 13 aku wisuda nih, bakal ngalamin kayak Ana nggak ya? :D

See you soon!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro