Sembilan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Rara dan Elang sontak terkejut dengan respon Ciara. Begitu juga Bu Sasti yang mendesah pelan melihat anak dan menantunya masih memanggil dengan sebutan yang lama. Sepertinya, hanya Ciara yang bisa memaksa mereka mengubah panggilan.

"Mas sama Dik gitu kan romantis," cetus Bu Sasti menggoda pasangan pengantin baru tersebut.

Elang menatap lekat Rara yang menunduk. Ia lalu menarik napas pelan. "Iya, iya. Di kamarku aja, Dik."

Rara tersentak mendapati panggilan yang berubah. Sebutannya juga bukan saya lagi, tetapi ku. Sebuah panggilan yang semakin membuat dirinya salah tingkah. Ia pun sedikit menundukkan wajah yang memerah tersebut.

"Ma, jawab, dong." Ciara menoleh ke arah Rara dengan tatapan gemas.

"I—iya, Mas."

***

Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Ciara sudah berada di kamar. Anak kecil itu sudah mengantuk bahkan sesaat setelah makan malam. Rara yang ingin menidurkan ditolak oleh Ciara. Ia sudah membulatkan tekad untuk tidur sendiri.

Rara pun menunggu di sofa ruang tengah dengan menonton televisi bersama Bu Sasti. Mereka berdua tidak tega meninggalkan Ciara sendirian di kamar. Sementara itu, Elang sedang sibuk di halaman depan. Dosen jurusan Pendidikan Biologi itu sedang mencuci mobil. Kebiasaan yang sudah dilakukannya sejak lama. Membersihkan kendaraan pribadi ketika matahari sudah tenggelam.

"Kalau ngantuk tidur aja, Ra." Bu Sasti beberapa kali mendapati menantunya menguap. Bahkan ujung mata Rara sudah mengeluarkan air mata.

"Nggak, kok, Bu." Rara menegakkan punggungnya. Ia canggung memasuki kamar Elang.

"Udah kelihatan ngantuknya itu. Cia nggak papa, Ra. Ibu masih di sini juga, belum ngantuk. Udah sana masuk kamar." Bu Sasti menarik tangan menantunya agar beranjak dari duduk. "Nggak usah nunggu Elang, kalau udah ngelus mobil suka lupa waktu."

Rara tersenyum mendengar candaan mertuanya. Ia pun patuh. "Saya tidur dulu, Bu."

"Iya, iya, sana udah."

Rara mulai melangkah. Ia tidak langsung menuju kamar Elang. Dirinya terlebih dahulu mampir ke depan kamar Ciara. Lampu di kamar itu masih menyala dan tidak akan dimatikan sesuai perintah empunya kamar. Rara menatap putrinya yang sedang terlelap. Senyum hangat terlukis di wajahnya. Sesaat kemudian, baru dirinya melangkah ke kamar yang terletak di samping kiri.

Rara mulai masuk ke kamar. Ia menatap ranjang berukuran 220 cm x 160 cm dengan bed cover polos berwarna navy yang menutupi. Ada dua bantal yang tertata rapi di bagian dekat sandaran ranjang. Tidak lupa guling berada di tengah. Rara sejak di rumah ini, setiap hari menata ranjang tersebut meskipun tidak menempatinya.

Rasa kantuk yang tadi menyergap, seolah menghilang setelah dirinya sampai di kamar. Ia tidak mungkin keluar lagi. Tentu sungkan dengan mertuanya. Rara pun merebahkan tubuhnya di sisi ranjang sebelah dinding. Ia lalu menutupi tubuhnya dengan selimut tebal satu-satunya itu. Perasaan gugup tak terelakan menguasai. Ia pun mencoba mengalihkannya dengan bermain ponsel.

Dua puluh menit kemudian.

Rara mendengar suara mertua dan suaminya. Ia pun bergegas menjauhkan ponsel dengan meletakkannya di kusen jendela. Perempuan yang sudah berganti piama lengan panjang itu pun memosisikan tubuhnya menghadap dinding.

Tidak lama kemudian, pintu kamar terbuka. Elang masuk ke kamar. Langkahnya terhenti melihat sosok perempuan di atas ranjangnya. Mendadak, suasana di dalam ruangan yang tidak terlalu luas itu berubah menjadi canggung. Elang segera meletakkan ponsel di atas meja kerjanya. Ia pun sudah mengantuk selepas mencuci mobil tadi.

Elang merebahkan tubuhnya di samping Rara yang dipisahkan dengan guling. Posisi laki-laki itu telentang dengan kedua tangan bersedekap. Ia lalu menoleh ke samping kiri. Ini adalah pengalaman pertamanya tidur kembali bersama seorang perempuan setelah bercerai dengan Valia, ibu Ciara. Karena sudah disergap rasa kantuk, tidak lama kemudian, Elang pun terlelap.

Rara ternyata masih terjaga. Tangan kanannya menggenggam selimut dengan kuat. Ia hanya berharap jika Elang tidak mendengar degup jantungnya yang berdetak cukup kencang. Butuh setengah jam untuk Rara bisa terlelap. Sepasang suami istri itu pun tidur dengan saling membelakangi.

Belum ada satu jam Rara terlelap. Ia kembali terjaga saat mendengar pintu kamar terbuka.

"Loh, Cia?" Rara pun beranjak dari posisinya. Ia lalu merentangkan kedua tangannya menyambut Ciara yang berlari sembari memeluk boneka Koala kesayangannya.

"Cia mau bubuk di sini," ungkap Ciara dengan suara terisak.

"Iya, Sayang. Cia kebangun ya?" Rara lalu meraih bantal guling dan memindahkannya. "Bubuk di sini, ya."

Ciara mengangguk. Ia lalu merebahkan tubuh di antara kedua orang tuanya. Dirinya kini sudah merasa tenang. Gadis itu pun segera memejamkan matanya.

Elang pun terbangun. Ia lalu menoleh ke belakang. Dengan mata yang masih mengantuk, ia terkejut. "Cia? Kok, di sini?"

Rara yang berbaring menyamping dengan kepala ditopang telapak tangan, menempelkan telunjuk kiri ke bibir. "Kebangun, Pak."

"Oh ...." Elang pun manggut-manggut. Ia lalu mengubah posisi menghadap Ciara sembari memeluk putrinya tersebut. Laki-laki itu dengan cepatnya kembali terlelap.

Rara yang masih terjaga, terharu melihat pemandangan hangat antara ayah dan anak itu. Hal itu mengingatkannya pada masa kecilnya yang tidak terlalu dekat dengan ayahnya. Oleh karena pengalaman itu, ia pun berdoa agar nanti anak-anaknya dekat dengan sang ayah. Tidak perlu menunggu lama, ia kini menyaksikan sendiri, anak sambung yang sudah dianggap anak sendiri begitu dekat dengan suaminya.

Senyum yang terlukis tadi, mendadak lenyap saat Rara menyadari bahwa impiannya akan sulit terwujud. Anak kandung?

Rara pun berdecak sembari tersenyum sinis. Hingga minggu kedua pernikahan, dirinya pun belum disentuh oleh sang suami. Rara menatap lekat Elang. Wajah oval dengan rambut tipis di dagu itu kerap menggetarkan hatinya saat ia menatapnya. Namun, kini ada perasaan nyeri yang dirasakan. Tidak terasa, air mata pun jatuh membasahi pipi Rara.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro