Delapan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Pintu kamar terbuka. Elang muncul dengan dengan ponsel di tangan.

"Udah nikah seminggu lebih kenapa panggilnya masih Pak, Ra?" protes Bu Sasti.

Rara hanya tersenyum canggung. Ia pun menoleh ke arah Elang, berharap suaminya itu membantu memberi alasan.

"Iya, nih, Bu. Dik Rara masih aja manggil, Pak."

Rara membeliak kaget mendengar Elang menyebutnya dengan panggilan yang manis.

Dik?

"Nggak usah malu, Ra. Udah siap, ayo makan." Bu Sasti mencolek lengan menantunya. Beliau lalu berlalu menuju meja makan.

Rara masih berdiri di tempat. Memori saat di kamar mandi masih sangat jelas. Terutama jika mengingat tatapan matanya yang melihat tubuh Elang.

"Nggak makan?" tanya Elang dengan tanpa senyuman.

"Eh, iya, Pak. Eh, Mas. Eh, aduh maaf, Pak." Rara mulai belepotan memanggil Elang.

Elang ingin tertawa tetapi berusaha ditahannya. Ia paham jika istrinya itu tengah salah tingkah. Elang pun melangkah meninggalkan Rara.

"Duh, malu, malu, malu," gerutu Rara dengan nada lirih.

***

Meja makan bulat dengan empat kursi yang mengelilinya sudah terisi oleh seluruh anggota keluarga Elang. Ciara duduk di antara sang ayah dan ibunya. Gadis dengan kuncir menyerupai ekor kuda itu sedang menanti piringnya diisi nasi oleh Rara.

"Ayam mau?" tawar Rara. Ia paham jika Ciara adalah penggemar telur dan tidak menginginkan lauk lain.

Ciara menggelengkan kepala. "Nanti gigi Cia sakit."

"Ayamnya udah Oma presto," sahut Bu Sasti.

"Presto itu apa?" tanya Ciara dengan polosnya.

"Presto itu panci besar yang bisa bikin ayam ini empuk. Tulangnya pun nggak keras lagi," jelas Rara. "Jadi ayam ini nggak akan bikin gigi Cia sakit."

Elang memperhatikan interaksi antara istri dan anaknya. "Coba aja, Cia. Masa makan telur terus."

Ciara memegang pipinya. Ia lalu menggeleng pelan.

Rara menggerakkan tangan ke arah kepala Ciara, lalu mengusap rambut hitam itu dengan lembut. "Cia ingat rumah makan ayam yang ada di dekat TK dulu itu?"

Ciara manggut-manggut. Ia pernah beberapa kali makan di sana bersama Rara dan neneknya. "Yang ayam empuk sekali itu?"

Rara mengangguk mantap. "Ayam buatan Oma pun sama empuknya dengan ayam di warung makan itu. Cobain, deh."

Ciara manggut-manggut. "Tapi aku mau dagingnya aja, Ma. Nggak mau ada kulitnya."

"Siap." Rara mulai mengambil sedikit potongan daging di piringnya, kemudian memberikannya ke piring Ciara. "Cobain dulu."

Ciara mulai menyendok sedikit daging ayam, lalu memasukkannya ke mulut. Matanya mengerjap kagum. "Empuk banget. Cia suka ayam ini, Oma. Nanti buatin lagi, ya."

"Tentu, Sayang. Oma buatin tiap hari."

Bu Sasti sangat bahagia mendengar cucunya mau mengonsumsi ayam tidak telur terus menerus. Begitu juga dengan Elang. Senyum penuh syukur terlukis di bibirnya. Matanya lekat menatap Rara. Namun, sekejap kemudian, ia menundukkan wajah karena istrinya menangkap tatapannya itu.

Rara mendesah pelan. Detak jantungnya semakin kencang bertalu. Tatapan mata yang saling bersirobok membuat tubuhnya lemas. Sekilas peristiwa di kamar mandi kembali muncul. Rara menjadi semakin canggung.

"Oh, iya, Ma. Nanti Cia mau tidur sendiri, ya," cetus Ciara tiba-tiba. Ia baru ingat tentang obrolan bersama omanya siang tadi.

Rara tersentak mendengar pernyataan Ciara. Tidur sendiri bermakna bahwa dirinya tidak akan berada di kamar Ciara lagi mulai malam ini. Setelah menikah, kamar Ciara adalah kamarnya untuk istirahat. Rara belum berani pindah ke kamar Elang setelah pernyataan suaminya saat baru tiba di rumah ini.

"Kenapa, Cia?" tanya Elang penasaran. Ia tidak sadar jika Bu Sasti tengah menahan senyum.

"Cia udah SD besok. Masa masih ditemani tidurnya," jawab Ciara dengan santai.

Rara hanya bisa menunduk. Tidak mungkin dirinya tidur dengan ibu mertuanya. Pilihan terbaik adalah di sofa ruang tengah, tetapi dirinya sungkan kepada Bu Sasti. Takut malah mengecewakan mertuanya itu. Sudah menikah dengan putranya tetapi malah tidur terpisah. Rara berdecak kesal mendapati dirinya belum menemukan solusi.

Mata Elang tertuju pada Rara. Ia juga tidak punya pilihan lain. Tidak mungkin menyuruh Rara tidur di kamar ibunya.

"Ya udah, Miss—em, Mama Rara tidur di kamar papa aja." Elang akhirnya memberi keputusan. Sebuah pernyataan yang sontak membuat Rara tercengang.

"Emang harus gitu, Pa. Kata Oma, Mama sama Papa itu suami istri harus tidur di kamar yang sama."

Bu Sasti terkejut mendapati kejujuran cucunya. Beliau lalu tersenyum sembari memperlihatkan deretan gigi yang rapi.

Elang mengembuskan napas pendek seraya manggut-manggut. Pantas saja putrinya bilang seperti itu. Dirinya sangat paham jika gadis kecilnya itu belum pernah tidur sendiri meskipun punya kamar. Jika tidak bersamanya, Ciara tidur malam dengan Bu Sasti.

"Tidurnya di kamar saya aja, Miss," ucap Elang tanpa menatap Rara.

Rara mendongak. Ia lalu mengangguk dengan pelan. "Baik, Pak."

"Loh?! Kok, Pak, sih?" sahut Ciara tiba-tiba. "Papa juga kenapa masih Miss manggilnya? Emang Mama masih ngajar di TK apa."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro